Yulia berdiri cukup lama di depan pintu kamar cucian, cukup untuk menyimpulkan bahwa Minah berbahaya baginya. Awalnya, ia ingin meminta tolong Minah membuat secangkir kopi pahit untuknya karena sakit kepala tiba-tiba menyerangnya setelah bertengkar dengan Elia. Tapi, apa yang didengarnya dari balik pintu, nyatanya mampu menyembuhkan sakit kepalanya.
Dibukanya pintu kamar dengan keras.
“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” hardik Yulia. Hatinya bersorak, manakala melihat wajah pias Minah dan gurat kejengkelan adik tirinya. “Lho, malah bengong. Lagi main petak umpet? Kok cuman berdua, kurang seru, dong. Ikutan, boleh gak?”
Tanpa bicara, Elia mendorong bahu Yulia dengan kesal agar perempuan itu menyingkir dari jalan dan membiarkannya keluar ruangan. Minah bermaksud mengekor Elia, tapi lengan Yulia mencekalya.
“Bik Minah, tolong buatin kopi pahit, dong,” pinta Yulia dengan nada lembut yang dibuat-buat tertuju pada Minah, sedang matanya mengiring kepergian Elia.
Setelah memastikan Elia masuk ke dalam rumah utama, Yulia berpaling menatap Minah dengan mata mendelik marah.
“Heh, bacot! Mau lapor apa kamu ke Elia, hah?! Mau aku kirim pulang seperti adikmu?!” desis Yulia geram.
“A-ampun, Neng. Bibik bukannya mau lapor, hanya menjawab pertanyaan Neng Elia. Kasihan, Neng.” Minah menjawab terbata dengan kepala menunduk, menghindari tatapan tajam Yulia.
“Kasihan, kasihan, apaan?! Pikir aja nasib keluargamu sendiri, kalau sampai kamu juga pulang kampung. Kasihan mana, Elia atau mereka?”
Remasan kuat jemari Minah, sudah cukup memberi Yulia jawaban.
“Bagus! Jangan sampai lupa kalau bapakmu di kampung harus cuci darah tiga kali seminggu!” tegas Yulia seraya mengacungkan tangan kanannya dengan jari manis dan kelingking menekuk ke dalam.
Minah tidak bisa berkata-kata, hanya mengangguk pasrah.
“Oke. Aku anggap tidak melihat dan mendengar kejadian barusan.” Yulia meremas kedua bahu Minah. “Sekarang, tolong buatkan saya kopi hitam pekat tanpa gula, bisa?” pinta Yulia lembut sarat kepura-puraan.
***
Kantin Fakultas Kedokteran
Sepiring gado-gado menjadi korban kegalauan Elia. Jemari rampingnya terus bergerak mengaduk bumbu kacang, telur rebus, kentang serta berbagai olahan daging ayam yang terbungkus tahu putih, pare dan kulit pangsit. Di depannya, gadis seusianya berpenampilan culun lengkap dengan kacamata bulat berlensa besar menggoyangkan dua kuncir kudanya melihat kelakuan sang sahabat.
“Astaga … El! Bentar lagi, itu gado-gado berubah jadi bubur kacang semua!” tegur Shinta.
Elia masih melanjutkan kegiatannya, seolah tidak mendengar teguran sahabatnya.
“El, Elia! Hellow ….” Shinta melambaikan tangannya di depan wajah Elia. “Whoi!”
Tang!
Elia menjatuhkan sendok di tangannya dan mengerjap kaget karena hardikan Shinta.
“Astaga … apaan, sih?!” sungut Elia kesal.
“Apaan, sih. Harusnya gue yang ngomong gitu. Tuh, gado-gadonya udah cair, siap diminum!” balas Shinta tak kalah kesal.
Elia terbeliak melihat kondisi gado-gado di piringnya. “Ini ulah gue?” tanyanya ragu.
“Bukaaannn! Sendok garpu pelakunya.” Bibir Shinta seketika manyun mendengar pertanyaan konyol mahasiswa terpintar di angkatannya. “Lu napa, sih? Bengong mulu. Kena panah si Ciprut?”
Cebikan Elia membuat Shinta terbahak sambil menahan gagang bagian tengah kacamatanya agar tidak merosot.
“Panah Ciprut, apaan?”
Shinta masih saja tertawa.
“Shin, lu tau gak, Rafi i-ship di mana?” tanya Elia polos.
Tawa Shinta makin menjadi.
Kening Elia mengkerut karena respon sahabatnya. “Ehh … ditanya bukannya jawab, malah ngakak! Gue serius ini!”
Shinta membekap mulutnya agar tawanya berhenti. Dibutuhkan sebuah tatapan tajam bak pedang untuk membuat Shinta berhenti tertawa. Gadis berkacamata itu mengangkat kedua tangannya tanda setuju bekerja sama.
“Oke, serius.” Shinta mengambil selembar tisu untuk mengelap sudut matanya yang basah. “For your information, ya. Rafi itu udah lulus, Jeng. Dia sekarang udah jadi dokter magang di rumah sakit bapaknya. Keren, lho, dia.” Shinta memainkan kedua alisnya seraya mengulum senyum.
“Medistra, bukan?” tanya Elia memastikan.
“Yups! Betul banget.” Shinta mengacungkan dua jempolnya bersamaan. “Gue gak nyangka, diem-diem, ternyata lu perhatian juga.”
“Sial!”
Elia meraih tas ransel dan ponselnya. “Tolong, bayarin dulu, ya. Bye.”
Shinta hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Elia yang belum pernah dilihatnya.
“Hmm, cinta memang bisa merubah segalanya,” desah Shinta sendu.
***
IGD Rumah Sakit Medistra
Elia memarkir motornya dengan tergesa. Ia tidak sabar bertemu Rafi dan memastikan sesuatu. Kaki jenjangnya setengah berlari memasuki pintu IGD sebuah rumah sakit besar di kotanya.
“Permisi, Sus. Bisa saya bertemu dengan dokter Rafi?” tanya Elia saat mencapai meja perawat.
Alih-alih menjawab, dua suster yang kebetulan sedang bertugas, saling pandang.
“Sus, bisa saya bertemu dokter Rafi?” ulang Elia.
“El,” sapa sebuah suara bariton dari balik punggung Elia, membuat gadis itu menoleh cepat ke arah suara.
“Raf …,” balas Elia dengan suara yang tiba-tiba bergetar.
Entah kenapa, emosi Elia menjadi tidak terkontrol saat matanya bertemu mata bening Rafi yang begitu intens menatapnya. Seluruh wajahnya mendadak menghangat, pandangannya buram.
“El?” tegur Rafi cemas manakala melihat Elia limbung.
Bruk.
Elia pingsan. Beruntung, dua lengan kokoh Rafi berhasil menangkap tubuhnya tepat sebelum gadis itu ambruk ke belakang.
“El, Elia!” Rafi menoleh cepat ke meja perawat. “Bantuin, Sus!”
Satu Jam Kemudian
Aroma antiseptik membuat Elia sadar bahwa ia masih berada di rumah sakit. Lengan kanannya terangkat ke atas dahi, menghalangi sinar lampu yang menusuk pupilnya.
“Kamu sudah sadar, El?”
Elia meneleng ke kanan mendengar teguran Rafi. Senyum lemah tersungging di bibirnya.
“Mau aku ambilkan sesuatu, El?”
Gadis itu menghela napas dalam sebelum menarik tubuhnya bangun. Ia duduk di tepi ranjang dengan kaki menggantung.
“Minum,” jawab Elia singkat.
Jari panjang dan kokoh meraih gelas kaca bening dari atas meja pasien dan mengisi setengahnya dengan air. Tak lama, isi gelas itu sudah berpindah ke dalam lambung Elia.
Hening.
Rafi hanya berani menatap jemari Elia yang menggenggam erat gelas pemberiannya. Ia khawatir, kegugupannya akan mudah diketahui Elia bila ia terlalu banyak bersuara.
“Hmm …,”
Gumaman Elia membuat Rafi mendongak.
“Kenapa, El? Ada yang tidak nyaman?” tanya Rafi cemas.
Elia menggeleng. “Aku datang ke sini untuk meminta bantuanmu, Raf.”
“Katakan saja.” Rafi menegakkan punggungnya.
“Aku ingin melihat rekam medis ayahku, Surya Wijaya. Seminggu lalu, ia meninggal di sini,” tukas Elia jujur.
Rafi terperanjat mendengar permintaan Elia. Ia tidak menduga, ayah gadis pujaannya meninggal di sini, rumah sakit tempatnya magang, tanpa ia tahu.
“Ayahmu meninggal di sini? Kapan? Causa?”
Elia tersenyum getir. “Aku rasa, kita akan tahu pasti penyebab kematiannya, setelah membaca rekam medisnya.”
Rasa malu membuat wajah Rafi terasa panas. Pertanyaan itu tentu terdengar konyol di telinga Elia, terlihat dari cara gadis itu menjawab.
“Ehem! Kamu tentu tahu, rekam medis tidak bisa dengan mudah diakses meskipun oleh anggota keluarga, kecuali untuk alasan pemeriksaan kepolisian atau pengajuan klaim asuransi,” balas Rafi diplomatis.
“Ya, aku tahu. Itu sebabnya, aku datang meminta bantuanmu. Aku dengar dari Shinta, kamu anak pemilik rumah sakit. Betul?”
Rafi terdiam sejenak. Dahinya berkerut mencari jalan keluar. Putra pemilik rumah sakit, tidak berarti membuatnya bisa bertindak sesuka hati.
“Hmm, kamu tunggu sini. Aku akan pinjam laporan harian perawat jaga IGD.” Rafi bergegas keluar tanpa menunggu persetujuan Elia.
“Makasih,” lirih Elia, yang sepertinya tidak sempat Rafi dengar.
****
Elia membaca dengan cermat laporan singkat pemeriksaan perawat dan dokter, matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada hari di mana ia mendapat telepon dari Rossa yang mengabarkan bahwa ayahnya sedang dirawat karena serangan jantung.“El,” panggil Rafi membuyarkan lamunan gadis itu.“Hmm?” Elia mendongak sambil mengusap matanya yang basah.“Kamu baik-baik saja, El?”Air mata Elia luruh. “Jadi, ayahku DOA (Death on Arrival), Raf? Dia tidak sempat mendapatkan pertolongan? Dia meninggal dalam perjalanan?” cecar Elia sambil terisak.Rafi memegang bahu Elia agar gadis itu tenang. “Menurut perawat yang bertugas hari itu, ayahmu datang dalam kondisi cardiac arrest (henti jantung). Sudah dilakukan pertolongan pertama, tapi jantungnya tidak merespon. Kesimpulan dokter jaga DOA karena akralnya masih hangat.”Pernyataan Rafi membuat Elia tergugu. Pasalnya, semua itu berbeda dengan apa yang Yulia ceritakan padanya.‘Ayah bukan tipe pasien yang tidak patuh. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengalam
“Bodoh, bodoh!” umpat Elia di sela isakan di atas skuternya.Panik, mengacaukan otaknya dan menurunkan kecerdasannya. Bukan karena sedih air matanya tidak berhenti mengalir, tapi karena gumpalan amarah yang tidak bisa ia luapkan. Elia memacu pelan motornya yang nyaris tenggelam dalam muatan.“Aku harus pergi ke mana?” lirihnya sendu. “Harusnya tadi aku berkeras untuk tinggal. Toh, itu rumah milik orang tuaku. Bodoh kamu, El!” umpatnya penuh sesal.Drtt … drtt ….Elia meminggirkan motornya. Shinta calling ….“Halo,” jawab Elia menahan tangis.[El, lu kenapa? Kok suaranya gitu? Nangis, ya?] cecar Shinta dari seberang.“Eh, nggak. Lagi serak aja,” kilah Elia menahan napas.[Mau minta tolong, dong. Bisa gak temenin gue tidur apartemen? Gue abis berantem ma bokap.]“Astaga … kenapa lagi, sih?!” Tangis Elia teralihkan mendengar cerita sahabatnya.[Reval barusan nelfon gue. Dia bilang, dia lihat bokap gue gandengan ma cewek cantik di depan lift apartemen. Malam ini, gue harus tidur sana supa
“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di te
“AAA …!” Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar. Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu. “Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap. “Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya. Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya. ‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada ke
Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”
Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan