Beranda / CEO / Cinderella Tanpa Sepatu Kaca / CEO dan Pengangguran

Share

CEO dan Pengangguran

last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-24 21:00:52

"Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah.

"Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia."

"Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga.

"Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.

Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Dan, warung mi tempatnya berada sekarang adalah pilihan yang sangat cocok untuknya. Dengan uang kurang dari dua puluh ribu rupiah, ia bisa mengenyangkan perut dengan semangkok mi goreng instan beserta lauk dua potong gorengan. Murah meriah. Mereka juga menyediakan nasi dengan pilihan beberapa lauk lain yang tak kalah murah, sehingga usus Jingga tidak lantas keriting karena hanya mengonsumsi mi.

Namun, sama seperti penjual makanan lainnya, kenaikan harga bahan makanan, yang kali ini minyak, membuat pasangan suami istri pemilik warung itu harus ikut menaikkan harga. Memang tidak seberapa, tapi bagi Jingga menghemat satu rupiah saja adalah sebuah kebahagiaan.

"Timbang makan kerupuk aja nggak usah ke restoran kali. PPn-nya cuma bikin isi dompetku merintih."

Pasangan pemilik warung itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan Jingga. Memaklumi sifat gadis itu, tapi tak berminat untuk menanggapi lebih jauh.

"Aku do'ain segera dapat kerjaan baru, Ga." Si istri berucap tatkala Jingga sibuk memasukkan uang kembalian tadi ke dompet. "Tapi, kalau gajinya gede, jangan pindah tempat makan, ya. Di sini aja."

"Beres," balas Jingga cepat. Ia lalu berpamitan dan bergegas meninggalkan warung tersebut. Saat keluar dari sana, langit sudah gelap. Melihat hal itu, Jingga mengembuskan napas panjang. Rasanya aneh berada di luar pada jam itu saat ia sedang tidak bekerja, mengingat Jingga tipikal orang yang malas pergi malam-malam, kecuali untuk urusan yang benar-benar penting. Jika sedang libur, ia lebih memilih berdiam di rumah dan menggambar sebanyak mungkin desain sepatu.

Jingga melihat jam di ponsel. Pukul delapan malam lebih. Biasanya ia baru keluar dari butik sekitar jam sepuluh dan hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk berjalan pulang. Akan tetapi, semenjak keluar dari butik setelah jam makan siang tadi ia memilih untuk tidak langsung pulang. Jingga tidak ingin bercerita lebih dulu pada mamanya jika ia sudah dipecat. Sebab, ia berencana bilang saat kedua adiknya juga sudah ada di rumah.

Maka dari itu, setelah membeli sepasang sandal jepit sebagai pengganti sepatunya yang tinggal sebelah, Jingga hanya berkeliling tanpa tujuan. Menghabiskan waktunya dengan mengomeli sosok CEO Dahayu yang membuatnya jengkel setengah mati, dan berakhir seperti orang gila karena ia bahkan tidak punya lawan bicara.

Masa bodoh, pikir Jingga. Ia benar-benar tidak percaya Krisna yang tadinya bersikap ramah justru langsung memecatnya hanya karena noda cokelat. Kesalahan Jingga adalah ia memang melakukannya dengan sengaja, tapi apalah arti sebuah setelan untuk seorang CEO Dahayu? Krisna pasti bisa membeli lagi, lebih bagus dan mungkin lebih banyak. Ia hanya perlu menegur atau memberi sanksi, bukannya membuat Jingga kehilangan pekerjaan di hari ia mendapat predikat karyawan terbaik.

Namun, kalau dipikir-pikir lagi Jingga berhak marah. Krisna membawa sebelah sepatunya begitu saja setelah bersikap arogan dengan kekayaannya. Itupun Jingga sudah meminta maaf. Ia tidak menyangka jika Krisna ternyata pendendam. Kalau begitu setidaknya ia bisa merasa sedikit lega karena tak harus berurusan lagi dengan pria seperti itu.

Jalanan menuju rumah Jingga cukup ramai, tapi suasananya akan berbeda begitu ia mulai memasuki gang-gang kecil yang tersebar di daerah sekitar rumahnya. Gadis itu hafal semua rutenya, sehingga tidak pernah mengambil jalur yang sama setiap hari. Hitung-hitung jalan-jalan. Ia juga tidak pernah merasa takut mengenai tindak kejahatan, sebab Jingga bisa dibilang mengenal hampir semua warga di sana, tak terkecuali para preman-premannya. Kenal dalam arti yang baik tentunya.

"Woi, Ga. Tumben jam segini udah pulang?" tanya seorang pemuda kurus berikat kepala. Di sebelahnya berdiri pemuda seumuran dengan model rambut jabrik. Mereka adalah beberapa pemuda kampung yang mengenal Jingga. Bisa dibilang mereka adalah preman sana, meski sebenarnya hanya pennapilan keduanya saja yang mencerminkan hal tersebut. Aslinya dua pemuda itu hanya penikmat musik akustik malam alias pemain gitar dadakan yang sukarela menjadi penunggu pos ronda.

"Eh, kalian juga tumben jalan-jalan? Biasanya ngejogrok aja di pos sampai membatu," balas Jingga asal. "Bahan bakar abis?"

Paham jika yang dimaksud Jingga adalah makanan, keduanya pun mengangguk dan menunjukkan sebuah kantong kresek putih yang terlihat penuh.

"Iya, nih. Ini barusan balik dari warungnya Mpok Munah." Si rambut jabrik yang kini menjawab, menyebutkan warung penjual gorengan yang tak jauh dari sana. "Mau, Ga? Kamu kan doyan banget gorengan."

"Nggak deh, makasih. Baru aja tadi nge-mi sama lauk gorengan," tolak Jingga. Kalau perutnya belum terisi, ia jelas-jelas tidak akan membiarkan tempe mendoan Mpok Munah tidak mampir ke lambungnya.

"Ya udah, kebetulan. Jadinya jatah kita nggak berkurang," celetuk si kurus yang disambut tawa temannya dan Jingga. "Eh, tapi belum dijawab yang tadi. Kamu tumben jam segini udah pulang?"

"Udah nggak kerja," jawab Jingga singkat. Mereka bertiga lalu berjalan beriringan menuju arah yang sama. Kebetulan pos ronda terletak tidak jauh dari rumahnya. "Makanya kelayapan."

"Eh, padahal tadi pagi masih berangkat kerja, kan?" tanya si Jabrik bingung, sebab pagi tadi sempat melihat Jingga bersama Lembayung hendak berangkat.

"Iya. Pagi masih kerja, tapi siang udah nggak. Hebat, kan, aku."

Kedua pemuda itu sontak mengernyit mendengar ucapan Jingga. "Wong nggak kerja kok hebat? Aneh."

Jingga cekikikan melihat reaksi dua pemuda itu. "Ya, pokoknya hebat, lah. Soalnya yang mecat langsung CEO-nya."

"Wow, kok bisa gitu?"

"Tahu deh. CEO-nya baperan. Atau mungkin lagi PMS." Jingga menjawab asal yang disambut tawa dua pemuda teman seperjalanannya. Mereka sering kebetulan bertemu di jalan saat Jingga pulang kerja, sehingga bercengkrama sepanjang jalan bukan hal aneh bagi ketiganya.

"Pasti dia nyesel udah mecat kamu, Ga." Si jabrik kembali berkomentar.

"Aamiin." Jingga mengamini dengan lantang, padahal yang diucapkan sebagai harapan bukan pekerjaan baru, hal yang lebih dibutuhkan oleh Jingga saat ini. "Eh, tapi udah ah. Nggak usah bahas itu. Nanti orangnya keselek lagi pas minum gara-gata kita gibahin."

Tawa kembali terdengar, bertepatan dengan ketiganya berada di mulut gang. Di hadapan mereka terbentang jalan yang lebih lebar dari gang, kira-kira bisa dilewati satu mobil. Di seberang jalan tempat tujuan mereka sudah menanti.

Suasana jalan tersebut agak sepi. Ketiganya melongok ke seliling sebelum mulai melangkah menyebrangi jalan. Namun, baru selangkah, mereka tiba-tiba mematung. Di ujung jalan yang menuju ke jalan raya, tampak sebuah mobil BMW berhenti mendadak. Dan, sebelum ketiga orang tersebut menyadari apa yang terjadi, sesosok tubuh dilemparkan begitu saja dari dalam mobil tersebut ke jalan.

"Woi! Berhenti!" Spontan Jingga dan dua temannya berteriak lantang seraya berlari mendekat. Namun, mobil tersebut sudah melaju pergi sebelum mereka tiba dan melihat pengemudinya.

Dengan napas terengah-engah Jingga dan dua pemuda itu kini saling berpandangan. Bingung. Akan tetapi, tatapan ketiganya segera beralih pada tubuh yang tergeletak di depan mereka. Seorang laki-laki dengan wajah babak belur.

"Aduh, ini masih hidup apa udah jadi mayat, ya?" tanya si Kurus takut-takut. Ia memang berniat menolong, tetapi butuh keberanian lebih jika harus berurusan dengan mayat.

Si Jabrik yang masih menggenggam kresek berisi gorengan tiba-tiba menyenggol lengan Jingga. "Lihat deh, kali aja masih hidup."

Jingga seketika memelotot. Bisa-bisanya dua pemuda berpenampilan bak preman itu malah menyerahkan urusan semacam ini padanya.

"Kenapa bukan kamu aja? Kamu yang deket juga," tanya Jingga yang melihat jika posisi si Jabrik memang lebih dekat dengan tubuh tadi.

Menyadari hal tersebut, si Jabrik segera bergeser sehingga kini bertukar posisi dengan Jingga.

"Lihat, tanganku sibuk bawa ini, nih. Jangan sampai ini terkontaminasi." Kantong kresek berisi gorengan tadi langsung menjadi alasan.

"Sialan!" umpat Jingga yang merasa dua temannya itu penakut. Terpaksa ia memberanikan diri untuk melihat tubuh tadi. Sekadar memastikan orang itu masih hidup, sekaligus berharap mereka benar-benar tidak harus berurusan dengan mayat. Lagipula penjahat macam apa yang buang korban di jam segini? Dasar amatiran.

Perlahan Jingga menghampiri tubuh tersebut. Hal pertama yang gadis itu lihat adalah pakaiannya. Penampilan orang itu acak-acakan meski baju yang dipakai tampaknya mahal. Lalu, dengan sok berani gadis itu meraih tangan orang tersebut untuk memastikan nadinya masih berdenyut.

Namun, bertepatan dengan itu, Jingga akhirnya bisa melihat wajah orang tersebut. Dan, meski ia bisa merasakan denyut nadi, reaksi pertama Jingga justru berteriak seraya reflek melompat mundur.

"Eh, kenapa, Ga? Udah mati, ya?" Si Kurus dan si Jabrik mendadak merapatkan diri begitu melihat reaksi Jingga.

Namun, Jingga menggeleng. Gadis itu terduduk di aspal sembari berusaha menenangkan diri.

"Terus kenapa?" tanya dua penuda tadi bersamaan.

"Si orang baperan, yang lagi PMS."

"Heh?" Ucapan Jingga sontak membuat dua pemuda tadi keheranan. "Apaan, sih?"

Akan tetapi, rasa penasaran mereka segera terjawab begitu Jingga kembali bersuara. Kali ini dengan mantap.

"Orang itu CEO yang mecat aku tadi."

***

Bab terkait

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Pria Manja Menyebalkan

    Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya. Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya. "Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-25
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Tidak Tahu Terima Kasih

    "Astaga Krisna, kenapa kamu bisa sampai begini, sih?" Ratih Kumala langsung panik begitu masuk ruangan dan melihat kondisi putra bungsunya. "Siapa yang ngelakuin ini? Kamu ingat orangnya? Tahu namanya? Kita harus segera lapor polisi. Apalagi mereka juga ambil barang-barang pribadi kamu, kan?"Krisna yang baru ingin memejamkan mata dan beristirahat sontak terbangun dengan kaget. Ia tahu mamanya sangat mencintainya, tapi Krisna baru saja menikmati ruangan yang lebih besar dan lega. Ia butuh tidur nyenyak dan nyaman sekarang. Bukannya rentetan pertanyaan yang membuatnya pusing."Ma, selain wajah yang babak belur, dia masih Krisna yang sama. Nyebelin, songong dan pengin dijitak," celetuk Saras yang juga berada di ruangan tersebut."Saras, kenapa ngomong gitu, sih? Ini Krisna lagi kena musibah, lho." Ratih memandang putri sulungnya heran. Bagaimana bisa dia tidak khawatir saat adiknya baru saja dihajar orang tak dikenal dan harta bendanya dirampok. "Cintya aja

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-26
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Rezeki Tidak Kemana

    Lantunan lagu Not Today milik boyband BTS dari Korea Selatan memenuhi kamar Jingga. Meski ruangan tersebut hanya berukuran tak lebih dari 8m persegi, tapi dua gadis yang tengah menari mengikuti irama lagu itu tak tampak terbatasi ruang geraknya. Terutama Violet yang selalu bersemangat untuk urusan tari.Jingga yang sedari awal tak seantusias sang adik akhirnya menyerah. Ia memang menikmati musik-musik K-pop, tapi jika harus menggerakkan tubuh seperti koreagrafi yang mereka lakukan, Jingga angkat tangan. Terlebih lagu yang tengah mereka pakai sebagai musik pengiring itu memiliki irama dan gerak tari yang menghentak serta penuh tenaga. Melihat Violet yang tetap lincah sementara dirinya sudah terengah-engah, Jingga jadi merasa ia nenek Violet, bukan kakak sulungnya. Adiknya itu 17 tahun dan dirinya 71 tahun."Vio, udahan dulu. Aku capek," pinta Jingga. Sebelum adiknya merespon, ia sudah mengenyakkan tubuh ke ranjang. Kini hanya ada mereka berdua di rumah, karena Lemba

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-27
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Jomlo Setengah Matang

    Rengga masih berdiri di depan bosnya yang masih duduk sembari sibuk berpikir. Sudah berlalu beberapa menit dan Krisna masih menunduk memegangi kepalanya. Belum ada tanda-tanda pria itu akan bicara, padahal Rengga dipanggil ke sana untuk diberi perintah."Apa kamu ada ide, Ga?" Krisna akhirnya mengangkat wajah dan bicara. "Saya benar-benar bosan dengan ide 'seksi' yang mereka tawarkan."Mereka di sini mengacu pada departemen desain, sebab Rengga tahu jika hal yang memenuhi pikiran bosnya sekarang adalah rencana untuk produk terbaru mereka. Dahayu Fashion yang kebetulan hanya memproduksi tas dan sepatu wanita itu memang selalu mengeluarkan koleksi terbaru dua kali dalam setahun. Sekarang sudah mendekati jadwal peluncuran koleksi kedua tahun ini, dan sepertinya Krisna tidak tertarik dengan rancangan yang diajukan para pegawainya."Saya tidak merasa berhak memberi pendapat mengenai hal ini, Pak," jawab Rengga. Ia memang asisten pribadi Krisna, tapi tugasnya le

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-28
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Senyuman Sang Bos

    "Terima kasih sudah berbelanja di sini. Senang bisa memuaskan selera Anda."Jingga tersenyum senang begitu pelanggan terakhirnya siang itu beranjak meninggalkan butik. Sebab, wanita yang juga salah satu selebgram terkenal tersebut baru saja membeli salah satu koleksi sepatu paling mahal yang ada di sana. Kalau bagi si pelanggan hal tersebut adalah sebuah prestise karena bisa membeli barang bermerek yang berharga tinggi, maka bagi Jingga itu adalah rezeki nomplok. Penjualannya bertambah, yang berarti akan bertambah pula bonusnya nanti.Sudah seminggu Jingga kembali bekerja di butik. Meski jengkel setengah mati pada Krisna, tapi ia tak mau munafik jika bisa kembali ke butik adalah hal yang memang ia inginkan. Namun, tentu saja itu tidak berarti pertolongannya pada Krisna tempo hari pamrih. Semua yang terjadi hanya sebuah kebetulan. Dan, Jingga harap Krisna masih punya otak untuk berpikir seperti itu. Karena gadis itu yakin jika pemanggilannya kembali pasti bukan murn

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Sebelah Sepatu

    "Sungguh ini sebuah kesalahpahaman, Pak Krisna. Saya berani jamin tidak ada hubungan semacam itu antara saya dengan Jingga atau pegawai lain. Saya berani mempertaruhkan pekerjaan saya untuk itu." Krisna berjalan sembari memikirkan kembali ucapan Farhan sewaktu diinterogasi olehnya tadi. Ia sebenarnya tidak punya alasan untuk peduli dengan hal tersebut. Mau Farhan main serong dengan Jingga atau siapa pun, selama tidak berdampak buruk pada pekerjaan maka tidak jadi masalah untuknya. Bukan berarti Krisna menyetujui perselingkuhan. Hanya saja itu adalah urusan pribadi mereka, ia tidak punya hak untuk ikut campur. Akan tetapi, jika sampai gosip yang didengarnya dari dua pegawai lain itu sampai benar, tentu itu memalukan. Sama dengan para pegawainya tidak profesional. Sedangkan jika tidak benar, hal itu masih mengusik Krisna. Sebab dirinyalah yang membuat Jingga bisa kembali bekerja di sana. Kredit itu harusnya diberikan untuk dirinya, bukan orang lain.

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kue Beracun

    Jingga masih memandangi kotak kue berisi red velvet cake yang ada di hadapannya. Pada kotaknya tertera nama toko tempat kue itu dibeli. Ia tidak pernah membeli di toko tersebut, sebab jelas bukan dalam jangkauan isi dompetnya. Namun, tidak perlu menjadi orang kaya untuk mengetahui jika kue-kue dari toko tersebut terkenal enak meski mahal. Setidaknya satu hal tersebut menjadi alasan Jingga bisa mempercayai ucapan Farhan. Manajernya itu bilang kue tersebut dari Krisna, sebagai ucapan terima kasih. CEO mereka itu juga membelikan beberapa kotak lagi untuk dinikmati pegawai yang lain. Namun, jika yang lain menikmati bersama-sama,khusus untuk Jingga, gadis itu mendapatkan spesial satu kotak tersendiri. Jingga senang-senang saja mendapat hadiah kue, meski sejatinya tak begitu tepat jika disebut sebagai ucapan terima kasih. Krisna sudah mengucapkannya di depan semua pegawai saat meeting dadakan tadi. Apalah artinya sekotak kue dibandingkan k

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-31
  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Makan Malam Keluarga

    Beragam hidangan tersaji di meja makan malam itu. Melingkari meja marmer bulat besar tersebut adalah seluruh anggota keluarga Danendra, termasuk Krisna yang malam itu tampil santai dengan hanya memakai kaos abu-abu lengan panjang dan chino pants coklat.Malam itu adalah agenda makan malam keluarga di akhir pekan. Karena anak Bagus Danendra hanya Saras dan Krisna, otomatis acara tersebut biasanya hanya berisi empat orang. Namun, setelah Saras menikah lima tahun lalu anggota keluarga mereka otomatis bertambah dan kembali bertambah begitu Amira lahir tiga tahun lalu.Krisna bukannya tak senang dengan keluarga kecil Saras, justru ia sangat senang melihat keponakan kecilnya selalu menangis setiap kali ia dekati itu. Akan tetapi, setiap kali mereka berkumpul seperti ini dan Amira bertingkah lucu yang membuat kakek neneknya senang, maka pertanyaan langganan tiap tahun akan otomatis keluar."Tuh, Kris. Apa kamu nggak pengin

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-01

Bab terbaru

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Mencari Kisah Yang Berbeda

    “Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Biji Nangka Beneran Jatuh Cinta

    “Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kunjungan Calon Ipar

    Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Perasaan Itu Ada

    "Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Curi Kesempatan

    Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Cemburu

    “Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Ada Apa Dengan Hati?

    Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kepedulian Krisna

    Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Insiden Pada Jingga

    "Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken

DMCA.com Protection Status