“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.
“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
"Krisnayana Danendra!" Seruan ibunya yang tiba-tiba muncul begitu Krisna keluar dari kamar mandi membuat pria itu terlonjak kaget. Beruntung ia memakai kimono mandi, bukannya hanya sepotong handuk yang akan jadi cerita berbeda jika sampai terlepas."Astaga, Bu Ratih." Krisna mengelus dadanya dengan gaya berlebihan. Ekspresi terkejut wajahnya pun tidak asli, sengaja ia buat-buat sebab bukan hal aneh jika mamanya tersebut bisa muncul di kediaman sang putra bungsu. Ratih, anehnya, selalu tahu password apartemen Krisna. Jika bukan cenayang, ia curiga mamanya itu memasang kamera pengintai di mana-mana. "Datang ke sini padahal nggak dijemput. Pulangnya saya juga nggak nganter, ya?"Ratih Kumala hanya bisa mendengkus mendengar putranya menyamakan sang ibu dengan jailangkung. Wanita itu juga sudah terbiasa dengan panggilan yang sering menjadi 'ibu Ratih' bukannya 'mama.' Entah keganjilan apalagi yang harus dihadapinya dari Krisna. Namun, semua
Jingga tengah menikmati sarapannya, sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, sembari menonton acara berita di TV. Rutinitas tak elok yang terpaksa ia jalani karena ruang makan keluarga mereka adalah tempat yang sama dengan ruang tengah, tempat benda persegi tersebut berada. Si pembaca berita baru saja menyampaikan kabar terbaru tentang kenaikan harga minyak goreng serta perkembangan situasi perang Rusia dan Ukraina. Topik yang akhir-akhir ini memang sedang ramai diperbincangkan. "Sialan banget nggak, sih, itu yang naikin harga minyak goreng? Nggak tahu apa kalau minyak goreng itu salah satu bahan kebutuhan pokok?" Jingga berpaling ke samping kanan dan tiba-tiba bertanya pada Lembayung, adiknya yang sedari tadi diam karena sibuk mengunyah makanan. Sementara adik bungsunya yang bernama Violet sudah berangkat ke sekolah setengah jam lalu. Tugas piket katanya. Di dapur yang jaraknya hanya beberapa langkah dari ruang tengah, tampak ibu mereka sibuk membersihkan peralatan bekas
"Kamu pernah ketemu Pak Krisna, CEO kita, nggak? Katanya dia ganteng banget, lho." "Belum. Tapi, gosipnya beliau memang ganteng dan yang paling penting masih lajang." Celetukan dua temannya, Santi dan Dewi, terdengar jelas saat Jingga berpapasan dengan keduanya di pintu masuk ruang istirahat. Mereka memang sudah kembali lebih dulu, sementara Jingga baru selesai karena melayani pengunjung terakhir yang bersamanya. Dan, CEO mereka memang akan datang sehingga jadilah pria yang katanya tampan itu menjadi bahan rumpi dua rekan kerjanya tersebut. Mendengar celetukan dua rekannya itu, Jingga merasa sedikit lega karena bukan dirinya yang jadi bahan pembicaraan. Karena meski bukan artis dan kurang cantik untuk jadi selebgram idola kaum adam, Jingga adalah bahan rumpian favorit mereka. Mereka iri, itu yang Jingga pikir. Bukan hal aneh mengingat Jingga pegawai baru dan sudah berkali-kali menjadi karyawan terbaik sementara mereka tidak. "Biar ganteng juga nggak bakal lirik kalian kali," gumam
Krisna menatap perempuan di hadapannya itu dengan pandangan datar. Selain tampak lebih dewasa, hampir tidak ada yang berubah dari perempuan bernama Cintya itu. Senyumnya masih memikat, bahkan parasnya terlihat lebih cantik dari yang terakhir Krisna ingat. Namun, tidak ada lagi perasaan menggebu untuk menyimpan senyuman itu dalam memori. Krisna remaja yang dulu pernah tergila-gila pada Cintya telah lenyap sepenuhnya. Justru, pria itu merasa bertemu mantan cinta pertamanya itu-sekaligus patah hati pertamanya, hanya membuang waktu. Kalau bukan karena desakan Ratih, Krisna dengan senang hati akan memilih tidur saja di rumah. "Krisna, bagaimana?" Suara Cintya kembali terdengar bersama denting garpu dan pisau yang baru saja perempuan itu letakkan. Hidangan yang disajikan tampaknya cocok dengan seleranya, karena isi piringnya terlihat tandas. "Tawaranku tadi bagus, lho. Saling menguntungkan." Krisna mendengus. Meski tahu perjodohan di kalangan orang-orang sepertinya adalah hal lumrah, ia
Alunan musik yang menghentak dan menggoda untuk tubuh ikut bergoyang menyambut kedatangan Krisna. Di salah satu sudut ruangan, di bawah sorotan lampu penuh warna, tampak seorang DJ wanita tengah asik memainkan musiknya. Sementara di sisi lain, sekumpulan orang berbagai usia dan gender sibuk meliuk-liukkan badan mengikuti irama.Krisna menghela napas panjang menyaksikan pemandangan tersebut. Meski para pengunjung lain terlihat sangat menikmati waktu mereka, tidak demikian halnya dengan pria itu. Klub malam, bar atau sejenisnya bukanlah tempat favorit Krisna. Kalau bukan karena mengikuti Cintya, dia tidak akan mau masuk ke tempat tersebut.Tidak tampak sosok Cintya di antara para pengunjung bar bernama Victory tersebut. Namun, Krisna sangat yakin jika perempuan itu tadi memang masuk ke sana. Pasti saat ini Cintya masih berbaur dengan para pengunjung lain yang tengah melantai itu. Krisna bisa saja turun ke sana dan menemukan Cintya, tapi otaknya tidak menyetujui ide itu."Pengunjung baru
"Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah."Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia.""Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga."Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Da
Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya. Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya. "Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu