Setibanya Ambar di depan rumah Sari, ia melihat pintu pagar yang terbuka serta pintu rumahnya. Perasaan Ambar semakin tidak enak. Ia berlari masuk sambil memanggil nama Sari berulang. Saat ia memasuki ruang keluarga, Ambar mendapati Sari yang sudah terkulai di lantai tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat bercucuran.
"Ya ampun, Mbak. Kenapa?" Sari sudah tidak sanggup untuk berkata-kata.
Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya mengeluarkan air mata, memandang Ambar penuh harapan. Meminta pertolongan.
"Tunggu sebentar, ya?"
Ambar berlari keluar rumah, mencari orang dan meminta pertolongan. Tak lama beberapa warga datang dan membantu Ambar mengangkat Sari ke mobil tetangganya. Mereka pun membawa calon ibu muda itu ke klinik terdekat.
***
"Apa dia baik-baik saja, Dok?" tanya Sari setelah merasa lebih baik. Seorang Dokter yang memeriksanya tersenyum tipis.
"Ibu Jatuh dimana? Terbentur, ya, perutnya?" Sari mengangguk. Enggan menceritakan kejadian sebenarnya. "Alhamdulillah nggak apa-apa bayinya, Bu. Tapi, lain kali hati-hati."
"Tapi, tadi kenapa sakit banget, ya, Dok?"
"Iya, karena benturannya keras, jadi sempat keram dan membuat bayinya juga kaget. Ini bayinya kuat banget, Bu. Tapi, tetap harus dijaga baik-baik, ya."
"Iya, Dok. Terima kasih."
Setelah selesai periksa dan Sari merasa tubuhnya sudah lebih baik, ia pun diizinkan pulang. Ambar menuntun Sari ke mobil. Tidak ada obrolan atau tanya dari Ambar selama perjalanan. Ia memilih diam dan menanti waktu berdua, agar Sari bisa dengan bebas menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Sementara Jojo yang telah mendengar kabar tentang Sari dari Ambar, sedang mengajukan izin pulang cepat. Namun, gagal. Ia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang wajib segera diselesaikan. Akan tetapi, setidaknya hari ini ia bisa tidak lembur.
[Ambar, tolong jaga Sari sementara. Maaf saya tidak bisa segera pulang.]
Ambar pun tanpa diminta mengiyakan permintaan Jojo. Setibanya di rumah, Ambar menyiapkan air hangat untuk Sari dan mereka duduk bersantai di ruang keluarga.
"Sebenarnya tadi Mbak Sari terbentur apa?" tanya Ambar mengawali obrolan.
Sari tersenyum tipis, menengok ke arah wanita yang duduk di sebelahnya. Lalu, dengan perlahan ia memiringkan tubuh menghadap Ambar.
"Pintu."
"Pintu? Kok bisa, Mbak?"
"Wanita itu benar-benar gila, Mbar. Dia datang dan mendorongku." Ambar tercengang mendengar cerita singkat Sari.
"Dia datang? Astaga! Ngapain?"
Sari pun menceritakan ke Ambar bahwa sebenarnya ia telah memblokir semua komunikasi dari gawai Jojo ke Erika. Lalu, ia juga menceritakan kejadian hari itu dengan detail ke Ambar.
"Ah! Jadi dia nggak tahu kalau Jojo sudah sadar, ya? Pantas saja. Sabar, ya, Mbak. Semoga Tuhan mempermudah proses perpindahan kalian ke Jogja. Agar wanita gila itu tidak mencoba mengganggu Mas Jojo lagi."
"Aamiin. Tapi, mungkin nggak ya, Mbar, wanita itu tidak mengejar kami hingga ke Jogja? Saat kami menikah saja, dia nekat lho datang ke sana."
"Hmmm waktu itu dia 'kan masih ada dana untuk kemana-mana, Mbak. Sekarang mana ada. Sudahlah berpikir positif saja, Mbak. Semoga Tuhan memberikan jalan dan kemudahan untuk kalian."
"Aamiin. Makasih banyak ya, Mbar. Duh, aku nggak tahu gimana nasib anakku tadi kalau kamu nggak segera datang." Ambar menanggapi dengan senyuman tipis.
Tak lama suara motor berhenti di depan rumah Sari terdengar dari luar. Jojo yang tak sabar ingin segera tiba di rumah, memesan ojek online setelah jam pulang kerja. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah dan menemui Sari.
Dengan wajah penuh khawatir, menghampiri wanita yang sedang bersandar di sofa sambil tersenyum ke arahnya. Jojo segera mengelus lembut perut Sari.
"Dia baik-baik aja 'kan, Ndok?" tanyanya.
"Alhamdulillah nggak apa-apa kok, Mas."
Jojo bernapas lega dan mengalihkan pandangannya ke arah Ambar yang masih duduk di sebelah Sari.
"Ambar, makasih banyak, ya, sudah bawa Sari ke klinik dan menemani dia di rumah."
"Iya, Mas. Sama-sama. Namanya juga tetangga. Harus saling bantu. Sama siapa lagi kalau bukan tetangga, minta tolong yang darurat," jawab Ambar. Wanita itu tersenyum simpul dan beranjak dari sofa. Lalu berpamitan karena Jojo sudah pulang.
Baru saja pintu depan Ambar tutup, Jojo berpindah duduk di sebelah istrinya. Memeluk wanita itu dan mengelus lembut rambutnya.
"Kamu ngapain memangnya, Ndok? Kok bisa sampai jatuh?"
Sari menoleh ke arah wajah Jojo yang kini berada di atas keningnya.
"Mandi dan ganti baju dulu sana, Mas. Nanti baru aku ceritakan."
"Kenapa? Bau, ya?" Sari tersenyum meledek sambil menutup hidungnya.
"Hmmm… coba kamu cium sendiri aja." Jojo pun segera menciumi bajunya yang telah seharian digunakan untuk bekerja. Ya, tentu. Selain bau keringat, ada juga bau matahari dari sana. Ia pun tertawa kecil dan izin membersihkan diri terlebih dulu.
***
Jojo menggedor sebuah pintu dengan keras sambil berteriak. Hingga membuat wanita di balik ruangan itu segera menghampiri sumber suara dan membukanya.
Erika menatap Jojo penuh rindu. Namun, sebaliknya dengan Jojo, kebencian tengah merajalela. Sapaan lembut Erika pun diacuhkan Jojo.
"Nggak usah sok lembut!" teriak Jojo. "Gue datang kesini cuma mau bilang kalau kita udah nggak ada hubungan apa-apa. Jangan ganggu istri dan anak gue."
Kedua mata Erika terbelalak, menatap heran dengan cacian itu. Belum sempat Erika menjawab sepatah kata pun, Jojo telah pergi dari hadapannya. Siap menuruni anak tangga.
Erika segera mengejar dan mempertanyakan maksud dari perkataan Jojo tadi. Namun, sia-sia. Jojo tidak menjawab dan terus berjalan keluar dari lingkungan indekos tempat Erika tinggal.
Erika yang marah, memukuli punggung Jojo dari belakang dengan kedua tangannya. Meminta penjelasan. Jojo berbalik badan. Menyaksikan tangis omong kosong baginya. Beberapa detik, ia tersenyum sengit.
"Sudah nangisnya?" tanya Jojo sinis.
"Jelaskan dulu, apa maksud kamu putuskan aku? Hah? Kita mau menikah, lho! Kamu gila ya, Jo?"
"Gila? Lu yang gila. Gue udah putusin lu baik-baik dari sebelum menikah dengan Sari. Kenapa lu coba paksa gue dengan cara kilat? Gue udah nggak cinta sama lu. Harusnya sadar dan mikir dong. Bukan jebak gue begini!"
"Kilat gimana? Aku nggak ngerti, Jo, maksudnya? Kamu yang cari aku dan minta balikan. Kenapa sekarang kamu putar balikan fakta?"
Wajah mereka sangat dekat. Ada yang aneh bagi Jojo, ia terus menatap Erika. Gadis yang selama ini di matanya sangat terlihat cantik, tidak dengan hari ini.
Keriput pada wajah Erika terlihat jelas, bahkan tubuhnya tidak seseksi saat Jojo tergila-gila. Jojo segera tersadar, ini yang dinamakan pelet. Ilmu Hitam yang mampu membuat orang yang terkena sihirnya benar-benar tidak sadarkan diri.
"Nggak usah pura-pura bego! Lu pelet gue 'kan? Lu juga celakai Sari dan calon anak gue. Apalagi setelah ini? Hah?" ketus Jojo.
Erika tercengang mendengar ucapan Jojo. Ia tidak menyangka bahwa kekasihnya itu sudah mengetahui semua rencananya. Tangis dari Erika sama sekali tak menggoyahkan hati Jojo. Ia tak merasa iba melihat wanita itu. Justru kebencian dan rasa jijik.
Jojo yang tak tahan memandang wajah Erika lama, ia pun mengalihkan pandangan dengan memutar tubuhnya, membelakangi Erika. Lalu, berjalan menghampiri motor ojek online yang tadi mengantarnya dan Jojo pinta untuk menanti.
Erika yang tidak percaya, masih terkejut dengan sikap Jojo. Hingga membuatnya mematung beberapa detik menyaksikan kepergian Jojo. Lelaki yang sangat ia cintai kini telah sadar dan ternyata memang sudah tidak ada cinta sama sekali di hatinya untuk Erika.
Sedih campur marah pun membuatnya semakin tak tahu arah. Erika kembali ke kamarnya. Memporak-porandakan kamar indekos yang menjadi saksi bisu kisah cinta dengan Jojo. Ia melempar barang apapun yang ada di hadapannya ke segala arah sambil menangis dan berteriak histeris. Hingga, kembali mengundang teman-temannya datang.
Mereka mencoba menenangkan Erika. Namun, tak satupun permintaan teman-temannya itu yang Erika dengar. Erika segera mengambil tasnya, dengan wajah sembab penuh air mata, ia keluar kamar. Melewati teman-temannya yang berada di sana. Mereka mencoba menahan dan meminta gadis itu menenangkan diri.
Namun, Erika tetap bersikeras pergi dari sana. Ia segera berjalan ke arah jalan raya. Mencari bis ke arah terminal dan dapat kembali membawanya pulang kampung.
Erika langsung menuju rumah Emak. Kemana lagi, jika bukan meminta solusi dari wanita tua itu.
Emak menatap Erika dalam saat ia tiba. Tidak seperti biasanya yang menyambut hangat. Wanita itu tanpa berbicara sepatah kata pun, segera masuk ke dalam rumah. Erika mengikuti dari belakang.
"Mau apa kesini? Belum selesai juga berurusan dengan lelaki itu? Sungguh, kau keras kepala. Sama seperti ibumu!" ucap Emak.
Erika menatap wanita tua itu penuh tanya. Mengapa Emak membawa-bawa nama ibunya. Apakah ia mengenal, sama seperti yang dikatakan mendiang ibunya sebelum meninggal.
"Siapa ibuku? Kau mengenalnya?"
Emak tertawa melengking dan menampilkan gigi merah terkena daun sirih yang masih dikunyahnya. Lalu, wanita tua itu membuang begitu saja bekas sirih ke lantai. Membuat Erika jijik melihatnya.
"Pacarmu telah membunuh anak buahku. Aku tidak mau membantumu lagi. Kau cari saja orang pintar lainnya," ucap wanita tua itu.
"Membunuh? Mana mungkin, bukankah anak buah Emak makhluk halus dan mereka telah mati. Bagaimana bisa Jojo membunuh mereka?"
Erika semakin tidak paham dengan ucapan Emak. Lalu, mengapa wanita tua itu pun tidak menjawab tanyanya tentang ibunya. Beberapa saat Erika terdiam, berharap Emak dapat menjelaskan. Namun, wanita itu malah mengusirnya.
"Jangan kembali lagi ke rumahku! Sama sial dan anehnya dengan ibumu! Pergi!" Emak justru mengusirnya tanpa penjelasan.
"Aku tidak akan pergi. Sebelum kau jelaskan bagaimana kau bisa mengenal ibuku? Hah?"
Bersambung….
Emak berjalan ke arah pintu. Tak peduli dengan tanya Erika. Ia meminta gadis itu keluar dari dalam rumahnya. Tatapan mata wanita tua itu sinis. Erika semakin tak paham. Ia sempat kekeh duduk di bangku rumah wanita tua itu. Hingga Emak benar-benar marah dan berteriak mengusirnya.Erika bangkit dari bangku dengan banyak tanya yang berkeliaran di kepalanya. Ia menatap balik Emak saat berpapasan di depan pintu dengan wanita tua itu. Wajahnya sempat mengiba, meminta pertolongan. Namun, Emak tak peduli. Ia segera menutup pintu saat Erika sudah berada satu langkah dari dalam rumahnya.Erika tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Pikirannya semakin kacau. Ia tak habis pikir, semua perjuangannya sia-sia. Cinta tulus yang ia berikan ke Jojo kandas dengan cara seperti ini. Padahal semua hampir ia
Siapa yang tak memimpikan memiliki pasangan halal? Setiap insan pasti ingin. Namun, di zaman modern seperti sekarang apakah ada yang siap menikah dengan lelaki yang menginginkan memiliki istri lebih dari satu? Terlebih bukan karena alasan agama atau kekurangan yang dimiliki calon istrinya."Mah, batalkan saja semua persiapan pernikahanku."Seorang gadis berkacamata segera mempercepat langkah kaki menuju lantai dua rumahnya. Membiarkan wajah kedua orang tuanya terpaku tanpa penjelasan di ruang keluarga. Sesampainya di ruang kamar, segera ia mengunci pintu. Sendiri adalah obat penenang untuk saat ini.***Berulang, Sari mencoba menghubungi seseorang dari gawainya. Tak ada jawaban. Sudah minggu ke dua, lelaki yang ia harap menjadi im
Roni--lelaki yang sedang mencuci motor--bersedia mengantar Sari ke sebuah alamat yang menurutnya adalah rumah kekasih Jojo setelah Sari mengiba. Ketika tiba, Sari memintanya menunggu di luar, sedangkan ia akan masuk sendiri.Jantung Sari berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia menyusuri lorong indekos. Ragu, tetapi ia hanya ingin membuktikan apa yang dikatakan Roni. Dalam hati ia berdoa dan berharap semua kata dari Roni tidak benar.Sari semakin gugup kala tiba di depan sebuah kamar yang Roni beritahu. Berulang ia mengatur napas dan mengetuk pintu. Seorang gadis dengan celana hot pants dan tengtop merah membuka pintu. Seksi. Tersenyum, penuh tanya, mencoba
Empat hari berlalu, sejak percakapan senin lalu di telepon. Sari enggan menghubungi Jojo lebih dulu. Ia memilih menanti kabar kedatangan Jojo ke Jakarta. Memperjelas hubungan.Tiba-tiba Jojo mengirimkan foto tiket keberangkatannya ke Jakarta. Tertulis pada sebuah foto kertas itu, bahwa besok pagi ia berangkat ke Jakarta. Sari hanya membalas singkat, ia akan menjemput di bandar udara.Semalaman pikiran Sari melayang. Apa yang akan ia katakan besok ke Jojo? Seandainya harus berakhir, apa Sari bisa menjelaskan kepada kedua orang tua dan keluarga besarnya? Lalu, menanggung malu dan membuang uang dari Jojo yang terlanjur sudah membayar deposito.Jika lanjut, apa bisa Jojo cerita jujur tentang wanita itu dan mengakhirinya?
Empat hari berlalu, sejak percakapan senin lalu di telepon. Sari enggan menghubungi Jojo lebih dulu. Ia memilih menanti kabar kedatangan Jojo ke Jakarta. Memperjelas hubungan.Tiba-tiba Jojo mengirimkan foto tiket keberangkatannya ke Jakarta. Tertulis pada sebuah foto kertas itu, bahwa besok pagi ia berangkat ke Jakarta. Sari hanya membalas singkat, ia akan menjemput di bandar udara.Semalaman pikiran Sari melayang. Apa yang akan ia katakan besok ke Jojo? Seandainya harus berakhir, apa Sari bisa menjelaskan kepada kedua orang tua dan keluarga besarnya? Lalu, menanggung malu dan membuang uang dari Jojo yang terlanjur sudah membayar deposito.Jika lanjut, apa bisa Jojo cerita jujur tentang wanita itu dan mengakhirinya?
Sari menutup mulutnya dengan tangan. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Sesaat ia dan Jojo saling pandang. Ada kepanikan dari raut wajah Jojo di sana."Sar… aku bisa selesaikan ini semua. Aku janji. Tolong jangan pergi." Jojo ingin meraih tangan Sari. Namun, Sari tepis dan menggeleng. Sebagai isyarat bahwa ia tidak mau.Sari mencaci dirinya sendiri dalam hati. Ia sudah tidak tahu harus berkata apa. Tubuhnya terasa sangat lemas. Kini, Ia harus ikhlas melepas Jojo. Mengubur kembali cinta yang telah bangkit.Percuma dilanjutkan, jika harus mengorbankan bayi dalam kandungan Erika. Sari tidak mau dirinya terkena karma dikemudian hari. Mundur adalah jalan yang tepat. Meski harus mengorbankan rasa malu di hadapan keluarga.
Ibu Ani kembali meraih gawai. Ia menghubungi Ibu Ning--ibu Jojo. Menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan Sari dan meminta bantuan untuk mencari tahu melalui Jojo.[Aduh Gusti… ada apa anak-anak, ya, Bu? Acara sudah matang begini. Tolong rayu Sari, Bu. Nanti saya bicara dengan Jojo.]Ibu Ning sempat kesal mendengar cerita Ibu Ani. Menyalahkan sepihak Sari dalam hati. Namun, ia tersadar belum mendengar cerita dari Jojo. Bagaimana jika Jojo yang membuat salah sehingga membuat Sari marah dan ingin membatalkan?Ibu Ani sempat bingung tetapi ia berjanji akan menanyakan ke Jojo lebih dulu dan membantu menyelesaikan. Ia pun berusaha berulang menghubungi Jojo. Tidak ada jawaban. Nomornya masih juga belum aktif.
Dua hari berlalu. Sari merasa sudah lebih baik. Ia menghampiri meja makan untuk sarapan bersama kedua orang tuanya.Orang tuanya sama sekali tidak membahas perihal masalah ia dan Jojo. Ibu Ani pun belum bertanya lagi ke Ibu Ning. Jadi orang tuanya belum mengetahui kejadian yang sebenarnya. Mereka membiarkan Sari untuk menenangkan diri dan bercerita jika sudah siap.Namun, hari ini Sari berniat membuka obrolan."Mah, Pah. Maafin Sari, ya? Sari nggak bisa lanjut sama Mas Jojo."Keduanya menatap anak tunggal mereka. Ibu Ani hanya mengangguk."Ternyata kita tidak sejalan. Maaf Sari nggak bisa cerita jelasnya."
Emak berjalan ke arah pintu. Tak peduli dengan tanya Erika. Ia meminta gadis itu keluar dari dalam rumahnya. Tatapan mata wanita tua itu sinis. Erika semakin tak paham. Ia sempat kekeh duduk di bangku rumah wanita tua itu. Hingga Emak benar-benar marah dan berteriak mengusirnya.Erika bangkit dari bangku dengan banyak tanya yang berkeliaran di kepalanya. Ia menatap balik Emak saat berpapasan di depan pintu dengan wanita tua itu. Wajahnya sempat mengiba, meminta pertolongan. Namun, Emak tak peduli. Ia segera menutup pintu saat Erika sudah berada satu langkah dari dalam rumahnya.Erika tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Pikirannya semakin kacau. Ia tak habis pikir, semua perjuangannya sia-sia. Cinta tulus yang ia berikan ke Jojo kandas dengan cara seperti ini. Padahal semua hampir ia
Setibanya Ambar di depan rumah Sari, ia melihat pintu pagar yang terbuka serta pintu rumahnya. Perasaan Ambar semakin tidak enak. Ia berlari masuk sambil memanggil nama Sari berulang. Saat ia memasuki ruang keluarga, Ambar mendapati Sari yang sudah terkulai di lantai tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat bercucuran."Ya ampun, Mbak. Kenapa?" Sari sudah tidak sanggup untuk berkata-kata.Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya mengeluarkan air mata, memandang Ambar penuh harapan. Meminta pertolongan."Tunggu sebentar, ya?"Ambar berlari keluar rumah, mencari orang dan meminta pertolongan. Tak lama beberapa warga datang dan membantu Ambar mengangkat Sari ke mobil tetangganya. Mereka
[Kamu kemana aja, sih? Susah banget dihubungi?][Jo! Aku serius tanya. Jawab!][Astaga! Kamu benar-benar mau membatalkan pernikahan kita karena wanita itu? Mana janjimu?]Pesan tak henti berbunyi sejak tadi pagi. Tak satupun sudah terbaca. Ya, karena tadi Jojo tidak membawa gawai saat ruqyah. Benda pipih itu tertinggal di nakas. Erika tak henti mengirim pesan singkat serta panggilan telepon. Ia yang baru sadar dari minuman alkohol tadi pagi, segera meneror kekasihnya itu.Namun, Erika tak ingat bahwa Jojo semalam sakit. Ia berpikir bahwa Jojo meninggalkannya semalam tanpa sebab.Sari membaca semua pesan masuk dari Erika. Lalu, ia menghapus semua
Sebuah taksi online telah tiba di depan rumah Sari. Ia dan Jojo segera menghampiri taksi itu. Mereka pun segera menuju tempat sesuai dengan lokasi yang Sari pesan.Baru masuk ke dalam mobil beberapa menit, rasa kantuk pada mata Jojo tak tertahan. Sari memang sengaja memberi Jojo obat demam setelah sarapan. Obat yang mengandung efek ngantuk. Karena agar Jojo tidak curiga mereka akan berobat kemana.Ya, Sari mengambil kesempatan demam Jojo untuk alasan membawanya ke klinik. Padahal mereka menuju rumah ruqyah yang telah disarankan Ambar. Perjalanan pun lumayan lama, jadi Jojo harus tertidur, pikir Sari. Agar suaminya tidak banyak bertanya.Setelah menempuh perjalanan hampir lima puluh menit, mereka pun tiba di sebuah tempat. Sari membangunkan Jojo. Lelaki itu
Dering gawai mengejutkan Sari yang tengah berpikir. Panggilan masuk datang dari orang tuanya di Jakarta. Ia segera mengangkat. Setelah saling menanyakan kabar, Sari memberikan kabar baik tentang tubuhnya yang telah berbadan dua tanpa memberitahu masalah yang sedang terjadi.Senyum mengembang dari wajah kedua orang tuanya, mendengar kabar itu. Sari pun ikut bahagia melihatnya.[Terus, sekarang Mas Jojo mana, Ndok?][Belum pulang, Ma. Lembur.][Kalau begitu kamu jangan capek-capek, ya. Jangan sering lembur juga.][Aku hari ini mengundurkan diri, Ma.][Lho, kenapa?]
Beberapa pesan singkat Erika masuk ke gawia Jojo, tetapi tak satupun yang dibalas. Jojo hanya melihatnya sebentar, lalu kembali ia masukan gawai ke dalam saku.Selama dalam perjalanan pulang, Jojo terdiam. Suara bising obrolan rekan-rekannya tak terdengar, seolah sunyi. Tanpa ada suara apapun. Pikirannya melayang, teringat bayang-bayang foto USG yang Sari kirimkan tadi siang. Bagaimana nasib bayi itu ketika lahir, pikirnya.Bagaimanapun juga janin itu adalah darah dagingnya. Ada rasa sedih dalam hati, memikirkan jika calon anaknya nanti membencinya karena tahu ia telah mengkhianati Sari dan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Bayang-bayang rasa bersalah terus menghantui sepanjang perjalanan. Hingga Jojo tiba di halte tempatnya turun.Seturunnya dari bis, Joj
Erika berdeham. Menahan malu dan amarah yang bergelut dalam pikirannya. Ia meraih rokok dari nakas dan segera menyalakannya. Setelah satu hisapan bisa terlepas, ia merasakan sedikit lega dan bisa mengembalikan keberanian bicara lagi."To the point aja, tujuan anda kesini ada apa?" tanya Erika ketus.Sari masih mempertahankan senyum tipis pada bibirnya. Menatap gadis yang berani menggoda suaminya lagi. Sambil mengangguk ia pun menjawab, "Iya, pertanyaan bagus. Saya cuma mau tanya, benar kamu mencintai Jojo dan kalian akan segera menikah?"Erika kembali tergelak sambil menghisap batang racun nikotin yang berada di jarinya. Senyum sengit ia lontarkan, seolah meledek."Hmmm… sepertinya Jojo suda
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S