Suasana sunyi masih menyelimuti perjalanan Jojo dan Sari. Lelaki itu tidak tahu, bagaimana cara menjelaskan ke Sari tentang kartu identitasnya. Apa yang dipikirkan Erika? Mengapa ia sengaja menitipkan kartu Jojo ke resepsionis. Padahal bisa saja ia berikan nanti saat bertemu.
Bukankah mereka berdua harus bertemu dan menjadikan kartu itu sebagai alasan? Apa Erika sengaja ingin membuka perselingkuhan mereka di depan Sari? Jika iya, lelaki yang dicintainya sudah pasti tidak akan kembali lagi, justru benar-benar menjauh.
Suara klakson mobil dari belakang mengagetkan Jojo. Matanya melirik ke arah rambu lalu lintas yang sudah berubah hijau. Sementara Sari hanya bisa berpikir positif bahwa suaminya sedang memiliki masalah di pekerjaan sedangkan tentang kartu itu, ia tak bisa menerka-nerka. Khawatir terjadi pemikiran buruk yang memperkeruh hubungan mereka.
Meski bibir tipis Sari ingin sekali bertanya. Namun, ia tahan. Entah, ia merasakan aura suaminya sangat tidak baik sejak sarapan tadi. Maka Sari putuskan untuk diam dan menanti Jojo yang bercerita.
"Mas, apa kamu sudah makan?" Jojo menoleh ke arah istrinya sambil menggeleng. Bibirnya terasa malas menjawab. "Gimana kalau kita berhenti dulu, cari makan?"
"Nggak bisa. Nanti kemalaman. Aku ingin segera selesai dan istirahat."
Kali ini Jojo tidak menoleh ke arah Sari sedikitpun dan terus melajukan mobilnya. Padahal istrinya sangat lapar karena sekarang sudah siang. Mengingat tadi pagi mereka hanya sarapan sedikit. Namun, wanita itu hanya bisa menahan serta menuruti kemauan Jojo.
Mungkin karena mereka sedang menempuh perjalanan jauh dan melewati hutan, wajar saja jika Jojo menginginkan tiba segera. Sebelum mentari pulang dan jalanan menjadi gelap.
Waktu sudah menjelang sore. Jojo menghentikan mobilnya di sebuah mal yang tidak jauh dari rumah dinas mereka.
"Kita cari perlengkapan seperlunya saja dulu. Seperti kasur karena untuk tidur," ucap Jojo sebelum turun dari mobil. Istrinya hanya mengangguk menuruti dan mereka pun beranjak.
Hampir satu jam mereka berputar di sebuah toko dan memilih beberapa kebutuhan. Sari mulai terlihat pucat, ia tidak bisa menahan lapar karena tidak terbiasa terlambat makan. Meski sedikit, Sari selalu mengisi perut tepat waktu.
"Mas, kayaknya sudah cukup. Sementara ini dulu," bisiknya.
"Oke. Kita ke kasir."
"Setelah ini, bisa kita makan? Aku lapar."
"Haduh… kamu ini, tidak bisa menahan hingga malam? Sebentar lagi juga waktunya makan malam, kok. Lagi pula badanmu sekarang sudah mulai gemuk, ada baiknya kamu diet. Kita harus segera sampai. Aku lelah."
Sari memegang perutnya. Apa benar yang dikatakan Jojo? Ia terlihat gemuk? Sesekali tangannya pun mencubit pipi, merasakan kebenaran yang diucapkan lelaki berkulit putih itu.
Selesai dari kasir, gegas Jojo berjalan cepat menuju mobil. Namun, saat dalam perjalanan ke parkiran Sari tak kuasa menahan perutnya yang keroncongan mencium aroma roti dari toko yang baru saja mereka lewati. Ia menelan saliva berulang dan pandangannya menatap ke toko itu.
Tanpa izin kepada lelaki yang berjalan di sebelahnya, ia langsung berbelok, masuk ke toko roti dan mengambil beberapa roti. Lalu masuk dalam antrian kasir. Jojo menggeleng kesal melihat tingkah Sari yang kekanakan. Mau marah tetapi ia tahan karena berada di tempat umum.
Kepalanya menggeleng sambil membuang kasar napas panjang. Lalu menghampiri wanitanya.
"Sudah aku bilang, bersabar hingga makan malam. Kita harus segera pulang. Ayolah, kamu jangan seperti anak kecil," ucap Jojo sedikit ditekan. Tatapan matanya memaku mata Sari sesaat. Membuat wanita yang baru beberapa bulan menjadi istrinya merasa takut.
Namun, apa boleh buat. Sari terlanjur masuk dalam antrian dan perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi. Dari pada ia pingsan dan menyusahkan Jojo, ada baiknya memaksa diri untuk mengisi perut meski sedikit.
"Tapi, Mas, sebentar aja. Ini udah mau selesai di depan aku," bujuk Sari. Matanya mengiba. Memohon pada Jojo agar memaklumi.
"Terserah. Aku tunggu di mobil."
Jojo melenggang penuh amarah. Kekesalan terhadap Erika membuatnya ingin melampiaskan terhadap Sari. Haruskah ia lakukan? Rasa benci setiap kali melihat Sari pun mulai bermunculan. Entah mengapa, di matanya, Sari terlihat sangat gemuk bahkan sudah mulai membangkang.
Sesampainya Jojo di mobil, ia mencoba menghubungi Erika. Tidak ada jawaban. Gadis itu yang tengah tertidur lelap tidak menyadari panggilan telepon dari Jojo.
Jojo memukul stir mobilnya lagi, kesal. Tiba-tiba Sari dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam mobil. Mengejutkan.
"Makan roti dulu, Mas?" Sari mengulurkan tangannya dan memberi Roti.
Namun, Jojo justru membuang roti pemberian istrinya keluar mobil dan segera meninggalkan parkiran mal dengan wajah kesal. Iya melajukan kendaraan ugal-ugalan. Bahkan Sari yang belum sempat mengenakan sabuk pengaman hingga terbentur.
Jojo tak peduli. Ia hanya melirik sedikit ke arah istrinya yang meringis. Sementara Sari tercengang, jantungnya berdegup kencang--takut. Apa yang terjadi dengan Jojo? Apa salah yang dilakukan Sari dengan menawarkan roti? Ia hanya berniat berbagi dengan suaminya. Jika tidak ingin, Jojo bisa bilang baik-baik.
Apa karena terlalu lama menanti Sari membeli roti? Sebegitunya? Mengapa bisa berubah drastis? Bukan seperti Jojo yang dikenal Sari. Semua tanya membuncah dalam hati, tak satupun terucap. Wanita itu hanya mampu memendam. Bahkan mengurungkan niat menyantap roti yang ada di tangan dengan mata yang menahan tetesan kesedihan.
***
Erika memeriksa gawai, terdapat panggilan telepon dan beberapa pesan dari Jojo masuk. Bibirnya tersenyum, menyadari lelaki itu tanpa susuk telah mengharapkan ia kembali. Namun, Erika tidak mau lengah. Ia mulai mengatur rencana untuk mendapatkan uang Jojo dan tetap berencana memasang susuk untuk berjaga jika nanti lelaki yang ia cinta kembali kepelukkan istrinya.
[Tolong balas pesanku jika kamu sudah membacanya.]
[Iya, kenapa lagi?]
Satu jam berakhir tanpa ada balasan lagi dari Jojo. Gawai Jojo masih di dalam tas sementara ia bersama Sari sejak tiba di rumah dinas sibuk merapikan rumah.
"Tolong pesan makan malam," titah Jojo. Sari segera menuruti, mencari gawai dan mulai memesan makanan online.
Sari melihat Jojo sudah lebih baik, ia yang sudah benar-benar lapar segera mengambil dan memakan roti yang tadi dibelinya.
Sementara Jojo beristirahat di kamar dan membuka gawai. Sudah terdapat pesan Erika. Ia merasa lega mendapat jawaban. Artinya wanita selingkuhan itu masih memberi harapan.
[Sabtu sore, kita harus bertemu. Tolonglah, jangan bersikap kekanakan. Semua masih bisa dibicarakan.]
[Baiklah.]
Erika mengalah bukan untuk kalah tetapi karena rencananya. Ia mengingat perkataan Emak untuk menurunkan ego dan bersikap lebih lembut agar efek pelet pun berjalan lancar, sesuai yang diharapkan.
Jojo membuang napas lega, ia memejamkan mata dan bersandar pada bantal yang menempel ke dinding ranjang. Sementara bibirnya mulai tersenyum, ia yakin akan menaklukkan hati Erika lagi dan membuat gadis itu setuju dengan keputusannya.
Sari yang sudah selesai makan roti dan memesan makanan online, masuk ke kamar. Mendapati Jojo yang terpejam tapi bibirnya tersenyum.
"Apa masalahnya sudah selesai?" tanya Sari dalam hati. Ia mendekati tubuh lelaki itu, duduk di sebelahnya. Memberikan pijatan di tangan Jojo dan membuat pemilik tangan itu menatapnya.
"Kamu lagi capek banget hari ini, Mas?" Jojo hanya tersenyum menanggapi tanya. "Aku pijat, ya?"
"Iya," jawab Jojo. Sari pun segera memijat Jojo. Berharap suaminya akan merasa lebih baik dan bersikap manis lagi seperti sebelumnya.
***
Seharian Sari sibuk membereskan rumah baru. Hingga ia lupa membersihkan diri untuk menyambut suaminya pulang. Jojo yang baru saja tiba di rumah menggeleng melihat Sari yang tampak kucel.
"Kamu seharian ngapain aja?" tanya Jojo.
"Aku ngerapihin rumah, Mas."
"Kalau suami pulang tuh, dandan yang rapi, cantik. Agar aku tidak bosan melihatmu. Kalau pulang melihat istri berpenampilan begini, aku bisa mampir ke rumah wanita lain."
"Kok, kamu bicara begitu?" Jojo tergelak menyaksikan wajah istrinya yang kesal. Ia segera menggendong Sari dan membawanya ke toilet--mengajaknya mandi bersama.
Efek pelet yang memudar membuat Jojo merasa sangat sayang terhadap istrinya. Ia mulai bersikap manis lagi terhadap Sari. Hingga meninggalkan jejak kasih sayang di tubuh wanita itu.
"Ndok, maafkan aku," bisik Jojo. Mata Sari terpaku menatap lelaki di belakangnya melalui cermin yang kini tengah memeluknya erat dan saling pandang melalui benda pemantul itu.
"Iya, aku sudah maafkan. Tapi, aku masih kaget dengan sikap kamu kemarin."
"Iya, tuntutan pekerjaan membuat aku tidak bisa mengontrol emosi. Kau harus paham ya, dan tetap bersikap tenang seperti kemarin. Terima kasih telah menjadi istri yang sabar."
"Tapi, apa sekarang masalahmu sudah selesai?" Jojo mengangguk dan meninggalkan kecupan pada leher Sari. "Oh, ya, Mas. Menurutmu kalau aku bekerja gimana?" tanya Sari. Ia membalikkan badannya dan melingkarkan tangan pada pinggang Jojo.
"Hmmm… boleh. Toh, kita belum memiliki bayi. Sambil mengisi waktu kosongmu, silakan. Nanti aku bantu cari info lowongan kerja." Sari tersenyum lega mendengar jawaban Jojo.
"Aku akhir pekan apa boleh kembali ke Jakarta dulu dan membereskan barang-barangku? Karena Mama tidak tahu berkas-berkas untuk lamaran kerja."
Jojo meninggikan alisnya. Bukankah kepergian Sari ke Jakarta hal yang bagus? Tentu Jojo mengangguk dan menyetujui izin istrinya. Ia dengan leluasa bisa bertemu Erika dan memadu kasih lagi. Pasti selingkuhannya pun akan merasa senang mendengar berita ini.
"Oke. Berapa lama kau akan di Jakarta."
"Tiga hari mungkin?"
"Apa tidak capek kalau tiga hari? Seminggu juga tidak masalah, kok, Ndok. Kau tidak perlu terburu-buru kembali agar tidak ada yang terlupakan."
"Beneran?" jawab Sari bahagia. Ia segera memeluk tubuh suaminya. "Terima kasih, Sayang."
Sementara Jojo tersenyum lebar. Bukan hanya karena memberi izin istrinya.
Bersambung….
"Ndok, taksinya sudah datang," teriak Jojo dari depan pintu masuk. Lelaki bermata sipit itu menghampiri mobil yang terparkir di depan rumah dinas dan meminta supir menanti sebentar.Tak lama Sari berjalan keluar tanpa tas besar karena memang kepergian ke Jakarta hari ini untuk mengambil barang-barang yang masih ada di rumah orang tuanya. Jadi dia tidak membawa banyak barang agar kepulangan ke Kalimantan pun tidak terlalu banyak bawaan lagi.Ia menghampiri suaminya lalu mencium dengan takzim punggung tangan Jojo yang telah membukakan pintu taksi."Kamu, hati-hati di jalan, kabarin aku kalau sudah sampai, ya?""Iya, Mas.""Jangan lupa salam
[Sayang, maaf. Semalam kamu video call aku sedang di toilet. Terus lupa mau balas karena ketiduran. Kamu sudah sarapan?]Sari tersenyum membaca pesan singkat Jojo. Baru juga satu malam mereka berjauhan, tetapi rasa rindu telah bergejolak mengusik hati. Ingin segera kembali bertemu.[Aku lagi buat sarapan. Kamu sarapan apa, Mas?][Kamu masak apa? Aku lagi cari sarapan sambil lari pagi.]"Pagi, Pak, Bu. Silakan menikmati sarapannya," ucap seorang wanita paruh baya yang baru saja menyajikan nasi goreng seafood ke meja tempat Jojo dan Erika duduk. Jojo pun segera meletakkan gawai dan menikmati sarapan bersama pacar gelapnya di tepi pantai.Tentu jaw
Panggilan telepon dari Erika tak henti, mencari kabar tentang kekasihnya yang belum juga memberi jawaban. Hilang tanpa sebab. Bukankah kemarin baru saja mereka bersenang-senang? Apa yang direncanakan Jojo sekarang? Apa lelaki itu sengaja?Semua tanya mengguncang hati Erika. Kegelisahan akan kehilangan lagi pun merasuk. Namun, Erika mencoba bersikap baik dan wajar. Ia mengirim pesan manis meski amarah telah terlontar dengan kasar dari bibir berulang."Ah! Ada apalagi, sih? Lihat saja kau wanita perebut pacar orang, aku akan membuatmu menderita juga. Tak 'kan aku biarkan dengan mudah Jojo kembali," ucap Erika dengan bibir bergetar.Ia yakin, pasti ada sesuatu lagi yang terjadi dengan Jojo. Namun, pikiran Erika tidak dapat menebak. Ia hanya bisa melontarkan am
Rumah masih tampak sepi, Jojo baru saja selesai membersihkan diri setelah bekerja seharian. Ia duduk di pinggir ranjang. Mengecek beberapa pesan masuk. Embusan napas kencang keluar dari hidungnya, merasa lega. Tidak ada satu pun pesan dari Erika atau Femi yang menandakan gadis itu baik-baik saja, pasti. Pikiran Jojo melayang. Ia masih tak menemukan jawaban atas sikapnya kemarin yang telah tega menduakan Sari. Perasaan bersalah pun terus mengusik. Hingga jemarinya mulai menghapus jejak tentang hubungan terlarang. Dimulai dari percakapan pesan, panggilan, struk booking hotel dan lain-lain. Jojo terlelap dalam tidur setelah menyelesaikan semua. Kurangnya beristirahat membuat ia begitu cepat pulas malam ini. Sementara Erika bersama beberapa temannya, asik
Sari meraih kotak merah muda yang terjatuh di lantai. Mencari apakah ada pesan di dalamnya. Nihil. Bahkan di plastik hitam pembungkus kotak pun hanya ada nama dan alamat lengkap Sari. Ia hanya bisa mengelus dada berulang, mencoba memahami maksud dari semua. Kira-kira siapa pelakunya?Wanita itu menggeleng, menolak pikiran yang langsung tertuju pada Erika. Sari memilih mengambil gawai dan ia memfoto kotak itu. Lalu mengirimkannya kepada Jojo dan menceritakan kejadian aneh yang baru saja terjadi. Mungkin, Jojo mengetahui pelakunya.Orang yang mengetahui alamat baru mereka hanya teman-teman kerja Jojo. Tidak mungkin Erika tahu, pikir Sari.Sementara Jojo yang baru membuka pesan Sari, terdiam. Tentu, pikirannya langsung tertuju ke Erika, sama seperti Sari. Ia s
"Sayang, hari ini kita liburan di rumah, ya? Aku lagi capek banget. Seminggu ini banyak lembur," ucap Jojo. Tangannya memeluk lingkar pinggang Sari yang sedang berdiri di dapur, mencuci piring."Iya, Mas. Ya sudah kamu istirahat saja.""Oh, ya. Gimana lamaran kerja kamu, apa sudah ada balasan?""Belum, Mas.""Ya sudah, kamu sabar saja dulu. Biasanya maksimal satu bulan. Nanti aku cari tahu info lowongan kerja di tempat lain juga."Sari mengeringkan tangan dengan kain yang berada di dinding di sampingnya. Lalu, ia membalikkan badan, melingkarkan tangan pada leher Jojo."Iya, Sayang. Teri
Buntu. Jojo tidak bisa berpikir jernih. Pesan yang dikirim ke Erika pun tidak kunjung ada balasan. Kenapa wanita ini? Ia kembali mengirim pesan ke Erika, mencaci wanita itu. Menyalahkan semua kepadanya. Satupun pesan dari Jojo tidak direspon, hanya tawa Erika yang semakin geli membaca pesan-pesan itu.Jojo putus asa, meninggalkan gawainya begitu saja di meja ruang tamu. Ia berjalan menghampiri Sari yang berada di kamar. Namun, pintu terkunci. Ia mengetuk pintu dan memanggil nama istrinya. Beberapa kali tidak ada jawaban, sunyi."Sar… tolong buka. Ayo, kita bicarakan." Rayu Jojo mengiba."Apa lagi, Mas? Kebohongan lagi?" teriak Sari."Sar, kita sudah dewasa. Ayo, kita bicarakan. Jangan
Selama seharian, Jojo tak henti memikirkan Erika. Bayang wajah gadis itu mengusik terus. Senyumnya menggoda, seolah membuat Jojo tak tahan ingin memeluk. Bau parfum, masih terasa melekat di hidung. Hingga Jojo merasakan hadir Erika setiap detik harinya.Ia tak paham, meski sudah berusaha menepis semua tetapi Erika sangat nyata dalam pikirannya. Bahkan tawanya sesekali terdengar, suara lembut Erika pun selalu berbisik kata cinta. Apa yang terjadi? Apa ini kejadian lagi seperti kemarin saat dia berusaha melepas Erika. Akan tetapi, kali ini rasanya lebih ada tarikan yang memperkuat.Tatapan Jojo kosong, mengedarkan pandangan ke jendela bis yang menampilkan hutan dengan pepohonan di sepanjang perjalanan. Bahkan suara bising dari teman-teman yang sedang mengobrol selama perjalanan pulang tidak dapat ia dengar. Hanya ada suara Erika
Emak berjalan ke arah pintu. Tak peduli dengan tanya Erika. Ia meminta gadis itu keluar dari dalam rumahnya. Tatapan mata wanita tua itu sinis. Erika semakin tak paham. Ia sempat kekeh duduk di bangku rumah wanita tua itu. Hingga Emak benar-benar marah dan berteriak mengusirnya.Erika bangkit dari bangku dengan banyak tanya yang berkeliaran di kepalanya. Ia menatap balik Emak saat berpapasan di depan pintu dengan wanita tua itu. Wajahnya sempat mengiba, meminta pertolongan. Namun, Emak tak peduli. Ia segera menutup pintu saat Erika sudah berada satu langkah dari dalam rumahnya.Erika tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Pikirannya semakin kacau. Ia tak habis pikir, semua perjuangannya sia-sia. Cinta tulus yang ia berikan ke Jojo kandas dengan cara seperti ini. Padahal semua hampir ia
Setibanya Ambar di depan rumah Sari, ia melihat pintu pagar yang terbuka serta pintu rumahnya. Perasaan Ambar semakin tidak enak. Ia berlari masuk sambil memanggil nama Sari berulang. Saat ia memasuki ruang keluarga, Ambar mendapati Sari yang sudah terkulai di lantai tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat bercucuran."Ya ampun, Mbak. Kenapa?" Sari sudah tidak sanggup untuk berkata-kata.Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya mengeluarkan air mata, memandang Ambar penuh harapan. Meminta pertolongan."Tunggu sebentar, ya?"Ambar berlari keluar rumah, mencari orang dan meminta pertolongan. Tak lama beberapa warga datang dan membantu Ambar mengangkat Sari ke mobil tetangganya. Mereka
[Kamu kemana aja, sih? Susah banget dihubungi?][Jo! Aku serius tanya. Jawab!][Astaga! Kamu benar-benar mau membatalkan pernikahan kita karena wanita itu? Mana janjimu?]Pesan tak henti berbunyi sejak tadi pagi. Tak satupun sudah terbaca. Ya, karena tadi Jojo tidak membawa gawai saat ruqyah. Benda pipih itu tertinggal di nakas. Erika tak henti mengirim pesan singkat serta panggilan telepon. Ia yang baru sadar dari minuman alkohol tadi pagi, segera meneror kekasihnya itu.Namun, Erika tak ingat bahwa Jojo semalam sakit. Ia berpikir bahwa Jojo meninggalkannya semalam tanpa sebab.Sari membaca semua pesan masuk dari Erika. Lalu, ia menghapus semua
Sebuah taksi online telah tiba di depan rumah Sari. Ia dan Jojo segera menghampiri taksi itu. Mereka pun segera menuju tempat sesuai dengan lokasi yang Sari pesan.Baru masuk ke dalam mobil beberapa menit, rasa kantuk pada mata Jojo tak tertahan. Sari memang sengaja memberi Jojo obat demam setelah sarapan. Obat yang mengandung efek ngantuk. Karena agar Jojo tidak curiga mereka akan berobat kemana.Ya, Sari mengambil kesempatan demam Jojo untuk alasan membawanya ke klinik. Padahal mereka menuju rumah ruqyah yang telah disarankan Ambar. Perjalanan pun lumayan lama, jadi Jojo harus tertidur, pikir Sari. Agar suaminya tidak banyak bertanya.Setelah menempuh perjalanan hampir lima puluh menit, mereka pun tiba di sebuah tempat. Sari membangunkan Jojo. Lelaki itu
Dering gawai mengejutkan Sari yang tengah berpikir. Panggilan masuk datang dari orang tuanya di Jakarta. Ia segera mengangkat. Setelah saling menanyakan kabar, Sari memberikan kabar baik tentang tubuhnya yang telah berbadan dua tanpa memberitahu masalah yang sedang terjadi.Senyum mengembang dari wajah kedua orang tuanya, mendengar kabar itu. Sari pun ikut bahagia melihatnya.[Terus, sekarang Mas Jojo mana, Ndok?][Belum pulang, Ma. Lembur.][Kalau begitu kamu jangan capek-capek, ya. Jangan sering lembur juga.][Aku hari ini mengundurkan diri, Ma.][Lho, kenapa?]
Beberapa pesan singkat Erika masuk ke gawia Jojo, tetapi tak satupun yang dibalas. Jojo hanya melihatnya sebentar, lalu kembali ia masukan gawai ke dalam saku.Selama dalam perjalanan pulang, Jojo terdiam. Suara bising obrolan rekan-rekannya tak terdengar, seolah sunyi. Tanpa ada suara apapun. Pikirannya melayang, teringat bayang-bayang foto USG yang Sari kirimkan tadi siang. Bagaimana nasib bayi itu ketika lahir, pikirnya.Bagaimanapun juga janin itu adalah darah dagingnya. Ada rasa sedih dalam hati, memikirkan jika calon anaknya nanti membencinya karena tahu ia telah mengkhianati Sari dan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Bayang-bayang rasa bersalah terus menghantui sepanjang perjalanan. Hingga Jojo tiba di halte tempatnya turun.Seturunnya dari bis, Joj
Erika berdeham. Menahan malu dan amarah yang bergelut dalam pikirannya. Ia meraih rokok dari nakas dan segera menyalakannya. Setelah satu hisapan bisa terlepas, ia merasakan sedikit lega dan bisa mengembalikan keberanian bicara lagi."To the point aja, tujuan anda kesini ada apa?" tanya Erika ketus.Sari masih mempertahankan senyum tipis pada bibirnya. Menatap gadis yang berani menggoda suaminya lagi. Sambil mengangguk ia pun menjawab, "Iya, pertanyaan bagus. Saya cuma mau tanya, benar kamu mencintai Jojo dan kalian akan segera menikah?"Erika kembali tergelak sambil menghisap batang racun nikotin yang berada di jarinya. Senyum sengit ia lontarkan, seolah meledek."Hmmm… sepertinya Jojo suda
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S