Katanya sepatu yang bagus akan membawa pemiliknya ke tempat yang bagus. Namun, bagaimana jika sebelah sepatu butut Jingga justru berakhir di kepala Krisna, CEO tempatnya bekerja? Apakah itu menjadi cerita cinta terhalang kasta yang akan berakhir indah? Atau kisah Cinderella yang hanya dongeng semata dan justru membawa hidup Jingga menuju kesialan?
Lihat lebih banyak“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so
Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga
"Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen