Siapa yang tak memimpikan memiliki pasangan halal? Setiap insan pasti ingin. Namun, di zaman modern seperti sekarang apakah ada yang siap menikah dengan lelaki yang menginginkan memiliki istri lebih dari satu? Terlebih bukan karena alasan agama atau kekurangan yang dimiliki calon istrinya.
"Mah, batalkan saja semua persiapan pernikahanku."
Seorang gadis berkacamata segera mempercepat langkah kaki menuju lantai dua rumahnya. Membiarkan wajah kedua orang tuanya terpaku tanpa penjelasan di ruang keluarga. Sesampainya di ruang kamar, segera ia mengunci pintu. Sendiri adalah obat penenang untuk saat ini.
***
Berulang, Sari mencoba menghubungi seseorang dari gawainya. Tak ada jawaban. Sudah minggu ke dua, lelaki yang ia harap menjadi imamnya dua bulan lagi itu sulit dihubungi ketika akhir pekan. Padahal biasanya lelaki itu selalu rutin mengajaknya video call. Maklum, hubungan mereka harus terpisah oleh pulau. Jojo--kekasihnya--bekerja di pulau Kalimantan, sedangkan asalnya adalah kota pelajar. Hanya gawai yang mampu mempertemukan mereka dengan mudah saat rindu.
Perasaan Sari tidak karuan. Tak seperti biasanya Jojo menghilang tanpa kabar, hampir dua hari. Khawatir terjadi hal buruk, tanpa berpikir panjang, Sari memutuskan untuk menemui Jojo di pulau yang terkenal dengan bentuk bagong. Modal nekat, tanpa alamat jelas.
Sari mendapatkan tiket keberangkatan terakhir dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta yaitu pukul 22.15 WIB. Gegas, ia berkemas seadanya mengingat saat ini waktu sudah pukul 19.40. Jarak dari rumah Sari ke bandar udara memakan waktu kurang lebih satu jam.
Setibanya di bandar udara, Sari kembali menelpon. Bahkan beberapa pesan telah ia tinggalkan. Mengabarkan bahwa dirinya akan datang ke Kalimantan. Namun, Jojo belum juga menjawab. Sari tetap membulatkan tekad, terbang menuju kota tempat tinggal Jojo.
***
Hari sudah berganti--dini hari. Sari masih terduduk tanpa tujuan harus ke mana. Asing, tanpa satu orang pun yang ia kenal. Jari Sari sibuk, mencari alamat yang pernah Jojo infokan. Akan tetapi, nihil. Ia tidak dapat menemukan. Terlalu banyak tumpukan percakapan mereka.
"Pak, tolong saya." Sari menahan bulir bening dari pelupuk matanya. Seorang lelaki berseragam baru saja lewat di hadapannya.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?"
"Pak, saya dari Jakarta, janjian dengan teman. Tapi teman saya tidak bisa dihubungi. Apa boleh saya menanti di sini hingga besok?" Sari mengiba kepada seorang petugas keamanan bandar udara.
"Waduh, tidak bisa, Mbak. Sebentar lagi akan ditutup."
"Semalam ini saja, Pak. Tolong, saya tidak punya sanak keluarga di sini dan tidak tahu harus ke mana," bujuk Sari. Kali ini air matanya sudah benar-benar terjatuh.
Lelaki berseragam keamanan itu pun akhirnya iba. Ia memberikan izin pada Sari tidur di sebuah musala dan memintanya jangan keluar dari sana hingga pukul lima pagi. Sari pun setuju.
Waktu berlalu begitu lambat. Mata Sari masih terjaga, menatap gawai yang menampilkan percakapannya dengan Jojo. Berharap melihat Jojo online. Sengaja lelaki itu tidak menampilkan waktu terakhir online pada pengaturan aplikasi hijau. Beralasan bisa lambat membalas pesan yang tidak darurat.
Memori ingatan Sari merekam mundur kejadian enam tahun lalu. Ketika Sari bersama ketiga temannya menenangkan diri saat ingin menghadapi ujian akhir nasional dari tingkat sekolah menengah atas di sebuah pantai.
Ketiga sahabatnya asik bermain air laut. Namun, Sari memilih duduk di bibir pantai saja. Menikmati suasana sore, mendengarkan deburan ombak. Seorang lelaki menghampiri. Ia sedang berlibur bersama beberapa temannya yang sedang tugas di Jakarta, sebelum kembali ke Kalimantan. Meminta pertolongan untuk mengambil foto bersama teman-temannya. Gadis berkacamata itu menuruti. Toh, tidak merugikan menurutnya.
"Terimakasih, Mbak." Mereka berucap bergantian. Sari hanya mengisyaratkan dengan senyum dan anggukan.
Seorang lainnya menghampiri, setelah selesai berfoto, tangannya terulur ke arah Sari. "Jojo," ucapnya.
Gemuruh, rombongan lelaki di belakang Jojo bersorak--menggoda. Dengan ramah, Sari menerima jabatan tangan Jojo, "Sari."
"Awas, Mbak, buaya darat. Kalau saya kalem. Saya Arif," ucap lelaki lainnya dari belakang Jojo.
"Mas Arif!" seru Sari.
Segera Sari mencari akun Arif di media sosial karena mengingat Arif adalah teman satu mes Jojo di Kalimantan. Ya, Sari berteman di akun biru dengan Arif. Bahkan Arif terlihat online saat ini. Ada harapan untuk Sari, memiliki alamat tempat tinggal Jojo.
Sari mengucap salam untuk mengawali obrolan. Arif merespon salam Sari. Namun, kala Sari menanyakan keberadaannya, ternyata Arif sudah tidak satu kota dengan Jojo. Ia dimutasi oleh perusahaannya ke pulau Sumatera.
[Tapi, Mas Arif apa tahu alamat mes Mas Jojo? Kalau tahu, boleh saya minta?] Sari mencoba membujuk Arif.
***
Sari segera membasuh wajahnya dengan air wudu. Sudah pukul 05.00 WITA. Ia melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba. Lalu, bergegas menuju alamat yang telah Arif berikan. Bermodal g****e maps sebagai penunjuk jalan.
Dua jam perjalanan Sari tempuh dengan sebuah bus. Tentu bukan jarak yang dekat. Dua jam perjalanan di Kalimantan sudah mampu menempuh jarak jauh, karena jalanan begitu lenggang. Berbeda dengan tempat tinggalnya di ibukota.
Sari turun dari bus di sebuah jalan, menurut g****e maps jarak tempat tinggal Jojo sekitar lima ratus meter lagi. Ia putuskan menghampiri seorang tukang ojek di ujung jalan.
"Permisi, Pak. Bisa antar saya ke alamat ini?" Sari menyodorkan alamat Jojo. Tukang ojek itu pun, bersedia mengantarnya.
Dalam perjalanan, sesekali Sari masih melihat ke arah gawai. Berharap ada balasan dari Jojo. Namun, nihil. Tukang ojek memberitahu, alamat yang Sari tuju sudah di hadapannya. Sebuah rumah di pinggir jalan terbilang lebih cocok seperti motel berlantai tiga.
Sari turun dari motor. Setelah membayar ojek, perlahan melangkah menghampiri seorang pemuda yang sedang mencuci motor di depan rumah tersebut.
"Permisi, apa rumah ini, benar beralamat ini?" Sari menyodorkan alamat rumah yang Arif berikan. Lelaki itu mengeja alamat tersebut dan membenarkan.
"Cari siapa, Mbak?" tanya pemuda itu.
"Jojo. Apa benar dia tinggal di sini?"
"Oh, belum pulang sepertinya. Kemarin sepulang kerja, dia bilang mau pergi. Mbak dari mana?"
"Saya saudaranya dari Jogja. Sudah buat janji, tapi dia tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Mas tau, Jojo kemana? Saya harus segera ketemu dia karena harus kembali lagi ke Jogja malam ini." Sari berbohong. Ia sengaja tak memberikan identitas aslinya.
"Biasanya dia kalau malam sabtu atau minggu menginap di rumah pacarnya."
Sari yakin, pendengarannya masih begitu baik. Jadi ia sedang tidak salah dengar. Namun, apa benar yang dikatakan pemuda ini? Pacar? Menginap?
Bagai karang yang sedang dihempas air laut. Menahan perih yang mengiris setiap nadinya. Buliran bening pun telah memberontak, tetapi sekuat tenaga Sari tahan. Selama matanya tidak menyaksikan, ia tidak mau gegabah mempercayai sebuah omongan. Terlebih pemuda di hadapannya tidak ia kenal.
Apa benar Jojo demikian? Lalu apa maksud pernyataannya empat bulan lalu?
***
"Dek, kita nikah, yuk?" ucap Jojo.
Lelaki bertubuh atletis dengan mata sipit itu mengutarakan hati tanpa basa-basi. Kepada seorang gadis yang telah ia kenal selama enam tahun. Gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Tempat berbagi kisah, canda dan tawa meski hanya lewat gawai.
Namun, gadis berkacamata di hadapannya tergelak. Tak tertahankan. Jojo menatapnya dalam tanpa ekspresi. Ia meyakinkan ini bukan sebuah lelucon. Ia bersungguh-sungguh.
Aneh memang. Dunia benar-benar seperti roda yang berputar. Dulu, pernah Sari mengatakan pada lelaki itu bahwa ia merasakan hal lebih dari sahabat setiap kali Jojo memberi perhatian lebih. Namun, saat itu Jojo yang sedang dekat dengan wanita lain, menolak halus. Beralasan, bahwa perhatian dan sayang yang ia beri hanya sebatas kasih seorang kakak terhadap adiknya.
Pupus. Sari memutuskan mengakhiri rasanya. Perlahan dan ia yakin bisa. Namun, kini apa yang sedang merasuki pikiran Jojo? Apa benar ia sedang tidak bergurau?
Sari berhenti tergelak. Menyadari tatapan Jojo. Ia melanjutkan mengikat tali sepatu yang sebelumnya sedang ia lakukan. Sudah tiga malam keberadaan Sari di kota pelajar. Menginap di sebuah motel tak jauh dari alun-alun Jogja.
Hari itu, matahari baru saja terbit. Jojo sudah tiba menjemputnya. Suasana penginapan masih sepi. Terlihat dari deretan kamar lantai dua, yang tidak ada orang sama sekali kecuali mereka berdua. Duduk di depan ruang kamar yang terdapat sepasang bangku. Sejenak mereka saling pandang setelah Sari mengikat tali sepatu.
Ada rasa malu yang muncul saat tatapan itu berlangsung. Sari segera berdiri dari posisinya. Mengunci pintu kamar dan mengajak Jojo pergi dari sana. Tanpa jawaban pertanyaan Jojo tadi.
Diam. Sikap yang masih Sari pertahankan selama perjalanan menuju gunung berapi. Memang hari ini, rencana mereka akan berwisata melihat sisa-sisa reruntuhan dari ganasnya amarah alam di sana.
Jojo melingkarkan tangan Sari di pinggangnya, saat berhenti di lampu merah. Gadis itu terkejut dan sungkan. Hingga pelukan berlangsung hanya beberapa detik saja. Sari melepaskan kembali.
Jojo meliriknya dari spion motor. Tersenyum simpul. Menyadari gadis yang selalu banyak bicara itu sangat manis saat terdiam.
"Kenapa dilepas? Aku serius dengan ucapan yang tadi. Kamu nggak mau jawab?"
Sari masih diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sungguh rasa itu pernah ada. Empat tahun lalu. Namun, telah ia tenggelamkan dalam hati yang terdalam. Bahkan harapan pun telah ikut tenggelam. Jadi bagaimana mungkin, bisa kembali lagi?
Seketika lampu hijau datang, Jojo menarik gas motornya dan sengaja ngerem mendadak. Membuat Sari yang memberi jarak duduk di antara mereka menjadi merapat dan otomatis memeluk Jojo. Hal itu membuat lelaki dalam pelukan Sari tersenyum lebar.
"Mas, jangan bercanda deh!" teriak Sari.
Jojo tak menggubris. Justru ia kembali menarik gas hingga berlalu begitu cepat. Kali ini gadis berkacamata itu membiarkan tubuhnya jatuh pada sandaran punggung datar Jojo. Menyadari momen itu membuatnya nyaman dan enggan melepas. Sari terpejam. Hatinya bertanya-tanya, apakah ini mimpi? Jika mimpi, apa boleh menikmati suasana manis ini sesaat?
Namun, jika sebuah kenyataan apakah benar yang Jojo ucapkan? Dua hari kebersamaannya di Jogja, tidak ada hal yang spesial. Mengapa tiba-tiba Jojo mengajaknya menikah? Lalu, sikap apa juga yang sedang Jojo berikan?
Sari menenggelamkan wajahnya pada punggung Jojo. Ia masih menikmati sandarannya. Apa mungkin bisa setiap saat seperti ini? Ah! Pasti hanya mimpi, berulang keluhnya dalam hati.
"Jangan tidur! Mana cerewetmu? Aku belum dengar ocehanmu hari ini," ucap Jojo.
Sari menyadarkan diri. Ia menatap Jojo dari spion. Terlihat senyum Jojo yang mengembang. Lalu, melepaskan pelukan.
"Kamu tadi jemput aku subuh-subuh udah mandi apa belum, Mas?"
"Belum, bau ya?" jawab Jojo.
"Nggak. Pantas, datang-datang ngigo. Ngajak nikah." Tangan Sari menempeleng helm yang Jojo kenakan. Jojo hanya menggeleng.
***
Udara pagi di gunung merapi masih sangat sejuk. Keduanya tengah menikmati. Hingga tiba di sebuah warung-warung kecil yang menyediakan kopi serta makanan ringan. Sejenak mereka berkunjung ke sana untuk menghangatkan diri dengan kopi.
Mereka saling memandang. Jojo baru menyadari bahwa apa yang dikatakan ibunya benar. Sari adalah gadis baik yang cocok mendampinginya.
Ya, kemarin adalah kali pertama Jojo membawa seorang gadis ke rumahnya. Bukan pacar apalagi calon istri yang dibawa. Namun, Sari. Gadis yang ia anggap wanita biasa dan tidak pernah membuatnya tertarik.
Jojo sering mengisahkan tentang Sari. Ibunya yang penasaran meminta Jojo membawa Sari ke rumah. Itu sebabnya ia mengupayakan kedatangan Sari ke Jogja.
Sari menolak karena satu bulan lalu baru saja dari kota pelajar dan ia telah kehabisan biaya jika harus balik lagi. Akan tetapi tanpa diduga, Jojo mengirimkan sejumlah uang yang sangat cukup untuk biaya transportasi pulang-pergi dan berjanji akan menanggung semua biaya selama keberadaan Sari di Jogja.
Sari menuruti. Lantaran sudah sekitar enam bulan mereka tidak jumpa, jadi tidak ada salahnya. Pertemuan antara Sari dengan keluarga Jojo pun berlangsung. Keluarga yang tinggal berdekatan pun bertemu. Semua mengira, ia adalah calon istri Jojo.
"Dek, kamu nggak mau jawab tanyaku tadi pagi?" ucap Jojo.
Sari yang tengah terdiam menatap pemandangan, beralih memandang wajah Jojo.
"Kamu serius?" Jojo mengangguk. "Kalau ngajak nikah tuh, kerenan dikit dong, Mas. Masa masih kucek-kucek mata ngajak nikah. Kalau di sini keren nih, suasananya. Boleh-lah ngelamar di sini," ledek Sari.
Jojo memegang kedua tangan Sari yang bersandar di atas meja. "Dek, mau ya, nikah sama aku? Kita kenal sudah lama, sama-sama jomlo. Pengen cari jodoh, susah banget. Kenapa nggak kita nikah aja? Mungkin memang kamu jodohku. Ibu juga sudah setuju," ucap Jojo yang membuat Sari terbelalak.
Bersambung….
Roni--lelaki yang sedang mencuci motor--bersedia mengantar Sari ke sebuah alamat yang menurutnya adalah rumah kekasih Jojo setelah Sari mengiba. Ketika tiba, Sari memintanya menunggu di luar, sedangkan ia akan masuk sendiri.Jantung Sari berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia menyusuri lorong indekos. Ragu, tetapi ia hanya ingin membuktikan apa yang dikatakan Roni. Dalam hati ia berdoa dan berharap semua kata dari Roni tidak benar.Sari semakin gugup kala tiba di depan sebuah kamar yang Roni beritahu. Berulang ia mengatur napas dan mengetuk pintu. Seorang gadis dengan celana hot pants dan tengtop merah membuka pintu. Seksi. Tersenyum, penuh tanya, mencoba
Empat hari berlalu, sejak percakapan senin lalu di telepon. Sari enggan menghubungi Jojo lebih dulu. Ia memilih menanti kabar kedatangan Jojo ke Jakarta. Memperjelas hubungan.Tiba-tiba Jojo mengirimkan foto tiket keberangkatannya ke Jakarta. Tertulis pada sebuah foto kertas itu, bahwa besok pagi ia berangkat ke Jakarta. Sari hanya membalas singkat, ia akan menjemput di bandar udara.Semalaman pikiran Sari melayang. Apa yang akan ia katakan besok ke Jojo? Seandainya harus berakhir, apa Sari bisa menjelaskan kepada kedua orang tua dan keluarga besarnya? Lalu, menanggung malu dan membuang uang dari Jojo yang terlanjur sudah membayar deposito.Jika lanjut, apa bisa Jojo cerita jujur tentang wanita itu dan mengakhirinya?
Empat hari berlalu, sejak percakapan senin lalu di telepon. Sari enggan menghubungi Jojo lebih dulu. Ia memilih menanti kabar kedatangan Jojo ke Jakarta. Memperjelas hubungan.Tiba-tiba Jojo mengirimkan foto tiket keberangkatannya ke Jakarta. Tertulis pada sebuah foto kertas itu, bahwa besok pagi ia berangkat ke Jakarta. Sari hanya membalas singkat, ia akan menjemput di bandar udara.Semalaman pikiran Sari melayang. Apa yang akan ia katakan besok ke Jojo? Seandainya harus berakhir, apa Sari bisa menjelaskan kepada kedua orang tua dan keluarga besarnya? Lalu, menanggung malu dan membuang uang dari Jojo yang terlanjur sudah membayar deposito.Jika lanjut, apa bisa Jojo cerita jujur tentang wanita itu dan mengakhirinya?
Sari menutup mulutnya dengan tangan. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Sesaat ia dan Jojo saling pandang. Ada kepanikan dari raut wajah Jojo di sana."Sar… aku bisa selesaikan ini semua. Aku janji. Tolong jangan pergi." Jojo ingin meraih tangan Sari. Namun, Sari tepis dan menggeleng. Sebagai isyarat bahwa ia tidak mau.Sari mencaci dirinya sendiri dalam hati. Ia sudah tidak tahu harus berkata apa. Tubuhnya terasa sangat lemas. Kini, Ia harus ikhlas melepas Jojo. Mengubur kembali cinta yang telah bangkit.Percuma dilanjutkan, jika harus mengorbankan bayi dalam kandungan Erika. Sari tidak mau dirinya terkena karma dikemudian hari. Mundur adalah jalan yang tepat. Meski harus mengorbankan rasa malu di hadapan keluarga.
Ibu Ani kembali meraih gawai. Ia menghubungi Ibu Ning--ibu Jojo. Menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan Sari dan meminta bantuan untuk mencari tahu melalui Jojo.[Aduh Gusti… ada apa anak-anak, ya, Bu? Acara sudah matang begini. Tolong rayu Sari, Bu. Nanti saya bicara dengan Jojo.]Ibu Ning sempat kesal mendengar cerita Ibu Ani. Menyalahkan sepihak Sari dalam hati. Namun, ia tersadar belum mendengar cerita dari Jojo. Bagaimana jika Jojo yang membuat salah sehingga membuat Sari marah dan ingin membatalkan?Ibu Ani sempat bingung tetapi ia berjanji akan menanyakan ke Jojo lebih dulu dan membantu menyelesaikan. Ia pun berusaha berulang menghubungi Jojo. Tidak ada jawaban. Nomornya masih juga belum aktif.
Dua hari berlalu. Sari merasa sudah lebih baik. Ia menghampiri meja makan untuk sarapan bersama kedua orang tuanya.Orang tuanya sama sekali tidak membahas perihal masalah ia dan Jojo. Ibu Ani pun belum bertanya lagi ke Ibu Ning. Jadi orang tuanya belum mengetahui kejadian yang sebenarnya. Mereka membiarkan Sari untuk menenangkan diri dan bercerita jika sudah siap.Namun, hari ini Sari berniat membuka obrolan."Mah, Pah. Maafin Sari, ya? Sari nggak bisa lanjut sama Mas Jojo."Keduanya menatap anak tunggal mereka. Ibu Ani hanya mengangguk."Ternyata kita tidak sejalan. Maaf Sari nggak bisa cerita jelasnya."
Jojo menjadi murung belakangan ini. Setiap pulang kerja ia memilih berdiam diri di kamar. Ingin sekali mencoba menghubungi Sari, tetapi pesan ibunya untuk bersabar menanti kabar lebih dulu dari Sari.Khawatir akan membuat Sari terganggu jika ia menghubungi. Justru gawai Jojo dipenuhi oleh pesan dan panggilan dari Erika. Sama sekali tidak dibalasnya.Di tempat lain, Erika tak henti mencari cara. Seorang teman menyarankan untuk bermain ilmu hitam. Hanya itu jalan satu-satunya membuat Jojo kembali.Namun, Erika menolak. Sering kali teman-temannya menyarankan agar ia menggunakan susuk agar menarik perhatian lelaki dan dengan mudah mendapatkan uang lebih banyak. Erika yang masih memiliki rasa takut, menolak. Ia khawatir candu atau membuat para pelanggannya tergi
Telepon Sari berdering. Namun, ia yang sedang makan malam bersama orang tuanya di lantai bawah tidak mengetahui karena gawai itu tertinggal di kamar. Hal ini membuat Jojo semakin gugup.Mengapa Sari tidak menjawab teleponnya? Jojo mengira gadis itu masih belum mau bicara. Lalu, Jojo putuskan untuk meninggalkan pesan. Sembari menstabilkan rasa grogi jika di telepon.Berulang jemari Jojo mengetik kata. Namun, berulang juga ia hapus kembali. Seolah tidak menemukan kata yang pas.[As-salamu 'alaikum, Sar. Apa kabar kamu? Aku baru saja mendapat kabar dari Ibu mengenai kelanjutan hubungan kita. Apakah itu benar? Aku tidak tahu harus bicara apa. Terlalu banyak kata terima kasih yang ingin aku sampaikan, tapi apa itu akan membuatmu percaya?]
Emak berjalan ke arah pintu. Tak peduli dengan tanya Erika. Ia meminta gadis itu keluar dari dalam rumahnya. Tatapan mata wanita tua itu sinis. Erika semakin tak paham. Ia sempat kekeh duduk di bangku rumah wanita tua itu. Hingga Emak benar-benar marah dan berteriak mengusirnya.Erika bangkit dari bangku dengan banyak tanya yang berkeliaran di kepalanya. Ia menatap balik Emak saat berpapasan di depan pintu dengan wanita tua itu. Wajahnya sempat mengiba, meminta pertolongan. Namun, Emak tak peduli. Ia segera menutup pintu saat Erika sudah berada satu langkah dari dalam rumahnya.Erika tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Pikirannya semakin kacau. Ia tak habis pikir, semua perjuangannya sia-sia. Cinta tulus yang ia berikan ke Jojo kandas dengan cara seperti ini. Padahal semua hampir ia
Setibanya Ambar di depan rumah Sari, ia melihat pintu pagar yang terbuka serta pintu rumahnya. Perasaan Ambar semakin tidak enak. Ia berlari masuk sambil memanggil nama Sari berulang. Saat ia memasuki ruang keluarga, Ambar mendapati Sari yang sudah terkulai di lantai tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat bercucuran."Ya ampun, Mbak. Kenapa?" Sari sudah tidak sanggup untuk berkata-kata.Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya mengeluarkan air mata, memandang Ambar penuh harapan. Meminta pertolongan."Tunggu sebentar, ya?"Ambar berlari keluar rumah, mencari orang dan meminta pertolongan. Tak lama beberapa warga datang dan membantu Ambar mengangkat Sari ke mobil tetangganya. Mereka
[Kamu kemana aja, sih? Susah banget dihubungi?][Jo! Aku serius tanya. Jawab!][Astaga! Kamu benar-benar mau membatalkan pernikahan kita karena wanita itu? Mana janjimu?]Pesan tak henti berbunyi sejak tadi pagi. Tak satupun sudah terbaca. Ya, karena tadi Jojo tidak membawa gawai saat ruqyah. Benda pipih itu tertinggal di nakas. Erika tak henti mengirim pesan singkat serta panggilan telepon. Ia yang baru sadar dari minuman alkohol tadi pagi, segera meneror kekasihnya itu.Namun, Erika tak ingat bahwa Jojo semalam sakit. Ia berpikir bahwa Jojo meninggalkannya semalam tanpa sebab.Sari membaca semua pesan masuk dari Erika. Lalu, ia menghapus semua
Sebuah taksi online telah tiba di depan rumah Sari. Ia dan Jojo segera menghampiri taksi itu. Mereka pun segera menuju tempat sesuai dengan lokasi yang Sari pesan.Baru masuk ke dalam mobil beberapa menit, rasa kantuk pada mata Jojo tak tertahan. Sari memang sengaja memberi Jojo obat demam setelah sarapan. Obat yang mengandung efek ngantuk. Karena agar Jojo tidak curiga mereka akan berobat kemana.Ya, Sari mengambil kesempatan demam Jojo untuk alasan membawanya ke klinik. Padahal mereka menuju rumah ruqyah yang telah disarankan Ambar. Perjalanan pun lumayan lama, jadi Jojo harus tertidur, pikir Sari. Agar suaminya tidak banyak bertanya.Setelah menempuh perjalanan hampir lima puluh menit, mereka pun tiba di sebuah tempat. Sari membangunkan Jojo. Lelaki itu
Dering gawai mengejutkan Sari yang tengah berpikir. Panggilan masuk datang dari orang tuanya di Jakarta. Ia segera mengangkat. Setelah saling menanyakan kabar, Sari memberikan kabar baik tentang tubuhnya yang telah berbadan dua tanpa memberitahu masalah yang sedang terjadi.Senyum mengembang dari wajah kedua orang tuanya, mendengar kabar itu. Sari pun ikut bahagia melihatnya.[Terus, sekarang Mas Jojo mana, Ndok?][Belum pulang, Ma. Lembur.][Kalau begitu kamu jangan capek-capek, ya. Jangan sering lembur juga.][Aku hari ini mengundurkan diri, Ma.][Lho, kenapa?]
Beberapa pesan singkat Erika masuk ke gawia Jojo, tetapi tak satupun yang dibalas. Jojo hanya melihatnya sebentar, lalu kembali ia masukan gawai ke dalam saku.Selama dalam perjalanan pulang, Jojo terdiam. Suara bising obrolan rekan-rekannya tak terdengar, seolah sunyi. Tanpa ada suara apapun. Pikirannya melayang, teringat bayang-bayang foto USG yang Sari kirimkan tadi siang. Bagaimana nasib bayi itu ketika lahir, pikirnya.Bagaimanapun juga janin itu adalah darah dagingnya. Ada rasa sedih dalam hati, memikirkan jika calon anaknya nanti membencinya karena tahu ia telah mengkhianati Sari dan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Bayang-bayang rasa bersalah terus menghantui sepanjang perjalanan. Hingga Jojo tiba di halte tempatnya turun.Seturunnya dari bis, Joj
Erika berdeham. Menahan malu dan amarah yang bergelut dalam pikirannya. Ia meraih rokok dari nakas dan segera menyalakannya. Setelah satu hisapan bisa terlepas, ia merasakan sedikit lega dan bisa mengembalikan keberanian bicara lagi."To the point aja, tujuan anda kesini ada apa?" tanya Erika ketus.Sari masih mempertahankan senyum tipis pada bibirnya. Menatap gadis yang berani menggoda suaminya lagi. Sambil mengangguk ia pun menjawab, "Iya, pertanyaan bagus. Saya cuma mau tanya, benar kamu mencintai Jojo dan kalian akan segera menikah?"Erika kembali tergelak sambil menghisap batang racun nikotin yang berada di jarinya. Senyum sengit ia lontarkan, seolah meledek."Hmmm… sepertinya Jojo suda
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S