Jingga tengah menikmati sarapannya, sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, sembari menonton acara berita di TV. Rutinitas tak elok yang terpaksa ia jalani karena ruang makan keluarga mereka adalah tempat yang sama dengan ruang tengah, tempat benda persegi tersebut berada.
Si pembaca berita baru saja menyampaikan kabar terbaru tentang kenaikan harga minyak goreng serta perkembangan situasi perang Rusia dan Ukraina. Topik yang akhir-akhir ini memang sedang ramai diperbincangkan."Sialan banget nggak, sih, itu yang naikin harga minyak goreng? Nggak tahu apa kalau minyak goreng itu salah satu bahan kebutuhan pokok?"Jingga berpaling ke samping kanan dan tiba-tiba bertanya pada Lembayung, adiknya yang sedari tadi diam karena sibuk mengunyah makanan. Sementara adik bungsunya yang bernama Violet sudah berangkat ke sekolah setengah jam lalu. Tugas piket katanya. Di dapur yang jaraknya hanya beberapa langkah dari ruang tengah, tampak ibu mereka sibuk membersihkan peralatan bekas memasak.Lembayung menelan suapan terakhirnya lalu menjawab sang kakak. Matanya masih fokus pada gambar yang tengah tayang di televisi. "Ingat kata ibu-ibu yang lagi viral itu. Masak nggak cuma digoreng, Jingga."Meski status mereka kakak beradik, tapi Lembayung memanggil Jingga hanya dengan nama. Tidak ada embel-embel kakak seperti yang dipakai Violet. Selain karena selisih usia mereka yang hanya setahun, kedua gadis itu juga terlalu dekat hingga merasa seperti teman seumuran. Jingga sendiri tak keberatan."Iya kalau masak buat sendiri di rumah aja. Kalau beli makanan di luar ya banyakan gorengan. Gara-gara minyak goreng naik gini harga gorengan jadi ikut naik, dong. Goceng biasanya dapat lima biji, sekarang cuma dua biji," keluh Jingga yang memang pecinta gorengan. Sebenarnya sebutan yang lebih tepat adalah Jingga pecinta hal apa pun yang bisa membuatnya menghemat uang sebanyak mungkin."Ya udah. Nggak usah beli gorengan," jawab Lembayung datar. Jika tidak ingin terbebani sesuatu, maka tidak perlu melakukannya. Begitulah prinsip gadis berlesung pipi tersebut.Jingga mencibir. "Kamu, tuh, ngebosenin.""Itu kan kamu udah tahu dari dulu," balas Lembayung dengan ekspresi yang sama, membuat Jingga menghentikan percakapan mereka dan fokus menghabiskan makanan di piringnya.Beberapa menit kemudian keduanya selesai dalam waktu yang hampir bersamaan. Teringat jika hari ini ada acara penting di tempat kerja sang kakak, Lembayung pun mencoba membantu."Berangkatnya sama aku aja," ujar Lembayung. Jika naik motor bersamanya, Jingga bisa menghemat lebih banyak waktu untuk tiba di butik tempatnya bekerja.Selama ini Jingga berjalan kaki ke butik demi menghemat ongkos transportasi. Kebetulan pula jaraknya dekat, hanya 15 menit berjalan kaki. Akan tetapi, Lembayung pikir tak ada salahnya membuat pengecualian untuk hari ini. Paling tidak, Jingga bisa tiba di kantor tanpa bermandi keringat. Bukankah hari ini kakaknya itu akan mendapatkan predikat karyawan terbaik bulanan?"Nggak usah. Kita nggak searah, nanti kamu harus putar balik segala," tolak Jingga. "Sayang Pertalite-mu."Lembayung ingin mengatakan jika perjalanan tersebut tak lantas akan menghabiskan uang atau bahan bakar motornya. Namun, sedetik kemudian ia sadar jika hal itu tidak akan berguna. Justru hanya akan membuang waktu mereka. Kedua gadis itu pun akhirnya berangkat ke tujuan masing-masing yang arahnya berseberangan.Jingga mengetahui niat baik Lembayung, tapi lega karena adiknya itu menghargai penolakannya dan tak berkomentar lebih lanjut. Lembayung memang adik paling pengertian, bahkan meski faktanya mereka bukan saudara kandung.Lepas memikirkan hal itu, Jingga beralih pada hal istimewa yang akan terjadi hari ini. Meski sudah ketiga kalinya mendapatkan predikat karyawan terbaik, rasanya selalu menyenangkan ketika mendapatkannya kembali. Bukan pada gelarnya yang terdengar prestisius untuk kalangan pekerja macam dirinya, tapi lebih pada bonus yang akan menambah pundi-pundi rupiahnya.Sayang, pikiran menyenangkan tersebut mendadak terusik ketika terjadi sesuatu tak terduga di hadapan Jingga. Sebuah mobil BMW i8 baru saja menyerempet seorang gadis seumuran Violet hingga tersungkur. Teringat adik bungsunya itu, Jingga bergegas mendekat dan menolong. Kebetulan pula jalanan di sana sedang sepi."Kamu nggak apa-apa?" tanya Jingga khawatir. Dilihatnya lutut gadis itu terluka karena membentur aspal. Dengan cekatan Jingga mengambil tisu dari tasnya untuk membersihkan area di sekitar luka tersebut.Sementara itu, sang pengendara akhirnya menepikan mobil dan turun menghampiri Jingga serta gadis tersebut. Keduanya tak memerhatikan karena tengah fokus pada luka si gadis remaja, hingga kemudian terdengar suara berat seorang pria."Lukanya nggak parah, kan?" Jingga dan si gadis remaja akhirnya menoleh. Keduanya terpukau sejenak dengan paras rupawan si pengendara mobil mewah tersebut. Namun, tak berlangsung lama saat pria yang tak lain adalah Krisna tersebut melanjutkan ucapannya. "Lain kali kalau jalan lihat sekitar. Jangan meleng. Kalau kamu luka parah saya bisa kena masalah."Sementara si gadis remaja tadi hanya melongo mendengar ocehan ngawur Krisna, Jingga justru melayangkan tatapan tidak suka yang teramat kentara. Bisa-bisanya pria itu mengomeli dan menyalahkan orang yang hampir ditabraknya?"Maaf, apa Bapak bilang?" Jingga yang tadinya berjongkok di dekat si gadis kini bangkit berdiri, menghadap Krisna yang tiba-tiba mengeluarkan dompetnya. Tindakan pria itu juga membuatnya mengabaikan pertanyaan Jingga."Ini untuk ke rumah sakit. Obati lukanya meski saya rasa itu tidak terlalu diperlukan." Beberapa lembar uang seratus ribu kemudian dijejalkan pria itu ke tangan gadis yang hampir ditabraknya tadi.Astaga, batin Jingga jengkel. Bagaimana bisa kalimat itu terucap dari pria tersebut? Sudah mengomel, tidak minta maaf dan sekarang dengan angkuhnya memberi uang beserta kata-kata nyelekit begitu. Apalagi saat mengatakannya, tampang Krisna terkesan memandang remeh mereka."Anda melupakan satu hal," tegur Jingga sewaktu Krisna melewatinya dan jadi menatap gadis itu dengan pandangan bertanya. "Anda lupa meminta maaf, hal mendasar saat melakukan kesalahan."Mendengar kalimat tersebut, pandangan Krisna sontak memindai penampilan gadis bertopi yang berdiri angkuh di hadapannya kini. Celana jins agak kedodoran, jaket jumper merah yang mulai pudar warnanya dan sepasang flat shoes merah marun butut. Wajahnya yang bulat juga tanpa make up sehingga tampak pucat. Belum lagi rambut panjangnya yang seperti dikucir asal-asalan lalu dipakaikan topi. Secara keseluruhan gadis itu sama sekali tidak menarik dan mencerminkan penampilan dari kalangan bawah."Oke, saya mengerti," Krisna tersenyum sinis. Ia mengetahui niat gadis itu menahannya lebih lama di sana. Dikeluarkannya dompet sekali lagi. Kali ini ia menarik lima lembar uang seratus ribu dari sana, lalu menyodorkannya pada Jingga. "Saya rasa ini tambahan yang cukup."Namun, bukannya menerima uang tersebut, Jingga justru menatap Krisna emosi dan berkata dengan nada tajam. "Kalau uang Anda segini banyak, sebaiknya pakai untuk memeriksakan telinga Anda yang bermasalah."Krisna y ang tangannya masih menggantung di udara karena Jingga tak segera menerima uangnya pun meradang. Bisa-bisanya gadis yang tidak memanjakan mata itu mengatainya. "Jangan munafik dan terima saja uangnya."Krisna melempar uang tersebut tanpa peduli Jingga menerimanya atau tidak. Ia memiliki hal lain yang lebih penting daripada menghadapi gadis jelek mata duitan yang munafik. Bergegas ia menuju mobilnya saat kemudian terdengar suara lantang Jingga."Woi, Sialan!" Bertepatan dengan itu, tiba-tiba sesuatu terasa menghantam belakang kepala Krisna. Ia reflek memeganginya seraya mencari benda tersebut dan mendapati sepatu butut milik Jingga.Menggeram kesal, Krisna mengambil sepatu tersebut. Ia berniat melempar kembali dan balas memaki gadis jelek, munafik dan kurang ajar itu. Namun, sedetik kemudian ia berubah pikiran. Krisna tetap masuk ke mobil seraya membawa sebelah sepatu Jingga, lalu mengendarainya pergi. Menyisakan Jingga yang terbelalak kaget dengan tindakan pria itu.Seiring laju mobilnya yang semakin menjauh, Krisna bisa melihat dari spion Jingga yang berlari berusaha mengejarnya. Namun, Krisna sama sekali tidak berniat untuk berhenti dan justru tersenyum puas melihat gadis itu akhirnya berhenti karena kelelahan. Lalu sebuah kalimat terucap dari bibirnya."Itu akibatnya jika berurusan dengan Krisna."***"Kamu pernah ketemu Pak Krisna, CEO kita, nggak? Katanya dia ganteng banget, lho." "Belum. Tapi, gosipnya beliau memang ganteng dan yang paling penting masih lajang." Celetukan dua temannya, Santi dan Dewi, terdengar jelas saat Jingga berpapasan dengan keduanya di pintu masuk ruang istirahat. Mereka memang sudah kembali lebih dulu, sementara Jingga baru selesai karena melayani pengunjung terakhir yang bersamanya. Dan, CEO mereka memang akan datang sehingga jadilah pria yang katanya tampan itu menjadi bahan rumpi dua rekan kerjanya tersebut. Mendengar celetukan dua rekannya itu, Jingga merasa sedikit lega karena bukan dirinya yang jadi bahan pembicaraan. Karena meski bukan artis dan kurang cantik untuk jadi selebgram idola kaum adam, Jingga adalah bahan rumpian favorit mereka. Mereka iri, itu yang Jingga pikir. Bukan hal aneh mengingat Jingga pegawai baru dan sudah berkali-kali menjadi karyawan terbaik sementara mereka tidak. "Biar ganteng juga nggak bakal lirik kalian kali," gumam
Krisna menatap perempuan di hadapannya itu dengan pandangan datar. Selain tampak lebih dewasa, hampir tidak ada yang berubah dari perempuan bernama Cintya itu. Senyumnya masih memikat, bahkan parasnya terlihat lebih cantik dari yang terakhir Krisna ingat. Namun, tidak ada lagi perasaan menggebu untuk menyimpan senyuman itu dalam memori. Krisna remaja yang dulu pernah tergila-gila pada Cintya telah lenyap sepenuhnya. Justru, pria itu merasa bertemu mantan cinta pertamanya itu-sekaligus patah hati pertamanya, hanya membuang waktu. Kalau bukan karena desakan Ratih, Krisna dengan senang hati akan memilih tidur saja di rumah. "Krisna, bagaimana?" Suara Cintya kembali terdengar bersama denting garpu dan pisau yang baru saja perempuan itu letakkan. Hidangan yang disajikan tampaknya cocok dengan seleranya, karena isi piringnya terlihat tandas. "Tawaranku tadi bagus, lho. Saling menguntungkan." Krisna mendengus. Meski tahu perjodohan di kalangan orang-orang sepertinya adalah hal lumrah, ia
Alunan musik yang menghentak dan menggoda untuk tubuh ikut bergoyang menyambut kedatangan Krisna. Di salah satu sudut ruangan, di bawah sorotan lampu penuh warna, tampak seorang DJ wanita tengah asik memainkan musiknya. Sementara di sisi lain, sekumpulan orang berbagai usia dan gender sibuk meliuk-liukkan badan mengikuti irama.Krisna menghela napas panjang menyaksikan pemandangan tersebut. Meski para pengunjung lain terlihat sangat menikmati waktu mereka, tidak demikian halnya dengan pria itu. Klub malam, bar atau sejenisnya bukanlah tempat favorit Krisna. Kalau bukan karena mengikuti Cintya, dia tidak akan mau masuk ke tempat tersebut.Tidak tampak sosok Cintya di antara para pengunjung bar bernama Victory tersebut. Namun, Krisna sangat yakin jika perempuan itu tadi memang masuk ke sana. Pasti saat ini Cintya masih berbaur dengan para pengunjung lain yang tengah melantai itu. Krisna bisa saja turun ke sana dan menemukan Cintya, tapi otaknya tidak menyetujui ide itu."Pengunjung baru
"Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah."Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia.""Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga."Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Da
Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya. Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya. "Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu
"Astaga Krisna, kenapa kamu bisa sampai begini, sih?" Ratih Kumala langsung panik begitu masuk ruangan dan melihat kondisi putra bungsunya. "Siapa yang ngelakuin ini? Kamu ingat orangnya? Tahu namanya? Kita harus segera lapor polisi. Apalagi mereka juga ambil barang-barang pribadi kamu, kan?"Krisna yang baru ingin memejamkan mata dan beristirahat sontak terbangun dengan kaget. Ia tahu mamanya sangat mencintainya, tapi Krisna baru saja menikmati ruangan yang lebih besar dan lega. Ia butuh tidur nyenyak dan nyaman sekarang. Bukannya rentetan pertanyaan yang membuatnya pusing."Ma, selain wajah yang babak belur, dia masih Krisna yang sama. Nyebelin, songong dan pengin dijitak," celetuk Saras yang juga berada di ruangan tersebut."Saras, kenapa ngomong gitu, sih? Ini Krisna lagi kena musibah, lho." Ratih memandang putri sulungnya heran. Bagaimana bisa dia tidak khawatir saat adiknya baru saja dihajar orang tak dikenal dan harta bendanya dirampok. "Cintya aja
Lantunan lagu Not Today milik boyband BTS dari Korea Selatan memenuhi kamar Jingga. Meski ruangan tersebut hanya berukuran tak lebih dari 8m persegi, tapi dua gadis yang tengah menari mengikuti irama lagu itu tak tampak terbatasi ruang geraknya. Terutama Violet yang selalu bersemangat untuk urusan tari.Jingga yang sedari awal tak seantusias sang adik akhirnya menyerah. Ia memang menikmati musik-musik K-pop, tapi jika harus menggerakkan tubuh seperti koreagrafi yang mereka lakukan, Jingga angkat tangan. Terlebih lagu yang tengah mereka pakai sebagai musik pengiring itu memiliki irama dan gerak tari yang menghentak serta penuh tenaga. Melihat Violet yang tetap lincah sementara dirinya sudah terengah-engah, Jingga jadi merasa ia nenek Violet, bukan kakak sulungnya. Adiknya itu 17 tahun dan dirinya 71 tahun."Vio, udahan dulu. Aku capek," pinta Jingga. Sebelum adiknya merespon, ia sudah mengenyakkan tubuh ke ranjang. Kini hanya ada mereka berdua di rumah, karena Lemba
Rengga masih berdiri di depan bosnya yang masih duduk sembari sibuk berpikir. Sudah berlalu beberapa menit dan Krisna masih menunduk memegangi kepalanya. Belum ada tanda-tanda pria itu akan bicara, padahal Rengga dipanggil ke sana untuk diberi perintah."Apa kamu ada ide, Ga?" Krisna akhirnya mengangkat wajah dan bicara. "Saya benar-benar bosan dengan ide 'seksi' yang mereka tawarkan."Mereka di sini mengacu pada departemen desain, sebab Rengga tahu jika hal yang memenuhi pikiran bosnya sekarang adalah rencana untuk produk terbaru mereka. Dahayu Fashion yang kebetulan hanya memproduksi tas dan sepatu wanita itu memang selalu mengeluarkan koleksi terbaru dua kali dalam setahun. Sekarang sudah mendekati jadwal peluncuran koleksi kedua tahun ini, dan sepertinya Krisna tidak tertarik dengan rancangan yang diajukan para pegawainya."Saya tidak merasa berhak memberi pendapat mengenai hal ini, Pak," jawab Rengga. Ia memang asisten pribadi Krisna, tapi tugasnya le
“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so
Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga
"Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken