Share

Hari Yang Sial

last update Last Updated: 2024-04-05 15:30:49

"Kamu pernah ketemu Pak Krisna, CEO kita, nggak? Katanya dia ganteng banget, lho."

"Belum. Tapi, gosipnya beliau memang ganteng dan yang paling penting masih lajang."

Celetukan dua temannya, Santi dan Dewi, terdengar jelas saat Jingga berpapasan dengan keduanya di pintu masuk ruang istirahat. Mereka memang sudah kembali lebih dulu, sementara Jingga baru selesai karena melayani pengunjung terakhir yang bersamanya. Dan, CEO mereka memang akan datang sehingga jadilah pria yang katanya tampan itu menjadi bahan rumpi dua rekan kerjanya tersebut.

Mendengar celetukan dua rekannya itu, Jingga merasa sedikit lega karena bukan dirinya yang jadi bahan pembicaraan. Karena meski bukan artis dan kurang cantik untuk jadi selebgram idola kaum adam, Jingga adalah bahan rumpian favorit mereka. Mereka iri, itu yang Jingga pikir. Bukan hal aneh mengingat Jingga pegawai baru dan sudah berkali-kali menjadi karyawan terbaik sementara mereka tidak.

"Biar ganteng juga nggak bakal lirik kalian kali," gumam Jingga seraya mengambil bedak dari tasnya. Ia perlu melakukan sedikit touch up agar wajahnya tetap tampak segar saat acara nanti. Namun, melihat pantulan dirinya di cermin, Jingga tiba-tiba saja tertawa sendiri. "Nggak bakal ngelirik aku juga, sih."

Jingga sadar diri dengan keadaan dan tidak berharap hal yang muluk-muluk. Lagipula dia tidak begitu tertarik dengan asmara, karena sudah terlalu sibuk mencari uang. Mungkin akan beda cerita kalau pria yang menaruh hati padanya nanti adalah si World Wide Handsome alias Jin, idola Violet yang kalau dilihat-lihat oleh Jingga memang ganteng. Sayangnya, hal itu justru menjadikannya tambah gila karena Jin dan Jingga hanya nama yang berawalan huruf sama, bukannya pasangan di undangan pernikahan.

Jingga menggeleng menyadari khayalannya yang berlebihan. Pasti itu efek dari kelelahan. Dengan bergegas, ia menyelesaikan niat awalnya sehingga bisa bergabung bersama yang lain tepat waktu. Namun, saat baru saja keluar dari ruangan, Jingga melihat sosok yang tak asing berjalan ke arahnya.

Pria yang tadi pagi Jingga lempari sepatu itu ada di sana. Berjalan bersama seorang pria berkacamata dan Farhan, manajer butik. Mendadak Jingga dipenuhi kecemasan.

"Astaga, apa jangan-jangan dia CEO Dahayu? Mati aku." Jingga menepuk dahinya dan buru-buru masuk kembali ke ruangan. Sungguh celaka kalau benar begitu. Ia tidak peduli jika predikat karyawan terbaik tidak jadi disematkan padanya. Tapi, ia sudah kehilangan sebelah sepatu kesayangannya, apa ia harus kehilangan uang bonus juga?

Oh, tunggu, batin Jingga. Ia segera mecubit pipinya, berharap semua ketakutan yang ia rasakan hanya mimpi. Namun, ia berakhir dengan mengaduh kesakitan. Ternyata bukan mimpi buruk, tapi kenyataan buruk.

Jingga mondar mandir di ruangan, sesekali menepuk kepala dan menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mencoba menemukan cara untuk menghadapi situasi yang dihadapinya sekarang. Namun, setelah pusing karena terus bergerak berkeliling, Jingga tetap tak bisa menemukan solusi selain muncul dan menemui si CEO. Lagipula, tadi ada dua orang, bukan? Bisa saja pria berkacamata tadi CEO yang asli.

"Tapi si sombong tadi berjalan paling depan, paling terlihat berkuasa. Dia pasti benar si CEO." Jingga bermonolog, tidak sadar jika sudah banyak menghabiskan waktunya dengan hanya berdiam di sana. "Ah, masa bodoh. Pura-pura nggak inget aja. Atau sekalian ngaku punya amnesia retrogade."

Bukan Jingga namanya kalau tidak punya nyali. Tadi pagi dia berani karena benar. Krisna tidak punya alasan untuk membawa masalah tersebut ke ranah pekerjaan. Maka, dengan langkah mantap dia akhirnya pergi keluar. Di sana semua pegawai sudah berkumpul dan menantikan dirinya.

Jingga menunjukkan gestur maaf pada Farhan seraya segera bergabung. Bisa ia rasakan tatapan terkejut Krisna saat melihatnya. Namun, Jingga berlagak tidak tahu hingga tiba waktunya Krisna memberikan piagam dan mereka berhadapan secara langsung. Hal yang akhirnya meyakinkan Jingga jika Krisna memang CEO tempatnya bekerja.

"Jadi, kamu kerja di sini?" tanya Krisna retoris. Mereka berfoto berdampingan sebagai dokumentasi dan pria itu bertanya dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh Jingga. "Kebetulan sekali."

Jingga tidak mengerti yang terjadi dengan dirinya. Jika tadi ia bertekad mengaku hilang ingatan, saat ini yang keluar dari mulutnya justru sebuah permintaan maaf. Tiba-tiba saja terlintas di pikirannya jika ia tidak sama dengan Krisna. Jingga masih ingat untuk meminta maaf saat melakukan sebuah kesalahan.

"Saya minta maaf, Pak. Tadi pagi saya tidak bisa menahan emosi."

Acara foto bersama telah selesai saat Jingga mengutarakan permintaan maafnya. Namun, reaksi Krisna tidak seperti yang ia duga. Pria itu hanya tersenyum singkat dan berkata.

"Tidak apa-apa. Mari kita lupakan saja."

Bolehlah Jingga merasa lega? Apakah ia harus curiga bosnya itu tengah merencanakan sesuatu padanya? Atau justru ia terlalu percaya diri pria itu akan peduli dengannya?

Apa pun itu, saat ini Jingga hanya berharap jika dengan meminta maaf, ia juga bisa mendapatkan kembali sepatunya.

"Terima kasih, Pak." Jingga akhirnya bisa merasa lega. Ternyata pria itu tak searogan yang dilihatnya tadi pagi. Sayangnya, saat ia hendak menanyakan sebelah sepatunya, asisten Krisna mengajaknya pergi. Tak ingin kehilangan kesempatan, Jingga pun mengejar dua pria tersebut. Bahkan dengan berani menghadang langkah mereka saat berada di depan ruang istirahat pegawai. "Maaf, Pak. Bolehkah saya bertanya sesuatu?"

Krisna yang terpaksa berhenti memandang Jingga dengan tatapan yang jauh berbeda dari sikapnya saat berfoto tadi. Keramahan yang sempat terekam memori Jingga tadi hilang dan berganti dengan ekspresi jengkel.

"Ada apa? Saya ada urusan lain yang lebih penting." Bahkan nada bicaranya pun berbeda. Arogan. Mau tak mau Jingga pun balas menatapnya heran. Apa tadi Krisna mengonsumsi sesuatu yang salah?

"Apa sepatu saya yang tadi pagi masih ada pada Bapak?"

Melihat Jingga yang tampak mengharapkan jawaban ya membuat Krisna justru mengatakan sebaliknya. "Sudah saya buang."

Mengabaikan ekspresi dingin Krisna saat menjawabnya, Jingga pun tetap bertanya. "Di buang ke mana, Pak?"

"Tempat sampah."

"Tepatnya tempat sampah di mana, Pak?"

Krisna melotot mendapat pertanyaan terakhir Jingga. "Kamu pikir saya nggak ada pekerjaan sampai harus mengingat letak tempat sampah di jalanan?"

Bukannya takut, Jingga justru masih menatap Krisna tanpa kedip. Terlihat amarah di sorot matanya yang kini menyadari jika sikap manis Krisna tadi hanya topeng semata. Jika pada akhirnya membuang sepatu Jingga, kenapa harus membawanya dan tidak langsung melemparkannya kembali pada sang pemilik? Namun, Jingga sadar saat ini bukan waktu yang tepat untuk melampiaskan emosi.

"Oh, maaf. Saya tidak bermaksud begitu, Pak. Tapi, terima kasih atas jawabannya."

Krisna merasa permintaan maaf Jingga hanya basa basi. Sebab, ia bisa melihat gadis itu tengah berusaha menahan amarah karena sikapnya barusan. Akan tetapi, apa pedulinya? Siapa suruh gadis itu melempari kepalanya dengan sepatu? Butut pula.

Jingga lalu undur diri, tapi saat melihat Santi keluar dari ruang istirahat sembari membawa segelas besar coklat, tiba-tiba saja terlintas cara untuk menumpahkan emosinya tanpa harus pakai otot. Ia yang tadinya sudah bertolak belakang dengan Krisna kini berbalik, berjalan cepat menuju Krisna seolah hendak memanggil pria itu. Namun, Jingga justru menabrak Santi yang kebetulan berada dalam jarak cukup dekat dengan Krisna. Alhasil, mereka bertabrakan dan coklat milik Santi tadi sukses mengotori kemeja serta jas sang CEO. Beruntung minuman tersebut dingin, tapi tetap saja meninggalkan noda di setelan mahal milik Krisna.

Santi yang terperanjat segera meminta maaf dengan takut-takut. Akan tetapi, tatapan marah Krisna justru tertuju pada Jingga yang pura-pura membantu menyeka noda di bajunya. Ia tahu yang baru saja terjadi bukan sebuah ketidaksengajaan.

"Jangan sentuh saya!" hardik Krisna.

"Maaf, Pak. Saya hanya mencoba membantu." Jingga tetap pada yang ia lakukan sehingga Krisna segera mencekal tangan gadis itu dan menjauhkannya dari dadanya. Tindakan tersebut berhasil membuat Jingga merasa tidak nyaman, tetapi memilih untuk tak protes.

Cukup sudah, batin Krisna. Ia mencoba berbuat baik pada pegawainya yang kurang ajar itu, tapi Jingga justru semakin menjadi. Apa dia pikir Krisna tidak bisa bersikap tega? Atau kejadian tadi pagi belum membuatnya jera?

"Kalau kamu benar-benar ingin membantu, mulai besok tidak perlu datang lagi ke butik," ujar Krisna dingin.

"Maksud Bapak?" Mendadak Jingga takut dugaannya benar, dan ucapan Krisna selanjutnya berhasil membuatnya mematung.

"Kamu dipecat."

***

Related chapters

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Mantan Cinta Pertama

    Krisna menatap perempuan di hadapannya itu dengan pandangan datar. Selain tampak lebih dewasa, hampir tidak ada yang berubah dari perempuan bernama Cintya itu. Senyumnya masih memikat, bahkan parasnya terlihat lebih cantik dari yang terakhir Krisna ingat. Namun, tidak ada lagi perasaan menggebu untuk menyimpan senyuman itu dalam memori. Krisna remaja yang dulu pernah tergila-gila pada Cintya telah lenyap sepenuhnya. Justru, pria itu merasa bertemu mantan cinta pertamanya itu-sekaligus patah hati pertamanya, hanya membuang waktu. Kalau bukan karena desakan Ratih, Krisna dengan senang hati akan memilih tidur saja di rumah. "Krisna, bagaimana?" Suara Cintya kembali terdengar bersama denting garpu dan pisau yang baru saja perempuan itu letakkan. Hidangan yang disajikan tampaknya cocok dengan seleranya, karena isi piringnya terlihat tandas. "Tawaranku tadi bagus, lho. Saling menguntungkan." Krisna mendengus. Meski tahu perjodohan di kalangan orang-orang sepertinya adalah hal lumrah, ia

    Last Updated : 2024-04-05
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Insiden Tak Menyenangkan

    Alunan musik yang menghentak dan menggoda untuk tubuh ikut bergoyang menyambut kedatangan Krisna. Di salah satu sudut ruangan, di bawah sorotan lampu penuh warna, tampak seorang DJ wanita tengah asik memainkan musiknya. Sementara di sisi lain, sekumpulan orang berbagai usia dan gender sibuk meliuk-liukkan badan mengikuti irama.Krisna menghela napas panjang menyaksikan pemandangan tersebut. Meski para pengunjung lain terlihat sangat menikmati waktu mereka, tidak demikian halnya dengan pria itu. Klub malam, bar atau sejenisnya bukanlah tempat favorit Krisna. Kalau bukan karena mengikuti Cintya, dia tidak akan mau masuk ke tempat tersebut.Tidak tampak sosok Cintya di antara para pengunjung bar bernama Victory tersebut. Namun, Krisna sangat yakin jika perempuan itu tadi memang masuk ke sana. Pasti saat ini Cintya masih berbaur dengan para pengunjung lain yang tengah melantai itu. Krisna bisa saja turun ke sana dan menemukan Cintya, tapi otaknya tidak menyetujui ide itu."Pengunjung baru

    Last Updated : 2024-04-05
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    CEO dan Pengangguran

    "Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah."Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia.""Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga."Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Da

    Last Updated : 2024-05-24
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Pria Manja Menyebalkan

    Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya. Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya. "Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu

    Last Updated : 2024-05-25
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Tidak Tahu Terima Kasih

    "Astaga Krisna, kenapa kamu bisa sampai begini, sih?" Ratih Kumala langsung panik begitu masuk ruangan dan melihat kondisi putra bungsunya. "Siapa yang ngelakuin ini? Kamu ingat orangnya? Tahu namanya? Kita harus segera lapor polisi. Apalagi mereka juga ambil barang-barang pribadi kamu, kan?"Krisna yang baru ingin memejamkan mata dan beristirahat sontak terbangun dengan kaget. Ia tahu mamanya sangat mencintainya, tapi Krisna baru saja menikmati ruangan yang lebih besar dan lega. Ia butuh tidur nyenyak dan nyaman sekarang. Bukannya rentetan pertanyaan yang membuatnya pusing."Ma, selain wajah yang babak belur, dia masih Krisna yang sama. Nyebelin, songong dan pengin dijitak," celetuk Saras yang juga berada di ruangan tersebut."Saras, kenapa ngomong gitu, sih? Ini Krisna lagi kena musibah, lho." Ratih memandang putri sulungnya heran. Bagaimana bisa dia tidak khawatir saat adiknya baru saja dihajar orang tak dikenal dan harta bendanya dirampok. "Cintya aja

    Last Updated : 2024-05-26
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Rezeki Tidak Kemana

    Lantunan lagu Not Today milik boyband BTS dari Korea Selatan memenuhi kamar Jingga. Meski ruangan tersebut hanya berukuran tak lebih dari 8m persegi, tapi dua gadis yang tengah menari mengikuti irama lagu itu tak tampak terbatasi ruang geraknya. Terutama Violet yang selalu bersemangat untuk urusan tari.Jingga yang sedari awal tak seantusias sang adik akhirnya menyerah. Ia memang menikmati musik-musik K-pop, tapi jika harus menggerakkan tubuh seperti koreagrafi yang mereka lakukan, Jingga angkat tangan. Terlebih lagu yang tengah mereka pakai sebagai musik pengiring itu memiliki irama dan gerak tari yang menghentak serta penuh tenaga. Melihat Violet yang tetap lincah sementara dirinya sudah terengah-engah, Jingga jadi merasa ia nenek Violet, bukan kakak sulungnya. Adiknya itu 17 tahun dan dirinya 71 tahun."Vio, udahan dulu. Aku capek," pinta Jingga. Sebelum adiknya merespon, ia sudah mengenyakkan tubuh ke ranjang. Kini hanya ada mereka berdua di rumah, karena Lemba

    Last Updated : 2024-05-27
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Jomlo Setengah Matang

    Rengga masih berdiri di depan bosnya yang masih duduk sembari sibuk berpikir. Sudah berlalu beberapa menit dan Krisna masih menunduk memegangi kepalanya. Belum ada tanda-tanda pria itu akan bicara, padahal Rengga dipanggil ke sana untuk diberi perintah."Apa kamu ada ide, Ga?" Krisna akhirnya mengangkat wajah dan bicara. "Saya benar-benar bosan dengan ide 'seksi' yang mereka tawarkan."Mereka di sini mengacu pada departemen desain, sebab Rengga tahu jika hal yang memenuhi pikiran bosnya sekarang adalah rencana untuk produk terbaru mereka. Dahayu Fashion yang kebetulan hanya memproduksi tas dan sepatu wanita itu memang selalu mengeluarkan koleksi terbaru dua kali dalam setahun. Sekarang sudah mendekati jadwal peluncuran koleksi kedua tahun ini, dan sepertinya Krisna tidak tertarik dengan rancangan yang diajukan para pegawainya."Saya tidak merasa berhak memberi pendapat mengenai hal ini, Pak," jawab Rengga. Ia memang asisten pribadi Krisna, tapi tugasnya le

    Last Updated : 2024-05-28
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Senyuman Sang Bos

    "Terima kasih sudah berbelanja di sini. Senang bisa memuaskan selera Anda."Jingga tersenyum senang begitu pelanggan terakhirnya siang itu beranjak meninggalkan butik. Sebab, wanita yang juga salah satu selebgram terkenal tersebut baru saja membeli salah satu koleksi sepatu paling mahal yang ada di sana. Kalau bagi si pelanggan hal tersebut adalah sebuah prestise karena bisa membeli barang bermerek yang berharga tinggi, maka bagi Jingga itu adalah rezeki nomplok. Penjualannya bertambah, yang berarti akan bertambah pula bonusnya nanti.Sudah seminggu Jingga kembali bekerja di butik. Meski jengkel setengah mati pada Krisna, tapi ia tak mau munafik jika bisa kembali ke butik adalah hal yang memang ia inginkan. Namun, tentu saja itu tidak berarti pertolongannya pada Krisna tempo hari pamrih. Semua yang terjadi hanya sebuah kebetulan. Dan, Jingga harap Krisna masih punya otak untuk berpikir seperti itu. Karena gadis itu yakin jika pemanggilannya kembali pasti bukan murn

    Last Updated : 2024-05-29

Latest chapter

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Mencari Kisah Yang Berbeda

    “Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Biji Nangka Beneran Jatuh Cinta

    “Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kunjungan Calon Ipar

    Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Perasaan Itu Ada

    "Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Curi Kesempatan

    Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Cemburu

    “Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Ada Apa Dengan Hati?

    Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kepedulian Krisna

    Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Insiden Pada Jingga

    "Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken

DMCA.com Protection Status