Mereka semua terperanjat kaget saat mendengar suara barang-barang seperti sengaja dilempar ke lantai. Gavin yang semula sudah tertidur lelap pun jadi menangis.
"Sepertinya dari rumahmu itu, Lian. Coba kita lihat, jangan-jangan, memang sudah gila betulan si Sari sampai ngamuk-ngamuk kaya gitu," ucap bu Tri yang seketika membuat Lian geram.Lian menitipkan Gavin pada Kamila dan ia bersama dengan ibunya pergi ke rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Benar dugaan bu Tri, di dapur, ia melihat Sari tengah melempar barang-barang dapur ke lantai."Hei! Sudah hebat kamu rupanya, main buang-buang barang begini? Emang, kamu bisa gantinya kalau sampai rusak, hah?!" Bu Tri berteriak dengan tatapannya yang nyalang."Mana Gavin, Mas?!" teriak Sari dengan tatapan nyalang.Lian sedikit terkejut melihat reaksi sang istri. Selama enam tahun berumah tangga, baru kali ini Lian melihat Sari menatapnya dengan tatapan seperti itu."Heh, Sari! Yang sopan kamu kalau ngomong sama suami. Mau jadi isteri durhaka, kamu?!"Pertanyaan bu Tri sama sekali tidak digubris oleh Sari. Dengan segera, ia berlari menuju rumah sang ibu mertua. Tadi, ia tidak sengaja mendengar percakapan Lian bersama dengan bu Tri dan juga Kamila. Sekarang, Sari yakin jika anak bungsunya sedang bersama adik iparnya itu."Lian! Malah bengong kamu. Cepat, susul isteri gilamu itu! Bisa-bisa dia nanti nyakitin menantu kesayangan Ibu."Lian tersadar dari keterkejutannya, dengan gerakan secepat kilat, Lian berlari menuju rumah sang ibu dan benar saja, sampai di sana, Lian melihat Sari baru saja menampar wajah Kamila."Sariii!" teriak bu Tri nyaring saat tangan kurus Sari berhasil mendarat tepat di wajah sang menantu kesayangan.Sari juga segera mengambil Gavin dari gendongan Kamila saat adik iparnya itu tengah sibuk mengusap pipinya yang terasa panas."Sudah kelewatan isteri kamu itu, Lian! Kasih dia pelajaran, atau Ibu yang akan melakukannya!"Lian maju kian mendekat ke arah Sari. Tangannya sudah terangkat guna melakukan hal yang sama seperti yang baru saja Sari lakukan terhadap Kamila, namun, suara seorang laki-laki lebih dulu menghentikan niatan Lian."Hentikan, Mas!"Ketiga orang di dalam rumah itu menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, Sandi, suami Kamila itu menatap sang kakak dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Dengan gerakan sedikit cepat, Sandi menghampiri mereka yang masih terdiam.Kamila yang semula terdiam juga tiba-tiba berlari menghambur ke dalam pelukan sang suami. Tak lupa kedua matanya ia paksa untuk mengeluarkan air mata. Berharap agar Sandi iba terhadapnya."Mas, Mbak Sari udah nampar aku. Lihat! Pasti di pipiku ada bekas tangannya, kan? Sakit sekali," adunya dengan air mata yang terus membanjiri pipi."Apa karena itu, Mas Lian mau menampar Mbak Sari kembali?" tanya Sandi pada sang kakak yang masih terlihat marah. Sedangkan Sari, dia buru-buru mendekap Gavin dengan wajah yang tiba-tiba terlihat panik."Aku cuma mau mendidik Sari, San. Bisa-bisanya dia nampar Kamila yang gak melakukan apa-apa.""Bukan begitu cara mendidik seorang isteri, Mas. Dengan kamu menyakiti isteri, bukan didikan yang kamu berikan padanya, melainkan sebuah rasa sakit yang akan membekas selamanya."Mendengar ucapan Sandi, Kamila terlihat muram. Menurutnya, justru Sandi yang keterlaluan karena tidak membelanya sebagai isterinya, melainkan membela Sari yang hanya kakak iparnya."Kamu, kok, malah belain Mbak Sari, sih, Mas? Yang isteri kamu itu, aku atau dia?""Aku tidak bermaksud membela Mbak Sari, Kamila. Bukan berarti juga aku tidak peduli padamu. Aku hanya ingin meluruskan apa yang dilakukan oleh Mas Lian yang memang salah."Bu Tri yang sedari tadi sudah ingin melihat Sari diberi pelajaran oleh Lian pun menjadi kesal dengan Sandi. Memang, dari dulu, bu Tri tidak terlalu suka dengan sikap dan sifat Sandi yang lebih banyak menurun dari ayahnya, yaitu suaminya sendiri.Sandi memang anak yang baik, pendiam dan juga penurut. Tapi, Sandi tidak sepenurut Lian kepada ibunya. Jika Lian bisa dan mau melakukan apapun yang ibunya minta, lain hal dengan Sandi. Jika menurut Sandi, apa yang diminta sang ibu tidaklah baik, maka, lelaki itu akan dengan tegas menolaknya."Halah! Kamu itu tahu apa, sih, San? Masmu itu cuma mau kasih pelajaran buat isterinya. Memangnya, kamu terima kalau isteri kamu ditampar begitu saja tanpa melakukan apa-apa?" ucap bu Tri dengan mata melotot. Sandi sudah biasa melihat ibunya bersikap seperti itu, jadi, ia tak pernah ambil pusing dalam menghadapinya."Bu, segala sesuatu itu pasti ada sebab dan akibatnya. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Mbak Sari sudah menjadi kakak iparku selama enam tahun. Tentu aku sudah sangat hapal dengan sifatnya. Tidak mungkin Mbak Sari menampar Kamila kalau tidak ada penyebabnya.""Jadi, kamu nuduh aku yang cari gara-gara duluan, Mas? Tega kamu sama aku, Mas! Sama isteri sendiri saja kamu tidak percaya."Kamila yang terlanjur sakit hati dengan ucapan Sandi pun berlalu masuk ke dalam kamar. Sandi hanya mampu mengelus dada. Menghadapi ibu dan juga isterinya itu sama-sama melelahkan."Kamu lihat! Sekarang isteri kamu yang ngambek cuma gara-gara kamu belain si wanita gila itu. Udah, Lian, kamu bawa istri gilamu itu pulang. Muak Ibu lihat muka dia!" hardik bu Tri pada Lian dan Sari.Sari pun hanya pasrah saat Lian menarik tangannya dengan keras. Ia memekik sakit saat pergelangan tangannya dicengkeram erat oleh sang suami. Sandi yang melihat wajah kesakitan kakak iparnya itu menjadi tidak tega. Apalagi, dalam gendongan Sari masih ada Gavin yang tengah menangis."Apa lagi, sih, San?!" teriak Lian dengan nada jengkel saat Sandi menghentikan langkahnya dengan cara menahan lengan sang kakak."Lepaskan tangan Mbak Sari, atau ....""Atau apa? Memangnya, apa yang mau kamu lakukan, Sandi? Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku dengan Sari!" sentak Lian yang tak suka dengan sikap sang adik."Jangan pikir, aku gak tahu kalau kamu sering main tangan sama Mbak Sari karena suruhan Ibu, Mas. Aku bisa melaporkan kamu ke polisi atas kasus kekerasan dalam rumah tangga."Ucapan Sandi telak membuat rahang Lian mengeras karena geram. Sedangkan bu Tri, ia cukup terkejut saat Sandi seolah tengah mengancam kakaknya sendiri. Mendengar kata 'polisi' ternyata juga membuat bu Tri sedikit takut dan merasa geram dengan anak bungsunya itu."Heh, Sandi! Jangan macam-macam kamu, ya! Masa, kamu mau laporin kakakmu sendiri ke polisi."Sandi yang semula masih menghadap ke arah Lian dan Sari pun kini berbalik menjadi menghadap ke arah bu Tri yang tampak emosi. Sandi sangat menyayangi ibunya, tapi, jika wanita yang sudah melahirkannya itu berbuat salah, tentu Sandi tak akan segan untuk mengingatkan."Sandi gak tahu, apa yang bikin Ibu begit
Sari memukuli tubuh sang suami. Lian terus melindungi tubuhnya dengan kedua tangan hingga akhirnya ia merasa berang.Plak!Mata Sari membulat sempurna, dengan deru napas yang kian berat, Sari seakan menjadi patung dengan posisinya yang masih setengah berbaring di atas sofa."Apa-apaan kamu, Mas!" sentak Sandi. Segera lelaki itu mendekati Sari yang masih bergeming dengan tatapan kosong."Mbak Sari? Mbak Sari gak apa-apa?"Seakan telinganya tuli untuk mendengar suara Sandi. Mata Sari justru tertuju pada bayi merah yang ada dalam gendongan Sandi. Lekas, wanita itu meraih Gavin untuk dipeluknya."Jangan tinggalin Ibu, Nak. Gavin di sini saja sama Ibu, ya? Jangan mau ikut Tante Mila, Gavin anaknya Ibu."Sari menciumi wajah mungil Gavin. Bayi merah itu tak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan ibunya. Justru, Sandi yang kini tengah memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh kakak iparnya itu."Memang sudah gila si Sari ini," gumam Lian yang tertangkap pendengaran Sandi."Aku mau bica
"Sari? kamu kenapa?" tanya Lian saat mendapati Sari terlihat seperti kebingungan. Tubuhnya terus bergerak kesana dan kemari seperti mencari sesuatu."Anakku ... anakku, di mana? Tidak boleh ada yang mengambil anakku!"Rupanya Sari tengah mencari keberadaan bayinya. Lian juga tidak tahu. Tadi, Lian menitipkan Gavin pada ibunya di rumah ini. Atau mungkin, Gavin sedang diajak pergi ke rumah ibunya di sebelah."Kamu tenang dong, Sar! Gavin gak akan kemana-mana. Paling juga lagi di rumah ibu. Jangan lebay kamu!"Tanpa menunggu lebih lama, Sari berlari menuju rumah sang ibu mertua. Benar saja, di sana, Gavin sedang dibiarkan tergeletak di atas sofa tanpa didampingi apapun. Sedangkan, ibu Tri sedang asik menonton acara televisi bersama dengan menantu kesayangannya."Ibu kalau tidak ikhlas menjaga anakku, lebih baik tidak usah dijaga sekalian," ujar Sari dingin membuat bu Tri seketika menghentikan gerakan rahangnya yang tengah mengunyah jajanan ringan."Ngomong apa, kamu? Gak sopan! Udah anak
Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri."Apaan, sih, kamu."Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri."Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana."Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib
Sari masih tetap mematung di tempatnya berdiri. Lian, suaminya itu tengah menatapnya dengan tajam setelah baru saja keluar dari kamar dengan menggendong Gavin yang sepertinya masih terjaga."Tidur kamu di dalam kamar mandi?""M-mas, itu jamnya mati, kan?" tunjuk Sari pada jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam."Otakmu itu yang mati!" ucap Lian geram. Sari semakin gugup melihat kilat marah dari mata Lian.Rambutnya yang masih meneteskan air itu membasahi baju bagian pundak dan punggungnya, membuatnya merasa kedinginan padahal tadi tidak. Lian yang melihat gelagat Sari pun menghampirinya."Kia sudah kusuruh pulang dari tadi dan aku baru saja pulang jam sebelas. Kata Kia, kamu sudah di dalam kamar mandi sejak dia pulang sehabis Isya'. Ngapain aja kamu? Keramas malam-malam begini, habis main sama siapa kamu?"Sari tersentak saat Lian dengan teganya mengatakan hal itu. Seolah, suaminya itu tengah menuduhnya berselingkuh."Apa maksud kamu, Mas? Aku cuma mandi gak lebih dari lim
"Mbak Sari! Mbak Sari! Mau kemana, Mbak?"Bagaikan tuli, Sari tetap melanjutkan langkahnya menuju kebun kosong yang gelap tak jauh dari rumahnya. Tangisan Kia seakan sama sekali tak menyentuh gendang telinganya meskipun bocah itu sudah mengeluarkan suaranya sekuat tenaga."Gak mungkin aku ngikutin, kebun sana, kan, gelap banget. Mending aku kasih tahu suaminya aja."Salma, menantu dari bu Ratmi yang memang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah Sari itu melihat Sari berjalan menuju kebun kosong bersama anak perempuannya. Tadi, Salma baru saja melepas kepergian sang suami yang bekerja shift malam dan memutuskam untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sambil memainkan ponsel.Salma heran saat pintu rumah Sari terbuka lebar. Beberapa kali ia memanggil nama Lian, tapi tak ada yang menjawab."Duh! Mas Lian kemana, sih?"Salma meremat tangannya sendiri karena takut. Sesekali ia menoleh ke belakang, di mana arah perginya Sari tadi. Ia masih mendengar suara tangis Kia meskipun sudah t
Sandi buru-buru menggendong Kia yang masih menangis. Apalagi, ditambah dengan ia yang terjatuh sebab diam-diam Sandi menarik tubuh Sari dari belakang hingga menyebabkan Sari dan Kia terjatuh secara bersamaan."Mas, cepat bawa mbak Sari pulang!" teriak Sandi saat mendapati kakaknya itu masih terpaku di tempatnyaMungkin Lian juga sama terkejutnya.Sedangkan, Sari sudah menangis meraung dengan posisi masih duduk di atas tanah yang berumput itu. Ia meracau tidak jelas.****"Nyusahin banget isteri kamu itu Lian," gerutu bu Tri yang saat ini berada di ruang tamu rumah sang anak.Lian hanya mampu mengusap wajahnya kasar. Sari sudah tidur di kamarnya. Tadi, ia sempat pingsan ketika sampai di rumah dan mendapati kedua anaknya tengah menangis. Terutama Kia. Bocah itu sampai menolak untuk Sari dekati, membuat pukulan besar terhadap diri Sari sendiri."Ya, mau gimana lagi, Bu. Kayanya, Sari emang beneran sakit," jawab Lian lesu.Pikirannya kini benar-benar kacau. Melihat Sari yang kian hari kia
"Kamu mau kemana, Lian?" tanya bu Tri saat Lian beranjak dari duduknya "Mau ke poli kandungan sebentar, Bu. Mungkin sudah waktunya Sari dipanggil.""Kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, begitu?"Wajah bu Tri sudah tampak khawatir. Ia takut jika Lian meninggalkan dirinya sendirian di ruang rawat itu. Tadi, saat bu Tri buru-buru masuk ke dalam rumah, ia tak melihat jika Kamila sedang mengepel lantai.Lantai yang masih basah membuat bu Tri terpeleset dan jatuh hingga berakhir pingsan. Lian yang memang sudah bersiap untuk pergi mengantarkan Sari itu pun segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Ia meminta bantuan tetangganya yang memiliki mobil untuk mengantar bu Tri ke rumah sakit. Sari diminta oleh Lian ikut dengan mobil, sedangkan ia sendiri pergi dengan membawa motor. Gavin dan Kia mau tidak mau ia titipkan kepada Kamila meski awalnya adik iparnya itu keberatan.Bu Tri terpaksa dirawat karena tensi darahnya tiba-tiba naik. Kaki kirinya juga terkilir cukup parah, membuatnya kesuli
Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.