"Aku tidak mau dijodohkan!"
Salah satu indra pendengarannya memang terganggu, cukup merepotkan karena terkadang sesuatu tak bisa didengar dengan jelas. Namun kali ini, di situasi mencekam, suara gesekan ujung mata pisau beradu begitu nyaring, Elia merasa telingannya berfungsi sangat baik, padahal ia berharap tuli keseluruhan untuk sesaat ini saja.
Dalam kegelapan, kilauan pisau logam terlihat begitu jelas. Ujungnya runcing nan tajam, siap mengoyak apapun, termasuk pangkal lehernya yang kini menjadi sasaran utama.
Tepat ketika permukaan salah satu pisau menyentuh kulit, sensasi dingin segera menjalar. Tak berselang lama, darah segar mengucur akibat goresan kecil. Bukannya kesakitan, Elia justru merasa gatal dan ingin menggaruknya. Membuat goresan itu makin parah.
"Elia, sejauh ini kau tidak berguna. Apa salahnya sesekali menuruti ucapan ayah dan kakak tersayangmu ini."
Elia membantah sembari menatap tajam Davine, sosok kakak yang satu tahun lebih tua—si pengancam, ahli pisau, dan punya emosi yang cukup sensitif, "Aku selalu menurut, aku tidak pernah membantah! tapi kali ini tidak bisa..."
"Dasar gadis pembohong yang licik, aku selalu tahu kau menyeleweng dari perintah dan berlagak seolah sudah melaksanakannya dengan baik. Ingat, aku punya seribu mata di dekatmu."
"Kau selalu menuduh dan menyalahkanku! apapun masalahnya!" gadis itu balas menyerang dengan cara menancapkan kuku ke leher saudaranya, menancap dalam hingga tetesan darah mengucur.
Titik penyerangan keduanya sama-sama mengarah pada leher. Davine melempar kedua pisaunya ke sembarang arah, lalu mencengkeram leher atas sang adik, "Aku tak segan mencekikmu sampai sekarat."
Dari segi fisik pun seharusnya Davine bisa menang dalam hitungan detik, hanya saja ia masih menyadari kalau perkelahian ini cuma sekedar ancaman yang dibuatnya sendiri. Ia tak akan membunuh Elia sekalipun sudah dikuasai emosi hingga pucuk kepala memerah hampir meledak.
"Ayah! jangan diam saja, lihat orang gila ini!" Elia membanting tubuhnya sembari beringsut menjauh setelah merasa hampir mati tercekik.
Davine tidak membiarkan mangsanya lepas begitu saja, Elia dalam keadaan sempoyongan terus dikejar sampai tak sadar membuat ruangan kacau akibat tubrukan mereka yang tak terkendali.
"Davine cukup," ujar seseorang yang berdiri di ujung tangga. Pria itu menghela napas panjang melihat tingkah dua putra-putrinya yang sudah dewasa, dan sepatutnya tak pantas mengacaukan rumah, "Elia, kali ini kau harus menuruti permintaan kakakmu. Kita dalam kondisi terdesak dan sedang membutuhkan bantuan yang amat besar."
"Aku benci kalian seolah menjualku!" kata gadis itu sembari melempar tongkat golf didekatnya ke arah benda-benda antik dari kaca di atas rak.
Davine menahan diri untuk tidak mengamuk kala menyadari salah satu miniatur sepeda kesayangannya ikut hancur bersama benda lain akibat ulang sang adik. Ia hanya bereaksi menendang betis belakang Elia—namun dipastikan gadis itu mengalami patah tulang ringan, "Dengar bodoh, pria yang akan menikahimu itu kaya raya dan masih muda. Kita hanya memanfaatkan kuasa dan jaminannya untuk mendapat aset Narcits, setelah itu semua selesai, kau bebas mau bercerai atau apalah sesukamu."
"Itu seperti mempermainkan pernikahanku," keluh Elia, meratapi kondisi kakinya yang mulai mengalami sensasi mati rasa.
Davine mencibir, "Kau terlalu sok suci, sudah dua puluh tahun hidup seperti ini tidak perlu memikirkan moral dan mengikuti cara hidup orang lain. Jalankan saja takdirmu sesuka hati, jangan terlalu terikat, pernikahan bukan hal penting bagi orang seperti kita."
"Mudah kau bicara, Davine."
"Ingat Elia, kau bukan dewi, kau seorang iblis wanita," kata Davine diiringi tawa menyerupai psikopat gila, kenyataannya dia memang psikopat.
Ayah menuruni tangga dengan langkah pelan namun tegap dan penuh ancaman, kemudian duduk di kursi sembari menepuk area kosong di sampingnya, "Elia, kemari..."
Perintah sederhana itu telak, seakan buta melihat kondisi putrinya yang kesulitan bergerak.
Elia memaksakan diri berjalan dan duduk di sana, "Yang jelas aku tak mau menikah, apalagi dengan orang asing."
"Sudah berapa kali kalian bertemu?"
"Baru sekitar dua atau tiga kali. Lihat, sesingkat itu tak pantas jika langsung menikah."
Sang ayah tertawa, "Tapi dia tertarik padamu, dan memang itu rencana besar yang menjadi tujuan kita."
"Intinya ayah sama saja dengan Davine," matanya menatap tajam ke arah sang kakak lelaki yang terlihat berdiri di depan wastafel dapur, mencuci pisau yang sempat melukainya tadi, "Dulu kalian bilang aku boleh menyamankan diri lebih dulu dengan pria itu sebelum memutuskan kedepannya. Ternyata itu cuma tipuan."
"Karena jika tahu dari awal, kau pasti menolak."
"Sudah pasti."
"Sebenarnya ayah tahu alasan penolakanmu."
"Yah, Davine menguntit pacarku. Sudah ku duga kalian tahu tentang Maxime." Elia berusaha bereaksi sedatar mungkin. Menjadi anak kandung seorang gangster selalu mendapat ancaman dan tekanan apapun masalahnya. Bahkan untuk menjalin hubungan dengan seorang pria, ia harus sangat berhati-hati, "Dan ya, penolakan ini memang terjadi karena Maxime juga, aku mencintainya."
"Tidak ada yang namanya cinta, Elia sayang." Ayah tertawa, mirip dengan tawa Davine—karena mereka sama-sama psikopat gila. Di rumah ini hanya ada ibu yang waras, tapi sayangnya usia ibu tak bertahan lama karena mungkin tertekan dengan ulah ayah.
Elia sendiri tak menyangkal kalau ia pun sedikit gila akibat faktor keturunan ayahnya. Itu genetik, jadi ia tak mau menyalahkan diri.
Hanya saja level mereka berbeda-beda, Davine adalah malaikat pencabut nyawa, ayah merupakan dewa dari segala iblis, sementara dirinya cuma kucing hitam pembawa petaka.
"Itu istilah yang hanya dipakai keluarga kita, di luar sana seluruh orang punya cinta dan perasaan."
Davine tertawa keras dari dapur ketika mendengar kalimat tersebut.
"Yang jelas aku cuma suka pada Maxime, aku tidak akan berpaling pada pria lain sekalipun itu pemilik 500 cabang hotel dan 50 bandara. Lagipula aku masih terlalu muda untuk menikah. Tak pantas mendahului Davine si perjaka tua."
"Elia, aku mendengarmu sialan!" seru Davine
Segala keluh kesah gadis itu hanya dianggap angin lalu, sama sekali tak dipedulikan karena keputusan bukan milik Elia, melainkan milik satu-satunya orang tua, "Ayah sudah atur kencanmu minggu ini, kemungkinan besar dia akan mulai menyatakan perasaan atau justru melamarmu. Jadi mau tak mau sebaiknya kau turuti, atau pacarmu Maxime akan jadi pengganti manekin di kamar Davine." Pria itu tersenyum miring, "Kau tahu seberapa mengerikan kakakmu itu, sayang."
"Ayah sungguhan memaksaku? Ayah tega menikahkanku dengan orang asing yang sama sekali tak ku kenali?"
"Ayah cukup mengenalnya. Mungkin dia masih asing bagimu, tapi kenyataannya kau tak usah terlalu mengenalinya. Kau tidak perlu menyelesaikan ikatan pernikahan ini sampai akhir—hanya sampai tujuan kita tercapai sepenuhnya, setelah itu silahkan bercerai atau tetap melanjutkan, itupun jika dia masih mau denganmu," ungkapnya, penuh rencana misterius yang disusun runtut tanpa dapat terbaca sedikitpun, "Tapi demi menghindari masalah berkepanjangan, ayah punya beberapa saran. Kau dilarang punya keturunan darinya, luluh terlalu dalam padanya, apalagi sampai berkhianat dari kami. Akan lebih baik kalian bercerai setelah masalah selesai."
Detik itu juga, Elia menyadari jika dirinya sungguhan cuma boneka di keluarga mengerikan ini. Seluruh masa depannya sudah direncanakan dan tak dapat diubah sesuka hati.
To Be Continued...
"Perjodohan dengan seorang borjuis mungkin jadi impian banyak orang, tapi itu tak berlaku untukku." Carter adalah marga dari keluarga yang dikenal sebagai pemegang saham terbesar di Dailec Corp. yaitu Liam Carter, sejak delapan tahun yang lalu. Liam hidup bersama putra sulungnya Davine Carter, serta putri bungsu Elleia Carter. Keluarga mereka dahulu bukan apa-apa, bahkan untuk membeli sepotong roti harus bekerja siang malam tanpa henti. Tapi setelah berhasil menduduki posisi tertinggi di Dailec Corp, semuanya berubah, mereka terpandang, terkenal, dan poster inspirasi lika-liku kehidupan Liam terpampang dimana-mana sebagai motivasi masyarakat. Hanya saja kehidupan mereka tak sebersih yang orang lain lihat. Mereka mungkin berpikir, Liam yang cerdas dan pekerja keras bisa bangkit dari kehidupan kelam melalui berbagai tantangan adil. Liam naik ke puncak kejayaan bersama anak-anaknya melalui cara kotor—yang tak lain adalah membunuh seluruh keluarga besar pemegang saham Dailec sebelumnya
"Jika aku tidak bisa membatalkan pernikahan ini, maka Lawrence yang harus pergi." Elia sadar kalau dirinya bukan orang baik, namun juga tak bisa disebut orang jahat. Ketika memiliki ayah dan kakak pengidap gangguan psikopati, secara tak langsung ia terdidik oleh perilaku kejam mereka. Lingkungan lah yang menjerumuskannya kedalam hal keji, di mana aksi teror, pembunuhan, penganiayaan dilakukan secara terang-terangan. Meski begitu, nurani-nya belum mati. Ia seorang perempuan yang mengutamakan perasaan, bukan logika dan tindakan. Karena Maxime harus hidup, sementara dirinya tak mau dinikahkan, Elia dengan berat hati menuangkan serbuk arsenik ke dalam cangkir kopi yang dihidangkan untuk Lawrence pada pertemuan mereka malam ini. Serbuk itu didapatkannya secara khusus dari komunitas gelap yang disebut Narcist, Elia sudah tidak asing lagi dengan organisasi itu karena keluarganya bekecimpung erat dengan dunia bisnis bawah mereka, bahkan komunitas itu juga yang jadi incaran sang ayah hingga
"Pagi, Maxime," setelah beberapa saat terdiam di depan sebuah coffe shop, Elia akhirnya memberanikan diri masuk dan menyapa seorang barista sekaligus pemilik kedai tersebut. Pria itu adalah Maxime Millian, kekasihnya. "Elia?" Maxime seketika langsung sumringah, ia lekas melepas apron dan topi untuk menghampiri kekasihnya yang telah lama dirindukan, "Ah, aku khawatir sekali setelah kau tak menghubungiku berhari-hari." Gadis itu sontak menudukkan kepala sendu, merasa bersalah karena seolah menghilang dari kehidupan Maxime setelah tahu akan dijodohkan dengan orang lain, "Maaf... aku bingung." "Kenapa? ada masalah apa?" Max menarik Elia duduk di bangku tepian, cukup jauh dari pelanggan lain. Ia sepenuhnya memberikan perhatian pada Elia, mengabaikan dua orang pegawai yang terlihat cukup kerepotan karena kedatangan pembeli berturut-turut. Elia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menikah dua minggu lagi." Sontak keheningan datang diantara keduanya. Elia tertun
"Pernikahan paling ku hindari akhirnya tiba tak lama lagi." Satu bulan yang dihindari terasa amat singkat, entah bagaimana Elia bisa hadir di butik khusus untuk untuk merancang busana pengantin ketika semalam ia menangis habis-habisan memikirkan masa depan yang amat mengerikan. "Ibu, kalau boleh jujur aku tidak ingin hidup, aku benci dilahirkan sebagai keluarga ini, maafkan aku bu." Elia hampir menangis lagi saat melihat tubuhnya dari pantulan cermin—mengenakan gaun putih tulang lengkap aksesoris sederhana seperti tiara perak. Di belakangnya, Lawrence tersenyum melihat pantulan tubuhnya sendiri yang dibalut tuxedo putih berpadu celana bahan warna senada. Elia sedikit heran, pria itu terlihat lebih mengagumi dan memperhatikan diri sendiri ketimbang calon pengantinnya—meski Elia tak berharap hal itu terjadi pula. Hanya saja sikap Law sedikit aneh. Kebanyakan pria tak akan berhenti memuji, mengagumi, dan merayu pasangannya ketika sedang berpenampilan bak bidadari. Lawrence benar-bena
Lawrence Rollan—pria itu tumbuh sedari kecil bersama keluarga asuh, berasal dari panti asuhan dan menjadi salah satu anak beruntung yang di angkat oleh keluarga kaya nan terpandang. Dididik menjadi lelaki berpendidikan dan penuh wibawa, menjadikannya sosok hebat diusia muda. Menjadi motivasi banyak orang, sehingga perlahan nama baiknya melambung populer di kalangan segala usia terutama anak muda. Sayang beberapa tahun lalu, kedua orang tua asuh Lawrence mengalami kecakaan lalu lintas yang mengakibatkan tragedi kematian, membuatnya kembali sebatang kara di dunia yang memandangnya sempurna. Tn. Rollan sepenuhnya memberikan kepemilikan atau warisan kepada Law karena tidak memiliki keturunan. Surat wasiat juga sudah disiapkan sejak lama, jauh sebelum tragedi kecelakaan terjadi. Aset rumah, tanah, apartemen, hotel, hingga perusahaan, kini telah menjadi milik Law sepenuhnya, ditambah ia memiliki company sendiri yang sudah berdiri sejak Tn. Rollan masih hidup. Perusahaan yang Lawrence pi
"Pernikahanmu dua jam lagi, bersiaplah." "Pastikan saja pengantinku agar tidak bertindak sembarangan menuju detik-detik hari kebahagiaannya." Lawrence tersenyum sinis, mulai merapikan surai hitamnya yang disisir rapi ke belakang. Belum sepenuhnya matahari terbit, belum pula cahaya bulan menghilang, pria itu sudah siap dengan pakaian formal berupa kemeja hitam berbalut tuxedo putih dan celana bahan warna senada. Terlalu awal untuk berias sebenarnya. Dia begitu sibuk merapikan penampilan dari ujung rambut sampai pangkal kaki agar terlihat sempurna dihadapan banyak orang pada hari pernikahan yang sakral ini. Will menyanggah, "Kalian sudah mulai dekat, apa itu masih belum meyakinkanmu kalau Elia bisa saja kabur?" "Kalaupun dia ingin kabur, itu hanya angan-angan semata, dia tidak akan pernah bisa membatalkan pernikahan ini, keadaannya terpojok." Law menoleh, tak sengaja mendapati raut buruk yang terpatri di wajah remaja muda itu, "Kau kenapa Will?" "Hanya prihatin pada Elia." Will meng
"Akhirnya selesai juga," helaan napas terdengar, begitu dasi yang melilit leher dilonggarkan beserta beberapa kancing kemeja bagian atas dilepas. Law memandang pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan bangga, "Aku muak berlama-lama di tempat itu. Menunjukkan senyum palsu dan menyambut orang asing adalah kegiatan paling menyebalkan di dunia." "Hanya karena tak betah di acara pernikahanmu sendiri, kau sampai membakar gedung dan membayar ganti ruginya sendiri, dasar gila," komentar Will. Keduanya kini tengah berada di rumah Lawrence, setelah insiden kebakaran besar tadi, ia segera memboyong orang-orang terdekat ke rumahnya, termasuk Elia beserta keluarga Carter. "Dari pada berkomentar tidak jelas, kenapa kau tak ambilkan istriku air dingin dan tenangkan dia." Will menyela tidak setuju, "Tunggu, itu harusnya kewajibanmu." Sontak, Law membalasnya dengan nada bantahan, "Kau berani menyuruhku?" "Lakukan kegiatan heroik di saat seperti ini, Elia pasti sangat terpuruk karena kegaga
19 tahun lalu "Selamat ulang tahun Nathan, semoga panjang umur," sebuah kue tiga tumpuk persegi dengan lilin berbentuk angka tujuh muncul sesaat setelah seorang anak lelaki memejamkan mata dengan erat. Kedua orang tuanya kompak melantunkan nyanyian ulang tahun khas anak-anak. Meski malam itu tengah hujan deras, sesekali disertai petir, sama sekali tidak menghalangi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Seorang anak perempuan yang lebih kecil berusaha mendekati kue milik sang kakak, "Aku mau tiup lilin!" Sang ibu langsung menengahi, "Tiup bersama-sama dengan kakak ya, ayo kita hitung, satu... dua... tiga..." Api kecil itu pun padam. "Nathan sekarang sudah tujuh tahun, mau hadiah apa dari ayah dan ibu?" pria baya itu mengusap kepala putra sulungnya dengan lembut. Nathan tampak berpikir sejenak, ia sudah punya segala hal tanpa meminta dibelikan, tidak ada lagi benda yang diinginkan. Namun saat melihat riak air dari akuarium ikan di sudut kamar, ia teringat sesuatu, "Ayah berjanji me
"Di mana Law? seharian aku tak bisa menghubunginya sama sekali," tanya Ann sesaat setelah memasuki ruangan paling terjaga privasinya di Narcist. Pertanyaan yang ia lontarkan pada Will, En, dan John—bagian dari orang penting Narcist yang seolah menjadi penjaga ruang tersebut, hanya sekedar basa-basi untuk membuka pembicaraan, karena keduanya terlihat sangat tenang, terlarut dalam pikiran masing-masing.Will mengangkat bahu, "Dia menyerahkan tugas kantor pada orang lain, dan tugas komunitas padaku, entah kemana orang itu.""Haruskah kita mencari tahu?" tanya En sekaligus menyampaikan pendapatnya, "Mungkin saja dia sedang menyelesaikan masalah berbahaya yang tidak bisa melibatkan kita, seperti tahun lalu di sungai idris?""Law tidak se-spontan itu, kalaupun ada masalah yang tidak bisa melibatkan kita, dia pasti berbicara sebelumnya," balas John, merasa tak ada masalah selagi Law tidak meminta bantuan darinya, "Bukan malah menghilang tiba-tiba begini."Ann menghela nafas sembari mengambil
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany