"Pagi, Sayang… masak apa, Sayang?" sapa Jojo. Ia baru bangun, memeluk mesra tubuh Sari dari belakang yang sedang sibuk memasak di dapur.
"Masak yang ada di kulkas. Kamu stok ayam ungkep, Mas?"
"Oh, iya. Kemarin. Aku pikir kamu baru pulang hari ini. Jadi kemarin aku beli, niatnya buat makan semalam sama pagi ini. Praktis tinggal goreng."
"Hmmm… oh, ya, Mas. Kamu ganti parfum baru?"
"Parfum? Nggak. Kenapa memangnya?"
"Itu yang di meja rias aku. Kayaknya aku baru lihat parfum itu."
Jojo terdiam mencoba berpikir. Apa yang dimaksud Sari adalah parfum Erika yang mungkin tertinggal, pikirnya.
"Ah… itu… jadi temen aku ada yang jual parfum. Terus nawarin gitu, itu parfum cewek, Ndok. Niatnya mau beliin buat kamu. Aku bilang, boleh nggak minta tester, buat kasih tunjuk istri di rumah. Eh… dikasih sebotol malahan."
"Loh, nggak apa-apa itu, Mas? Apa nggak rugi?"
"Katanya nggak. Karena itu memang parfum tester. Kalau kamu udah cobain baunya dan suka, ya, aku balikin testernya. Nanti aku bayar yang baru. Kamu suka nggak baunya?"
"Terlalu nyengat, Mas. Aku nggak suka. Kalau nggak jadi nggak apa?"
"Nggak apa-apa dong. Kamu sukanya yang bau gimana sih?"
"Yang soft gitu, Mas. Jadi nggak pusing. Itu terlalu pusing kalau buat aku."
"Ya sudah, nanti coba aku tanyakan ke temanku itu ya, ada nggak yang soft." Sari menanggapi dengan senyuman dan sebuah anggukan. Lalu, ia berbalik badan dengan sebuah piring yang telah berisi ayam goreng.
"Makan, yuk?" ajak Sari. Ia pun menghidangkan makanan di meja, Jojo mengikuti langkahnya di belakang sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak terasa gatal. Rasa cemas ketahuan membuatnya grogi.
Namun, nasib baik masih berpihak. Membuat Jojo kembali terselamatkan dari terbongkarnya hubungan dengan Erika. Ia menghela napas lega sambil mengelus dada.
"Oh, ya, Ndok. Hari ini kita nonton yuk, ke mal?"
"Boleh. Ada film apa yang bagus, Mas?"
"Aku juga belum cek sih, nanti langsung kita ke sana. lihat aja, ada film apa yang menarik." Sari mengangguk sambil mengunyah makanannya.
***
Jojo mengirim pesan ke Erika untuk tidak menghubunginya sementara waktu karena Sari sudah pulang. Erika sebagai gadis simpanan memaklumi, meski hatinya tak sabar menanti waktu perpisahan antara Jojo dan Sari.
Segera Jojo menghapus dan memblokir kontak Erika sementara. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Sari masuk dengan senyum yang mengembang. Menghampiri suaminya yang berbaring di ranjang dengan setengah duduk, bersandar pada dinding.
"Mas," ucap Sari. "Lihat deh!" Sari menunjukkan gawainya. Menampilkan sebuah pesan dari email.
"Kamu diterima?" Sari mengangguk.
"Besok sudah mulai masuk kerja, Mas. Untung aku buka email. Ternyata email ini masuk dari hari Jum'at."
"Masih rezeki kamu. Sudah kamu balas?"
"Iya, sudah."
"Ya sudah, hari ini kita ke mal sekalian belanja pakaian kerja. Gimana?"
Sari mengangguk dan memeluk lelaki di hadapannya. Sementara waktu, melupakan kecurigaan yang sempat mengusik hati. Berharap semua akan baik-baik saja.
Sore hari tiba, Sari dan Jojo telah bersiap untuk berjalan menuju mal. Sepanjang perjalanan, Jojo sangat bersikap manis. Bahkan tak lepas menggenggam atau merangkul wanita di sebelahnya saat berjalan menyusuri mal.
Mereka habiskan waktu dengan berbelanja sambil menanti jadwal nonton di sebuah studio yang berada di mal itu. Jojo dengan antusias memilihkan pakaian trendi yang membuat istrinya sangat menarik. Ia pun meminta Sari membeli parfum, agar baunya bisa menjaga aroma segar di aktivitasnya setiap hari.
***
Pagi-pagi sekali keduanya telah bangun dan bersiap berangkat kerja. Sari belum mendapatkan fasilitas antar jemput dengan bis. Ia memesan ojek online dan berangkat bareng dengan Jojo, menanti di halte. Wanita itu mencium takzim punggung tangan suaminya saat ojek yang dipesan telah tiba. Jojo pun bersikap romantis dengan mengusap lembut pipi istrinya. Membuat teman-teman yang berada di halte meledek dan iri.
Jojo tak peduli. Ia hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa hubungannya dengan Sari selalu romantis dan baik-baik saja. Tanpa ada orang ketiga di dalamnya.
"Ciee… aduh Gusti… bojoku udah nikah lima tahun, boro-boro cium tangan yang ada nodong. Minta uang."
"Lah, kalau pengantin baru mah begitu. Mesra."
"Jadi pengen…"
"Pengen apa?"
"Pengen jadi pengantin baru lagi."
Semua tergelak mendengar ocehan teman Jojo yang meledek. Hingga bis jemputan tiba, Jojo masih menjadi bahan ejekan teman-temannya. Namun, ia tidak peduli. Justru senang karena semua temannya tidak akan ada yang curiga mengenai hubungan Jojo dan Erika.
***
Sari melebarkan senyum saat atasannya memperkenalkan ia kepada beberapa rekan kerja baru. Semua menyambut hangat kedatangannya. Ia duduk di kursi kerja, mendengarkan penjelasan seorang senior untuk deskripsi pekerjaan baru.
Hari pertama Sari berjalan dengan mulus. Ia pun sangat menikmati proses pekerjaan barunya. Hingga jam pulang kerja tiba. Sari ikut bis antar jemput karyawan yang melewati komplek rumahnya.
"Gimana pekerjaan kamu hari ini?" tanya Jojo. Keduanya baru saja selesai makan malam bersama.
"Ya, lumayan. Aku udah nggak kerja beberapa bulan. Jadi, tadi sempat grogi."
Jojo tersenyum mendapati jawaban istrinya. Lalu, Sari bangkit dari kursi, membereskan piring kotor dan segera ia cuci. Sementara Jojo pamit ke kamar. Jojo membuka blokir nomor telepon Erika. Senyumnya mengembang mengambil gambar diri yang sedang berpose santai di ranjang. Lalu, ia kirim ke selingkuhannya itu.
Erika yang sedang online segera membuka pesan dari Jojo. Tersenyum tipis dan membalas dengan sebuah foto seksi menampilkan lekuk belahan dadanya.
[Hon, kamu tambah seksi aja. Baru berapa hari aku nggak lihat kamu.]
Erika hanya membalas dengan emoji ketawa lalu, diiringi dengan emoji pelukan.
[Hei, kau lupa, ya? Parfummu tertinggal.]
Gadis itu segera meraih tasnya. Mencari keberadaan parfum yang berisi ilmu pelet. Benar, tidak ada. Ia menepuk kening dan menyalahkan diri.
Karena telah melupakannya, bagaimana jika Sari memakainya, tamatlah riwat ia untuk mendapatkan Jojo. . Namun, tiba-tina Erika teringat bahwa Emak pernah berpesan kalau parfum itu digunakan oleh orang lain tidak akan mempengaruhi apa-apa.
[Ah… iya, aku lupa. Tolong simpan dulu. Nanti saat jumpa bawa, ya?]
[Siap, Sayang. Jadi, kapan kita jumpa?]
[Bebas. Aku kapan pun bisa. Bukankah kamu yang susah ditemui saat ada istrimu?]
[Hmmm… sekarang sudah lebih mudah kok, dia sudah mulai bekerja hari ini. Apalagi kalau dia lembur, aku bisa meluangkan banyak waktu untukmu.]
[Baiklah.]
[Hanya itu jawabanmu?]
[Lalu, apa? Memang aku hanya wanita kedua 'kan. Yang tidak bisa banyak menuntut dari lelaki beristri sepertimu.]
[Erika… ayo kita percepat pernikahan. Meski kau yang kedua, setidaknya kau syah milikku. Berhak atas dirimu juga.]
[Oke. Aku mau dirayakan. Dua bulan dari sekarang bagaimana?]
[Aku siap. Nanti kita atur waktu untuk lamaran dan persiapan lainnya, ya?]
Erika tersenyum lebar. Setelah mengakhiri percakapan, gadis itu menghampiri kedua adiknya yang sedang belajar. Lalu, duduk di ranjang orang tuanya. Menyentuh lembut ranjang kosong tak berpenghuni beberapa hari ini.
Tiba-tiba Erika tersentak, menyaksikan wajah ibunya yang berdiri di dekat jendela kamar dengan wajah menghitam dan tampak buruk. Padahal mendiang ibunya sangat cantik semasa hidup. Ia pun ingat, wanita itu pernah bercerita jika ibunya adalah kembang desa.
"Lepas susukmu, atau kau akan menyesal!" ucap wanita yang menyerupai ibunya. Seketika bayangan itu menghilang. Erika mengedarkan pandangan ke segala arah. Mencari keberadaan itu. Tidak ada. Hilang begitu saja tanpa dapat ia pahami maksud dan tujuannya. Terlebih ucapannya tadi.
Tanya dalam hatinya tak berhenti. Erika segera berjalan menghampiri jendela. Berdiri tepat di tempat wanita yang mirip dengan ibunya tadi berdiri.
"Apa ibu mengetahui aku pasang susuk. Tapi, dari mana? Kok bisa?" gumam Erika.
"Kak?" teriak si bungsu yang sudah berada di belakang Erika. Erika segera mengalihkan pandangan. Menatap dengan terengah-engah adiknya dengan mata yang masih membulat. "Bantuin kerjain PR."
"Ah? Oke." Erika pun mengekori bocah itu dan membantu mengerjakan tugas sekolahnya.
***
"Siapa yang telah menyerupai sosok Ibu? Atau benar dia adalah ibu? Lalu, dia mengetahui susukku?" tanya Erika dalam hati. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Tidak dapat menjemput mimpi segera. Matanya enggan terlelap.
Tanya yang membuncah dan bayang wajah ibunya masih terus menghantui pikiran. Namun, dengan keras kepala, Erika membantah. Ia berpikir itu hanyalah sebuah halusinasi. Atau bisa jadi, Sari juga bermain dukun dan semua itu adalah ulah dari dukun Sari yang ingin menghancurkan rencananya, pikir Erika.
Bersambung….
Satu bulan berlalu. Setiap Sari lembur bekerja, Jojo dan Erika mengambil kesempatan untuk jalan-jalan. Menghabiskan waktu dan uang. Bahkan mulai bulan ini, separuh gaji Jojo telah ia transfer ke rekening Erika. Beralasan Sari telah memiliki gaji sendiri, lelaki itu bilang kepada istrinya ingin menabung untuk membeli rumah di kampung. Sari pun setuju. Jadi, untuk kebutuhan sehari-hari istrinya yang mengeluarkan uang.Semua kebusukan Jojo dan Erika berjalan lancar. Sari tak lagi curiga karena sikap Jojo yang setiap hari romantis. Ia kembali menepis pikiran negatif yang sempat mengusik lagi. Bahkan ia juga sudah lupa dengan helai rambut di ranjang saat pulang kampung.Wanita itu fokus dengan pekerjaan barunya. Menikmati mengurus suami, rumah dan kantor. Sambil menanti momongan yang sampai sekarang belum juga dititipkan Tuhan
"Hei… kamu belum tidur?" Dengan sigap Jojo menghampiri Sari, merangkul wanita itu sambil menutup pintu belakang. Ia mengajak istrinya melangkah ke arah kamar. Mengalihkan pemandangan halaman belakang yang masih menampilkan asap, bakaran kertas."Kamu ngapain malam-malam di belakang?" tanya Sari penasaran."Ng-nggak ngapa-ngapain. Hirup udara malam aja.""Kok ada asap? Kamu bakar sesuatu?""Oh… aku ngerokok tadi. Baru selesai. Tidur, yuk?"Jojo memeluk Sari sebelum wanita itu merebahkan tubuh di ranjang saat mereka tiba di kamar. Ia pun meninggalkan kecupan di kening istrinya. Dengan wajah bahagia, karena sikap manis Jojo, Sari pun
"Hei, hei… dengar aku, Sayang. Sari akan pergi ke Makassar minggu depan. Kamu bisa tinggal di rumah dinasku sementara, gimana?""Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Aku sudah bilang sama kamu, Mas. Aku mau kita segera menikah. Mumpung dia tidak disini, mengapa kita tidak menikah saja minggu depan? Jadi, aku bisa kamu bawa pulang ke rumah dinas."Erika tampak mondar-mandir sambil berbicara. Saat Jojo mendekat dan mulai merayunya, ia kembali menghindar. Bahkan sentuhan Jojo pun ditepis."Mana mungkin bisa?" tanya Jojo."Bisa. Besok aku ke KUA dan urus semuanya. Kamu terima beres.""Bukan itu maksud aku, Honey. Duitnya udah nggak ada. Aku nggak
"Berangkat gelap, pulang pun hari sudah gelap. Kamu itu kerja atau kemana?"Sari menghentikan langkah kaki. Baru saja ia membuka pintu dan ingin mengucap salam. Namun, Jojo telah lebih dulu membuatnya terkejut dengan ucapannya. Lelaki itu duduk di sofa sambil bersedekap. Perlahan berdiri menghampiri istrinya yang terpaku di depan pintu.Sari tidak paham dengan ucapan Jojo tadi. Ia hanya diam menatap suaminya dalam, penuh tanya. Mengapa sikap Jojo terus memojokkannya. Seolah semua yang ia lakukan salah."Apa kecurigaanku benar tentang balas dendammu, ya? ucap Jojo lagi."Mas, kamu kenapa sih? Jangan ngaco, deh.""Ngaco? Kamu yang mulai ngac
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi
Erika berdeham. Menahan malu dan amarah yang bergelut dalam pikirannya. Ia meraih rokok dari nakas dan segera menyalakannya. Setelah satu hisapan bisa terlepas, ia merasakan sedikit lega dan bisa mengembalikan keberanian bicara lagi."To the point aja, tujuan anda kesini ada apa?" tanya Erika ketus.Sari masih mempertahankan senyum tipis pada bibirnya. Menatap gadis yang berani menggoda suaminya lagi. Sambil mengangguk ia pun menjawab, "Iya, pertanyaan bagus. Saya cuma mau tanya, benar kamu mencintai Jojo dan kalian akan segera menikah?"Erika kembali tergelak sambil menghisap batang racun nikotin yang berada di jarinya. Senyum sengit ia lontarkan, seolah meledek."Hmmm… sepertinya Jojo suda
Beberapa pesan singkat Erika masuk ke gawia Jojo, tetapi tak satupun yang dibalas. Jojo hanya melihatnya sebentar, lalu kembali ia masukan gawai ke dalam saku.Selama dalam perjalanan pulang, Jojo terdiam. Suara bising obrolan rekan-rekannya tak terdengar, seolah sunyi. Tanpa ada suara apapun. Pikirannya melayang, teringat bayang-bayang foto USG yang Sari kirimkan tadi siang. Bagaimana nasib bayi itu ketika lahir, pikirnya.Bagaimanapun juga janin itu adalah darah dagingnya. Ada rasa sedih dalam hati, memikirkan jika calon anaknya nanti membencinya karena tahu ia telah mengkhianati Sari dan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Bayang-bayang rasa bersalah terus menghantui sepanjang perjalanan. Hingga Jojo tiba di halte tempatnya turun.Seturunnya dari bis, Joj
Emak berjalan ke arah pintu. Tak peduli dengan tanya Erika. Ia meminta gadis itu keluar dari dalam rumahnya. Tatapan mata wanita tua itu sinis. Erika semakin tak paham. Ia sempat kekeh duduk di bangku rumah wanita tua itu. Hingga Emak benar-benar marah dan berteriak mengusirnya.Erika bangkit dari bangku dengan banyak tanya yang berkeliaran di kepalanya. Ia menatap balik Emak saat berpapasan di depan pintu dengan wanita tua itu. Wajahnya sempat mengiba, meminta pertolongan. Namun, Emak tak peduli. Ia segera menutup pintu saat Erika sudah berada satu langkah dari dalam rumahnya.Erika tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Pikirannya semakin kacau. Ia tak habis pikir, semua perjuangannya sia-sia. Cinta tulus yang ia berikan ke Jojo kandas dengan cara seperti ini. Padahal semua hampir ia
Setibanya Ambar di depan rumah Sari, ia melihat pintu pagar yang terbuka serta pintu rumahnya. Perasaan Ambar semakin tidak enak. Ia berlari masuk sambil memanggil nama Sari berulang. Saat ia memasuki ruang keluarga, Ambar mendapati Sari yang sudah terkulai di lantai tak berdaya. Wajahnya pucat pasi dengan keringat bercucuran."Ya ampun, Mbak. Kenapa?" Sari sudah tidak sanggup untuk berkata-kata.Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hanya mengeluarkan air mata, memandang Ambar penuh harapan. Meminta pertolongan."Tunggu sebentar, ya?"Ambar berlari keluar rumah, mencari orang dan meminta pertolongan. Tak lama beberapa warga datang dan membantu Ambar mengangkat Sari ke mobil tetangganya. Mereka
[Kamu kemana aja, sih? Susah banget dihubungi?][Jo! Aku serius tanya. Jawab!][Astaga! Kamu benar-benar mau membatalkan pernikahan kita karena wanita itu? Mana janjimu?]Pesan tak henti berbunyi sejak tadi pagi. Tak satupun sudah terbaca. Ya, karena tadi Jojo tidak membawa gawai saat ruqyah. Benda pipih itu tertinggal di nakas. Erika tak henti mengirim pesan singkat serta panggilan telepon. Ia yang baru sadar dari minuman alkohol tadi pagi, segera meneror kekasihnya itu.Namun, Erika tak ingat bahwa Jojo semalam sakit. Ia berpikir bahwa Jojo meninggalkannya semalam tanpa sebab.Sari membaca semua pesan masuk dari Erika. Lalu, ia menghapus semua
Sebuah taksi online telah tiba di depan rumah Sari. Ia dan Jojo segera menghampiri taksi itu. Mereka pun segera menuju tempat sesuai dengan lokasi yang Sari pesan.Baru masuk ke dalam mobil beberapa menit, rasa kantuk pada mata Jojo tak tertahan. Sari memang sengaja memberi Jojo obat demam setelah sarapan. Obat yang mengandung efek ngantuk. Karena agar Jojo tidak curiga mereka akan berobat kemana.Ya, Sari mengambil kesempatan demam Jojo untuk alasan membawanya ke klinik. Padahal mereka menuju rumah ruqyah yang telah disarankan Ambar. Perjalanan pun lumayan lama, jadi Jojo harus tertidur, pikir Sari. Agar suaminya tidak banyak bertanya.Setelah menempuh perjalanan hampir lima puluh menit, mereka pun tiba di sebuah tempat. Sari membangunkan Jojo. Lelaki itu
Dering gawai mengejutkan Sari yang tengah berpikir. Panggilan masuk datang dari orang tuanya di Jakarta. Ia segera mengangkat. Setelah saling menanyakan kabar, Sari memberikan kabar baik tentang tubuhnya yang telah berbadan dua tanpa memberitahu masalah yang sedang terjadi.Senyum mengembang dari wajah kedua orang tuanya, mendengar kabar itu. Sari pun ikut bahagia melihatnya.[Terus, sekarang Mas Jojo mana, Ndok?][Belum pulang, Ma. Lembur.][Kalau begitu kamu jangan capek-capek, ya. Jangan sering lembur juga.][Aku hari ini mengundurkan diri, Ma.][Lho, kenapa?]
Beberapa pesan singkat Erika masuk ke gawia Jojo, tetapi tak satupun yang dibalas. Jojo hanya melihatnya sebentar, lalu kembali ia masukan gawai ke dalam saku.Selama dalam perjalanan pulang, Jojo terdiam. Suara bising obrolan rekan-rekannya tak terdengar, seolah sunyi. Tanpa ada suara apapun. Pikirannya melayang, teringat bayang-bayang foto USG yang Sari kirimkan tadi siang. Bagaimana nasib bayi itu ketika lahir, pikirnya.Bagaimanapun juga janin itu adalah darah dagingnya. Ada rasa sedih dalam hati, memikirkan jika calon anaknya nanti membencinya karena tahu ia telah mengkhianati Sari dan menyia-nyiakan mereka begitu saja. Bayang-bayang rasa bersalah terus menghantui sepanjang perjalanan. Hingga Jojo tiba di halte tempatnya turun.Seturunnya dari bis, Joj
Erika berdeham. Menahan malu dan amarah yang bergelut dalam pikirannya. Ia meraih rokok dari nakas dan segera menyalakannya. Setelah satu hisapan bisa terlepas, ia merasakan sedikit lega dan bisa mengembalikan keberanian bicara lagi."To the point aja, tujuan anda kesini ada apa?" tanya Erika ketus.Sari masih mempertahankan senyum tipis pada bibirnya. Menatap gadis yang berani menggoda suaminya lagi. Sambil mengangguk ia pun menjawab, "Iya, pertanyaan bagus. Saya cuma mau tanya, benar kamu mencintai Jojo dan kalian akan segera menikah?"Erika kembali tergelak sambil menghisap batang racun nikotin yang berada di jarinya. Senyum sengit ia lontarkan, seolah meledek."Hmmm… sepertinya Jojo suda
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S