"Ayo, Ndok. Cepetan!" teriak Jojo. Sari bergegas menghampiri sumber suara dan mengikuti langkah Jojo yang sudah berjalan lebih dulu.
Mereka kembali ke bibir pantai untuk menikmati makan malam. Suasana terlihat ramai, beberapa orang sudah asik bercengkrama dengan orang terdekat mereka. Sepasang suami-istri itu pun memilih bangku tempat makan dan memesan beberapa menu masakan laut yang menggoda.
Saat menanti makanan disajikan, Jojo meminta Sari melihat ke langit. Malam yang cerah bertabur bintang. Tak lama ada kembang api menghiasi langit. Mencerahkan suasana gelap. Lalu, Jojo mencium tangan istrinya. Membuat wanita berbibir tipis itu mengalihkan pandangan ke lelaki di depannya.
"Ndok, aku udah mengganti kalungnya," ucap Jojo. Ia mengulurkan sebuah kotak merah ke depan istrinya yang terbuka. Tampak sebuah perhiasan cantik di sana.
Sari mengerutkan dahi, tidak percaya dengan apa yang suaminya lakukan.
"Mas, bukan maksud aku--"
"Maaf," sela Jojo. "Aku nggak bermaksud menyamakan kamu dengan wanita lain. Kamu, percaya dengan sebuah ilmu Hitam yang disebut pelet? Mungkin aku waktu itu terkena sihir itu."
Jojo mencari alasan agar istrinya percaya bahwa semua hal yang ia lewati diluar nalar dan faktor ketidaksengajaan. Namun, tanpa Jojo ketahui dan sadari, karangan ceritanya adalah benar. Semua berasal dari ilmu hitam yang telah Erika kirimkan.
Sementara hati Jojo berkeyakinan, semua rasa yang saat ini ia alami murni. Atas dasar cinta dan kecerobohan Sari yang tak pandai menjaga suaminya dari wanita diluar.
"Pelet?"
"Ya, kamu percaya 'kan ilmu seperti itu? Disini sangat sering terjadi. Karena, sungguh aku benar-benar tidak sadar dengan apa yang kuperbuat. Semua berjalan begitu saja. Namun, setelah tersadar aku segera mengakhiri."
"Apa yang membuat kamu sadar waktu itu?"
"Nasihat Roni. Dia teman kerjaku." Sari membulatkan matanya.
"Temanmu yang bernama Roni itu tahu perselingkuhan ini?"
"Tidak. Bukan begitu. Dia tahu hubungan aku dengan Erika saat kita mau menikah. Aku cerita padanya. Lalu, belum lama ini, tiba-tiba Roni menanyakan tentang Erika dan berharap aku sudah benar-benar tobat. Disini entah mengapa, aku terguncang dan menyadari kesalahan sama kamu."
Air mata buaya Jojo menetes. Membuat Sari yakin bahwa lelakinya benar-benar telah bertobat dan tidak mungkin kembali berselingkuh. Beberapa minggu ini pun, lelaki itu sudah menunjukkan sikap romantisnya dan perhatian penuh lagi. Sari kembali memberi maaf dan percaya dengan apa yang suaminya ucapkan.
"Mas, aku udah maafkan kamu."
"Jadi, boleh aku pasang ini ke lehermu lagi?" Sari mengangguk. Jojo segera bangkit dari kursi dan melingkarkan kalung di leher istrinya.
"Makasih, ya, Mas."
"Aku yang makasih. Kamu sudah banyak berkorban perasaan."
Suasana baru di antara mereka terpecah saat seorang pelayan datang menyajikan makanan. Mereka pun menyambut dan mulai menikmati makan malam setelah semua menu tersaji.
Malam panjang itu, mereka lalui bersama dengan bahagia. Bercengkrama dan berbagi cinta layaknya sepasang suami-istri yang saling mencintai. Tanpa gangguan orang ketiga.
Sementara Erika tidak bisa tidur. Ia tidak menyangka apa yang tadi dokter katakan tentang ayahnya. Lelaki paruh baya itu mengalami tekanan jiwa akibat istrinya meninggal. Erika tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa lelaki itu sangat mencintai mendiang istrinya padahal ia tahu betul wanita yang ia panggil ibu, tidak pernah bersikap manis pada lelakinya. Begitu pun ke anak-anak kandungnya.
"Cinta?" gumam Erika. Namun, apa yang membuat ayahnya sangat cinta dengan wanita itu. Lalu, ingatan Erika kembali saat ia terakhir berbicara dengan ibunya.
"Kau mau tahu sebab ayahmu tidak pernah meninggalkanku dan mengapa aku terjebak disini? Kau akan menyesal seperti aku!"
"Apa maksudnya?" gumam Erika lagi. Belum sempat Erika bisa menerka sebuah jawaban. Sebuah tangis raungan terdengar dari kamar ayahnya. Ia segera berlari ke kamar. Begitu pun dengan kedua adiknya yang ikut melihat keadaan sang ayah.
Lelaki paruh baya itu menangis, meraung-raung memanggil nama mendiang istrinya. Erika segera mencari obat penenang dan meminta kedua adiknya membantu memegang ayah mereka agar obat yang diberikan tertelan.
Tak lama ayahnya perlahan tenang dan bisa memejamkan mata.
"Kak, ayah nggak apa-apa 'kan?" tanya adik bungsu Erika. Erika hanya menggeleng dan mengajak kedua adiknya kembali ke kamar mereka.
Erika duduk di ranjang, menggigit jarinya, mencoba mencari solusi. Bagaimana jika ayahnya kambuh lagi seperti tadi dan ia tidak di rumah. Apa adik-adiknya bisa mengurus?
"Kak, aku boleh masuk?" ucap Meli yang sudah berdiri di depan kamar Erika. Gadis itu segera memberi kode dengan tepukan pada ranjang yang ia duduki. "Kak, ayah nggak apa-apa?"
"Kamu jangan khawatir, Mel. Aku akan cari cara agar kalian berdua bisa tetap belajar dengan tenang."
"Maksud Kakak gimana?"
Erika menggaruk kepalanya. Sesaat ia memandang adiknya itu.
"Ayah gangguan jiwa." Meli membulatkan matanya tak percaya. "Sepertinya aku harus bawa Ayah besok ke rumah sakit jiwa."
"Jangan, Kak. Kasihan Ayah. Aku saja yang urus di rumah."
"Nggak bisa, Mel. Kamu harus sekolah."
"Tapi saat pulang sekolah aku bisa mengurusnya."
"Iya, saat kamu pulang. Tapi, saat kamu di sekolah gimana? Kalau dia kabur dari rumah? Membuat ulah di jalan?
"Kita bisa kunci pintu kamarnya, Kak. Jadi Ayah nggak akan kemana-mana. Aku nggak mau Ayah masuk rumah sakit jiwa. Apa kata orang disekitar kita nanti? Kita pasti di cap keluarga gila, Kak."
Erika terdiam, mempertimbangkan pendapat Meli yang ada benarnya. Ia memeluk adiknya.
"Ya sudah, kalau kamu yakin bisa mengurus Ayah. Aku titip, ya, Mel. Masalah ini jangan sampai orang lain tahu. Cukup kita saja. Jika tetangga bertanya tentang Ayah, jawab saja dia sedang sakit. Kunci pintu kamarnya jika kamu mau kemana-mana."
Meli mengangguk dan setuju. Kedua kakak beradik itu menghapus linangan air mata yang sudah membasahi pipi dan Meli kembali ke kamarnya.
***
Selepas solat Subuh, Jojo menggandeng tangan Sari menyusuri pasir putih di bibir pantai. Sesekali kaki mereka menyentuh deburan ombak kecil yang masih terasa dingin. Namun, pagi itu para wisatawan sudah terlihat bermain di bibir pantai juga. Menanti Sang Surya muncul.
Jojo menarik tangan istrinya untuk berlari kecil beberapa meter ke depan. Membuat Sari terpingkal karena mendapati tarikan yang tiba-tiba tanpa aba-aba.
"Ayo, keringetan dulu, Ndok. Biar nggak dingin," teriak Jojo. Beberapa saat kemudian, keringat pun telah mereka dapatkan. Jojo mengajak Sari menepi, duduk di pasir putih dan memandang laut yang mulai terlihat titik jingga.
Sambil mengatur napas keduanya saling meremas jari tangan. Sari pun jatuh ke dalam pelukan Jojo. Bersandar pada dada bidangnya.
"Wow… sudah mulai, Ndok!" seru Jojo.
Keduanya berbinar menyaksikan apa yang sedang terjadi. Hal romantis tanpa kata yang menjanjikan. Kuasa Tuhan yang tidak ada bandingannya.
"Foto, yuk, Mas?" ajak Sari.
"Ah, iya. Dari kemarin sangking menikmati suasana sampai lupa foto."
Pasangan yang tengah berbahagia itu menghabiskan momen hari terakhir mereka di Pulau Karampuang dengan meninggalkan jejak digital. Lalu, ketika mentari mulai memanasi bumi, mereka pun beranjak. Mencari makan untuk mengisi perut dan kembali ke kamar. Mempersiapkan diri untuk kembali pulang.
Seorang pemandu wisata yang kemarin menjemput mereka pun tiba tepat waktu. Menjemput untuk mengantar tamunya kembali ke bandara siang harinya.
"Liburan berakhir, cepat banget, nggak berasa," ucap Sari. Jojo merangkul tubuh wanitanya sambil berjalan.
"Kapan-kapan kita cari tempat keren lagi, oke?" Sari pun setuju dan mereka melenggang meninggalkan tempat romantis nan eksotis itu.
Bersambung….
Seperti biasa, Jojo telah bersiap berangkat kerja sejak selesai Solat Subuh. Begitu pun Sari yang ikut bersiap-siap membersihkan diri. Ia juga akan pergi pagi karena ada panggilan wawancara kedua.Jojo berangkat lima menit setelah jadwal bis jemputan tiba. Saat ia sampai di halte, tentu bis pun sudah tidak ada. Ia segera menghentikan bis dari seberang jalan dan menyebrang.Suara ketukan di kamar kos Erika membuat gadis itu yang baru bangun tidur segera menghampiri dengan malas karena kantuk masih mengganggu. Namun, seketika tubuhnya melonjak kala mengetahui tamunya yang datang pagi-pagi itu."Wow! Keras banget pelukan kamu, Honey?" ucap Jojo, terkejut yang mendapat perlakuan dari Erika."Iya,
Jojo menaiki bis jemputan seperti biasa. Ia duduk di sebelah Roni, salah satu bangku yang masih kosong. Jojo menyapa lelaki di sebelahnya itu dan mengajaknya berbincang."Gimana, Bro, persiapan nikah sudah semua?" tanya Jojo."Sudah semua, Bro. Tinggal tunggu waktu. Gue juga udah bikin surat pengajuan rumah dinas. Tinggal tunggu buku nikahnya," jawab lelaki itu."Wah… sudah matang semua. Semoga lancar dan dipermudah.""Aamiin. Lu sendiri gimana hubungan rumah tangga dengan istri? Baik-baik saja?" Jojo berdehem mendapat pertanyaan Roni. "Istri sudah hamil?" tanya Roni lagi. Baginya ini kesempatan untuk memancing obrolan. Mungkin saja bisa menyadarkan Jojo.
[Mas, Papa kepalanya terbentur. Itu yang membuatnya di rawat.][Terus gimana kondisi beliau sekarang, Sayang? Apa aku perlu cuti menemani ke Jakarta?][Tidak apa, Mas. Kamu kerja saja. Aku cuma mau minta izin, mungkin disini akan menemani sedikit lebih lama hingga Papa lebih baik.][Iya, Sayang. Kamu bantu Mama saja mengurus Papa. Kalau sudah selesai urusan baru kembali, tidak apa.]Lampu hijau menyala. Pertanda baik untuk hubungan tersembunyi Jojo dan Erika. Senyum Jojo semakin mengembang. Setidaknya ia memiliki waktu beberapa hari bersama Erika di rumah. Tanpa harus ketahuan orang luar, seperti Roni yang hampir mempergoki hubungan mereka.Kabar baik
Erika terbangun dari tidur kala dering gawainya tak henti mengganggu. Ia duduk di tepi ranjang, menyadarkan jiwa yang masih di alam mimpi. Perlahan gadis seksi itu menggeser layar berwarna hijau pada gawai. Suara tangis dari balik telepon terdengar. Membuat separuh nyawanya tersadar.[Mel? Kamu kenapa?][Kak, Ayah…][Ayah kenapa?]Tidak ada jawaban dari Meli, hanya tangis dari balik telepon terdengar jelas dan semakin sendu.[Kamu tenangkan diri dulu. Ayo, cerita pelan-pelan. Mana bisa aku paham kalau kamu sambil menangis seperti ini.]Erika mencoba menenangkan adiknya tetapi gad
"Hei, Hon, ayo bangun." Jojo mengerjapkan mata. Menatap gadis yang tengah mencium pipinya sambil berbisik. Ia segera mendekap gadisnya, enggan beranjak. "Ayo, bangun. Katanya takut kesiangan lagi?" "Jam berapa sih, Hon?" "Jam empat." "Kamu kok, udah bangun?" Erika tidak menjawab. Ia memasukkan wajahnya ke dalam pelukan Jojo. Berdiam beberapa saat di sana. Bukan sudah bangun, lebih tepatnya gadis itu tidak bisa tidur nyenyak teringat sang ayah. Namun, Erika memilih tidak menceritakan ke Jojo. "Aku masakin sar
[Hai, Sayang.][Kamu lagi di rumah, Mas?][Iya. Baru selesai makan.][Makan malam apa?][Tadi aku beli di depan. Gimana kondisi Papah?][Alhamdulillah lebih baik, Mas. Mungkin aku pulang hari Minggu.]Jojo mengangguk. Memasang wajah ceria, menyambut kedatangan istrinya. Rayuan gombal pun ia lontarkan untuk meyakinkan wanita itu bahwa rindu padanya sangat menyiksa.Sementara Erika yang mendengar Jojo sedang mengobrol dengan Sari di panggilan video tidak menghiraukan. Ia tetap melanjutkan mencuci piring di dapur. Memberikan waktu untuk
"Pagi, Sayang… masak apa, Sayang?" sapa Jojo. Ia baru bangun, memeluk mesra tubuh Sari dari belakang yang sedang sibuk memasak di dapur."Masak yang ada di kulkas. Kamu stok ayam ungkep, Mas?""Oh, iya. Kemarin. Aku pikir kamu baru pulang hari ini. Jadi kemarin aku beli, niatnya buat makan semalam sama pagi ini. Praktis tinggal goreng.""Hmmm… oh, ya, Mas. Kamu ganti parfum baru?""Parfum? Nggak. Kenapa memangnya?""Itu yang di meja rias aku. Kayaknya aku baru lihat parfum itu."Jojo terdiam mencoba berpikir. Apa yang dimaksud Sari adalah parfum Erika yang mungkin tertinggal, pi
Satu bulan berlalu. Setiap Sari lembur bekerja, Jojo dan Erika mengambil kesempatan untuk jalan-jalan. Menghabiskan waktu dan uang. Bahkan mulai bulan ini, separuh gaji Jojo telah ia transfer ke rekening Erika. Beralasan Sari telah memiliki gaji sendiri, lelaki itu bilang kepada istrinya ingin menabung untuk membeli rumah di kampung. Sari pun setuju. Jadi, untuk kebutuhan sehari-hari istrinya yang mengeluarkan uang.Semua kebusukan Jojo dan Erika berjalan lancar. Sari tak lagi curiga karena sikap Jojo yang setiap hari romantis. Ia kembali menepis pikiran negatif yang sempat mengusik lagi. Bahkan ia juga sudah lupa dengan helai rambut di ranjang saat pulang kampung.Wanita itu fokus dengan pekerjaan barunya. Menikmati mengurus suami, rumah dan kantor. Sambil menanti momongan yang sampai sekarang belum juga dititipkan Tuhan
Emak berjalan ke arah pintu. Tak peduli dengan tanya Erika. Ia meminta gadis itu keluar dari dalam rumahnya. Tatapan mata wanita tua itu sinis. Erika semakin tak paham. Ia sempat kekeh duduk di bangku rumah wanita tua itu. Hingga Emak benar-benar marah dan berteriak mengusirnya.Erika bangkit dari bangku dengan banyak tanya yang berkeliaran di kepalanya. Ia menatap balik Emak saat berpapasan di depan pintu dengan wanita tua itu. Wajahnya sempat mengiba, meminta pertolongan. Namun, Emak tak peduli. Ia segera menutup pintu saat Erika sudah berada satu langkah dari dalam rumahnya.Erika tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Pikirannya semakin kacau. Ia tak habis pikir, semua perjuangannya sia-sia. Cinta tulus yang ia berikan ke Jojo kandas dengan cara seperti ini. Padahal semua hampir ia
Setibanya Ambar di depan rumah Sari, ia melihat pintu pagar yang terbuka serta pintu rumahnya. Perasaan Ambar semakin tidak enak. Ia berlari masuk sambil memanggil nama Sari berulang. Saat ia memasuki ruang keluarga, Ambar mendapati Sari yang sudah terkulai di lantai tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat bercucuran."Ya ampun, Mbak. Kenapa?" Sari sudah tidak sanggup untuk berkata-kata.Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya mengeluarkan air mata, memandang Ambar penuh harapan. Meminta pertolongan."Tunggu sebentar, ya?"Ambar berlari keluar rumah, mencari orang dan meminta pertolongan. Tak lama beberapa warga datang dan membantu Ambar mengangkat Sari ke mobil tetangganya. Mereka
[Kamu kemana aja, sih? Susah banget dihubungi?][Jo! Aku serius tanya. Jawab!][Astaga! Kamu benar-benar mau membatalkan pernikahan kita karena wanita itu? Mana janjimu?]Pesan tak henti berbunyi sejak tadi pagi. Tak satupun sudah terbaca. Ya, karena tadi Jojo tidak membawa gawai saat ruqyah. Benda pipih itu tertinggal di nakas. Erika tak henti mengirim pesan singkat serta panggilan telepon. Ia yang baru sadar dari minuman alkohol tadi pagi, segera meneror kekasihnya itu.Namun, Erika tak ingat bahwa Jojo semalam sakit. Ia berpikir bahwa Jojo meninggalkannya semalam tanpa sebab.Sari membaca semua pesan masuk dari Erika. Lalu, ia menghapus semua
Sebuah taksi online telah tiba di depan rumah Sari. Ia dan Jojo segera menghampiri taksi itu. Mereka pun segera menuju tempat sesuai dengan lokasi yang Sari pesan.Baru masuk ke dalam mobil beberapa menit, rasa kantuk pada mata Jojo tak tertahan. Sari memang sengaja memberi Jojo obat demam setelah sarapan. Obat yang mengandung efek ngantuk. Karena agar Jojo tidak curiga mereka akan berobat kemana.Ya, Sari mengambil kesempatan demam Jojo untuk alasan membawanya ke klinik. Padahal mereka menuju rumah ruqyah yang telah disarankan Ambar. Perjalanan pun lumayan lama, jadi Jojo harus tertidur, pikir Sari. Agar suaminya tidak banyak bertanya.Setelah menempuh perjalanan hampir lima puluh menit, mereka pun tiba di sebuah tempat. Sari membangunkan Jojo. Lelaki itu
Dering gawai mengejutkan Sari yang tengah berpikir. Panggilan masuk datang dari orang tuanya di Jakarta. Ia segera mengangkat. Setelah saling menanyakan kabar, Sari memberikan kabar baik tentang tubuhnya yang telah berbadan dua tanpa memberitahu masalah yang sedang terjadi.Senyum mengembang dari wajah kedua orang tuanya, mendengar kabar itu. Sari pun ikut bahagia melihatnya.[Terus, sekarang Mas Jojo mana, Ndok?][Belum pulang, Ma. Lembur.][Kalau begitu kamu jangan capek-capek, ya. Jangan sering lembur juga.][Aku hari ini mengundurkan diri, Ma.][Lho, kenapa?]
Beberapa pesan singkat Erika masuk ke gawia Jojo, tetapi tak satupun yang dibalas. Jojo hanya melihatnya sebentar, lalu kembali ia masukan gawai ke dalam saku.Selama dalam perjalanan pulang, Jojo terdiam. Suara bising obrolan rekan-rekannya tak terdengar, seolah sunyi. Tanpa ada suara apapun. Pikirannya melayang, teringat bayang-bayang foto USG yang Sari kirimkan tadi siang. Bagaimana nasib bayi itu ketika lahir, pikirnya.Bagaimanapun juga janin itu adalah darah dagingnya. Ada rasa sedih dalam hati, memikirkan jika calon anaknya nanti membencinya karena tahu ia telah mengkhianati Sari dan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Bayang-bayang rasa bersalah terus menghantui sepanjang perjalanan. Hingga Jojo tiba di halte tempatnya turun.Seturunnya dari bis, Joj
Erika berdeham. Menahan malu dan amarah yang bergelut dalam pikirannya. Ia meraih rokok dari nakas dan segera menyalakannya. Setelah satu hisapan bisa terlepas, ia merasakan sedikit lega dan bisa mengembalikan keberanian bicara lagi."To the point aja, tujuan anda kesini ada apa?" tanya Erika ketus.Sari masih mempertahankan senyum tipis pada bibirnya. Menatap gadis yang berani menggoda suaminya lagi. Sambil mengangguk ia pun menjawab, "Iya, pertanyaan bagus. Saya cuma mau tanya, benar kamu mencintai Jojo dan kalian akan segera menikah?"Erika kembali tergelak sambil menghisap batang racun nikotin yang berada di jarinya. Senyum sengit ia lontarkan, seolah meledek."Hmmm… sepertinya Jojo suda
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S