Hai readers, jangan bingung ya dengan beberapa alur mundur di cerita ini, karena akan semakin banyak pov flashback kedepannya untuk menjelaskan apa saja yang pernah terjadi di masa lalu hingga membentuk sikap-sikap para tokoh sekarang. Enjoy reading!!
"Elia memasang penyadap suara di kamar kalian." "Berapa banyak?" Lawrence tertawa karena sebelumnya ia juga telah memasang penyadap suara sekaligus kamera pengintai di seluruh area rumah tanpa terkecuali. Lawrence sudah menyiapkan segala hal secara terperinci karena ia tahu Liam Carter juga punya rencana yang telah disiapkan, bahkan ia meminta salah satu tangan kanannya yaitu Enrique atau yang kerap dipanggil En untuk selalu memantau pergerakan Elia yang dirasa mencurigakan. Seperti saat ini, En tengah memantau Elia lewat kamera pengawas sembari melaporkan seluruh kegiatan yang mencurigakan pada Law. "Tiga, dibawah laci dekat ranjang, di belakang meja rias, dan di dalam cekungan lampu tidur." "Bagus, mari terus lihat perkembangannya kedepan, apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang Carter itu." En terus memandangi kegiatan Elia, bahkan tidak peduli ketika gadis itu mulai melepas pakaian dan menggantinya dengan handuk. Ia hanya fokus dengan apa yang diperintahkan Law, "Belum jel
"Semoga tidak terjadi apapun malam ini." Elia bergumam dalam hati sembari memejamkan mata rapat. Sejak makan malam berakhir, Lawrence tak dapat menutup matanya sedetik pun, baik tubuh maupun pikiran dibuat tidak karuhan. Matanya sesekali melirik Elia yang tidur sembari memeluk perutnya, lekuk tubuh gadis itulah yang jadi sebab ketidakfokusannya. Entah sengaja atau tidak, Elia mengenakan piyama satin warna putih yang cukup tipis, bagian-bagian tubuhnya kelihatan jelas meski bentuk pakaian itu normal. Apalagi saat tubuh mereka bersentuhan secara langsung. Sebagai pria normal, Lawrence tentu tergoda. Ia tak pernah berpikir akan sampai seperti ini efeknya terhadap sekujur tubuh. Tak buang waktu, ia segera pergi berendam air dingin, tidak peduli kalau sekarang sudah pukul satu malam. Lawrence lantas menghubungi En untuk menanyakan cara mengatasinya. Meski belum menikah, En yang merupakan penggila gadis club tentu amat mengerti masalah seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang lebih suka
"Aku sudah menikah, Maxime," ungkap Elia begitu sampai di hadapan Max. Keduanya bertemu di taman kota, tidak jauh dari coffe shop. Dahulu tempat itu juga sering didatangi keduanya, dalam kondisi perasaan yang masih indah tentunya, bukan konflik seperti saat ini. Pria itu sontak tertawa, "Aku tahu, tapi jika kau setia pada suamimu harusnya tidak perlu datang 'kan?" "Iya, tapi kedatanganku bertujuan untuk menegaskan padamu kalau aku sudah menikah, jadi ini mungkin kali terakhir kita bertemu diam-diam begini." Elia menggelengkan kepala dengan wajah memohon, sungguh hal ini juga berat baginya, "Jangan menggangguku lagi." Max menghentikan tawanya, sembari melirik sinis, "Aku tidak percaya kau akan mengatakan hal itu padaku, padahal dulu kita romantis sekali." Elia berdecak, tidak suka membahas masa-masa indah yang hanya singgah sebentar dalam hidupnya, karena itu hanya menyisakan memori menyakitkan yang sebenarnya tidak ingin dilupakan, "Langsung saja, apa yang mau kau jelaskan?" Sebe
"Selamat pagi, Maxime Millian, owner Max's Coffe Shop," pria itu, Max, mengulurkan tangannya sesaat setelah direktur perusahaan datang—yang tak lain ialah suami dari mantan kekasihnya sendiri. "Lawrence," balasnya singkat, tanpa berniat membalas jabatan tangan, "Mungkin diantara kita terselimuti rasa benci satu sama lain, tapi ku harap profesionalisme terus berjalan bagaimana semestinypa. Anda mengerti 'kan maksudku?" Max tersenyum miring sembari mengangkat tangan yang mendapati penolakan, "Tentu saja, aku tak ingin melibatkan perihal asmara ke dalam bisnis." Namun Ann menggantikan posisi Law sengan segera memabalas jabatan tangan Max dengan sopan sebagaimana pekerjaannya berlaku, "Annete, anda bisa hubungi saya jika ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut." "Aku ingin re-branding ini berjalan secepatnya," ungkap Max, mengangkat kaki ke atas meja pertemuan tanpa merasa harus bersikap sopan. "Baik, anda bisa segera kirimkan daftar target dan latar belakang Max's Coffe Shop agar ti
"Bunuh Maxime," ucap Liam telak. "Tunggu sebentar, jadi Maxime menyewa lima pembunuh bayaran langsung dari Narcist untuk mencelakai Lawrence?" Davine sontak menggebrak meja, tidak cukup percaya untuk mencerna informasi yang baru diterima, "Jadi dia sungguh melakukan itu untuk Elia?" "Ku rasa begitu." Liam meneguk alkohol dalam gelas kecil yang dituangkan oleh seorang bartender. Meski berada di bar yang ramai akan pengunjung, tidak ada kekhawatiran sedikitpun antara pembicaraan keduanya, para manusia bar selalu sibuk dengan diri sendiri tanpa mau mencampuri urusan orang lain, "Aku tak mau Lawrence mati, maka bunuh Maxime secepatnya agar permintaan ini tidak bisa diproses. Bagaimanapun aku tak mungkin menolak, karena masih ada yang berkuasa di atasku. Direktur Narcist tidak akan diam saja jika tahu aku abai terhadap tawaran ini, bisa-bisa jabatanku kembali turun." "Orang itu benar-benar tidak waras, dia tidak tahu saja siapa yang jadi lawan mainnya kali ini." Davine berdecak, masih ta
"Aku harus pergi ke Narcist, jadi selesaikan tugasmu sendiri. Target orang biasa, pasti mudah untukmu melakukannya." Liam menurunkan salah seorang anak buah dari Narcist yang amat ia percayai tak jauh dari kediaman Maxime, orang itu juga menjadi bagian dari para pemberontak yang tergabung dan berpihak padanya. Pria bertudung itu mengangguk, lantas mulai menjalankan aksi usai kepergian Liam. Sementara itu, tidak jauh dari keberadaan dua pria itu, Will dan beberapa orang telah bersiaga di dalam mobil, menanti momennya tiba. Will memeriksa kondisi sekitar, "Liam sudah pergi, kalian segeralah bersiap pada posisi." Empat orang lain yang diutus Will kemudian keluar, mulai pergi ke posisi masing-masing, tepatnya mengelilingi tiap sudut rumah Max. Sedangkan William berjalan santai menuju pria suruhan Liam yang tengah berusaha membobol jendela. Saat Will menepuk pundak, pria itu seketika melotot terkejut, "Tn. Will!" "Bukankah kita seharusnya ada pertemuan, mengapa kau berada di tempat in
"Bulan madu?" Elia sontak membelalak. Law membalikkan tubuh sang istri sampai telentang, lantas menempatkan diri diatasnya dengan posisi yang sangat amat intim, "Aku juga minta maaf lagi karena sejauh ini belum berani menyentuhmu, karena dulu aku berusaha memastikan kita berdua dalam kondisi yang saling menyukai dan sama-sama menginginkan, tapi sepertinya sekarang tidak lagi, bagaimanapun kita tetaplah pasangan sah." "Aku sejujurnya juga belum siap," sembari beringsut menjauh, Elia mencoba melepaskan diri dari kungkungan Law yang terlalu dekat, bahkan tubuh mereka saling menempel dan bisa merasakan bentuk eksotis dibalik pakaian masing-masing, "Aku masih takut." "Tidak apa-apa, nyamankan dirimu saja lebih dulu." Law tampak enggan beranjak dari tempatnya. Ia justru mencekal rahang Elia, "Cium aku." Elia tidak membalas, namun juga tidak berontak lagi sampai akhirnya Law yang lebih dulu mendaratkan bibirnya. Semula hanya kecupan ringan, namun semakin lama menjadi lumatan lebih intens
"Pria di depan." Max menahan pintu saat Law akan masuk ke kursi belakang bersama istrinya. Jelas, dia tidak akan sanggup melihat hal itu di depan mata. Law mencemooh, "Apakah ada aturan seperti itu saat naik mobil?" "Ini mobilku, sesuai keputusanku," ungkapnya kesal, "Lagipula perjalanannya jauh, kita harus bergantian menyetir." "Biar aku saja yang menyetir kalau begitu." Law mengalah seraya membanting pintu, "Pria sejati tidak memerlukan bantuan selagi bisa melakukannya" Dari pusat kota menuju lereng gunung memakan waktu dua jam lamanya, sehingga mereka sepakat berkendara bersama, sementara para pegawai memakai mobil travel besar untuk memudahkan perjalanan. Awalnya Max sendiri yang merekomendasikan hal itu, namun ia mulai menyesal karena harus mendengarkan kalimat-kalimat menyebalkan dari bibir Law, belum lagi ketika pria itu mulai menggoda. Dalam satu mobil tersebut—Lawrence, Maxime, Elia, dan Ann, terutama Max dan Ann hanya bisa pasrah mendengar percakapan Law yang seolah-ola
"Di mana Law? seharian aku tak bisa menghubunginya sama sekali," tanya Ann sesaat setelah memasuki ruangan paling terjaga privasinya di Narcist. Pertanyaan yang ia lontarkan pada Will, En, dan John—bagian dari orang penting Narcist yang seolah menjadi penjaga ruang tersebut, hanya sekedar basa-basi untuk membuka pembicaraan, karena keduanya terlihat sangat tenang, terlarut dalam pikiran masing-masing.Will mengangkat bahu, "Dia menyerahkan tugas kantor pada orang lain, dan tugas komunitas padaku, entah kemana orang itu.""Haruskah kita mencari tahu?" tanya En sekaligus menyampaikan pendapatnya, "Mungkin saja dia sedang menyelesaikan masalah berbahaya yang tidak bisa melibatkan kita, seperti tahun lalu di sungai idris?""Law tidak se-spontan itu, kalaupun ada masalah yang tidak bisa melibatkan kita, dia pasti berbicara sebelumnya," balas John, merasa tak ada masalah selagi Law tidak meminta bantuan darinya, "Bukan malah menghilang tiba-tiba begini."Ann menghela nafas sembari mengambil
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany