"Jika aku tidak bisa membatalkan pernikahan ini, maka Lawrence yang harus pergi."
Elia sadar kalau dirinya bukan orang baik, namun juga tak bisa disebut orang jahat. Ketika memiliki ayah dan kakak pengidap gangguan psikopati, secara tak langsung ia terdidik oleh perilaku kejam mereka. Lingkungan lah yang menjerumuskannya kedalam hal keji, di mana aksi teror, pembunuhan, penganiayaan dilakukan secara terang-terangan.
Meski begitu, nurani-nya belum mati. Ia seorang perempuan yang mengutamakan perasaan, bukan logika dan tindakan.
Karena Maxime harus hidup, sementara dirinya tak mau dinikahkan, Elia dengan berat hati menuangkan serbuk arsenik ke dalam cangkir kopi yang dihidangkan untuk Lawrence pada pertemuan mereka malam ini.
Serbuk itu didapatkannya secara khusus dari komunitas gelap yang disebut Narcist, Elia sudah tidak asing lagi dengan organisasi itu karena keluarganya bekecimpung erat dengan dunia bisnis bawah mereka, bahkan komunitas itu juga yang jadi incaran sang ayah hingga rela menjual anak gadisnya sendiri pada orang asing. Elia membeli benda tersebut atas nama dirinya, dan transaksi dilakukan lewat salah satu anak buah ayah yang dia bayar sebagai uang tutup mulut.
Tidak ada kecurigaan dari Liam dan Davine saat Elia hadir di meja makan sembari membawa minuman khusus untuk Lawrence, tanpa diminta.
Elia pikir, kalau Lawrence mati, tujuan Liam tak bisa tercapai, dan ia tidak akan dinikahkan. Pikirannya terlalu dangkal, tak memikirkan masalah usai hal itu terjadi—untuk saat ini, Elia cuma ingin lari dari paksaan menikah.
"Kami sudah membicarakan ini kemarin, rencana masih satu bulan lagi. Aku dan Elia baru saling mengenal, sepertinya tak masalah kalau ditunda sebentar." Lawrence tengah berbincang serius dengan Liam dan Davine.
"Selagi kalian nyaman, aku menerimanya. Keputusan ada ditanganmu, Lawrence," sahut Liam.
Lelaki itu menggeleng, sembari mengalihkan pandangan pada gadis disampingnya, "Aku sendiri memberikan keputusan pada Elia."
"Davine belum menikah," balas Elia spontan.
"Kenapa kau tiba-tiba membahasku?" sontak raut Davine berubah masam bercampur ancaman.
Liam menengahi keduanya dengan tawa kecil, "Elia, kakakmu ini belum se-mapan Lawrence. Dia butuh pertimbangan banyak sebelum menikahi anak orang. Sementara kalian sudah punya segalanya, tinggal menyamankan diri. Tak perlu mengkhawatirkan Davine."
Alibi, hanya alibi rendahan yang dikatakan Liam demi mengalihkan pembicaraan tentang permasalahan putra sulungnya. Davine pun kelihatan tak peduli dengan jawaban itu.
Karena tatapan tajam sang ayah, Elia mendadak kalut. Tanpa sadar ia mengikis kuku dengan permukaan meja sejak tadi sembari memperhatikan gerak-gerik jemari Lawrence yang berada di sekitar cangkir kopi.
Pria itu mulai memegang gagang cangkir, mendekatkannya ke bibir.
"Lawrence!" Elia seketika berteriak, merebut kasar cangkir itu hingga hampir tumpah, "Aku baru ingat belum menambahkan gula."
"Tidak apa-apa, aku suka kopi pahit."
"Aku akan menggantinya."
Liam memangku dagu sambil tersenyum melihat kepergian putrinya—dalam keadaan panik.
•••
"Ingat Elia, segala tindakanmu saat ini akan dipertanggung jawabkan. Jadi jangan harap bisa membatalkan pernikahan, cukup ikuti saja alurnya sampai ayah bilang selesai, maka kau akan bebas." Liam mengarahkan pandangan setajam pisau begitu Lawrence pergi usai membicarakan banyak hal tentang pernikahan dan segala persiapannya.
Liam tampaknya tahu soal arsenik yang dicampurkannya ke dalam kopi untuk Lawrence. Sudah jelas, orang bawahan ayahnya begitu setia. Elia menyesal tak melakukan transaksi sendiri, setidaknya untuk menghindari orang lain tahu rencananya.
"Kenapa bukan Davine—"
Bantahan Elia sontak mendapat respon lebih mengerikan dari sebelumnya, "Davine lagi, Davine lagi, dia sudah punya tugas sendiri dalam misi kali ini, dan tugasnya jelas jauh lebih berat darimu."
"Maka aku siap menggantikannya," balas Elia seolah tak lagi memiliki rasa takut meski terdapat tiga pisau steak yang masih ada di atas tiap piring, padahal benda tajam itu bisa melukainya kapan saja, "Ada banyak anak perempuan dari keluarga kaya raya melebihi harta benda kepemilikan Lawrence, seperti Anita Rodhes, cucu pendiri pusat komersial palilng sukses di negara ini, atau Jamie Bernal yang memiliki sembilan puluh persen harta warisan dari ayahnya, menteri pertahanan negara. Jamie juga terkenal suka menghambur-hamburkan uang di media sosial hanya untuk kegiatan tak berguna seperti pesta alkohol, Davine pasti mudah mendapatkan perhatian darinya. Selai itu ayah kenal dengan semua orang-orang itu, tidak sulit bagi kita untuk menyusup masuk ke kehidupan mereka."
Liam tertawa kecil dengan berbagai alasan yang disampaikan putrinya untuk menghindari perjodohan sebisa mungkin, "Orang-orang yang kau sebutkan itu hanya penerima sebagian kecil harta dari keluarga yang tak dikembangkan, maka semakin lama nilai jual harta mereka juga menurun. Selain itu, latar belakang mereka adalah orang-orang penting di negara. Satu hal pasti yang bisa jadi bumerang untuk kita."
"Lalu memangnya jika menjatuhkan Lawrence dan mengambil alih seluruh kepemilikannya, tidak akan ada bumerang yang berbalik pada kita?" balas Elia tak terima, "Ingat ayah, hukum alam itu ada dan akan tetap berjalan sesuai alur takdir yang sudah digariskan."
"Kau pintar sekali menganalisa sayang, persis seperti ayah, dan tentu saja karena itulah ayah memilih Lawrence sebagai target kita." Liam meletakkan pisau dan garpunya kembali ke piring, lantas mendorong benda itu agak jauh dari hadapannya, "Lawrence adalah anak muda yang kebetulan cukup jenius di bidangnya hingga berhasil meraih tonggak pencapaian penghasilan tinggi meski masih cukup muda. Tapi seperti yang ku katakan, dia hanya anak muda yang labil sama halnya Davine dan juga kau, selain itu Lawrence juga terbilang cukup penurut selama aku mengenal. Harta dan kepemilikan Law adalah hak-nya sendiri, Law's corp juga didirikan atas namanya dan bukan sekedar warisan dari keluarga asuh Law yang sudah mati, dengan begitu dia akan sangat mudah jatuh ke dalam perangkap kita."
"Bagaimana jika dia lebih dari yang ayah pikirkan?"
"Ayah tak akan memikirkan hal itu, karena ayah jauh lebih tahu soal Lawrence dibanding dirimu." Liam mengalihkan pandangan pada Davine yang datang menghampiri mereka, "Selain itu dia ada di depan mata kita, dia sendiri yang bilang pada ayah kalau tertarik dengan satu-satunya putriku yang cantik, maka hilangkan pikiranmu soal para anak sendok emas seperti Anita Rodhes atau Jamie Bernal, kakakmu juga tak akan sanggup menikahi mereka."
Davine menghela napas, "Lakukan saja pekerjaanmu Elia, cukup tetap diam dan tenang sampai hari pernikahan itu tiba dan hiduplah bersama pria itu sebagaimana suami istri pada umumnya. Setelah itu tunggu aba-aba dari aku dan ayah untuk melakukan tugas-tugasmu sebagai mata-mata Lawrence. Itu bahkan tak akan berlangsung sampai satu tahun jika kau bisa bekerja lebih cerdik."
"Tidak akan berlangsung sampai satu tahun..."
To Be Continued...
"Pagi, Maxime," setelah beberapa saat terdiam di depan sebuah coffe shop, Elia akhirnya memberanikan diri masuk dan menyapa seorang barista sekaligus pemilik kedai tersebut. Pria itu adalah Maxime Millian, kekasihnya. "Elia?" Maxime seketika langsung sumringah, ia lekas melepas apron dan topi untuk menghampiri kekasihnya yang telah lama dirindukan, "Ah, aku khawatir sekali setelah kau tak menghubungiku berhari-hari." Gadis itu sontak menudukkan kepala sendu, merasa bersalah karena seolah menghilang dari kehidupan Maxime setelah tahu akan dijodohkan dengan orang lain, "Maaf... aku bingung." "Kenapa? ada masalah apa?" Max menarik Elia duduk di bangku tepian, cukup jauh dari pelanggan lain. Ia sepenuhnya memberikan perhatian pada Elia, mengabaikan dua orang pegawai yang terlihat cukup kerepotan karena kedatangan pembeli berturut-turut. Elia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menikah dua minggu lagi." Sontak keheningan datang diantara keduanya. Elia tertun
"Pernikahan paling ku hindari akhirnya tiba tak lama lagi." Satu bulan yang dihindari terasa amat singkat, entah bagaimana Elia bisa hadir di butik khusus untuk untuk merancang busana pengantin ketika semalam ia menangis habis-habisan memikirkan masa depan yang amat mengerikan. "Ibu, kalau boleh jujur aku tidak ingin hidup, aku benci dilahirkan sebagai keluarga ini, maafkan aku bu." Elia hampir menangis lagi saat melihat tubuhnya dari pantulan cermin—mengenakan gaun putih tulang lengkap aksesoris sederhana seperti tiara perak. Di belakangnya, Lawrence tersenyum melihat pantulan tubuhnya sendiri yang dibalut tuxedo putih berpadu celana bahan warna senada. Elia sedikit heran, pria itu terlihat lebih mengagumi dan memperhatikan diri sendiri ketimbang calon pengantinnya—meski Elia tak berharap hal itu terjadi pula. Hanya saja sikap Law sedikit aneh. Kebanyakan pria tak akan berhenti memuji, mengagumi, dan merayu pasangannya ketika sedang berpenampilan bak bidadari. Lawrence benar-bena
Lawrence Rollan—pria itu tumbuh sedari kecil bersama keluarga asuh, berasal dari panti asuhan dan menjadi salah satu anak beruntung yang di angkat oleh keluarga kaya nan terpandang. Dididik menjadi lelaki berpendidikan dan penuh wibawa, menjadikannya sosok hebat diusia muda. Menjadi motivasi banyak orang, sehingga perlahan nama baiknya melambung populer di kalangan segala usia terutama anak muda. Sayang beberapa tahun lalu, kedua orang tua asuh Lawrence mengalami kecakaan lalu lintas yang mengakibatkan tragedi kematian, membuatnya kembali sebatang kara di dunia yang memandangnya sempurna. Tn. Rollan sepenuhnya memberikan kepemilikan atau warisan kepada Law karena tidak memiliki keturunan. Surat wasiat juga sudah disiapkan sejak lama, jauh sebelum tragedi kecelakaan terjadi. Aset rumah, tanah, apartemen, hotel, hingga perusahaan, kini telah menjadi milik Law sepenuhnya, ditambah ia memiliki company sendiri yang sudah berdiri sejak Tn. Rollan masih hidup. Perusahaan yang Lawrence pi
"Pernikahanmu dua jam lagi, bersiaplah." "Pastikan saja pengantinku agar tidak bertindak sembarangan menuju detik-detik hari kebahagiaannya." Lawrence tersenyum sinis, mulai merapikan surai hitamnya yang disisir rapi ke belakang. Belum sepenuhnya matahari terbit, belum pula cahaya bulan menghilang, pria itu sudah siap dengan pakaian formal berupa kemeja hitam berbalut tuxedo putih dan celana bahan warna senada. Terlalu awal untuk berias sebenarnya. Dia begitu sibuk merapikan penampilan dari ujung rambut sampai pangkal kaki agar terlihat sempurna dihadapan banyak orang pada hari pernikahan yang sakral ini. Will menyanggah, "Kalian sudah mulai dekat, apa itu masih belum meyakinkanmu kalau Elia bisa saja kabur?" "Kalaupun dia ingin kabur, itu hanya angan-angan semata, dia tidak akan pernah bisa membatalkan pernikahan ini, keadaannya terpojok." Law menoleh, tak sengaja mendapati raut buruk yang terpatri di wajah remaja muda itu, "Kau kenapa Will?" "Hanya prihatin pada Elia." Will meng
"Akhirnya selesai juga," helaan napas terdengar, begitu dasi yang melilit leher dilonggarkan beserta beberapa kancing kemeja bagian atas dilepas. Law memandang pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan bangga, "Aku muak berlama-lama di tempat itu. Menunjukkan senyum palsu dan menyambut orang asing adalah kegiatan paling menyebalkan di dunia." "Hanya karena tak betah di acara pernikahanmu sendiri, kau sampai membakar gedung dan membayar ganti ruginya sendiri, dasar gila," komentar Will. Keduanya kini tengah berada di rumah Lawrence, setelah insiden kebakaran besar tadi, ia segera memboyong orang-orang terdekat ke rumahnya, termasuk Elia beserta keluarga Carter. "Dari pada berkomentar tidak jelas, kenapa kau tak ambilkan istriku air dingin dan tenangkan dia." Will menyela tidak setuju, "Tunggu, itu harusnya kewajibanmu." Sontak, Law membalasnya dengan nada bantahan, "Kau berani menyuruhku?" "Lakukan kegiatan heroik di saat seperti ini, Elia pasti sangat terpuruk karena kegaga
19 tahun lalu "Selamat ulang tahun Nathan, semoga panjang umur," sebuah kue tiga tumpuk persegi dengan lilin berbentuk angka tujuh muncul sesaat setelah seorang anak lelaki memejamkan mata dengan erat. Kedua orang tuanya kompak melantunkan nyanyian ulang tahun khas anak-anak. Meski malam itu tengah hujan deras, sesekali disertai petir, sama sekali tidak menghalangi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Seorang anak perempuan yang lebih kecil berusaha mendekati kue milik sang kakak, "Aku mau tiup lilin!" Sang ibu langsung menengahi, "Tiup bersama-sama dengan kakak ya, ayo kita hitung, satu... dua... tiga..." Api kecil itu pun padam. "Nathan sekarang sudah tujuh tahun, mau hadiah apa dari ayah dan ibu?" pria baya itu mengusap kepala putra sulungnya dengan lembut. Nathan tampak berpikir sejenak, ia sudah punya segala hal tanpa meminta dibelikan, tidak ada lagi benda yang diinginkan. Namun saat melihat riak air dari akuarium ikan di sudut kamar, ia teringat sesuatu, "Ayah berjanji me
"Elia memasang penyadap suara di kamar kalian." "Berapa banyak?" Lawrence tertawa karena sebelumnya ia juga telah memasang penyadap suara sekaligus kamera pengintai di seluruh area rumah tanpa terkecuali. Lawrence sudah menyiapkan segala hal secara terperinci karena ia tahu Liam Carter juga punya rencana yang telah disiapkan, bahkan ia meminta salah satu tangan kanannya yaitu Enrique atau yang kerap dipanggil En untuk selalu memantau pergerakan Elia yang dirasa mencurigakan. Seperti saat ini, En tengah memantau Elia lewat kamera pengawas sembari melaporkan seluruh kegiatan yang mencurigakan pada Law. "Tiga, dibawah laci dekat ranjang, di belakang meja rias, dan di dalam cekungan lampu tidur." "Bagus, mari terus lihat perkembangannya kedepan, apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang Carter itu." En terus memandangi kegiatan Elia, bahkan tidak peduli ketika gadis itu mulai melepas pakaian dan menggantinya dengan handuk. Ia hanya fokus dengan apa yang diperintahkan Law, "Belum jel
"Semoga tidak terjadi apapun malam ini." Elia bergumam dalam hati sembari memejamkan mata rapat. Sejak makan malam berakhir, Lawrence tak dapat menutup matanya sedetik pun, baik tubuh maupun pikiran dibuat tidak karuhan. Matanya sesekali melirik Elia yang tidur sembari memeluk perutnya, lekuk tubuh gadis itulah yang jadi sebab ketidakfokusannya. Entah sengaja atau tidak, Elia mengenakan piyama satin warna putih yang cukup tipis, bagian-bagian tubuhnya kelihatan jelas meski bentuk pakaian itu normal. Apalagi saat tubuh mereka bersentuhan secara langsung. Sebagai pria normal, Lawrence tentu tergoda. Ia tak pernah berpikir akan sampai seperti ini efeknya terhadap sekujur tubuh. Tak buang waktu, ia segera pergi berendam air dingin, tidak peduli kalau sekarang sudah pukul satu malam. Lawrence lantas menghubungi En untuk menanyakan cara mengatasinya. Meski belum menikah, En yang merupakan penggila gadis club tentu amat mengerti masalah seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang lebih suka
"Di mana Law? seharian aku tak bisa menghubunginya sama sekali," tanya Ann sesaat setelah memasuki ruangan paling terjaga privasinya di Narcist. Pertanyaan yang ia lontarkan pada Will, En, dan John—bagian dari orang penting Narcist yang seolah menjadi penjaga ruang tersebut, hanya sekedar basa-basi untuk membuka pembicaraan, karena keduanya terlihat sangat tenang, terlarut dalam pikiran masing-masing.Will mengangkat bahu, "Dia menyerahkan tugas kantor pada orang lain, dan tugas komunitas padaku, entah kemana orang itu.""Haruskah kita mencari tahu?" tanya En sekaligus menyampaikan pendapatnya, "Mungkin saja dia sedang menyelesaikan masalah berbahaya yang tidak bisa melibatkan kita, seperti tahun lalu di sungai idris?""Law tidak se-spontan itu, kalaupun ada masalah yang tidak bisa melibatkan kita, dia pasti berbicara sebelumnya," balas John, merasa tak ada masalah selagi Law tidak meminta bantuan darinya, "Bukan malah menghilang tiba-tiba begini."Ann menghela nafas sembari mengambil
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany