Share

Dari Pegawai Jadi Mempelai
Dari Pegawai Jadi Mempelai
Author: Selene21

Bab 1

Author: Selene21
last update Last Updated: 2024-01-22 09:37:06

“PERGI KAMU DARI SINI!”

Elia terbeliak mendengar bentakan saudara tirinya. “Apa katamu?” tanya Elia tak percaya. “Pergi?” Posisi Elia yang sedang duduk, membuatnya terpaksa mendongak menatap wajah sinis di hadapannya.

“Ya, pergi dari sini!” ulang wanita yang usianya terpaut beberapa tahun di atas Elia itu.

“Hahaha … sepertinya kamu lupa siapa pemilik rumah ini.” Elia tersenyum miring melihat kekonyolan saudarinya, Yulia.

“Kemarin, rumah ini masih milikmu, tapi sekarang ….”

Dengan penuh percaya diri, Yulia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya dan melambaikannya di udara, tepat di depan wajah Elia. “Tidak lagi, Nona!” tandas Yulia seraya melepas kertas di tangannya di atas kepala Elia. “Baca itu baik-baik.”

Tanpa melepas pandangannya dari wajah sombong Yulia, Elia meraih kertas yang jatuh di sampingnya. Dibacanya deret kalimat yang tertera dengan cermat, seperti permintaan Yulia. Perlahan, kepalanya menggeleng dan bibirnya menggumam, seiring seulas senyum kemenangan yang terbit di bibir Yulia.

“Apa-apaan ini?!” protes Elia marah. “Jangan kau pikir bisa membodohiku, Yul! Apa yang sudah kau lakukan dengan surat wasiat ayah, hah?!”

“Aku hanya membawakannya lebih cepat satu hari untukmu, Adikku. Supaya kau bisa berkemas dan pergi dari sini, malam ini!” ucap Yulia seraya merundukkan wajah sinisnya sejajar dengan wajah Elia yang duduk di sofa.

“Dengan surat ini, aku bisa mengusirmu dari rumah kalau kau tetap menolak untuk angkat kaki,” bisik Yulia.

Bug.

Elia mendorong bahu Yulia menjauh dari hadapannya. “Aku tidak akan pergi dari sini. Ini rumah keluargaku!” tegas Elia marah. “Aku akan cari tahu apa yang sudah kau lakukan dengan surat wasiat itu. Lihat saja.” Elia bangkit dari sofa, menatap Yulia dan ibunya—yang sejak tadi hanya duduk diam—bergantian. “Sampai mati pun, aku tidak akan pergi dari rumah ini!”

Elia melangkah lebar menuju tangga yang mengantarnya ke depan pintu kamar. Dibantingnya pintu besar itu sekuat tenaga hingga berdebum keras. Tak kalah kerasnya, Elia membanting tubuhnya di ranjang.

“Yah, mereka sudah terang-terangan menindasku. Bantu El, Yah.” Elia memejamkan matanya yang mendadak panas. Desahan panjang dan dalam lolos dari bibir cantiknya bersamaan dua bulir bening dari kedua sudut matanya.

Baru genap tujuh hari meninggalnya Surya—ayah kandung Elia—, belum reda kesedihan karena kehilangan sosok cinta pertamanya, Elia dihadapkan pada kesedihan lain yang ditimbulkan oleh saudara dan ibu tirinya.

“Kau harus kuat, El! Hanya tersisa kau sendiri sekarang, jangan lemah!” ucap Elia menyemangati diri.

Hening sejenak, sebelum tiba-tiba Elia duduk di tepi ranjang dengan dahi berkerut. Gadis cantik berlesung pipi itu mencoba mengingat sesuatu yang sepertinya terlepas dari pengamatannya.

“Tunggu … sebelum ayah dinyatakan meninggal, bukannya Tante Rossa bilang ayah sempat pingsan di rumah?” Elia bergumam.

Sejurus kemudian, Elia sudah melesat keluar dari kamarnya menuju halaman belakang. Sepi. Sosok yang dicarinya tidak berada di sana.

“Pak Ujang!” panggil Elia dengan pandangan berkeliling.

Tidak ada jawaban.

“Pak Ujang!”

“Ya, Neng.” Seorang wanita usia pertengahan abad, berlari kecil menghampiri Elia. “Nyariin pak Ujang, ya?”

“Bik, mana Pak Ujang?” tanya Elia antusias.

“Lho, ‘kan disuruh Neng Yulia pulang kampung, Neng?” bingung Minah.

“Pulang kampung? Kapan? Ngapain?” cecar Elia mulai kesal.

Dengan tatapan bingung, Minah berkata, “Bapak yang minta pak Ujang pulang kampung untuk mengerjakan sesuatu. Kebetulan, kemarin Neng Yulia ingat—.”

“Bik, Elia mau tanya,” potong Elia cepat. “Apa Bik Minah tahu kenapa ayah bisa serangan jantung?” tanya Elia tanpa basa-basi.

Mendengar pertanyaan Elia, sontak Minah celingukan melihat sekeliling. “Neng, kita bicara di tempat lain saja. Takut ada yang dengar.”

Makin curigalah Elia.

Minah menarik tangan Elia agar mengikutinya menuju kamar cucian. Merasa belum cukup aman, Minah menutup pintu kamar dan melepaskan pengikat gorden.

“Ada apa, sih? Memang perlu sampai begini, ya?” Elia semakin bingung melihat tingkah Minah.

“Shh, bibik hanya takut kalau ada yang mendengar pembicaraan kita.”

Tingkah Minah membuat Elia teringat pada salah satu judul film komedi yang sering ditontonnya bersama Surya sejak ia kecil hingga dewasa, tentang tiga sahabat kocak yang tidak pernah lepas dari petualangan bersama wanita cantik dan seksi.

“Apaan, sih?! Jadi mirip Kasino.”

“Ehh, serius ini, Neng. Kalau sampai Neng Yulia atau ibu sampai dengar, bisa gawat.” Minah masih terus bersikap misterius yang terlihat semakin konyol di mata Elia.

“Oke.” Elia memegang kedua bahu Minah agar wanita itu menjadi tenang. “Sekarang, katakan apa yang terjadi hari itu.”

Minah mendekatkan wajahnya pada Elia dan berbisik, “Bapak pingsan setelah bertengkar dengan Neng Yulia.”

Elia terbeliak kaget. Pasalnya, baik Yulia atau Rossa tidak ada yang memberitahunya kejadian yang sebenarnya. Tentu saja mereka bungkam, karena ternyata kematian Surya berhubungan dengan mereka.

Ketika mendengar kabar dari Rossa bahwa ayahnya masuk rumah sakit, Elia mengira pasti telah terjadi sesuatu di rumah. Pasalnya, pagi hari sebelum Elia pergi ke kampus, Surya masih sempat bermain tenis dengan teman-temannya dan kondisinya masih prima seperti biasanya.

“Apa Bik Minah melihat atau mendengar mereka bertengkar tentang apa?” tanya Elia penasaran.

“Kalau yang pertama di ruang tamu, bibik ndak dengar, Neng. Bibik masih sibuk nyuci. Suara mesinnya berisik. Tapi, kalau yang kedua, bibik dengar sedikit.” Minah makin merendahkan suaranya.

Merasa tidak sabar, Elia melebarkan matanya. “Bisa gak, ngomong langsung? Yang lengkap, gitu. Jangan bikin penasaran gini!” kesalnya.

Minah berjingkat kaget karena teguran Elia yang dikenalnya sebagai gadis pendiam dan kalem. Ia tertunduk, merasa bersalah.

“Maafkan bibik, Neng.”

“Oke, sekarang Bik Minah bilang ke Elia yang terjadi hari itu. Lengkap dan tidak berbelit-belit.”

Minah mengangguk cepat menyadari emosi nona mudanya mulai merayap naik.

“Di ruang kerja, bapak marah lagi karena Neng Yulia tidak pulang semalaman. Pulang-pulang malah teler. Jadinya bapak marah.”

Elia menghela napas perlahan menahan amarahnya.

“Neng Yulia sempat teriak-teriak sampai bibik dengar ada suara barang pecah dari ruang kerja bapak.”

“Teriak apa, Bik?” desak Elia.

Jeglek.

“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” Yulia berdiri di ambang pintu dengan wajah menyelidik.

****

Related chapters

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 2

    Yulia berdiri cukup lama di depan pintu kamar cucian, cukup untuk menyimpulkan bahwa Minah berbahaya baginya. Awalnya, ia ingin meminta tolong Minah membuat secangkir kopi pahit untuknya karena sakit kepala tiba-tiba menyerangnya setelah bertengkar dengan Elia. Tapi, apa yang didengarnya dari balik pintu, nyatanya mampu menyembuhkan sakit kepalanya.Dibukanya pintu kamar dengan keras.“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” hardik Yulia. Hatinya bersorak, manakala melihat wajah pias Minah dan gurat kejengkelan adik tirinya. “Lho, malah bengong. Lagi main petak umpet? Kok cuman berdua, kurang seru, dong. Ikutan, boleh gak?”Tanpa bicara, Elia mendorong bahu Yulia dengan kesal agar perempuan itu menyingkir dari jalan dan membiarkannya keluar ruangan. Minah bermaksud mengekor Elia, tapi lengan Yulia mencekalya.“Bik Minah, tolong buatin kopi pahit, dong,” pinta Yulia dengan nada lembut yang dibuat-buat tertuju pada Minah, sedang matanya mengiring kepergian Elia.Setelah memastikan Elia masuk

    Last Updated : 2024-01-22
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 3

    Elia membaca dengan cermat laporan singkat pemeriksaan perawat dan dokter, matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada hari di mana ia mendapat telepon dari Rossa yang mengabarkan bahwa ayahnya sedang dirawat karena serangan jantung.“El,” panggil Rafi membuyarkan lamunan gadis itu.“Hmm?” Elia mendongak sambil mengusap matanya yang basah.“Kamu baik-baik saja, El?”Air mata Elia luruh. “Jadi, ayahku DOA (Death on Arrival), Raf? Dia tidak sempat mendapatkan pertolongan? Dia meninggal dalam perjalanan?” cecar Elia sambil terisak.Rafi memegang bahu Elia agar gadis itu tenang. “Menurut perawat yang bertugas hari itu, ayahmu datang dalam kondisi cardiac arrest (henti jantung). Sudah dilakukan pertolongan pertama, tapi jantungnya tidak merespon. Kesimpulan dokter jaga DOA karena akralnya masih hangat.”Pernyataan Rafi membuat Elia tergugu. Pasalnya, semua itu berbeda dengan apa yang Yulia ceritakan padanya.‘Ayah bukan tipe pasien yang tidak patuh. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengalam

    Last Updated : 2024-01-22
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 4

    “Bodoh, bodoh!” umpat Elia di sela isakan di atas skuternya.Panik, mengacaukan otaknya dan menurunkan kecerdasannya. Bukan karena sedih air matanya tidak berhenti mengalir, tapi karena gumpalan amarah yang tidak bisa ia luapkan. Elia memacu pelan motornya yang nyaris tenggelam dalam muatan.“Aku harus pergi ke mana?” lirihnya sendu. “Harusnya tadi aku berkeras untuk tinggal. Toh, itu rumah milik orang tuaku. Bodoh kamu, El!” umpatnya penuh sesal.Drtt … drtt ….Elia meminggirkan motornya. Shinta calling ….“Halo,” jawab Elia menahan tangis.[El, lu kenapa? Kok suaranya gitu? Nangis, ya?] cecar Shinta dari seberang.“Eh, nggak. Lagi serak aja,” kilah Elia menahan napas.[Mau minta tolong, dong. Bisa gak temenin gue tidur apartemen? Gue abis berantem ma bokap.]“Astaga … kenapa lagi, sih?!” Tangis Elia teralihkan mendengar cerita sahabatnya.[Reval barusan nelfon gue. Dia bilang, dia lihat bokap gue gandengan ma cewek cantik di depan lift apartemen. Malam ini, gue harus tidur sana supa

    Last Updated : 2024-01-22
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 5

    “Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di te

    Last Updated : 2024-01-22
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 6-1

    “AAA …!” Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar. Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu. “Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap. “Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya. Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya. ‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada ke

    Last Updated : 2024-01-31
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 6-2

    Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”

    Last Updated : 2024-01-31
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 7

    Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan

    Last Updated : 2024-02-01
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 8

    “Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka

    Last Updated : 2024-02-02

Latest chapter

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 48

    Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 47

    Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 46

    “Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 45

    “Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 44

    “Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 43

    Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 42

    “Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 41

    “Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 40

    “Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan

DMCA.com Protection Status