Maharani melepas Fandy karena satu hal dan memilih menerima lamaran lelaki yang tak dicintainya. Akan tetapi, setelah menikah Rani mendapati kenyataan bahwa Fandy tidak jadi menikahi Laila karena satu dan lain hal. Maharani yang terlanjur menikah dengan Lana merasa dilema. Satu sisi, Lana bertanggung jawab atas dirinya dan disisi lain ada Fandy yang menjadi pemilik hatinya. Sikap Lana membuat Rani merenung dan akhirnya memilih bertahan di sisi Lana. Namun, kehadiran Renata, wanita dari masa lalu Lana, membuat hidup Rani berantakan. Rani diusir oleh Lana. Ia pergi dengan kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Simak kisahnya..
View MoreBab 1
"Maafkan aku. Aku harus menikah dengan Laila," ucap Mas Fandy dengan pandangan takut-takut. "Menikah? Lalu aku? Apa maksudmu, Mas?" selaku tak terima. Hubungan ini sudah jalan lebih dari lima tahun tapi dengan teganya dia berkata begitu padaku setelah janji yang kerap ia katakan saat kami bersama. "A—aku ... Aku tak punya pilihan lain. Aku tak bisa menolak permintaan bapaknya," balas Mas Fandy dengan tergagap. Raut penuh sesal tergambar jelas di wajahnya yang selalu kudamba. "Mengapa tak bisa menolak?" sergahku penuh penekanan. "Ada satu hal yang membuatku terikat dengannya. Aku tak mungkin menyusahkanmu dengan menentang pernikahan itu. Percayalah, ini murni karena terpaksa, bukan karena hal lain." Mas Fandy menunduk, menyembunyikan wajahnya dari hadapanku. "Katakan apa hal itu? Akan kubantu semampuku agar kita bisa tetap bersama," balasku penuh harap. Cinta ini sudah tumbuh subur dan bersemi dalam hati, tak mudah melupakannya begitu saja. "Tidak, Sayang. Aku cinta kamu, aku tak mungkin menyusahkan wanita yang kucintai karena masalah keluargaku." Mas Fandy menatapku dengan penuh cinta. "Ini semua demi melindungimu. Aku tak mau kamu hidup susah karena aku. Tidak ada jalan yang bisa kutempuh selain melepasmu demi menikah dengannya karena aku tak mampu membayar hutang itu." Aku terdiam, mencerna ucapan kekasih yang sudah lama berjanji menikahiku. Selama kami dekat, aku tahu banyak soal sifat dan karakter Mas Fandy. Dia tak mungkin menduakan apalagi menyakitiku. Jika memang dia sudah mengambil keputusan itu, maka itu adalah yang terbaik. Namun, perasaan yang sudah tumbuh ini tak mungkin bisa mati begitu saja. Meskipun aku tahu keputusannya adalah jalan terbaik, tapi tetap tak mudah melepasnya pergi. "Aku akan bantu, Mas. Kita coba dulu cari solusinya," rayuku agar dia tetap disisiku. "Kamu yakin?" Bola mata berwarna hitam milik Mas Fandy itu menatapku tak berkedip. Tampak keraguan dalam sorot matanya. Kepalaku mengangguk mantap. "Aku yakin, agar kita tetap bersama. Katakan padaku, masalah apa yang membuatmu sampai harus menikahinya?" tanyaku mantap. "Tapi aku tak yakin kamu mampu. Aku tahu bagaimana kehidupanmu dan keluargamu." "Katakan dulu apa masalahmu? Kita cari solusi bersama." Mas Fandy diam tak berkedip. Ia seolah sedang berpikir keras. Akan tetapi aku harus tetap meyakinkan dia bahwa aku akan selalu di sisi apapun masalahnya. "Kamu ingat Mas berhutang sama bapaknya Laila? Sekarang hutang itu makin bertambah, menjadi seratus juta. Tidak ada yang bisa dipakai untuk membayar hutang itu selain menuruti permintaannya untuk menikahi Laila." "Seratus juta? Sebanyak itu?" pekikku kaget. "Hutang berikut bunganya. Mas tak bisa bayar tepat waktu hingga hutang itu makin menumpuk menjadi banyak." Mas Fandy menghela napas berat. Seberat hutangnya yang sudah lama tak dibayar itu. "Padahal Ibu sudah meninggal, tapi hutang itu makin bertambah banyak," lirihku ragu bisa membantu Mas Fandy atau tidak. "Mas ngga bisa berbuat banyak sebab Mas hanya sopir. Apa kamu masih yakin bisa bantu Mas?" Mas Fandy menatapku tak berkedip, seolah ia tahu bahwa aku tidak mampu membantunya. Kini, ganti aku yang ragu dengan ucapanku. Seratus juta untukku yang hanya seorang penjaga butik tentu adalah jumlah yang sangat besar. Tak mudah untukku mendapatkan uang itu dalam waktu dekat. "Kita coba cari bantuan Bapak, gimana?" tawarku mencoba mencari solusi. "Kamu yakin?" balas Mas Fandy ragu. "Apa kamu tahu Bapak punya uang sebanyak itu?" "Kita coba saja. Dapat atau tidak itu urusan belakangan." Mas Fandy terdiam sambil menatapku tak berkedip. Tangan kekar miliknya itu perlahan bergerak meraih tanganku. "Mas malu sama kamu, apalagi keluargamu. Bagaimana Mas tega merepotkan kamu sementara kita belum sah menjadi suami istri?" "Hubungan kita sudah lama terjalin. Tak mungkin aku diam saja melihatmu kesusahan. Dapat atau tidak paling enggak aku udah berusaha." "Makasih ya?" Mas Fandy mengusap pucuk kepalaku dengan lembutnya. Aku tersenyum sambil mengangguk. Melihat senyum di wajah kekasihku itu membuat hatiku lega seketika. Setidaknya aku sudah melakukan sesuatu untuk mempertahankan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius. Setelah berjumpa dengan Mas Fandy, aku segera kembali ke rumah. Aku harus bicara pada bapak dan mendapatkan solusi dari semua ini. "Pak," panggilku lembut. Bapak yang sedang membaca berita online di ponselnya seketika mendongak, menatapku setelah menurunkan kaca matanya. "Apa?" "Rani mau bicara," ucapku lirih. Perlahan kakiku melangkah menuju kursi panjang yang diduduki Bapak. "Tumben? Mau bicara apa? Sepertinya penting." Bapak meletakkan ponselnya, lalu memasang wajah serius sambil menunggu aku bercerita. "Mas Fandy, Pak." Aku menghentikan ucapanku sambil mengulur waktu untuk merangkai kata. "Kapan dia datang melamar? Sudah lama kalian pacaran tapi hubungan kalian ngga ada kemajuan." Ucapan Bapak itu membuatku tersentak, sempat membuatku ragu untuk bicara. Akan tetapi aku tak punya pilihan lain. "Itu masalahnya, Pak. Mas Fandy terlilit hutang," selaku takut-takut. Jemariku memegang ujung baju sambil memilinnya untuk mengurai rasa cemas. "Lalu?" "Mas Fandy tak dapat membayar, yang punya uang minta ganti Mas Fandy menikahi putrinya. Rani tak bisa biarkan itu terjadi, Pak. Rani cinta sama Mas Fandy. Apa Bapak ngga bisa bantu biar Mas Fandy ngga perlu membayar hutangnya dengan pernikahan?" Wajah yang semula penuh rasa penasaran kini berubah sedikit mengeras. Jemari Bapak yang sudah dipenuhi kerutan itu perlahan mengusap wajahnya, lalu beralih mengusap kepalaku dengan lembutnya. "Nak, hutang itu dibawa mati dan wajib dibayar oleh yang bersangkutan. Sebagai orang lain, kamu tak harus memikirkan hal ini. Kalau pemilik uangnya minta dibayar dengan pernikahan ya biar saja, biar dibayar sama Fandy sesuai permintaannya. Toh hidupmu ngga akan selesai meskipun kamu tidak jadi menikah dengan dia." "Mas Fandy bukan orang lain, Pak!" selaku tak terima dengan ucapan Bapak. "Dia seorang laki-laki, bagaimana pun tetap berkewajiban membayar apa yang sudah diperbuatnya, sekalipun itu untuk keluarganya. Nak, kamu anak perempuan. Ngga perlu susah mikir urusan hutang seperti itu. Lebih baik kamu pikir dirimu sendiri. Kalau Fandy bisa cepat menikah kenapa kamu enggak?" Aku terkejut dengan ucapan panjang Bapak yang selama ini terkesan tak banyak bicara. Ucapan Bapak kali ini bak bom yang meledak setelah tertahan sekian lama. "Apa maksud Bapak?" Dahiku mengerut, tak paham dengan apa yang Bapak inginkan. "Kalau dia bisa menikah, kenapa kamu enggak? Bapak bisa carikan calon untukmu." "Calon?" pekikku kaget. "Pak, Rani maunya sama Mas Fandy! Ngga mau yang lainnya!" sentakku tak terima. Aku sampai lupa dengan adab, berani membentak Bapak tanpa ragu. "Jangan membuat semua menjadi makin runyam. Dia ngga bisa menikahi kamu karena harus membayar hutangnya dengan pernikahan. Itu berarti mereka memang sengaja menjerat Fandy agar menjadi menantu mereka. Kalau kamu memaksa untuk bayar hutang itu, percayalah, hidupmu tak akan tenang." "Apa maksud Bapak?" balasku tak paham. "Hartono itu bukan orang sembarangan. Mereka punya kuasa atas segalanya. Percuma kamu bayar hutang itu, nanti yang ada dia akan tetap membuat Fandy terikat dengan mereka. Sudahlah, Nak. Jangan hanya bicara soal cinta dalam pernikahan. Yang penting lelakinya setia dan mau menerima kamu apa adanya. Maulana kemarin datang untuk meminangmu, lebih baik Bapak terima saja lamarannya dari pada hidupmu susah karena Fandy." Mataku membulat tak percaya. Maulana? Dia datang melamar? Bagaimana bisa?Bab 50PoV Maharani Lelaki itu mengikatku dengan tali, kencang sekali. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku segera berteriak agar siapapun yang diluaran sana mendengar suaraku."Tolong!" teriakku kencang."Hey! Diam kamu!" sengit lelaki itu sambil menatapku tajam.Tak kupedulikan tatapan lelaki itu. Aku kembali berteriak. "Tolong!" "Dasar kamu!" Lelaki itu kembali menatapku penuh emosi. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan tua ini dan kembali dengan membawa kain panjang dan diikatkan di mulutku. Aku tak lagi bisa berontak. Kedua tangan dan kakiku diikat. Entah apa yang akan dia lakukan padaku."Diam kamu kalau tidak mau aku bermain kasar denganmu!" sentak lelaki itu. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan ini.Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Siapapun itu, diluaran sana, tolong aku. Aku takut di sini. Lelaki itu kembali setelah beberapa saat. Ia mendekatiku, lalu membuka ikatan tanganku tapi tetap memegangi pergelangan tanganku agar aku tak berontak."Jangan
Bab 49PoV Maulana Mobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju jalan raya. Suara teriakan wanita di belakangku membuatku turut panik. Berbagai pikiran buruk terus saja muncul dalam pikiranku.Setibanya di klinik, seorang tenaga medis membantu menaikkan tubuh ibu muda itu ke atas brankar untuk dibawa ke ruangan IGD."Mas, makasih ya? Kalau ngga ada Mas saya ngga tahu lagi harus gimana. Saya ngga bisa bawa istri saya pakai motor sebab khawatir kalau dia kenapa-kenapa di jalan," ucap lelaki itu sambil berulang kali melihat brankar sang istri yang sudah didorong oleh petugas."Sama-sama, Pak. Semoga ibu dan bayinya sehat dan selamat. Saya permisi," ucapku sopan."Aamiin. Hati-hati di jalan, Mas," ucap bapak itu sambil menyelipkan amplop ke dalam tanganku saat aku berpamitan."Ngga usah, Pak. Saya senang bisa bantu Ibu. Ngga pakai ginian," ucapku seraya mengembalikan amplop itu ke dalam tangan pemiliknya."Mas beneran?" Binar di mata bapak muda itu bersinar sambil berkaca-kaca."Be
Bab 48PoV MaharaniMelihat Mas Lana ada di depan mata, rasanya aku tak percaya. Dia bisa sampai disini dan menemukanku untuk mengajaknya kembali.Sayangnya, aku masih kesal padanya sebab dia yang sudah tega menuduhku yang bukan-bukan. Harus kuberi pelajaran dulu agar dia tahu caranya menghargai pasangan.Berulang kali mendapatinya mengejarku membuatku merasa bahwa dia laki-laki yang memang bertanggung jawab. Hasutan Renata mampu membuat suamiku yang baik itu sampai tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan padahal selama bersamaku, Mas Lana terbilang dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi.Tiga hari, adalah waktu yang kuperkirakan untuk membuat Mas Lana cukup menyesali perbuatannya. Setelah tiga hari, aku akan mulai menerima ajakannya bicara untuk memperbaiki semuanya.Mataku membelalak saat melihat Mas Fandy tiba-tiba saja ada di sini, di rumah Bulik yang jauh dari rumah kami di kota, di hadapanku dengan senyumnya yang masih sama seperti saat kita menjalin hubunga
Bab 47PoV Maulana Setelah beristirahat, badanku sedikit membaik. Perutku pun rasanya minta segera diisi. Sehari kemarin, Bulik yang memberiku makan maka sekarang, aku ingin membalas kebaikannya dengan membelikan makanan untuk seisi rumah.Ikan bakar beserta sambal dan lalapan sudah ada di tanganku. Aku ingat, di awal kehamilan Rani, ia sempat meminta dibelikan makanan ini. Kali ini aku ingin mengulang momen itu, dimana hubungan kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun."Repot-repot aja Nak Lana," ucap Bulik saat aku mengulurkan beberapa kotak berisi ikan padanya."Enggak, Bulik. Kemarin Bulik yang memberiku makan, maka sekarang izinkan Lana mentraktir kalian semua," balasku sambil mengulum senyum. Sayangnya, Rani sama sekali tak melirikku padahal ia sedang duduk di ruang tengah."Walah, rejeki ini namanya. Kebetulan aja Bulik baru mau masak buat makan malam. Sekarang ayo sini kumpul makan dulu," ajak Bulik."Pak, ayo makan dulu," teriak Bulik di ambang pintu dapur. E
Bab 46Pov MaulanaMalam ini adalah malam pertama aku tidur di rumah ini. Panas sekali. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin kecil yang sudah usang. Dan itu pun tak bisa sesejuk kipas angin yang masih baru. Tak hanya itu, kipas angin itu berbunyi saat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ah seharusnya ini kumatikan saja. Tanganku tergerak menekan tombol kipas itu. Dari pada berisik dan aku tak jadi tidur lebih baik tak usah kipas angin.Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rumah ini. Berat, tapi demi Rani aku harus rela menelan semua ini.Terpaksa kulepas bajuku agar aku bisa tidur malam ini. Badanku baru terasa sejuk saat aku hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan. Kulit punggungku menempel pada kain sprei yang meskipun warnanya sudah pudar, kain itu tetap terasa dingin.Keesokan harinya, badanku sakit semuanya. Kasurnya bukan dari springbed tapi dari kasur kapuk yang sepertinya sudah lama. Saat aku tidur tidak ada empukn
Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem
Bab 44Sebuah rumah sederhana menjadi tempatku berhenti setelah berulang kali bertanya perihal alamat yang diberikan oleh Bapak. Rumah buliknya Rani, Bu Sulastri.Aku berjalan dengan langkah penuh keyakinan bahwa Rani ada di sini, di rumah ini dan aku bisa segera membawanya kembali ke rumah kami."Permisi, assalamualaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Aku berdiri dengan harap-harap cemas.Dua kali ketukan tak kunjung ada seseorang dari dalam yang menjawab salamku. Akan tetapi, aku tetap sabar menunggu hingga sang pemilik mendengar salamku dan membukakan pintu.Benar saja, tak butuh waktu lama, seseorang membukakan pintu untukku."Waalaikum salam. Cari siapa ya, Nak?" jawab seseorang setelah pintu ruang tamu itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan ciput yang membungkus kepalanya. Gamis panjang melekat di tubuhnya yang tidak terlalu gemuk."Saya cari Rani. Apa dia ada di sini?" tanyaku tak sabaran."Rani?" jawab perempuan paruh baya yang sepertinya beliau ini yang bernama Bu
Bab 43PoV Maulana Aku terkekeh mendengar permintaan Fandy. Permintaan macam apa itu? Dia sudah menikah, aku pun sudah menikah. Bagaimana bisa dia meminta Rani untuknya hanya karena setelah membantuku memberi informasi soal keluarganya."Jangan mimpi kamu! Rani sudah sah menjadi milikku dan aku ngga akan melepas dia begitu saja." Aku berucap dengan tegas sambil menatap wajah yang sedang merasa bangga di depanku itu.Fandy terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari hadapanku lalu kembali menatapku setelah beberapa saat."Baiklah. Aku tidak akan memberi tahu kamu soal dimana rumah saudara Rani. Silahkan kamu cari tahu sendiri soal ini ke orang tua Rani. Itu pun kalau mereka tidak murka padamu sebab sudah membuat anak mereka pergi dari sini!" Fandy terkekeh setelahnya.Ucapan Fandy itu sedikit membuat ketakutan dalam dadaku makin meningkat. Tapi, sebagai laki-laki aku harus menerima setiap konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan pada Rani, sesuai dengan apa yang Mama ucapkan.
Bab 42PoV Maulana Aku menatap geram wajah Renata. Padahal kemarin aku sudah baik padanya, membantu mengatasi masalahnya tapi ini balasan dia padaku?Aku salah mengartikan kebaikannya selama ini. Kukira dia memang benar baik, nyatanya ada maksud yang tersembunyi dari semua kebaikannya padaku.Benar apa yang dilakukan Maharani dengan bersikap tegas pada Renata kemarin. Sekarang aku yang menjadi korban keegoisannya. Aku lupa melindungi keluargaku dari godaan perempuan seperti Renata padahal istriku sudah melakukannya lebih dulu.Aku merasa gagal sebagai suami."Aku minta maaf, Lan. Aku sungguh masih cinta kamu. Aku ingin kita balikan lagi kayak dulu. Aku ngga bisa lepasin kamu," rengek Renata setelah ia menjelaskan semuanya padaku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dalam diri Renata setelah apa yang ia lakukan padaku. Ia masih berani mengajakku menjalin hubungan setelah rumah tanggaku porak-poranda karenanya.Benar memang Mbak Narti adalah orang suruhannya dan semua itu hasil rekayas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments