Sari, seorang ibu muda yang baru saja melahirkan anak keduanya, harus menghadapi suatu kondisi yang disebut Baby Blues. Membuat Sari tanpa sadar menghabisi nyawa anaknya sendiri. Lian, sang suami, bukannya mendukung agar kondisi Sari membaik, justru ia seakan membantu sang ibu untuk semakin memperburuk kondisi psikis Sari. setelah melalui badan kehidupan selama satu tahun lamanya, akhirnya, Sari menemukan kebahagiaannya sendiri tanpa Lian dan mantan keluarga suaminya itu.
View More"Sari! Gila kamu, ya?!" bentak Lian pada sang istri yang baru saja meletakkan bayinya yang baru berusia empat hari itu di dalam bak mandi berisi air dingin.
Lian lantas mengambil bayi yang menangis keras itu. Mungkin saja air sudah sedikit masuk ke dalam hidung si bayi karena ia terlihat sedikit kesulitan bernapas."Kenapa, Mas? Aku cuma mau memandikan Gavin saja, kok," jawab Sari dengan nada datar, begitu juga dengan raut wajahnya yang terlihat tak menyesali apa yang sudah ia lakukan terhadap anaknya."Ya, tapi gak dilepas gitu aja di dalam bak. Kamu mau bunuh dia?"Lian segera mengambil handuk dan membungkus tubuh sang anak dan dibawanya ke dalam kamar. Beruntung, Lian sudah bisa mengurus bayi karena dulu, saat mereka baru memiliki anak pertama, Lian juga ikut andil dalam merawat dan mengasuh bayinya.Dengan cekatan, Lian membalurkan minyak telon ke badan Gavin. Bayi itu sudah tidak menangis lagi. Dengan pengalamannya, ia berhasil memakaikan pakaian pada bayi mungil itu. Setelah diberikan susu formula, bayi Gavin mulai tertidur dan Lian menaruhnya di atas kasur mereka.Dengan perasaan yang tak keruan, Lian kembali menemui Sari yang mungkin masih berada di belakang rumah, tempat biasa mereka memandikan anak-anaknya."Apa yang kamu pikirkan, Sari? Gavin itu masih bayi, bagaimana bisa kamu menaruhnya begitu saja di dalam bak berisi air.""Aku tidak bisa memandikannya dengan bersih, Mas. Ibu bilang, mending mandi sendiri dari pada dimandikan ibu yang gak becus seperti aku. Jadi, aku membiarkan Gavin agar mandi sendiri."DeghSaat Sari menyebut kata 'Ibu', pikiran Lian kembali pada hari kemarin saat ibunya datang bersama dengan para tetangga."Sari, ini anakmu, kok, masih kotor begini? Lihat, tuh! Masih banyak kaya lemaknya gitu di badan anak kamu," cecar bu Tri --ibu mertua Sari."Ini namanya Vernix Caseosa, Bu. Kata dokter, ini normal, kok. Itu terbentuk sejak dalam kandungan, Bu. Nanti juga hilang dengan sendirinya, kok," jawab Sari lembut."Itu karena kamu bandel kalau dibilangi. Udah dibilang, kalau hamil itu, jangan makan sembarangan. Dulu, Ibu waktu hamil itu banyak pantangannya dan Ibu pasti nurut. Gak kaya kamu, ngeyelan!"Sari hanya tersenyum kecut mendengar ucapan sang ibu mertua. Sebenarnya ia cukup malu, sebab, di sana tak hanya ada mereka berdua. Tapi, ada beberapa tetangga juga yang ikut bu Tri menjenguk Sari setelah pulang melahirkan sesar di rumah sakit."Tapi bener, lho, Bu Tri. Anak saya juga pas ngelahirin, anaknya ya persis kaya anaknya Sari ini. Banyak lemaknya, padahal, anak saya dijaga banget makannya. Kata dokter ya itu, pernik-pernik apa gitu namanya." Salah satu tetangga yang bernama bu Maria menimpali, membuat bu Tri mencebikkan bibirnya."Ya, kalau memang kotor dari lahir, sudah jadi tugas ibunya buat bersihin. Kalau gini, bisa dilihat kalau si Sari ini orangnya jorok. Gak bisa dia bersihin anak sendiri. Kalau gitu, mending anaknya mandi sendiri."Ucapan bu Sari masih terngiang-ngiang di kepala Sari. Bahkan, sampai rombongan itu sudah pulang. Sari yang baru saja melahirkan secara sesar tentu sangat kesulitan dalam merawat bayinya. Belum lagi anak pertamanya yang masih berusia empat tahun. Ibu mertuanya, meskipun tinggal berdekatan, tak pernah sama sekali membantu Sari dalam mengurus anak-anaknya.Sari yang dalam keadaan lelah, masih dibuat kewalahan saat bayinya tak mau menyusu padanya. Meskipun air susunya keluar, tapi tak begitu deras. Dan puting payudaranya yang datar, membuat bayinya tak bisa menyusu dengan baik. Terpaksa, di hari kedua bayi itu lahir, Sari memberinya susu formula selama masa ia memperbaiki bentuk putingnya."Mas, bisa minta tolong buatkan susu buat Gavin? Perutku rasanya sakit sekali, Mas," pinta Sari pada Lian yang baru saja pulang dari bekerja di salah satu pabrik sebagai penjaga keamanan."Aku capek, Sari. Tadi harus bantuin orang-orang buat angkatin barang. Besok aku juga harus masuk shift pagi. Kamu bikin sendiri aja, lah. Itu, susunya juga di atas meja dekat kamu."Tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, Lian langsung tertidur dengan kaos oblong dan celana yang tadi dipakai bekerja. Sari meringis menahan rasa nyeri di perut bagian bawahnya yang terdapat luka sehabis operasi. Dengan gerakan pelan, Sari berusaha bangun untuk membuatkan Gavin susu.****"Sari! Sari! Astaga, di mana anak itu? Bisa-bisanya anaknya nangis dibiarin sendirian."Karena rumah bu Tri yang bersebelahan dengan rumah Sari, ia jadi bisa mendengar tangisan Gavin dari rumahnya. Meski melihat sang cucu yang menangis, tak ada niatan bu Tri untuk menggendong atau sekadar menenangkannya."Gavin, maafin Ibu ya, Nak. Ibu habis dari WC," ucap Sari penuh sesal saat melihat anaknya menangis sampai wajahnya memerah."Dasar ibu gak becus! Kalau punya anak bayi itu dijaga. Mau berak ya diajak. Jangan main tinggal aja. Dasar, gak berguna!""Bu, kondisiku gak sama seperti orang yang melahirkan normal. Jangankan untuk mengajak Gavin ke kamar mandi, sendirian saja aku kesusahan, Bu.""Alasan! Kamu itu memang gak becus, Sari. Udah ngelahirinnya pake acara operasi, gak mau nyusuin anak, gak bisa bersihin anak, ini malah pake ninggalin anak sendirian. Kalau anakmu kenapa-kenapa, baru tahu rasa."Setelah mengatakan hal itu, bu Tri segera meninggalkan cucu dan menantunya tanpa rasa peduli. Kali ini pun, Sari tak bisa membendung tangisnya lagi. Dari kemarin, suara-suara aneh pun seperti terdengar tengah berbisik di telinganya."Gavin, maafin Ibu, ya. Kalau Gavin gak suka dirawat sama Ibu, Gavin boleh pergi dari sini."Langkah Sari mulai membawanya ke kebun bagian belakang rumah. Gavin sudah tenang dalam gendongannya. Tapi, bayi itu kembali menangis saat tubuhnya terasa melayang di udara."Astaghfirullahaladzim!"Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments