Sari memukuli tubuh sang suami. Lian terus melindungi tubuhnya dengan kedua tangan hingga akhirnya ia merasa berang.
Plak!Mata Sari membulat sempurna, dengan deru napas yang kian berat, Sari seakan menjadi patung dengan posisinya yang masih setengah berbaring di atas sofa."Apa-apaan kamu, Mas!" sentak Sandi. Segera lelaki itu mendekati Sari yang masih bergeming dengan tatapan kosong."Mbak Sari? Mbak Sari gak apa-apa?"Seakan telinganya tuli untuk mendengar suara Sandi. Mata Sari justru tertuju pada bayi merah yang ada dalam gendongan Sandi. Lekas, wanita itu meraih Gavin untuk dipeluknya."Jangan tinggalin Ibu, Nak. Gavin di sini saja sama Ibu, ya? Jangan mau ikut Tante Mila, Gavin anaknya Ibu."Sari menciumi wajah mungil Gavin. Bayi merah itu tak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan ibunya. Justru, Sandi yang kini tengah memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh kakak iparnya itu."Memang sudah gila si Sari ini," gumam Lian yang tertangkap pendengaran Sandi."Aku mau bicara sebentar sama kamu, Mas. Kita keluar."Meski sebenarnya enggan, tapi, Lian pada akhirnya mengangkat bokongnya juga dari empuknya sofa milik sang ibu yang dibelikannya tahun lalu itu."Ada apa?" tanya Lian ketus. Sebelum menjawab, Sandi terlihat mengambil napas panjang."Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di antara kamu, Mbak Sari dan juga Mila, Mas? Kenapa Mbak Sari jadi berubah agak aneh seperti itu? Dan apa yang membuat Mbak Sari menampar Mila? Pasti ada alasannya, kan?""Bukan agak aneh, San. Mbakmu itu memang aneh hari ini. Kamu tahu? Dia bahkan tega menenggelamkan Gavin di dalam bak mandi berisi air keran. Untung saja, anak itu tidak mati.""Jaga bicaramu, Mas!""Memang itu kenyataannya. Kalau tadi aku gak langsung mergokin Sari, pasti Gavin udah mati tenggelam. Kalau masalah Sari yang menampar Mila, itu pasti juga karena sikap aneh Sari hari ini. Aku juga gak tahu, tiba-tiba aja Sari datang ke rumah ibu dan nampar Mila yang lagi gendong Gavin.""Apa ini ada kaitannya dengan Mila yang ingin mengadopsi Gavin?"Lian terdiam, ia pikir, Sandi belum tahu tentang hal itu. Kamila tidak pernah bilang padanya jika Sandi sudah mengetahui rencana Kamila tersebut."Kalau memang benar hal itu ada kaitannya, tidak berlebihan kalau Mbak Sari sampai menampar Mila."Mata Lian membulat mendengar ucapan Sandi. Ia tak habis pikir, Sandi sangat terlihat jika lebih membela Sari ketimbang istrinya sendiri."Kamu ini aneh, San. Masa, kamu lebih membela orang lain dari pada isterimu sendiri," cibir Lian dengan wajah mengejek."Kenapa memangnya? Di sini, memang Kamila yang bersalah. Aku tidak memandang dia isteriku atau bukan. Yang aku lihat, siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Mas saja, biarpun Mbak Sari benar, tetap kamu mau menghajarnya. Itu baru yang namanya tega sama isteri."Lian semakin geram dengan ucapan demi ucapan yang dilontarkan adiknya. Baru saja ia hendak menjawab, tiba-tiba saja Sari berlari dari dalam rumah mertuanya itu. Dengan tergopoh-gopoh dan memeluk Gavin dengan begitu eratnya, seakan jika ia melonggarkan sedikit saja pelukannya, Gavin akan terjatuh.Tak lama setelah itu, Kamila juga ikut keluar dari dalam rumah. Wajahnya terlihat begitu kesal. Melihat di sana masih ada Lian dan Sandi, Kamila pun mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan kepada kakak iparnya tersebut."Aku gak jadi ambil Gavin buat aku rawat, Mas. Mbak Sari udah bener-bener gila kayanya. Lihat aku aja udah kaya lihat hantu. Kalau ibunya gila kaya gitu, aku takut kalau anaknya juga ikutan gila."Setelah mengucapkan hal itu, Kamila kembali masuk ke dalam rumah. Sandi yang tak habis pikir dengan ucapan sang isteri pun berlalu mengejarnya masuk ke dalam.Lian begitu malu kali ini dengan Kamila. Sikap Sari yang aneh dan disebut-sebut gila oleh ibu dan juga adik iparnya membuat Lian geram. Sebelum Sari membuatnya lebih malu jika kondisinya diketahui orang-orang, Lian memutuskan untuk mengajak Sari pergi ke bidan desa yang rumahnya tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka.****Bidan bernama Hesti itu meringis melihat kondisi luka bekas operasi Sari. Sepertinya, Sari terlalu banyak bergerak dan melakukan aktifitas. Luka bekas operasinya terlihat sedikit bengkak.Tepat saat Sari berhasil dibawa oleh Lian ke rumah bidan Hesti, Sari mengeluh perutnya sakit luar biasa. Karena Sari yang terus merintih, bidan Hesti memberinya suntikan anti nyeri, sehingga kini Sari terlihat jauh lebih tenang."Kapan Ibu Sari harus kontrol ke rumah sakit, Pak?"Lian terlihat mengingat-ingat, bola matanya melirik ke atas karena hal itu. Tak lama, ia kembali menatap bidan muda yang masih berstatus lajang tersebut."Tiga hari lagi, Bu.""Kalau dilihat dari kondisi lukanya, sebaiknya, Bu Sari dibawa ke rumah sakit lebih cepat. Tak perlu menunggu jadwal kontrol karena ini termasuk darurat. Dan untuk hal-hal yang sudah Bapak ceritakan tadi, saya berpikir bahwa, sepertinya Ibu Sari mengalami gejala Baby Blues Syndrome.""Apa itu, Bu?"Tentu saja Lian awam dengan nama penyakit itu. Dalam hatinya, ia sudah sangat takut jika itu merupakan penyakit yang berbahaya. Selain karena merasa kasihan dengan Sari, Lian juga memikirkan biaya yang akan ia keluarkan jika Sari benar-benar mengalami sakit parah."Gangguan suasana hati paska melahirkan, Pak. Seorang ibu setelah melahirkan harus benar-benar dijaga. Baik kondisi fisik maupun mentalnya karena ibu yang baru melahirkan sangat rawan mengalami kondisi tersebut. Saya juga sebenarnya belum yakin akan hal itu, bukan ranah saya juga untuk mendiagnosa pasien seperti ini. Jadi, saran saya, bawa Ibu Sari ke rumah sakit sebelum terlambat, Pak."Lian terus memikirkan hal itu sepanjang perjalanan ke rumah. Sampai tak terasa jika kini motornya sudah mulai memasuki pekarangan rumahnya. Sari tak mengatakan apapun padanya di sepanjang perjalanan. Begitupun setelah sampai, Sari langsung melenggang pergi masuk ke dalam rumah. Namun, baru saja Sari memasuki rumahnya, ia sudah berteriak histeris."Sari? kamu kenapa?" tanya Lian saat mendapati Sari terlihat seperti kebingungan. Tubuhnya terus bergerak kesana dan kemari seperti mencari sesuatu."Anakku ... anakku, di mana? Tidak boleh ada yang mengambil anakku!"Rupanya Sari tengah mencari keberadaan bayinya. Lian juga tidak tahu. Tadi, Lian menitipkan Gavin pada ibunya di rumah ini. Atau mungkin, Gavin sedang diajak pergi ke rumah ibunya di sebelah."Kamu tenang dong, Sar! Gavin gak akan kemana-mana. Paling juga lagi di rumah ibu. Jangan lebay kamu!"Tanpa menunggu lebih lama, Sari berlari menuju rumah sang ibu mertua. Benar saja, di sana, Gavin sedang dibiarkan tergeletak di atas sofa tanpa didampingi apapun. Sedangkan, ibu Tri sedang asik menonton acara televisi bersama dengan menantu kesayangannya."Ibu kalau tidak ikhlas menjaga anakku, lebih baik tidak usah dijaga sekalian," ujar Sari dingin membuat bu Tri seketika menghentikan gerakan rahangnya yang tengah mengunyah jajanan ringan."Ngomong apa, kamu? Gak sopan! Udah anak
Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri."Apaan, sih, kamu."Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri."Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana."Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib
Sari masih tetap mematung di tempatnya berdiri. Lian, suaminya itu tengah menatapnya dengan tajam setelah baru saja keluar dari kamar dengan menggendong Gavin yang sepertinya masih terjaga."Tidur kamu di dalam kamar mandi?""M-mas, itu jamnya mati, kan?" tunjuk Sari pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam."Otakmu itu yang mati!" ucap Lian geram. Sari semakin gugup melihat kilat marah dari mata Lian.Rambutnya yang masih meneteskan air itu membasahi baju bagian pundak dan punggungnya, membuatnya merasa kedinginan padahal tadi tidak. Lian yang melihat gelagat Sari pun menghampirinya."Kia sudah kusuruh pulang dari tadi dan aku baru saja pulang jam sebelas. Kata Kia, kamu sudah di dalam kamar mandi sejak dia pulang sehabis Isya'. Ngapain aja kamu? Keramas malam-malam begini, habis main sama siapa kamu?"Sari tersentak saat Lian dengan teganya mengatakan hal itu. Seolah, suaminya itu tengah menuduhnya berselingkuh."Apa maksud kamu, Mas? Aku cuma mandi gak lebih dari lim
"Mbak Sari! Mbak Sari! Mau kemana, Mbak?"Bagaikan tuli, Sari tetap melanjutkan langkahnya menuju kebun kosong yang gelap tak jauh dari rumahnya. Tangisan Kia seakan sama sekali tak menyentuh gendang telinganya meskipun bocah itu sudah mengeluarkan suaranya sekuat tenaga."Gak mungkin aku ngikutin, kebun sana, kan, gelap banget. Mending aku kasih tahu suaminya aja."Salma, menantu dari bu Ratmi yang memang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah Sari itu melihat Sari berjalan menuju kebun kosong bersama anak perempuannya. Tadi, Salma baru saja melepas kepergian sang suami yang bekerja shift malam dan memutuskam untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sambil memainkan ponsel.Salma heran saat pintu rumah Sari terbuka lebar. Beberapa kali ia memanggil nama Lian, tapi tak ada yang menjawab."Duh! Mas Lian kemana, sih?"Salma meremat tangannya sendiri karena takut. Sesekali ia menoleh ke belakang, di mana arah perginya Sari tadi. Ia masih mendengar suara tangis Kia meskipun sudah t
Sandi buru-buru menggendong Kia yang masih menangis. Apalagi, ditambah dengan ia yang terjatuh sebab diam-diam Sandi menarik tubuh Sari dari belakang hingga menyebabkan Sari dan Kia terjatuh secara bersamaan."Mas, cepat bawa mbak Sari pulang!" teriak Sandi saat mendapati kakaknya itu masih terpaku di tempatnyaMungkin Lian juga sama terkejutnya.Sedangkan, Sari sudah menangis meraung dengan posisi masih duduk di atas tanah yang berumput itu. Ia meracau tidak jelas.****"Nyusahin banget isteri kamu itu Lian," gerutu bu Tri yang saat ini berada di ruang tamu rumah sang anak.Lian hanya mampu mengusap wajahnya kasar. Sari sudah tidur di kamarnya. Tadi, ia sempat pingsan ketika sampai di rumah dan mendapati kedua anaknya tengah menangis. Terutama Kia. Bocah itu sampai menolak untuk Sari dekati, membuat pukulan besar terhadap diri Sari sendiri."Ya, mau gimana lagi, Bu. Kayanya, Sari emang beneran sakit," jawab Lian lesu.Pikirannya kini benar-benar kacau. Melihat Sari yang kian hari kia
"Kamu mau kemana, Lian?" tanya bu Tri saat Lian beranjak dari duduknya "Mau ke poli kandungan sebentar, Bu. Mungkin sudah waktunya Sari dipanggil.""Kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, begitu?"Wajah bu Tri sudah tampak khawatir. Ia takut jika Lian meninggalkan dirinya sendirian di ruang rawat itu. Tadi, saat bu Tri buru-buru masuk ke dalam rumah, ia tak melihat jika Kamila sedang mengepel lantai.Lantai yang masih basah membuat bu Tri terpeleset dan jatuh hingga berakhir pingsan. Lian yang memang sudah bersiap untuk pergi mengantarkan Sari itu pun segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Ia meminta bantuan tetangganya yang memiliki mobil untuk mengantar bu Tri ke rumah sakit. Sari diminta oleh Lian ikut dengan mobil, sedangkan ia sendiri pergi dengan membawa motor. Gavin dan Kia mau tidak mau ia titipkan kepada Kamila meski awalnya adik iparnya itu keberatan.Bu Tri terpaksa dirawat karena tensi darahnya tiba-tiba naik. Kaki kirinya juga terkilir cukup parah, membuatnya kesuli
Kamila terkesiap saat mengetahui Sari sudah berdiri di hadapannya. Setelah melempar tatapan tajam kepada Kamila, Sari buru-buru berjongkok untuk menghampiri Kia yang masih menangis. Kini, tubuh anak itu pun basah sebab Kamila yang baru saja mengguyurnya dengan satu gayung penuh air."Apa yang sudah anakku lakukan sampai kamu tega guyur Kia kaya gini, Mil?"Kamila sebenarnya takut, tapi, ia berusaha untuk menutupi semua itu. Ia berdehem kecil dan memasang wajah garang di hadapan Sari."Anak kamu itu nyusahin tahu, Mbak! Cerewet banget. Minta makan, dikasih ini gak mau, itu gak mau. Malah makanan yang udah susah payah aku masakin di hancurin semuanya sama dia," ujar Kamila seraya menunjuk ke arah Kia yang masih menangis.Sari berusaha menenangkan sang anak dengan cara memeluknya, namun, apa yang ia dapati sungguh membuat hatinya berdenyut sakit. Kia menolak pelukannya dan berlari menuju rumahnya."Aku gak mau sama Ibu. Ibu jahat, mau lempar Kia ke dalam sungai."Sari mematung. Otaknya m
"Bu Hesti?"Seseorang yang disebut namanya itu pun menoleh. Bu Tri yang tadinya berwajah masam, seketika menampilkan senyum manisnya, dibarengi dengan sambutan hangat kepada anak sulungnya itu."Eh, udah balik kamu, Lian. Ini, lho, ada bidan Hesti tadi mampir ke sini. Bawain Ibu buah, sekalian disuapin pula."Hesti yang dipuji-puji itupun menampakkan senyum malu-malu. Pipinya memerah entah karena malu atau memang ia yang menggunakan perona pipi."Pak Lian, Mas Sandi," sapa Hesti dengan sedikit menganggukkan kepala."Bu Hesti, kok, tahu kalau ibu saya dirawat di rumah sakit ini?" tanya Lian penasaran. Bagaimana bisa bidan muda itu sampai di sana dan tengah menyuapi ibunya saat ini."Oh, saya tidak sengaja bertemu Bu Tri di sini. Tadi, saya habis jenguk rekan sejawat saya yang sedang sakit. Itu, rekan saya dirawat di ranjang paling ujung," jawab Hesti sembari telunjuk lentiknya mengarah ke arah di mana ranjang paling ujung berada.Bu Tri memang dirawat di ruangan kelas dua yang berisi t
Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.