"Sari? kamu kenapa?" tanya Lian saat mendapati Sari terlihat seperti kebingungan. Tubuhnya terus bergerak kesana dan kemari seperti mencari sesuatu.
"Anakku ... anakku, di mana? Tidak boleh ada yang mengambil anakku!"Rupanya Sari tengah mencari keberadaan bayinya. Lian juga tidak tahu. Tadi, Lian menitipkan Gavin pada ibunya di rumah ini. Atau mungkin, Gavin sedang diajak pergi ke rumah ibunya di sebelah."Kamu tenang dong, Sar! Gavin gak akan kemana-mana. Paling juga lagi di rumah ibu. Jangan lebay kamu!"Tanpa menunggu lebih lama, Sari berlari menuju rumah sang ibu mertua. Benar saja, di sana, Gavin sedang dibiarkan tergeletak di atas sofa tanpa didampingi apapun. Sedangkan, ibu Tri sedang asik menonton acara televisi bersama dengan menantu kesayangannya."Ibu kalau tidak ikhlas menjaga anakku, lebih baik tidak usah dijaga sekalian," ujar Sari dingin membuat bu Tri seketika menghentikan gerakan rahangnya yang tengah mengunyah jajanan ringan."Ngomong apa, kamu? Gak sopan! Udah anaknya dijagain, bukannya bilang makasih, malah ngomong yang enggak-enggak!""Tahu, nih, Mbak Sari. Asal Mbak Sari tahu aja, tadi itu aku sama Ibu rencananya mau pergi belanja baju-baju. Tapi, karena Mas Lian minta tolong buat jagain Gavin, kita gak jadi pergi. Bilang makasih, kek, malah nuduh-nuduh."Sari tersadar dan merasa sedikit tidak enak pada mertua dan adik iparnya. Ia menelan ludahnya susah payah mendapati kesalahannya. Tapi, bukan tanpa alasan Sari merasa marah. Bagaimana tidak, Gavin dibiarkan begitu saja di atas sofa tanpa didampingi bantal atau apapun. Meskipun bayi merah itu belum bisa banyak bergerak, tapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya."Maaf."Hanya kata itu yang dapat Sari ucapkan sebelum ia berlalu dari hadapan ibu mertua dan adik iparnya. Entah kenapa, Sari merasa dirinya aneh semenjak melahirkan anak keduanya."Menantu Ibu yang satu itu aneh banget, sih. Gimana bisa mas Lian yang genteng gitu nikah sama mbak Sari?""Itu lah, Mil. Dulu, Ibu juga kurang setuju sama pilihan Lian. Memang, sih, Sari itu dulunya anak kepala dusun. Tapi keluarga mereka itu gak kaya, biasa-biasa aja. Muka si Sari juga standar, kan. Gak secantik kamu. Tapi, untungnya Sandi gak salah pilih isteri. Kamu itu memang menantu idaman Ibu. Udah cantik, berpendidikan, dari keluarga yang terpandang pula. Bangga Ibu sama Sandi."Kamila yang merasa dipuji itupun serasa melayang. Semua yang diucapkan bu Tri memang tak salah. Secara paras, Mila memang lebih unggul dibandingkan dengan Sari. Pun jika dilihat dari latar belakang keluarga keduanya. Kamila yang mempunyai ayah seorang pengusaha barang bekas dan memiliki bengkel mobil itu tentu juga lebih unggul."Tapi sayangnya, mas Sandi gak ngijinin aku kerja, Bu. Padahal, sayang, lho, ijazah S1 aku nganggur.""Sandi itu maunya kamu fokus di rumah biar bisa cepet punya anak."Padahal, sejatinya bu Tri lah yang meminta pada Sandi agar Kamila di rumah saja. Agar menantunya itu bisa segera memiliki keturunan. Kedua cucu yang ia dapatkan dari Lian dan Sari rupanya belum bisa membuat bu Tri puas.****Sari bersenandung kecil saat memandikan Gavin di sore hari. Hatinya menghangat melihat bayi yang sudah berusia satu minggu itu sudah bisa tersenyum sembari memandang wajahnya. Padahal, Sari tahu betul bahwa anaknya itu belum bisa melihat dengan jelas.Saat sedang asik menikmati momen bersama buah hatinya, Sari terkejut dengan suara teriakan si sulung. Ia baru ingat, tadi anak pertamanya, Saskia minta untuk diambilkan baju ganti setelah selesai mandi seorang diri.Sari bergegas meletakkan Gavin di atas amben yang berada di dekat dapurnya, tempat dimana biasanya Sari memakaikan pakaian kepada bayi tersebut."Sakit, Ayah," ujar Saskia dengan suara bergetar. Air matanya juga sudah membasahi sebagian besar wajahnya.Sari segera berjongkok di samping Saskia yang tengah memegangi kakinya, lututnya terlihat memar usai terjatuh saat berusaha menaiki lemari untuk mengambil pakaiannya sendiri. Sedangkan Lian, ia masih sibuk meniup-niup kecil lutut sang anak. Pandangannya kini ia bawa menuju Sari yang menunjukkan wajah khawatir."Kia habis manjat lemari? Kenapa enggak tunggu Ibu?" tanya Sari sembari mengangkat tubuh anaknya yang hanya berlapis handuk ke atas ranjang."Kamu ini kenapa, sih, Sari? Semenjak kamu melahirkan Gavin, kamu jadi makin gak becus urus anak-anak. Kamu bisa ambilin Kia baju dulu sebelum mandiin Gavin. Kia juga pasti udah kedinginan nungguin kamu dari tadi," cerocos Lian tak peduli dengan perasaan Sari.Tanpa disalahkan pun, Sari sudah lebih dulu merasa bersalah. Tanpa menjawab ucapan sang suami, Sari bergerak menuju laci meja rias, mengambil sebotol alkohol dan kapas untuk mengompres luka Saskia."Dari pada kamu protes terus, tolong lihat Gavin di belakang. Tanganku cuma dua dan kamu membiarkan aku bekerja sendirian mengurus semuanya."Lian cukup kaget mendengar jawaban dari mulut Sari. Tak biasanya wanita itu menjawab jika Lian sedang marah atau mengomel.Meski dengan hati yang dongkol, Lian tetap berjalan menuju dapur, tempat dimana anak bungsunya berada. Ia cukup terkejut saat mendapati Gavin hanya dibiarkan tergeletak begitu saja tanpa ditutupi sehelai benang pun."Memang benar-benar gak waras si Sari itu! Bagaimana bisa dia berubah jadi seteledor ini, sih?"Lian masih menggerutu, namun tangannya tetap bergerak memakaikan minyak telon, bedak dan juga pakaian pada anaknya. Selesai dengan itu semua, Lian mengajak Gavin untuk pergi ke teras.Melihat Gavin tenang bersama dengan ayahnya, Sari memutuskan untuk segera membersihkan diri sebelum anaknya itu menangis meminta susu atau sekadar digendong olehnya."Eh, Bu Hesti. Dari mana, Bu?" sapa Lian pada bidan Hesti yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Bidan muda itu pun tersenyum membuat Lian entah mengapa seperti salah tingkah."Dari rumahnya bu Habibah, Pak. Tadi, anaknya telpon saya, katanya bu Bibah habis jatuh dari kamar mandi.""Innalilahi. Terus, gimana kondisi bu Bibah sekarang, Bu?"Sebenarnya, Lian tak begitu ingin tahu kondisi tetangga jauhnya itu. Yang ia inginkan hanyalah berbincang-bincang dengan bidan berparas cantik tersebut."Alhamdulillah tidak apa-apa, Pak. Anaknya tadi khawatir kalau ibunya kena stroke lagi. Bu Bibah, kan, punya riwayat stroke. Jadi, anaknya khawatir dan segera menghubungi saya.""Oooh, syukurlah kalau begitu."Melihat bayi yang tengah digendong oleh Lian itu, bidan Hesti tertarik untuk mendekat dan melihatnya."Maaf, Pak. Saya mau lihat anaknya, boleh?""Boleh sekali, Bu Bidan. Silakan."Entah mengapa, Lian merasakan kejanggalan dalam tubuhnya. Seperti ada yang sesak di bagian bawah sana. Ludah dalam kerongkongannya mendadak terasa begitu kental hingga sulit untuk ditelan. Apalagi, saat bidan Hesti mendekatkan tubuhnya ke arah Lian untuk melihat sang bayi lebih dekat."Lucu, ya, Pak. Siapa namanya?"Lian terkesiap saat bidan Hesti kembali menjauhkan tubuhnya dan bertanya kepadanya. Kali ini, Lian bisa sedikit bernapas lega. Sesuatu yang menonjol di balik baju kemeja bidan Hesti itu rupanya yang telah mengganggu fokusnya."Gavin. Namanya Gavin Rasean Ahmad.""Bagus sekali namanya, Pak. Cocok untuk wajahnya yang ganteng. Seperti ayahnya," ucap bidan Hesti setengah berbisik di akhir kalimat.Liat tampak tersipu malu. Begitupun dengan bidan Hesti. Ia seperti sengaja menggoda Lian dengan tatapan dan senyumnya yang dibuat seanggun mungkin."Ngomong-ngomong, apa ibu Sari sudah dibawa ke rumah sakit, Pak?""Belum, Bu. Rencananya besok saja.""Baik kelau begitu, Pak. Asal jangan sampai terlambat, ya. Saya takut kalau ibu Sari benar-benar mengalami syndrome tersebut.""Memangnya, kenapa kalau seandainya isteri saya mengalaminya, Bu?""Akan sangat fatal akibatnya, Pak."Kali ini, Lian menelan ludahnya lagi karena mendadak merasa takut dan khawatir akan kondisi Sari."Lalu, apa yang harus saya lakukan agar isteri saya tidak mengalaminya, Bu?""Segera bawa ke rumah sakit saja, Pak. Semoga saja, bu Sari baik-baik saja, ya, Pak."Lian mengangguk lesu, tapi, sedetik kemudian ia merasa senang saat jemari lentik milik bidan Hesti mengusap pundaknya perlahan seolah tengah menyalurkan kekuatan.Setelah bidan Hesti pamit, Lian terlihat senyum-senyum sendiri. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah karena waktu sudah nyaris petang."Halus sekali sepertinya tangan bu bidan, ya, Mas?"Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri."Apaan, sih, kamu."Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri."Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana."Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib
Sari masih tetap mematung di tempatnya berdiri. Lian, suaminya itu tengah menatapnya dengan tajam setelah baru saja keluar dari kamar dengan menggendong Gavin yang sepertinya masih terjaga."Tidur kamu di dalam kamar mandi?""M-mas, itu jamnya mati, kan?" tunjuk Sari pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam."Otakmu itu yang mati!" ucap Lian geram. Sari semakin gugup melihat kilat marah dari mata Lian.Rambutnya yang masih meneteskan air itu membasahi baju bagian pundak dan punggungnya, membuatnya merasa kedinginan padahal tadi tidak. Lian yang melihat gelagat Sari pun menghampirinya."Kia sudah kusuruh pulang dari tadi dan aku baru saja pulang jam sebelas. Kata Kia, kamu sudah di dalam kamar mandi sejak dia pulang sehabis Isya'. Ngapain aja kamu? Keramas malam-malam begini, habis main sama siapa kamu?"Sari tersentak saat Lian dengan teganya mengatakan hal itu. Seolah, suaminya itu tengah menuduhnya berselingkuh."Apa maksud kamu, Mas? Aku cuma mandi gak lebih dari lim
"Mbak Sari! Mbak Sari! Mau kemana, Mbak?"Bagaikan tuli, Sari tetap melanjutkan langkahnya menuju kebun kosong yang gelap tak jauh dari rumahnya. Tangisan Kia seakan sama sekali tak menyentuh gendang telinganya meskipun bocah itu sudah mengeluarkan suaranya sekuat tenaga."Gak mungkin aku ngikutin, kebun sana, kan, gelap banget. Mending aku kasih tahu suaminya aja."Salma, menantu dari bu Ratmi yang memang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah Sari itu melihat Sari berjalan menuju kebun kosong bersama anak perempuannya. Tadi, Salma baru saja melepas kepergian sang suami yang bekerja shift malam dan memutuskam untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sambil memainkan ponsel.Salma heran saat pintu rumah Sari terbuka lebar. Beberapa kali ia memanggil nama Lian, tapi tak ada yang menjawab."Duh! Mas Lian kemana, sih?"Salma meremat tangannya sendiri karena takut. Sesekali ia menoleh ke belakang, di mana arah perginya Sari tadi. Ia masih mendengar suara tangis Kia meskipun sudah t
Sandi buru-buru menggendong Kia yang masih menangis. Apalagi, ditambah dengan ia yang terjatuh sebab diam-diam Sandi menarik tubuh Sari dari belakang hingga menyebabkan Sari dan Kia terjatuh secara bersamaan."Mas, cepat bawa mbak Sari pulang!" teriak Sandi saat mendapati kakaknya itu masih terpaku di tempatnyaMungkin Lian juga sama terkejutnya.Sedangkan, Sari sudah menangis meraung dengan posisi masih duduk di atas tanah yang berumput itu. Ia meracau tidak jelas.****"Nyusahin banget isteri kamu itu Lian," gerutu bu Tri yang saat ini berada di ruang tamu rumah sang anak.Lian hanya mampu mengusap wajahnya kasar. Sari sudah tidur di kamarnya. Tadi, ia sempat pingsan ketika sampai di rumah dan mendapati kedua anaknya tengah menangis. Terutama Kia. Bocah itu sampai menolak untuk Sari dekati, membuat pukulan besar terhadap diri Sari sendiri."Ya, mau gimana lagi, Bu. Kayanya, Sari emang beneran sakit," jawab Lian lesu.Pikirannya kini benar-benar kacau. Melihat Sari yang kian hari kia
"Kamu mau kemana, Lian?" tanya bu Tri saat Lian beranjak dari duduknya "Mau ke poli kandungan sebentar, Bu. Mungkin sudah waktunya Sari dipanggil.""Kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, begitu?"Wajah bu Tri sudah tampak khawatir. Ia takut jika Lian meninggalkan dirinya sendirian di ruang rawat itu. Tadi, saat bu Tri buru-buru masuk ke dalam rumah, ia tak melihat jika Kamila sedang mengepel lantai.Lantai yang masih basah membuat bu Tri terpeleset dan jatuh hingga berakhir pingsan. Lian yang memang sudah bersiap untuk pergi mengantarkan Sari itu pun segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Ia meminta bantuan tetangganya yang memiliki mobil untuk mengantar bu Tri ke rumah sakit. Sari diminta oleh Lian ikut dengan mobil, sedangkan ia sendiri pergi dengan membawa motor. Gavin dan Kia mau tidak mau ia titipkan kepada Kamila meski awalnya adik iparnya itu keberatan.Bu Tri terpaksa dirawat karena tensi darahnya tiba-tiba naik. Kaki kirinya juga terkilir cukup parah, membuatnya kesuli
Kamila terkesiap saat mengetahui Sari sudah berdiri di hadapannya. Setelah melempar tatapan tajam kepada Kamila, Sari buru-buru berjongkok untuk menghampiri Kia yang masih menangis. Kini, tubuh anak itu pun basah sebab Kamila yang baru saja mengguyurnya dengan satu gayung penuh air."Apa yang sudah anakku lakukan sampai kamu tega guyur Kia kaya gini, Mil?"Kamila sebenarnya takut, tapi, ia berusaha untuk menutupi semua itu. Ia berdehem kecil dan memasang wajah garang di hadapan Sari."Anak kamu itu nyusahin tahu, Mbak! Cerewet banget. Minta makan, dikasih ini gak mau, itu gak mau. Malah makanan yang udah susah payah aku masakin di hancurin semuanya sama dia," ujar Kamila seraya menunjuk ke arah Kia yang masih menangis.Sari berusaha menenangkan sang anak dengan cara memeluknya, namun, apa yang ia dapati sungguh membuat hatinya berdenyut sakit. Kia menolak pelukannya dan berlari menuju rumahnya."Aku gak mau sama Ibu. Ibu jahat, mau lempar Kia ke dalam sungai."Sari mematung. Otaknya m
"Bu Hesti?"Seseorang yang disebut namanya itu pun menoleh. Bu Tri yang tadinya berwajah masam, seketika menampilkan senyum manisnya, dibarengi dengan sambutan hangat kepada anak sulungnya itu."Eh, udah balik kamu, Lian. Ini, lho, ada bidan Hesti tadi mampir ke sini. Bawain Ibu buah, sekalian disuapin pula."Hesti yang dipuji-puji itupun menampakkan senyum malu-malu. Pipinya memerah entah karena malu atau memang ia yang menggunakan perona pipi."Pak Lian, Mas Sandi," sapa Hesti dengan sedikit menganggukkan kepala."Bu Hesti, kok, tahu kalau ibu saya dirawat di rumah sakit ini?" tanya Lian penasaran. Bagaimana bisa bidan muda itu sampai di sana dan tengah menyuapi ibunya saat ini."Oh, saya tidak sengaja bertemu Bu Tri di sini. Tadi, saya habis jenguk rekan sejawat saya yang sedang sakit. Itu, rekan saya dirawat di ranjang paling ujung," jawab Hesti sembari telunjuk lentiknya mengarah ke arah di mana ranjang paling ujung berada.Bu Tri memang dirawat di ruangan kelas dua yang berisi t
Selepas magrib, Sandi memutuskan untuk pulang ke rumah. Bu Tri tidak mau jika Sandi yang menemaninya di rumah sakit. Ia ingin agar Lian yang menginap di sana. Sekalian, bu Tri juga ingin membicarakan banyak hal pada sulungnya itu tanpa gangguan si bungsu."Gimana kondisi ibu, Mas?" tanya Kamila seraya menyuguhkan secangkir kopi kesukaan Sandi."Sudah jauh lebih baik. Hanya saja, kakinya masih sulit untuk digerakkan. InsyaAllah, besok sudah boleh pulang."Kamila tak lagi menanyakan apapun tentang ibu mertuanya itu. Ia hanya fokus pada televisi di depannya sebelum ia teringat suatu hal. Kamila merapatkan diri ke arah Sandi."Mas Lian seharian ini apa gak pulang, Mas?"Sebenarnya, pertanyaan yang Kamila ajukan pada Sandi hanyalah untuk memastikan suatu hal saja. Sandi terlihat menyeruput kopi yang sudah menghangat."Pulang, kok. Tadi siang, mas Lian pulang bareng sama bidan Hesti.""Bidan Hesti? Kok, bisa?"Rupanya Kamila tak salah dengan penglihatannya. Yang ia lihat tadi siang memang b
Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.