"Hei, Hon, ayo bangun."
Jojo mengerjapkan mata. Menatap gadis yang tengah mencium pipinya sambil berbisik. Ia segera mendekap gadisnya, enggan beranjak.
"Ayo, bangun. Katanya takut kesiangan lagi?"
"Jam berapa sih, Hon?"
"Jam empat."
"Kamu kok, udah bangun?"
Erika tidak menjawab. Ia memasukkan wajahnya ke dalam pelukan Jojo. Berdiam beberapa saat di sana. Bukan sudah bangun, lebih tepatnya gadis itu tidak bisa tidur nyenyak teringat sang ayah. Namun, Erika memilih tidak menceritakan ke Jojo.
"Aku masakin sarapan? Kamu mau apa?" tanya Erika. Kini gadis itu telah duduk di pinggir ranjang, menguncir rambut ikalnya yang panjang. Jojo pun ikut duduk sambil berpikir.
"Masak yang menurut kamu mudah saja."
Erika tersenyum, lalu beranjak dari ranjang menuju pintu. Ketika ingin keluar kamar, langkahnya berhenti, melihat ke arah Jojo lagi.
"Hei! Ayo bangun, segera mandi," teriak Erika lagi. Saat mendengar suara ranjang yang baru saja di baringkan tubuh. Benar saja, Jojo telah kembali berbaring di sana. Tawa kecilnya keluar karena kekasihnya sangat peka. Lalu, ia bangkit dari ranjang dan menuju toilet.
Sementara Erika melanjutkan langkahnya, menuju dapur. Mulai menyiapkan makanan dengan pikiran yang bergelayut. Ia masih penasaran dengan perkataan terakhir ibunya yang terngiang terus di telinga serta sebab ayahnya mengalami depresi.
Beberapa menit kemudian, Erika telah selesai menyiapkan ayam goreng dengan sambal. Jojo pun yang telah selesai mandi segera menghampiri bau makanan yang menggoda selera. Ia memeluk gadisnya dari belakang, serta meninggalkan kecupan di leher gadis seksi itu berulang.
"Kamu pakai parfum apa, Hon?" bisik Jojo. "Aku suka banget baunya. Apa boleh aku tahu namanya?"
"Untuk apa?"
"Aku mau belikan untuk Sari. Agar selalu ingat kamu. Setidaknya dia tidak sebau kemarin-kemarin."
Erika tersenyum dan membalikkan badan dengan tangan melingkar di leher Jojo.
"Kalau dia seharum aku, nanti kau tidak rindu aku lagi?"
"Bukan begitu. Justru aku selalu ingat kamu. Tetap kamu yang spesial."
"Ya, nanti aku kasih tahu. Sekarang makan dulu, yuk?"
Keduanya pun duduk di kursi makan dan mulai menikmati sarapan. Setelah selesai, Jojo bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Erika mengantarnya hingga ke pintu keluar. Seorang teman yang melintas di depan rumah Jojo melihat lelaki itu mencium mesra kening seorang wanita. Ia berpikir bahwa itu adalah Sari.
Setelah menanti bis di halte beberapa menit, angkutan perusahaan tempat Jojo bekerja pun tiba. Jojo duduk di depan Roni, bersebelahan dengan temannya yang tadi melihat ia mencium Erika.
"Gimana, Bro, istri dah hamil?" tanya teman yang duduk di sebelahnya. Jojo menggeleng sambil tersenyum tipis. "Ya, jangan kebanyakan lembur di perusahaan. Pacaran yang sering sama istri."
"Istri juga lagi nggak di rumah, kok. Jadi bisa lembur."
"Maksud lu, nggak di rumah?"
"Iya, dia lagi pulang kampung, ayahnya sakit."
"Loh? Wanita yang tadi gue lihat siapa?"
Seketika Jojo kaget dengan kalimat tanya temannya. Hatinya bertanya apa benar temannya itu melihat keberadaan Erika? Namun, Jojo berusaha tenang, berpura-pura tidak mengetahui yang dimaksud temannya.
"Wanita apa?"
"Tadi pas gue lewat rumah lu, ada wanita. Itu siapa?"
"Ah! Salah lihat kali. Gue lagi di rumah sendirian."
Roni mendengar perdebatan Jojo dengan temannya. Ia yakin Jojo telah membawa kekasih gelapnya tinggal di rumah dinas sementara Sari pulang kampung.
***
Sepulang kerja, tidak seperti biasanya Roni ikut turun di halte perumahan Jojo. Ia asik mengobrol dengan seorang teman dan berjalan di depan Jojo. Lelaki bermata sipit itu sama sekali tidak curiga, ia pun tak peduli dengan urusan Roni. Berpikir bahwa Roni sedang ada urusan atau mampir sekadar main ke rumah seorang teman. Jojo pun melanjutkan langkahnya hingga tiba di rumah.
Erika telah menanti di ruang tamu, memeluk erat tubuh kekasihnya saat lelaki itu mendekat. Kemesraan keduanya pun dimulai. Seperti sudah tidak bertemu berbulan-bulan, keduanya larut dalam cinta dunia yang mampu menjerumuskan ke dalam malapetaka rumah tangga Jojo.
"Assalamu'alaikum…," teriak Roni. Tanpa izin dari si empunya rumah, lelaki itu segera membuka pintu pagar dan menghampiri pintu rumah yang masih terbuka sedikit. Dari celah itu, dia bisa melihat wajah Jojo yang terkejut dan menyembunyikan Erika di balik tubuhnya.
"Ngapain kamu kesini?" tanya Jojo.
"Gue ngucap salam kok, nggak dijawab? Boleh masuk? Atau mau bicara disini?" Jojo dan Erika saling pandang. Lalu Jojo mengizinkan Roni masuk sambil melihat ke sekitar, apakah ada teman kerja lainnya yang menunggu diluar.
Jojo segera menutup pintu dan mempersilakan Roni duduk di sofa. Lalu meminta Erika untuk masuk ke dalam kamar.
"Jo, sebelumnya gue mau minta maaf jika lancang. Ini memang bukan urusan gue. Tapi, lu sendiri yang pernah cerita tentang perselingkuhan ini. Kenapa sekarang lu balik lagi dan menggila begini?" ucap Roni langsung ke inti pokok pembicaraan yang ingin disampaikan.
"Maksud lu gimana?"
"Cewek tadi itu bukan istrimu 'kan? Kau bilang, dia sedang pulang kampung. Lalu, siapa wanita tadi? Selingkuhanmu yang dulu kau ceritakan sebelum menikah dengan Sari atau wanita yang berbeda?"
"Jaga mulut lu!"
"Kasihan istrimu. Tobatlah, Jo. Perjuangan kau seperti apa saat kalian mau menikah, bagaimana perasaan dia menerima kau yang menyakitinya. Lalu, sekarang apalagi? Kau tidak bertobat juga? Tak kasihan dengannya?"
Jojo terdiam, meski amarahnya telah memuncak. Ia kesal karena Roni telah menangkap basah kelakuannya dan ia tak tahu harus berbuat apa.
"Mau lu apa sekarang kalau sudah tahu?"
"Pikirkan perasaan istri dan keluarga besar kalian. Pernikahan bukan sekadar janji di hadapan para saksi tetapi di depan Tuhan." Roni beranjak dari sofa dan segera menuju pintu keluar. Sementara Jojo masih terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Hati kecilnya membenarkan ucapan Roni tetapi mulut menolaknya.
Ia membiarkan temannya itu beranjak, bahkan salam yang diucapkan pun sama sekali tidak Jojo jawab. Ia masih diam, tercengang dan tidak percaya bahwa Roni akan mempergoki ulahnya. Erika keluar kamar setelah mendengar suara pintu tertutup. Ia memperhatikan Roni berjalan keluar pagar melalui jendela. Lalu duduk di sebelah Jojo, mengelus lembut punggung lelaki itu.
"Dia teman kerjamu?" Jojo menoleh sumber suara sambil mengangguk.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku bingung, Hon. Sudah ada yang mengetahui hubungan kita." Jojo merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Sesekali jemarinya memijat pelan kening yang mulai terasa sakit.
"Apa dia akan membocorkan rahasia kita atau mungkin ada hal yang bisa membuatnya menutup mulut?"
"Entah. Aku sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang."
"Hon, kita harus mempercepat pernikahan kita. Jika tersebar berita kau berselingkuh, kau bisa katakan itu fitnah karena kita sebenarnya sudah menikah. Lalu, masalah izin dari Sari, nanti kita cari solusi lagi. Aku yakin, dia akan menerimanya. Bukankah dia wanita pengalah? Kau juga bisa salahkan wanita itu sebagai penyebab pernikahan kita."
Jojo membulatkan mata, tidak paham dengan apa yang Erika maksud. Gadis di sebelahnya mengelus lembut punggung Jojo, kini ia berpindah duduk ke pangkuan lelaki itu sambil berhadapan.
"Bukankah ini semua salahnya? Kau pasti tidak akan kembali padaku jika dia telah memberikan semua kebutuhan yang kau mau? Katakan itu kepadanya," ucap Erika. Gadis itu menaruh kedua tangannya di pipi Jojo dan menatap dalam. Menebar racun dalam otak Jojo.
"Kamu benar, Hon. Sepulangnya dia dari Jakarta, aku akan bicara padanya." Racun Erika bereaksi sangat cepat. Bagaimana tidak, ilmu pelet milik Erika telah menguasai. Mudah saja, baginya untuk menaklukkan Jojo sesuai ingin Erika.
Erika tersenyum sengit, menyadari kekasihnya yang mulai tidak melakukan perlawanan. Selalu menurut dan mengabulkan inginnya. Erika jatuh ke dalam pelukan Jojo dengan hati yang berbunga.
"Tidak sia-sia kepergok. Justru bisa mempercepat rencana pernikahan ini," ucap Erika dalam hati. "Aku jadi nggak perlu repot mencari cara lagi."
***
Jojo menatap sinis Roni saat mereka beradu pandang di bis pagi ini. Roni merasakan ada yang tidak beres dengan Jojo, ia melihat tatapan tadi bukan Jojo yang seperti biasanya.
Lelaki bermata sipit yang ia kenal dulu adalah orang yang mau mendengarkan nasihat teman lainnya. Roni pun mengingat wajah Erika yang tampak biasa saja. Hanya menang di postur tubuh yang menampilkan banyak lekukan. Sementara Sari, bagi Roni jauh lebih cantik meski penampilannya sederhana. Lalu, apa yang membuat Jojo melakukan hal bodoh ini, tanya Roni berulang penasaran.
Roni berpikir, apa ia harus memberitahu Sari masalah ini. Namun, ia masih belum memiliki bukti yang kuat.
"Sari wanita cerdas. Pasti dia akan percaya dan mencari tahu sendiri," ucap Roni dalam hati. "Ah! Tapi, nanti kalau dia tidak percaya dan tidak ada bukti, bisa saja Jojo memutar balikan fakta?"
Roni mengurungkan niat memberi tahu Sari sekarang. Ia butuh bukti, minimal memiliki foto saat Jojo bersama Erika sedang jalan atau bukti lainnya yang tidak bisa membuat Jojo berkutik.
Bersambung….
[Hai, Sayang.][Kamu lagi di rumah, Mas?][Iya. Baru selesai makan.][Makan malam apa?][Tadi aku beli di depan. Gimana kondisi Papah?][Alhamdulillah lebih baik, Mas. Mungkin aku pulang hari Minggu.]Jojo mengangguk. Memasang wajah ceria, menyambut kedatangan istrinya. Rayuan gombal pun ia lontarkan untuk meyakinkan wanita itu bahwa rindu padanya sangat menyiksa.Sementara Erika yang mendengar Jojo sedang mengobrol dengan Sari di panggilan video tidak menghiraukan. Ia tetap melanjutkan mencuci piring di dapur. Memberikan waktu untuk
"Pagi, Sayang… masak apa, Sayang?" sapa Jojo. Ia baru bangun, memeluk mesra tubuh Sari dari belakang yang sedang sibuk memasak di dapur."Masak yang ada di kulkas. Kamu stok ayam ungkep, Mas?""Oh, iya. Kemarin. Aku pikir kamu baru pulang hari ini. Jadi kemarin aku beli, niatnya buat makan semalam sama pagi ini. Praktis tinggal goreng.""Hmmm… oh, ya, Mas. Kamu ganti parfum baru?""Parfum? Nggak. Kenapa memangnya?""Itu yang di meja rias aku. Kayaknya aku baru lihat parfum itu."Jojo terdiam mencoba berpikir. Apa yang dimaksud Sari adalah parfum Erika yang mungkin tertinggal, pi
Satu bulan berlalu. Setiap Sari lembur bekerja, Jojo dan Erika mengambil kesempatan untuk jalan-jalan. Menghabiskan waktu dan uang. Bahkan mulai bulan ini, separuh gaji Jojo telah ia transfer ke rekening Erika. Beralasan Sari telah memiliki gaji sendiri, lelaki itu bilang kepada istrinya ingin menabung untuk membeli rumah di kampung. Sari pun setuju. Jadi, untuk kebutuhan sehari-hari istrinya yang mengeluarkan uang.Semua kebusukan Jojo dan Erika berjalan lancar. Sari tak lagi curiga karena sikap Jojo yang setiap hari romantis. Ia kembali menepis pikiran negatif yang sempat mengusik lagi. Bahkan ia juga sudah lupa dengan helai rambut di ranjang saat pulang kampung.Wanita itu fokus dengan pekerjaan barunya. Menikmati mengurus suami, rumah dan kantor. Sambil menanti momongan yang sampai sekarang belum juga dititipkan Tuhan
"Hei… kamu belum tidur?" Dengan sigap Jojo menghampiri Sari, merangkul wanita itu sambil menutup pintu belakang. Ia mengajak istrinya melangkah ke arah kamar. Mengalihkan pemandangan halaman belakang yang masih menampilkan asap, bakaran kertas."Kamu ngapain malam-malam di belakang?" tanya Sari penasaran."Ng-nggak ngapa-ngapain. Hirup udara malam aja.""Kok ada asap? Kamu bakar sesuatu?""Oh… aku ngerokok tadi. Baru selesai. Tidur, yuk?"Jojo memeluk Sari sebelum wanita itu merebahkan tubuh di ranjang saat mereka tiba di kamar. Ia pun meninggalkan kecupan di kening istrinya. Dengan wajah bahagia, karena sikap manis Jojo, Sari pun
"Hei, hei… dengar aku, Sayang. Sari akan pergi ke Makassar minggu depan. Kamu bisa tinggal di rumah dinasku sementara, gimana?""Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Aku sudah bilang sama kamu, Mas. Aku mau kita segera menikah. Mumpung dia tidak disini, mengapa kita tidak menikah saja minggu depan? Jadi, aku bisa kamu bawa pulang ke rumah dinas."Erika tampak mondar-mandir sambil berbicara. Saat Jojo mendekat dan mulai merayunya, ia kembali menghindar. Bahkan sentuhan Jojo pun ditepis."Mana mungkin bisa?" tanya Jojo."Bisa. Besok aku ke KUA dan urus semuanya. Kamu terima beres.""Bukan itu maksud aku, Honey. Duitnya udah nggak ada. Aku nggak
"Berangkat gelap, pulang pun hari sudah gelap. Kamu itu kerja atau kemana?"Sari menghentikan langkah kaki. Baru saja ia membuka pintu dan ingin mengucap salam. Namun, Jojo telah lebih dulu membuatnya terkejut dengan ucapannya. Lelaki itu duduk di sofa sambil bersedekap. Perlahan berdiri menghampiri istrinya yang terpaku di depan pintu.Sari tidak paham dengan ucapan Jojo tadi. Ia hanya diam menatap suaminya dalam, penuh tanya. Mengapa sikap Jojo terus memojokkannya. Seolah semua yang ia lakukan salah."Apa kecurigaanku benar tentang balas dendammu, ya? ucap Jojo lagi."Mas, kamu kenapa sih? Jangan ngaco, deh.""Ngaco? Kamu yang mulai ngac
Sari mengejar Jojo keluar rumah yang sudah tidak terlihat. Ia menghentikan langkahnya saat menyadari air mata yang telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin bisa keluar rumah untuk mengejar Jojo. Apa pantas menyelesaikan masalah di tempat umum, tanyanya dalam hati. Pikiran waras masih dapat mengontrol emosi.Sementara Ambar yang sedang menyapu di teras rumahnya, melihat wajah sembab Sari. Ia yakin telah terjadi sesuatu dengan tetangganya itu.Ambar bergegas membuka pintu pagar dengan sedikit berlari menghampiri rumah Sari. Sari yang menyadari kedatangan Ambar segera menghapus semua tanda kesedihan yang sebenarnya sudah tidak bisa ia tutupkan."Mbak, nggak apa-apa?" Ambar berjalan menghampiri Sari.S
Entah, hari itu mengapa Sari sama sekali menurut perkataan Jojo yang meminta segera membuang amplop cokelat, bukti perselingkuhannya. Perlahan, ingatan Sari mundur. Jojo seperti membakar sesuatu di halaman belakang. Bodohnya lagi, ia tidak curiga. Rasa lelah membuatnya tak peduli. Mempercayai apa saja yang keluar dari bibir Jojo.Bahkan keesokan pun Sari tidak memperhatikan sampah yang ia buang keluar. Apakah ada amplop itu atau tidak. Penyesalan sangat menusuk. Ternyata Jojo begitu lihai bermain lidah dan hati. Begitu pun dirinya yang sangat bodoh dan mudah dibohongi.Ambar menceritakan semua tentang pertemuan hari itu perlahan. Lalu, ia pun mengeluarkan gawainya dari saku. Mencari foto dan video yang pernah suaminya kirim untuk di cetak. Menurut Ambar, sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Sari semuanya. Rasa kasi