"Pernikahan paling ku hindari akhirnya tiba tak lama lagi."
Satu bulan yang dihindari terasa amat singkat, entah bagaimana Elia bisa hadir di butik khusus untuk untuk merancang busana pengantin ketika semalam ia menangis habis-habisan memikirkan masa depan yang amat mengerikan.
"Ibu, kalau boleh jujur aku tidak ingin hidup, aku benci dilahirkan sebagai keluarga ini, maafkan aku bu."
Elia hampir menangis lagi saat melihat tubuhnya dari pantulan cermin—mengenakan gaun putih tulang lengkap aksesoris sederhana seperti tiara perak.
Di belakangnya, Lawrence tersenyum melihat pantulan tubuhnya sendiri yang dibalut tuxedo putih berpadu celana bahan warna senada. Elia sedikit heran, pria itu terlihat lebih mengagumi dan memperhatikan diri sendiri ketimbang calon pengantinnya—meski Elia tak berharap hal itu terjadi pula. Hanya saja sikap Law sedikit aneh.
Kebanyakan pria tak akan berhenti memuji, mengagumi, dan merayu pasangannya ketika sedang berpenampilan bak bidadari. Lawrence benar-benar tidak terduga.
"Oh, siapa peri yang berdiri di sini, aku tak menyadarinya sejak tadi."
Elia mendadak tegang ketika dihampiri, padahal ia tadi sudah seperti wanita gila yang minta diperhatikan. Lawrence ternyata memujinya, malu sekali karena sudah salah paham.
"Kau suka gaunnya?"
"Su-suka," suaranya bergetar gugup.
"Kalau begitu kita ambil ini saja, atau mau mencoba yang lain dulu?"
Elia spontan menggeleng, "Tidak perlu, ini saja sudah bagus."
"Aneh sekali, biasanya perempuan antusias jika diajak membeli pakaian dan heboh ketika memilihnya."
"Aku cuma... sudah suka yang ini."
Lawrence mengangguk, tak mau memperpanjang masalah karena tahu gadis itu sedang tidak baik-baik saja, "Baiklah, kita ambil gaun itu. Setelah ini mau pergi kemana?"
"Pulang."
"Pulang?" tanyanya kebingungan.
"Aku lelah."
Lawrence tanpa membantah, menyangkal, atau menahan, langsung menyetujuinya, "Oke, kita pulang."
•••
Usai mengunjungi butik, mereka sampai di rumah pukul delapan malam. Masih terlalu awal untuk ukuran pasangan yang sedang menghabiskan waktu bersama. Namun Elia tak peduli, dipasangnya selimut rapat-rapat ke sekujur tubuh hingga menutupi kepala.
Di dalam kegelapan ruang kamar tanpa cahaya, ditambah tertutup selimut tebal. Ia mulai merasakan jantungnya berdegup kencang—perlahan rasa sakit seperti ditusuk muncul. Reaksi berlebihan yang tubuhnya rasakan ketika merasa sedih dan gelisah.
Elia meremat telapak tangannya ketika rasa sakit mulai menjalar kemana-mana, bahkan salah satu lengan sampai tak dapat digerakkan karena terlalu nyeri.
Entah penyakit seperti apa yang diderita, tapi tubuh Elia selalu merasakan hal yang sama apabila perasaannya tengah kacau.
Gadis itu menumpahkan tangisnya dalam diam, meratapi bayang-bayang potongan kejadian menyedihkan yang tidak diharapkan, namun terus terlintas di kepala.
Kenapa ia harus lahir di keluarga tak normal? Mengapa keluarganya justru memperlakukannya seperti boneka yang hidup diatur sesuka hati? dan mengapa seluruh kegiatan penting dalam hidupnya seakan cuma permainan semata, seperti pernikahan kali ini...
Liam benar-benar memanfaatkan keberadaan anak perempuannya, dengan sangat berguna membantu mewujudkan pencapaian.
Apalagi anak perempuan itu cenderung penurut dan mudah ditaklukan atau ditakut-takuti. Satu-satunya senjata yang biasa digunakan Liam adalah ancaman. Sehingga tanpa sadar ia harus merusak mental Elia terlebih dahulu.
Liam sama sekali tidak tahu masalah mental putrinya. Walau Elia pun tidak berusaha menutup rapat.
Pria itu hanya menganggap pencari perhatian belaka untuk mendapat perhatian dan rasa kasihan.
"Berhenti menangis dan temani Law di luar," selimutnya ditarik, lampu pun menyala terang, memperlihatkan wajah Elia yang sembab, memerah, dan membengkak.
Tanpa bantahan, gadis itu beranjak berdiri sembari mengusap wajah. Ia hampir lupa kalau Lawrence masih ada di sini, dan tentunya tidak akan segera pergi sebelum mendapat obrolan dengan dirinya terlebih dulu.
Liam memandang datar pada bagian tubuh belakang putrinya yang berbalut gaun tanpa lengan dan lingkar dada rendah, di sana banyak memar dan bekas luka yang masih basah ataupun sudah kering. Ia ingat sekali beberapa hari lalu gadis itu jadi pelampiasan kemarahan Davine—ketika dia berusaha keras menolak pernikahannya dengan Lawrence.
Kondisi tubuhnya amat memprihatinkan.
Liam pun melempar jubahnya, mengenai kepala Elia—gadis itu langsung mengenakannya tanpa banyak bicara dan segera turun ke ruang tamu, setelah membasuh wajah untuk menghapus raut menyedihkannya.
"Law, maaf. Aku terlalu lelah sampai ketiduran saat ganti baju."
"Tidak apa-apa, Elia. Kalau lelah kembalilah tidur, aku masih di sini untuk mengobrol dengan ayahmu."
Elia memandang sekeliling sejenak, sebelum menarik Lawrence pergi menuju halaman belakang rumah. Tak banyak benda di sana, hanya ada padang rumput dikelilingi tanaman hias dan satu bangku taman menghadap ke kolam ikan dengan air mancur kecil. Dari tempat ini, Elia bisa melihat Liam mengawasi di lantai atas.
Ia berusaha abai dan lebih memperhatikan Law yang mengajaknya bicara.
"Kira-kira apa harapanmu kalau kita sudah menikah?"
"Hidup bahagia dan tidak banyak masalah. Ku harap kita bisa saling membantu apapun yang terjadi," balasnya spontan.
Lawrence tertawa, "Suka duka bersama, ya..."
Gadis itu sontak membalasnya ketus, "Maaf kalau aku bicara begini, tapi sepertinya kau bukan tipe orang yang bisa mengabulkan harapanku. Apa tebakanku benar?"
"Bicara apa kau ini, susah ataupun mudah, aku akan berusaha ikut mewujudkannya untukmu."
Elia makin memancing, "Bagaimana kalau suatu saat ada masalah di atara kita. Apa yang akan kau lakukan?"
Law tak langsung menjawab, dia justru balik bertanya, "Kau sendiri, bagaimana jawabanmu?"
"Aku... akan mencoba berdamai denganmu," nada bicara Elia terdengar tak meyakinkan.
"Kalau begitu jawabanku sama."
"Bagaimana jika masalahnya amat besar, sampai membuatmu kecewa berat padaku?"
"Aku akan tetap mencintaimu," pria itu mengalihkan pandangannya, tepat ke arah pandangan mata gadis yang berada tepat disampingnya. Pertemuan dua ikatan mata yang saling bertentangan, di mana si pria memiliki ambisi dan keinginan besar, sementara si wanita hanya menunjukkan harapan dan satu persen permintaan pertolongan.
Omong kosong, mustahil, keberadaannya di sini sebagai penghancur tak terdeteksi di kehidupan normal Lawrence. Sudah dapat dipastikan, jika semua keinginan Liam terencana, Elia akan jadi korban paling menyedihkan. Ia tidak akan diterima lagi oleh Law, lantas menyandang status janda muda setelah itu. Masa depannya yang dibayangkan indah, telah hancur dalam sesaat.
Elia tidak bisa membayangkan apakah Maxime masih bisa menjadi harapan jika kehidupannya saja terekspos kacau.
Tidak, Maxime orang baik yang juga pantas mendapat wanita baik pula.
"Tidak akan meninggalkanku?" gadis tu mengulang lagi ucapan Law.
"Tentu tidak, tapi kita akan sedikit memberi ruang pada masing-masing seiring masalahnya terselesaikan. Mana mungkin langsung berpisah 'kan, kita harus berpikir kedepannya karena barangkali ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan seperti anak misalnya."
Elia seketika menunduk, matanya terpejam. Seluruh kalimat itu terdengar amat tulus dan bijaksana, membuatnya merasa sangat bersalah karena orang sebaik Lawrence harus jadi korban jebakan Liam. Ia melirik pria itu dari ujung mata, rasa iba mendadak muncul menguasa pikiran dan perasaan, 'Aku takut terlalu percaya padamu, Law. Aku takut kalau akan jatuh cinta sungguhan padamu. Karena akhirnya kau pasti tetap membenciku.'
"Aku mengerti, pernikahan kita ini sebenarnya tidak murni saling suka. Di matamu ini pasti serupa perjodohan," ungkap Lawrence—dia sepertinya menyadari keterpaksaan yang di alami Elia, dan tak perlu di tebak pun gadis itu sudah menunjukkan secara terang-terangan, "Tapi aku berjanji akan membuatmu seperti ratu, kebahagiaanmu selalu terjamin."
Elia segera menggeleng, "Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu, aku juga mencintaimu, aku sama sekali tidak terbebani atapun terpaksa."
Pria itu justru tertawa, "Apa itu sungguhan?"
"Iya."
"Aku tidak melihat senyum ketulusan sama sekali." Lawrence menuding pipinya," kalau begitu beri aku hadiah kecil."
"Ti-tidak di sini!" Elia mendadak panik setelah beberapa saat dibuat kebingungan oleh 'kode' aneh itu.
"Kenapa? sedang sepi, tidak ada orang sama sekali." Lawrence memperlihatkannya pada sekeliling. Sosok Liam pun sudah tidak berdiri di depan jendela lantai atas.
"Nanti saja."
"Ayolah, hanya satu detik, setelah itu aku akan pergi," rayu Law.
"Belum saatnya."
Belum menyerah, pria itu malah mencondongkan tubuhnya, "Kalau begitu haruskah aku yang men—"
Elia yang panik sontak menangkup kedua sisi wajah Law, seperti kecepatan kilat ia memberi sentuhan bibir tepat ke permukaan kulit pipinya. Hanya berlangsung kurang dari satu detik, mungkin.
"Su-sudah, pu-pulang sana," pipinya mulai bersemu kemerahan, tanpa pikir panjang Elia segera berlari pergi meninggalkan Lawrence yang tersenyum puas.
"Mencoba menjebakku, tapi kau juga perlahan berjalan menuju jurang, sayang..."
To Be Continued...
Lawrence Rollan—pria itu tumbuh sedari kecil bersama keluarga asuh, berasal dari panti asuhan dan menjadi salah satu anak beruntung yang di angkat oleh keluarga kaya nan terpandang. Dididik menjadi lelaki berpendidikan dan penuh wibawa, menjadikannya sosok hebat diusia muda. Menjadi motivasi banyak orang, sehingga perlahan nama baiknya melambung populer di kalangan segala usia terutama anak muda. Sayang beberapa tahun lalu, kedua orang tua asuh Lawrence mengalami kecakaan lalu lintas yang mengakibatkan tragedi kematian, membuatnya kembali sebatang kara di dunia yang memandangnya sempurna. Tn. Rollan sepenuhnya memberikan kepemilikan atau warisan kepada Law karena tidak memiliki keturunan. Surat wasiat juga sudah disiapkan sejak lama, jauh sebelum tragedi kecelakaan terjadi. Aset rumah, tanah, apartemen, hotel, hingga perusahaan, kini telah menjadi milik Law sepenuhnya, ditambah ia memiliki company sendiri yang sudah berdiri sejak Tn. Rollan masih hidup. Perusahaan yang Lawrence pi
"Pernikahanmu dua jam lagi, bersiaplah." "Pastikan saja pengantinku agar tidak bertindak sembarangan menuju detik-detik hari kebahagiaannya." Lawrence tersenyum sinis, mulai merapikan surai hitamnya yang disisir rapi ke belakang. Belum sepenuhnya matahari terbit, belum pula cahaya bulan menghilang, pria itu sudah siap dengan pakaian formal berupa kemeja hitam berbalut tuxedo putih dan celana bahan warna senada. Terlalu awal untuk berias sebenarnya. Dia begitu sibuk merapikan penampilan dari ujung rambut sampai pangkal kaki agar terlihat sempurna dihadapan banyak orang pada hari pernikahan yang sakral ini. Will menyanggah, "Kalian sudah mulai dekat, apa itu masih belum meyakinkanmu kalau Elia bisa saja kabur?" "Kalaupun dia ingin kabur, itu hanya angan-angan semata, dia tidak akan pernah bisa membatalkan pernikahan ini, keadaannya terpojok." Law menoleh, tak sengaja mendapati raut buruk yang terpatri di wajah remaja muda itu, "Kau kenapa Will?" "Hanya prihatin pada Elia." Will meng
"Akhirnya selesai juga," helaan napas terdengar, begitu dasi yang melilit leher dilonggarkan beserta beberapa kancing kemeja bagian atas dilepas. Law memandang pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan bangga, "Aku muak berlama-lama di tempat itu. Menunjukkan senyum palsu dan menyambut orang asing adalah kegiatan paling menyebalkan di dunia." "Hanya karena tak betah di acara pernikahanmu sendiri, kau sampai membakar gedung dan membayar ganti ruginya sendiri, dasar gila," komentar Will. Keduanya kini tengah berada di rumah Lawrence, setelah insiden kebakaran besar tadi, ia segera memboyong orang-orang terdekat ke rumahnya, termasuk Elia beserta keluarga Carter. "Dari pada berkomentar tidak jelas, kenapa kau tak ambilkan istriku air dingin dan tenangkan dia." Will menyela tidak setuju, "Tunggu, itu harusnya kewajibanmu." Sontak, Law membalasnya dengan nada bantahan, "Kau berani menyuruhku?" "Lakukan kegiatan heroik di saat seperti ini, Elia pasti sangat terpuruk karena kegaga
19 tahun lalu "Selamat ulang tahun Nathan, semoga panjang umur," sebuah kue tiga tumpuk persegi dengan lilin berbentuk angka tujuh muncul sesaat setelah seorang anak lelaki memejamkan mata dengan erat. Kedua orang tuanya kompak melantunkan nyanyian ulang tahun khas anak-anak. Meski malam itu tengah hujan deras, sesekali disertai petir, sama sekali tidak menghalangi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Seorang anak perempuan yang lebih kecil berusaha mendekati kue milik sang kakak, "Aku mau tiup lilin!" Sang ibu langsung menengahi, "Tiup bersama-sama dengan kakak ya, ayo kita hitung, satu... dua... tiga..." Api kecil itu pun padam. "Nathan sekarang sudah tujuh tahun, mau hadiah apa dari ayah dan ibu?" pria baya itu mengusap kepala putra sulungnya dengan lembut. Nathan tampak berpikir sejenak, ia sudah punya segala hal tanpa meminta dibelikan, tidak ada lagi benda yang diinginkan. Namun saat melihat riak air dari akuarium ikan di sudut kamar, ia teringat sesuatu, "Ayah berjanji me
"Elia memasang penyadap suara di kamar kalian." "Berapa banyak?" Lawrence tertawa karena sebelumnya ia juga telah memasang penyadap suara sekaligus kamera pengintai di seluruh area rumah tanpa terkecuali. Lawrence sudah menyiapkan segala hal secara terperinci karena ia tahu Liam Carter juga punya rencana yang telah disiapkan, bahkan ia meminta salah satu tangan kanannya yaitu Enrique atau yang kerap dipanggil En untuk selalu memantau pergerakan Elia yang dirasa mencurigakan. Seperti saat ini, En tengah memantau Elia lewat kamera pengawas sembari melaporkan seluruh kegiatan yang mencurigakan pada Law. "Tiga, dibawah laci dekat ranjang, di belakang meja rias, dan di dalam cekungan lampu tidur." "Bagus, mari terus lihat perkembangannya kedepan, apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang Carter itu." En terus memandangi kegiatan Elia, bahkan tidak peduli ketika gadis itu mulai melepas pakaian dan menggantinya dengan handuk. Ia hanya fokus dengan apa yang diperintahkan Law, "Belum jel
"Semoga tidak terjadi apapun malam ini." Elia bergumam dalam hati sembari memejamkan mata rapat. Sejak makan malam berakhir, Lawrence tak dapat menutup matanya sedetik pun, baik tubuh maupun pikiran dibuat tidak karuhan. Matanya sesekali melirik Elia yang tidur sembari memeluk perutnya, lekuk tubuh gadis itulah yang jadi sebab ketidakfokusannya. Entah sengaja atau tidak, Elia mengenakan piyama satin warna putih yang cukup tipis, bagian-bagian tubuhnya kelihatan jelas meski bentuk pakaian itu normal. Apalagi saat tubuh mereka bersentuhan secara langsung. Sebagai pria normal, Lawrence tentu tergoda. Ia tak pernah berpikir akan sampai seperti ini efeknya terhadap sekujur tubuh. Tak buang waktu, ia segera pergi berendam air dingin, tidak peduli kalau sekarang sudah pukul satu malam. Lawrence lantas menghubungi En untuk menanyakan cara mengatasinya. Meski belum menikah, En yang merupakan penggila gadis club tentu amat mengerti masalah seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang lebih suka
"Aku sudah menikah, Maxime," ungkap Elia begitu sampai di hadapan Max. Keduanya bertemu di taman kota, tidak jauh dari coffe shop. Dahulu tempat itu juga sering didatangi keduanya, dalam kondisi perasaan yang masih indah tentunya, bukan konflik seperti saat ini. Pria itu sontak tertawa, "Aku tahu, tapi jika kau setia pada suamimu harusnya tidak perlu datang 'kan?" "Iya, tapi kedatanganku bertujuan untuk menegaskan padamu kalau aku sudah menikah, jadi ini mungkin kali terakhir kita bertemu diam-diam begini." Elia menggelengkan kepala dengan wajah memohon, sungguh hal ini juga berat baginya, "Jangan menggangguku lagi." Max menghentikan tawanya, sembari melirik sinis, "Aku tidak percaya kau akan mengatakan hal itu padaku, padahal dulu kita romantis sekali." Elia berdecak, tidak suka membahas masa-masa indah yang hanya singgah sebentar dalam hidupnya, karena itu hanya menyisakan memori menyakitkan yang sebenarnya tidak ingin dilupakan, "Langsung saja, apa yang mau kau jelaskan?" Sebe
"Selamat pagi, Maxime Millian, owner Max's Coffe Shop," pria itu, Max, mengulurkan tangannya sesaat setelah direktur perusahaan datang—yang tak lain ialah suami dari mantan kekasihnya sendiri. "Lawrence," balasnya singkat, tanpa berniat membalas jabatan tangan, "Mungkin diantara kita terselimuti rasa benci satu sama lain, tapi ku harap profesionalisme terus berjalan bagaimana semestinypa. Anda mengerti 'kan maksudku?" Max tersenyum miring sembari mengangkat tangan yang mendapati penolakan, "Tentu saja, aku tak ingin melibatkan perihal asmara ke dalam bisnis." Namun Ann menggantikan posisi Law sengan segera memabalas jabatan tangan Max dengan sopan sebagaimana pekerjaannya berlaku, "Annete, anda bisa hubungi saya jika ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut." "Aku ingin re-branding ini berjalan secepatnya," ungkap Max, mengangkat kaki ke atas meja pertemuan tanpa merasa harus bersikap sopan. "Baik, anda bisa segera kirimkan daftar target dan latar belakang Max's Coffe Shop agar ti
"Di mana Law? seharian aku tak bisa menghubunginya sama sekali," tanya Ann sesaat setelah memasuki ruangan paling terjaga privasinya di Narcist. Pertanyaan yang ia lontarkan pada Will, En, dan John—bagian dari orang penting Narcist yang seolah menjadi penjaga ruang tersebut, hanya sekedar basa-basi untuk membuka pembicaraan, karena keduanya terlihat sangat tenang, terlarut dalam pikiran masing-masing.Will mengangkat bahu, "Dia menyerahkan tugas kantor pada orang lain, dan tugas komunitas padaku, entah kemana orang itu.""Haruskah kita mencari tahu?" tanya En sekaligus menyampaikan pendapatnya, "Mungkin saja dia sedang menyelesaikan masalah berbahaya yang tidak bisa melibatkan kita, seperti tahun lalu di sungai idris?""Law tidak se-spontan itu, kalaupun ada masalah yang tidak bisa melibatkan kita, dia pasti berbicara sebelumnya," balas John, merasa tak ada masalah selagi Law tidak meminta bantuan darinya, "Bukan malah menghilang tiba-tiba begini."Ann menghela nafas sembari mengambil
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany