Home / CEO / Cinderella Tanpa Sepatu Kaca / Pria Manja Menyebalkan

Share

Pria Manja Menyebalkan

last update Last Updated: 2024-05-25 21:00:56

Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya.

Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya.

"Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu kondisinya juga tidak memungkinan untuk melawan balik.

Apakah mereka akhirnya merasa bersalah dan kemudian membawa Krisna ke rumah sakit? Karena itulah ia berada di sana sekarang, bukannya di ruangan yang lebih besar dan lega. Mereka pasti tidak ingin mengeluarkan banyak uang dan hanya akan mengandalkan permintaan maaf.

Tiba-tiba tirai dibuka dengan kasar hingga membuat Krisna hampir terlonjak karena kaget. Ia hendak mengomeli orang yang dikiranya perawat tersebut. Namun, seketika mengurungkan niat sewaktu melihat Jingga. Meski tidak tahu nama gadis itu, Krisna belum pikun untuk mengingat jika dia adalah mantan pegawainya. Si pemilik sepatu merah yang menimpuk kepala Krisna. Dan, pertanyaannya adalah kenapa gadis itu bisa ada di sana?

"Oh, Bapak sudah siuman?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari gadis itu. Akan tetapi, tidak tampak kekhawatiran dari raut wajahnya.

"Kenapa saya ada di sini?" tanya Krisna balik, mengabaikan pertanyaan Jingga.

"Ya,karena Bapak lagi sakit. Masa' Bapak ada di sini karena mau liburan," jawab Jingga sedikit jengkel.

"Saya nanya baik-baik, lho. Kenapa kamu jawabnya begitu?" Krisna makin tidak suka karena ucapan Jingga terkesan tidak sopan, mengingat gadis itu adalah mantan pegawainya.

"Saya tadi juga nanya baik-baik, tapi Bapak malah nggak jawab." Jingga tak mau kalah.

"Pertanyaan kamu itu nggak perlu jawaban. Jelas-jelas saya sudah sadar, kenapa masih nanya? Kamu pikir saya jawab kamu sekarang ini karena ngigau?"

Jingga mencibir mendengar Krisna yang berbicara dengan nada nyinyir. Pria itu terlalu cerewet untuk ukuran seseorang yang habis dipukuli. Padahal wajahnya sudah babak belur begitu, tapi ucapannya masih saja nyelekit. Orang-orang yang menghajar Krisna benar-benar amatir karena melewatkan mulut tajam pria itu dari sasaran tinju mereka.

Jingga hendak membuka mulut untuk membalas ucapan Krisna, tapi urung saat tirai kembali dibuka dari luar. Si Jabrik yang ternyata masuk seraya membawa sebuah kantong kresek putih yang tampak penuh. Dari penampilannya, Krisna seketika menyimpulkan jika Jingga dan pemuda itu adalah komplotan lain yang harus ia waspadai.

"Ga, gorengan di kantin sini gede-gede. Dijamin kenyang deh. Tadi aku juga udah nyicip satu. Maknyus." Si Jabrik memberi laporan dengan penuh semangat, sebelum akhirnya menyadari jika pria yang mereka tolong kemarin itu sudah sadar. "Eh, Pak Bos udah sadar. Mau gorengan juga, Pak Bos? Kebetulan saya beli banyak."

Krisna tak habis pikir dengan kelakuan dua orang di depannya itu. Bisa-bisanya mereka menawarinya gorengan saat berada di rumah sakit. Bahkan saat tidak sakit pun makanan itu jelas bukan makanan yang sehat untuk dikonsumsi. Walaupun harus ia akui aroma dan uap yang tampak begitu kantong tersebut dibuka terlihat nikmat.

"Nggak bakal mau. Tenggorokannya alergi minyak yang udah dipakai berulang kali. Bukan hanya batuk, tapi suaranya nanti bisa hilang." Jingga menjawab dengan asal seraya melirik sinis pada Krisna.

Mendengar hal itu, Krisna seketika meradang. Namun, ia tidak ingin berdebat hanya karena perkara gorengan yang bahkan bukan seleranya. "Saya juga nggak berselera makan makanan begituan."

Jingga berdecak. Mantan bosnya itu benar-benar menjengkelkan bahkan saat dalam keadaan sakit. Ia jadi tidak begitu menyesal harus berhenti menjadi pegawai Krisna.

"Ya udah. Ayo, kita sarapan dulu," ajak Jingga pada si Jabrik yang dengan patuh mengikutinya. Namun, saat gadis itu membuka tirai dan hendak keluar, Krisna memanggilnya.

"Tunggu. Kenapa main pergi aja? Kalian yang bawa saya ke sini, kan?"

"Iya, Pak Bos." Si Jabrik yang menjawab.

"Saya mau pindah ke ruangan yang lebih luas." Tiba-tiba saja Krisna berkata seperti itu yang di telinga Jingga terdengar seperti perintah. Ya, kemarin gadis itu masih bekerja di perusahaan Krisna. Namun, sekarang mereka bukan siapa-siapa. Krisna boleh meminta bantuan, tapi tidak berhak memberi perintah karena jelas-jelas tidak ada kata tolong dalam kalimat pria itu.

Jingga seketika berbalik menghadap Krisna dan dengan tatapan malas membalas ucapan mantan CEO-nya itu.

"Apa susahnya bersyukur karena sudah dibawa ke sini, sih, Pak? Apa Bapak tahu kami sampai harus patungan untuk bayar biaya perawatan supaya Bapak bisa segera ditangani? Dua teman saya dan saya yang baru saja dipecat." Jingga sengaja menekankan kata terakhir untuk menyindir Krisna. "Dan, sekarang Bapak minta ruangan yang lebih luas? Yang benar saja."

"Saya bisa bayar kalian kembali. Kamu tahu, kan, kalau saya ini CEO Da---."

"Saya tahu," potong Jingga cepat. "Bapak yang nggak tahu kalau saat dilempar dari mobil kemarin malam itu, Bapak cuma punya badan. Nggak ada ponsel dan dompet. Itu alasan yang cukup bagi kami untuk rela mengeluarkan uang demi menolong Bapak."

Masuk akal. Namun, Krisna masih belum sepenuhnya percaya pada perkataan Jingga. Bisa saja gadis itu mengenal orang-orang yang menghajar Krisna kemarin dan sengaja membuat rencana sedemikian rupa untuk membalas dendam padanya. Atau bisa juga gadis itu ingin membuatnya merasa berhutang budi dan meminta imbalan. Bisa berupa uang atau permintaan kembali bekerja di butik Dahayu. Kalau benar begitu, maka ini jelas-jelas pemerasan meski bukan dalam bentuk uang.

"Dengar, kalau kamu berniat menjadikan pertolongan ini cara untuk kembali bekerja, lupakan saja."

Jingga yang bisa mencernanya seketika memelotot mendengar kata-kata Krisna. "Terserah Bapak. Saya nggak peduli."

Namun, saat Jingga hendak pergi, Krisna kembali memanggilnya. Tanpa menyembunyikan kejengkelan di wajahnya yang semakin bertambah, Jingga tetap berbalik dan bertanya dengan nada ketus.

"Apa lagi? Kebelet pipis dan butuh pispot?" Pertanyaan tak terduga Jingga sontak membuat Krisna merasa malu. Namun, karena bukan itu tujuannya mencegah gadis itu pergi, ia berusaha mengesampingkan perasaan tersebut meski tawa si Jabrik terdengar sangat menganggu.

"Saya butuh menelepon seseorang."

"Terus? Apa urusannya dengan saya?"

"Ponsel saya kan nggak ada, jadi saya mau pinjam ponsel kamu."

Jingga memutar mata dengan jengah. Pria di hadapannya ini benar-benar paket lengkap untuk manusia tidak tahu diri. Akan tetapi, gadis itu tetap mengeluarkan ponsel dan menyodorkannya pada Krisna. Lebih karena ingin segera mengakhiri urusannya dengan pria itu. "Sebelum Bapak bertanya, saya kasih tahu lebih dulu, nih. Kita sekarang ada di rumah sakit Cipta Medika."

Krisna lalu menerima ponsel Jingga yang jauh berbeda dengan miliknya itu. Model dan mereknya tergolong murah dan tidak istimewa. Miliknya jelas jauh lebih bagus. Hanya saja dalam situasi saat ini, fungsi utamanya yang lebih ia butuhkan yaitu untuk menelepon.

Dengan Jingga masih berdiri di dekatnya, Krisna pun mencoba menghubungi nomor Saras yang sudah ia hafal di luar kepala. Setelah dua kali nada tunggu panggilan tersebut akhirnya tersambung. Meski menggunakan nomor asing, Krisna bisa meyakinkan Saras dan segera memberitahu kakaknya itu mengenai keberadaannya. Begitu Saras mengonfirmasi akan segera datang ke rumah sakit tempatnya dirawat, Krisna pun mengakhiri percakapan dan mengembalikan ponsel Jingga.

"Sudah?" tanya Jingga.

"Kalau belum ya nggak akan saya kembalikan ke kamu. Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan retoris, sih?"

"Sialan," umpat Jingga dengan suara pelan, tapi Krisna bisa mendengarnya.

"Berhenti memaki saya. Kamu bisa keluar untuk sarapan sekarang, tapi segera kembali supaya kakak saya nggak kebingungan saat sampai di sini."

Jingga merasa mendapat perlakuan lebih buruk dari saat ia masih menjadi pegawai di Dahayu. Namun, ia yang memang sudah kelaparan pun memilih untuk mengabaikan ucapan Krisna dan pergi begitu saja. Di luar, si Jabrik sudah menunggunya bersama si Kurus yang sudah kembali dari kamar mandi.

Mereka bertiga lalu duduk bersisian di kursi yang ada di depan ruang rawat Krisna. Bersama, ketiganya menikmati sarapan mereka dengan gorengan yang tadi si Jabrik beli. Murah meriah, mengingat uang mereka habis untuk biaya masuk Krisna kemarin. Uang untuk membeli gorengan itu saja uang terakhir si Kurus. Belum lagi badan mereka yang kaku karena semalaman tidur di kursi tunggu. Untungnya Jingga sudah mengabari keluarga di rumah sehingga mereka tidak terlalu khawatir ia tidak pulang semalaman.

Ketiganya baru saja selesai menandaskan potongan gorengan terakhir ketika seorang perempuan berpenampilan elegan muncul. Sepatu hak tingginya yang bersuara khas memenuhi lobi. Kebetulan tidak ada banyak orang saat itu. Perempuan berwajah bak artis itu berhenti tepat di depan Jingga dan kawan-kawan lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Ponsel Jingga berdering setelah perempuan tadi meletakkan ponsel di telinga. Jingga seketika menebak jika sosok tersebut adalah orang yang tadi ditelepon Krisna alias Saras, kakaknya. Ia juga jadi teringat pernah melihat wajah Saras yang memang pernah datang ke butik beberapa bulan lalu.

Jingga segera bangkit dan kini bertukar pandang dengan Saras. "Ibu kakaknya Pak Krisna?"

"Benar. Jadi kamu pemilik nomor ini? Yang membawa Krisna ke sini?" Jingga segera mengangguk sebagai jawaban. "Terima kasih banyak, ya. Bagaimana keadaannya?"

Dari interaksi pertama saja Jingga sudah bisa menilai jika Saras lebih baik dari adiknya. Minimal perempuan itu mengucapkan terima kasih. Paras rupawan yang dimiliki satu keluarga memang tidak menjamin kemiripan sifat.

"Mari masuk saja, Bu. Pak Krisna sudah menunggu,"ajak Jingga segera. Saras pun mengikuti gadis itu memasuki ruang rawat. Di dalam sana hanya dua brankar yang kosong. Cukup banyak pasien lain yang membuat ruangan itu semakin terasa sempit. Namun, berbeda dengan Krisna, Saras tidak tampak terganggu dengan hal itu.

"Krisna! Apa yang sebenarnya terjadi? Mama dan Papa sampai nggak tidur semalaman gara-gara kamu nggak bisa dihubungi sama sekali tahu." Saras langsung memberondong sang adik begitu melihat keberadaan Krisna. Ia juga langsung memegang wajah sang adik untuk memeriksa keadaannya. "Astaga, kamu dipukuli orang apa gimana, sih? Muka kamu sampai kaya gini."

"Ya gitu, deh. Kita bisa bicarain itu nanti. Sekarang kamu ganti uang dia dan pindahin aku ke ruangan yang lebih besar, dong." Krisna menunjuk Jingga yang masih merasa jengkel padanya. "Jangan lupa lebihin."

Saras berpaling pada Jingga dan tersenyum tidak nyaman karena perkataan adiknya. "Oh, ya. Boleh saya tahu berapa biaya yang harus diganti?"

"Nggak perlu, Bu. Saya ikhlas, kok," tolak Jingga. Harga dirinya benar-benar direndahkan saat Krisna terang-terangan menyuruh Saras mengganti uangnya lebih dari seharusnya. Lagipula dari awal dia memang berniat membantu tanpa mengharapkan imbalan. Hanya saja sikap Krisna membuatnya merasa bisa sewaktu-waktu menyemburkan napas api.

"Tapi,.."

"Tidak apa-apa. Dan, karena sudah ada Ibu, saya dan teman-teman saya pamit pergi."

"Tunggu," cegah Sara yang merasa tak enak karena membiarkan Jingga pergi begitu saja. "Boleh saya tahu nama kamu? Atau tempat kerja kamu?"

"Nama saya Jingga. Dan, saya pengangguran."

"Oh, maaf untuk itu. Kalau begitu kamu mungkin tertarik untuk melamar di perusahaan kami? Saya bisa merekomendasikan kamu." Saras mencoba memberi solusi untuk ucapan terima kasih yang bisa Jingga terima.

"Terima kasih, Bu. Tapi, mungkin Ibu belum tahu. Saya justru baru saja dipecat dari perusahaan Ibu."

Saras seketika bengong. Otaknya berusaha mencerna jawaban Jingga, tapi sebelum ia menemukan jawabannya, gadis itu sudah beranjak pergi. Menyisakan hanya dirinya dan Krisna yang memasang wajah tidak peduli.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Maulana
cerita asyik...semangat thor up lagi.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Tidak Tahu Terima Kasih

    "Astaga Krisna, kenapa kamu bisa sampai begini, sih?" Ratih Kumala langsung panik begitu masuk ruangan dan melihat kondisi putra bungsunya. "Siapa yang ngelakuin ini? Kamu ingat orangnya? Tahu namanya? Kita harus segera lapor polisi. Apalagi mereka juga ambil barang-barang pribadi kamu, kan?"Krisna yang baru ingin memejamkan mata dan beristirahat sontak terbangun dengan kaget. Ia tahu mamanya sangat mencintainya, tapi Krisna baru saja menikmati ruangan yang lebih besar dan lega. Ia butuh tidur nyenyak dan nyaman sekarang. Bukannya rentetan pertanyaan yang membuatnya pusing."Ma, selain wajah yang babak belur, dia masih Krisna yang sama. Nyebelin, songong dan pengin dijitak," celetuk Saras yang juga berada di ruangan tersebut."Saras, kenapa ngomong gitu, sih? Ini Krisna lagi kena musibah, lho." Ratih memandang putri sulungnya heran. Bagaimana bisa dia tidak khawatir saat adiknya baru saja dihajar orang tak dikenal dan harta bendanya dirampok. "Cintya aja

    Last Updated : 2024-05-26
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Rezeki Tidak Kemana

    Lantunan lagu Not Today milik boyband BTS dari Korea Selatan memenuhi kamar Jingga. Meski ruangan tersebut hanya berukuran tak lebih dari 8m persegi, tapi dua gadis yang tengah menari mengikuti irama lagu itu tak tampak terbatasi ruang geraknya. Terutama Violet yang selalu bersemangat untuk urusan tari.Jingga yang sedari awal tak seantusias sang adik akhirnya menyerah. Ia memang menikmati musik-musik K-pop, tapi jika harus menggerakkan tubuh seperti koreagrafi yang mereka lakukan, Jingga angkat tangan. Terlebih lagu yang tengah mereka pakai sebagai musik pengiring itu memiliki irama dan gerak tari yang menghentak serta penuh tenaga. Melihat Violet yang tetap lincah sementara dirinya sudah terengah-engah, Jingga jadi merasa ia nenek Violet, bukan kakak sulungnya. Adiknya itu 17 tahun dan dirinya 71 tahun."Vio, udahan dulu. Aku capek," pinta Jingga. Sebelum adiknya merespon, ia sudah mengenyakkan tubuh ke ranjang. Kini hanya ada mereka berdua di rumah, karena Lemba

    Last Updated : 2024-05-27
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Jomlo Setengah Matang

    Rengga masih berdiri di depan bosnya yang masih duduk sembari sibuk berpikir. Sudah berlalu beberapa menit dan Krisna masih menunduk memegangi kepalanya. Belum ada tanda-tanda pria itu akan bicara, padahal Rengga dipanggil ke sana untuk diberi perintah."Apa kamu ada ide, Ga?" Krisna akhirnya mengangkat wajah dan bicara. "Saya benar-benar bosan dengan ide 'seksi' yang mereka tawarkan."Mereka di sini mengacu pada departemen desain, sebab Rengga tahu jika hal yang memenuhi pikiran bosnya sekarang adalah rencana untuk produk terbaru mereka. Dahayu Fashion yang kebetulan hanya memproduksi tas dan sepatu wanita itu memang selalu mengeluarkan koleksi terbaru dua kali dalam setahun. Sekarang sudah mendekati jadwal peluncuran koleksi kedua tahun ini, dan sepertinya Krisna tidak tertarik dengan rancangan yang diajukan para pegawainya."Saya tidak merasa berhak memberi pendapat mengenai hal ini, Pak," jawab Rengga. Ia memang asisten pribadi Krisna, tapi tugasnya le

    Last Updated : 2024-05-28
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Senyuman Sang Bos

    "Terima kasih sudah berbelanja di sini. Senang bisa memuaskan selera Anda."Jingga tersenyum senang begitu pelanggan terakhirnya siang itu beranjak meninggalkan butik. Sebab, wanita yang juga salah satu selebgram terkenal tersebut baru saja membeli salah satu koleksi sepatu paling mahal yang ada di sana. Kalau bagi si pelanggan hal tersebut adalah sebuah prestise karena bisa membeli barang bermerek yang berharga tinggi, maka bagi Jingga itu adalah rezeki nomplok. Penjualannya bertambah, yang berarti akan bertambah pula bonusnya nanti.Sudah seminggu Jingga kembali bekerja di butik. Meski jengkel setengah mati pada Krisna, tapi ia tak mau munafik jika bisa kembali ke butik adalah hal yang memang ia inginkan. Namun, tentu saja itu tidak berarti pertolongannya pada Krisna tempo hari pamrih. Semua yang terjadi hanya sebuah kebetulan. Dan, Jingga harap Krisna masih punya otak untuk berpikir seperti itu. Karena gadis itu yakin jika pemanggilannya kembali pasti bukan murn

    Last Updated : 2024-05-29
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Sebelah Sepatu

    "Sungguh ini sebuah kesalahpahaman, Pak Krisna. Saya berani jamin tidak ada hubungan semacam itu antara saya dengan Jingga atau pegawai lain. Saya berani mempertaruhkan pekerjaan saya untuk itu." Krisna berjalan sembari memikirkan kembali ucapan Farhan sewaktu diinterogasi olehnya tadi. Ia sebenarnya tidak punya alasan untuk peduli dengan hal tersebut. Mau Farhan main serong dengan Jingga atau siapa pun, selama tidak berdampak buruk pada pekerjaan maka tidak jadi masalah untuknya. Bukan berarti Krisna menyetujui perselingkuhan. Hanya saja itu adalah urusan pribadi mereka, ia tidak punya hak untuk ikut campur. Akan tetapi, jika sampai gosip yang didengarnya dari dua pegawai lain itu sampai benar, tentu itu memalukan. Sama dengan para pegawainya tidak profesional. Sedangkan jika tidak benar, hal itu masih mengusik Krisna. Sebab dirinyalah yang membuat Jingga bisa kembali bekerja di sana. Kredit itu harusnya diberikan untuk dirinya, bukan orang lain.

    Last Updated : 2024-05-30
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kue Beracun

    Jingga masih memandangi kotak kue berisi red velvet cake yang ada di hadapannya. Pada kotaknya tertera nama toko tempat kue itu dibeli. Ia tidak pernah membeli di toko tersebut, sebab jelas bukan dalam jangkauan isi dompetnya. Namun, tidak perlu menjadi orang kaya untuk mengetahui jika kue-kue dari toko tersebut terkenal enak meski mahal. Setidaknya satu hal tersebut menjadi alasan Jingga bisa mempercayai ucapan Farhan. Manajernya itu bilang kue tersebut dari Krisna, sebagai ucapan terima kasih. CEO mereka itu juga membelikan beberapa kotak lagi untuk dinikmati pegawai yang lain. Namun, jika yang lain menikmati bersama-sama,khusus untuk Jingga, gadis itu mendapatkan spesial satu kotak tersendiri. Jingga senang-senang saja mendapat hadiah kue, meski sejatinya tak begitu tepat jika disebut sebagai ucapan terima kasih. Krisna sudah mengucapkannya di depan semua pegawai saat meeting dadakan tadi. Apalah artinya sekotak kue dibandingkan k

    Last Updated : 2024-05-31
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Makan Malam Keluarga

    Beragam hidangan tersaji di meja makan malam itu. Melingkari meja marmer bulat besar tersebut adalah seluruh anggota keluarga Danendra, termasuk Krisna yang malam itu tampil santai dengan hanya memakai kaos abu-abu lengan panjang dan chino pants coklat.Malam itu adalah agenda makan malam keluarga di akhir pekan. Karena anak Bagus Danendra hanya Saras dan Krisna, otomatis acara tersebut biasanya hanya berisi empat orang. Namun, setelah Saras menikah lima tahun lalu anggota keluarga mereka otomatis bertambah dan kembali bertambah begitu Amira lahir tiga tahun lalu.Krisna bukannya tak senang dengan keluarga kecil Saras, justru ia sangat senang melihat keponakan kecilnya selalu menangis setiap kali ia dekati itu. Akan tetapi, setiap kali mereka berkumpul seperti ini dan Amira bertingkah lucu yang membuat kakek neneknya senang, maka pertanyaan langganan tiap tahun akan otomatis keluar."Tuh, Kris. Apa kamu nggak pengin

    Last Updated : 2024-06-01
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Undangan Pesta

    "Dewi! Demi apa kita diundang ke pesta?" Seruan Sinta pada sahabatnya ikut mengejutkan Hingga yang baru saja menutup pintu lokernya. Gadis itu melambai-lambaikan kertas undangan yang baru saja mereka semua dapatkan dari Farhan."Demi kinerja yang baik, dong," jawab Dewi dengan nada bangga. "Aku dengar musim pertama tahun ini butik kita kasih pemasukan paling tinggi."Beberapa pegawai lain sontak ikut nimbrung membahas hal tersebut kecuali Jingga. Gadis berwajah bulat itu memang memegang benda yang sama, tapi segera memasukkannya ke tas dengan niat akan dibacanya di rumah. Namun, saat ia hendak beranjak pergi, salah satu mereka tiba-tiba memanggilnya."Ga, kamu datang, kan?" Ternyata Lina, pemilik loker di sebelah Jingga yang bertanya."Ke mana?" tanya Jingga balik."Ya, ke pesta ini." Kini Sinta yang mendekat seraya masih melambai-lambaikan undangan di tangannya. "Kamu, kan, karyawan terbaik bulan ini. Terus kamu juga jadi penolong CEO ki

    Last Updated : 2024-06-02

Latest chapter

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Mencari Kisah Yang Berbeda

    “Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Biji Nangka Beneran Jatuh Cinta

    “Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kunjungan Calon Ipar

    Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Perasaan Itu Ada

    "Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Curi Kesempatan

    Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Cemburu

    “Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Ada Apa Dengan Hati?

    Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kepedulian Krisna

    Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Insiden Pada Jingga

    "Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken

DMCA.com Protection Status