Krisna menatap perempuan di hadapannya itu dengan pandangan datar. Selain tampak lebih dewasa, hampir tidak ada yang berubah dari perempuan bernama Cintya itu. Senyumnya masih memikat, bahkan parasnya terlihat lebih cantik dari yang terakhir Krisna ingat.
Namun, tidak ada lagi perasaan menggebu untuk menyimpan senyuman itu dalam memori. Krisna remaja yang dulu pernah tergila-gila pada Cintya telah lenyap sepenuhnya. Justru, pria itu merasa bertemu mantan cinta pertamanya itu-sekaligus patah hati pertamanya, hanya membuang waktu. Kalau bukan karena desakan Ratih, Krisna dengan senang hati akan memilih tidur saja di rumah."Krisna, bagaimana?" Suara Cintya kembali terdengar bersama denting garpu dan pisau yang baru saja perempuan itu letakkan. Hidangan yang disajikan tampaknya cocok dengan seleranya, karena isi piringnya terlihat tandas. "Tawaranku tadi bagus, lho. Saling menguntungkan."Krisna mendengus. Meski tahu perjodohan di kalangan orang-orang sepertinya adalah hal lumrah, ia berprinsip untuk menjalaninya dengan serius. Jika memang tidak cocok, Krisna tidak akan terus maju, apalagi sampai harus melakukan sandiwara. Terlebih perempuannya adalah Cintya."Aku nggak sependapat. Tidak ada keuntungannya sama sekali buatku," tolak Krisna. "Lagipula nggak ada keharusan kita untuk lanjut."Cintya tersenyum mendengar jawaban Krisna. Ia tahu betul pria itu pasti masih mengingat kenangan semasa mereka remaja dulu. Penolakan yang ia berikan dulu tampaknya masih membekas di hati Krisna, satu hal yang membuatnya sedikit bangga serta percaya diri akan keberhasilan perjodohan mereka."Krisna," Masih dengan senyum di bibir, Cintya mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu. Refleks Krisna mundur dan membuat jarak. "Aku tahu penolakanku dulu melukaimu, tapi coba lihatlah dirimu sekarang. Perubahan ini juga karena andilku, bukan?""Katakan saja apa yang mau kamu katakan," perintah Krisna. Ia sungguh tidak nyaman dengan sikap Cintya malam ini."Kamu masih tertarik padaku, Krisna. Jadi, apa salahnya kita menjalani hubungan ini?"Yang benar saja, batin Krisna dongkol. Salah satu perubahan pada penampilannya memang penolakan Cintya, tapi soal perempuan itu merasa Krisna masih ada rasa padanya, itu jelas beda cerita. Ternyata semakin bertambahnya usia mereka, bukan hanya kadar kecantikannya tidak berkurang, tapi kesombongan perempuan itu juga bertambah."Silakan bermimpi. Tapi, sekali lagi aku bilang padamu, aku nggak tertarik. Mamaku memang mempertemukan kita, tapi aku bisa menolaknya. Atau jangan-jangan, kamu yang sebenarnya tertarik padaku sekarang?"Bukannya tersinggung, Cintya justru tertawa kecil. Dengan latar belakang pemandangan malam kota yang tampak dari jendela di belakang Cintya, perempuan itu seharusnya terlihat semakin menawan. Gaun hitam ketat selutut dengan aksen gemerlap membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas. Rambut hitam ikalnya dibiarkan tergerai. Warna gelap tersebut membuat kulit putihnya semakin terekspos. Namun, Krisna sendiri tidak mengerti alasan dirinya tidak lagi tertarik pada Cintya. Ia mengakui kecantikannya, tapi hanya sebatas itu."Jangan terlalu percaya diri, Kris." Tiba-tiba tawa kecil Cintya berubah sinis. Nada bicaranya pun mencemooh. "Kamu boleh saja berubah sekarang, tapi bagiku kamu tetap Krisna culun dan gendut yang sama sekali tidak menarik. Aku menawarkan kesepakatan ini hanya demi keuntungan perusahaan kita."Krisna menahan dongkol mendengar ocehan Cintya. Setahunya dulu orangtua gadis itu memang sangat sukses sebagai pengusaha garmen. Namun, seiring waktu Dahayu Group terus berkembang jauh lebih besar dari usaha keluarga Cintya. Mengingat orangtuanya yang bersahabat baik dengan Ratih dan Bagus, orangtua Krisna, sebenarnya bukan hal buruk membantu mereka. Akan tetapi, ucapan Cintya barusan justru membuat Krisna tidak lagi berminat."Oh, ya? Tapi aku punya saran yang lebih bagus buatmu, Cin." Krisna mengambil gelas minumannya, meneguk isi benda itu sembari menatap Cintya dengan remeh. "Berhentilah bermain-main dengan para pacarmu dan mulai bekerja. Karena aku yakin mama dan papaku tidak berminat untuk membiayai gadis manja sepertimu."Meski tak lagi bertemu selepas SMA, Krisna tahu sepak terjang Cintya sebagai player. Dengan wajah cantik dan karirnya sebagai model, perempuan itu bisa menggaet banyak pria dengan mudah. Mulai dari pengusaha hingga aktor terkenal. Gaya hidupnya juga sangat hedon. Berita tentang kisah percintaannya sering muncul di media. Saras, kakak Krisna yang tak pernah ketinggalan berita semacam itulah yang menjadi sumber informasinya. Kakaknya itu dengan senang hati akan berbagi info tanpa diminta.Cintya menggeram marah mendengar reaksi Krisna. Namun, sebisa mungkin ia menahan emosi dan tersenyum manis pada lawan bicaranya itu."Itulah untungnya menjadi cantik, Krisna. Lagipula aku bisa mendepak mereka. Bukan masalah besar.""Lupakan saja," tolak Krisna, "aku tidak berminat diduakan dengan pacar simpananmu. Tapi sejujurnya aku memang sama sekali tidak berminat denganmu, Cin. Terima saja kenyataan kalau dugaanmu salah. Jangankan masih suka, aku bahkan nggak peduli denganmu.""Sialan!" geram Cintya. Ia sudah kehabisan kesabaran menghadapi pria sombong di depannya itu. "Kita lihat saja nanti."Cintya bangkit dan beranjak pergi dengan langkah cepat. Jelas sekali ia tampak kesal, tapi justru membuat Krisna tertawa senang. Karena Medusa itu akhirnya pergi juga.Namun, kesenangan Krisna tak bertahan lama. Saat sedang asyik menikmati makanannya sendiri seperginya Cintya, ponsel pria itu berdering. Nama Saras tertera di layar sebagai pemanggil.Tak tahu pasti alasan sang kakak menelepon, Krisna dengan santai mengambil benda tersebut dan mendekatkan ke telinga. Namun, begitu tersambung, ia tak sempat mengucap salam sebab suara lantang Saras sudah memenuhi telinga."Demi apa kamu serius jadian sama Cintya?"***Alunan musik yang menghentak dan menggoda untuk tubuh ikut bergoyang menyambut kedatangan Krisna. Di salah satu sudut ruangan, di bawah sorotan lampu penuh warna, tampak seorang DJ wanita tengah asik memainkan musiknya. Sementara di sisi lain, sekumpulan orang berbagai usia dan gender sibuk meliuk-liukkan badan mengikuti irama.Krisna menghela napas panjang menyaksikan pemandangan tersebut. Meski para pengunjung lain terlihat sangat menikmati waktu mereka, tidak demikian halnya dengan pria itu. Klub malam, bar atau sejenisnya bukanlah tempat favorit Krisna. Kalau bukan karena mengikuti Cintya, dia tidak akan mau masuk ke tempat tersebut.Tidak tampak sosok Cintya di antara para pengunjung bar bernama Victory tersebut. Namun, Krisna sangat yakin jika perempuan itu tadi memang masuk ke sana. Pasti saat ini Cintya masih berbaur dengan para pengunjung lain yang tengah melantai itu. Krisna bisa saja turun ke sana dan menemukan Cintya, tapi otaknya tidak menyetujui ide itu."Pengunjung baru
"Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah."Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia.""Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga."Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Da
Pemandangan berupa warna putih menyambut Krisna begitu pria tersebut membuka mata. Itu adalah langit-langit ruangan yang kini ia tempati. Ia lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling dan mendapati tirai biru muda tertutup mengelilinginya. Rumah sakit. Di sanalah Krisna berada. Ia mengenal aroma yang terhidu dari sekitar, juga berbagai suara yang didominasi rintih kesakitan. Hanya saja, biasanya ia akan berada di tempat yang lebih layak jika terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukannya ruangan sempit yang hanya muat untuk satu brankar serta sebuah meja kecil seperti saat ini. Apalagi tidak ada seorang pun bersamanya. "Aduh." Krisna merasakan seluruh badannya sakit saat mencoba untuk bangun sehingga akhirnya kembali berbaring. Ia masih ingat dengan jelas kalau habis dipukuli beberapa orang di klub malam. Orang-orang barbar yang tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan langsung menghajarnya hingga tak sadarkan diri. Namun, pada saat itu
"Astaga Krisna, kenapa kamu bisa sampai begini, sih?" Ratih Kumala langsung panik begitu masuk ruangan dan melihat kondisi putra bungsunya. "Siapa yang ngelakuin ini? Kamu ingat orangnya? Tahu namanya? Kita harus segera lapor polisi. Apalagi mereka juga ambil barang-barang pribadi kamu, kan?"Krisna yang baru ingin memejamkan mata dan beristirahat sontak terbangun dengan kaget. Ia tahu mamanya sangat mencintainya, tapi Krisna baru saja menikmati ruangan yang lebih besar dan lega. Ia butuh tidur nyenyak dan nyaman sekarang. Bukannya rentetan pertanyaan yang membuatnya pusing."Ma, selain wajah yang babak belur, dia masih Krisna yang sama. Nyebelin, songong dan pengin dijitak," celetuk Saras yang juga berada di ruangan tersebut."Saras, kenapa ngomong gitu, sih? Ini Krisna lagi kena musibah, lho." Ratih memandang putri sulungnya heran. Bagaimana bisa dia tidak khawatir saat adiknya baru saja dihajar orang tak dikenal dan harta bendanya dirampok. "Cintya aja
Lantunan lagu Not Today milik boyband BTS dari Korea Selatan memenuhi kamar Jingga. Meski ruangan tersebut hanya berukuran tak lebih dari 8m persegi, tapi dua gadis yang tengah menari mengikuti irama lagu itu tak tampak terbatasi ruang geraknya. Terutama Violet yang selalu bersemangat untuk urusan tari.Jingga yang sedari awal tak seantusias sang adik akhirnya menyerah. Ia memang menikmati musik-musik K-pop, tapi jika harus menggerakkan tubuh seperti koreagrafi yang mereka lakukan, Jingga angkat tangan. Terlebih lagu yang tengah mereka pakai sebagai musik pengiring itu memiliki irama dan gerak tari yang menghentak serta penuh tenaga. Melihat Violet yang tetap lincah sementara dirinya sudah terengah-engah, Jingga jadi merasa ia nenek Violet, bukan kakak sulungnya. Adiknya itu 17 tahun dan dirinya 71 tahun."Vio, udahan dulu. Aku capek," pinta Jingga. Sebelum adiknya merespon, ia sudah mengenyakkan tubuh ke ranjang. Kini hanya ada mereka berdua di rumah, karena Lemba
Rengga masih berdiri di depan bosnya yang masih duduk sembari sibuk berpikir. Sudah berlalu beberapa menit dan Krisna masih menunduk memegangi kepalanya. Belum ada tanda-tanda pria itu akan bicara, padahal Rengga dipanggil ke sana untuk diberi perintah."Apa kamu ada ide, Ga?" Krisna akhirnya mengangkat wajah dan bicara. "Saya benar-benar bosan dengan ide 'seksi' yang mereka tawarkan."Mereka di sini mengacu pada departemen desain, sebab Rengga tahu jika hal yang memenuhi pikiran bosnya sekarang adalah rencana untuk produk terbaru mereka. Dahayu Fashion yang kebetulan hanya memproduksi tas dan sepatu wanita itu memang selalu mengeluarkan koleksi terbaru dua kali dalam setahun. Sekarang sudah mendekati jadwal peluncuran koleksi kedua tahun ini, dan sepertinya Krisna tidak tertarik dengan rancangan yang diajukan para pegawainya."Saya tidak merasa berhak memberi pendapat mengenai hal ini, Pak," jawab Rengga. Ia memang asisten pribadi Krisna, tapi tugasnya le
"Terima kasih sudah berbelanja di sini. Senang bisa memuaskan selera Anda."Jingga tersenyum senang begitu pelanggan terakhirnya siang itu beranjak meninggalkan butik. Sebab, wanita yang juga salah satu selebgram terkenal tersebut baru saja membeli salah satu koleksi sepatu paling mahal yang ada di sana. Kalau bagi si pelanggan hal tersebut adalah sebuah prestise karena bisa membeli barang bermerek yang berharga tinggi, maka bagi Jingga itu adalah rezeki nomplok. Penjualannya bertambah, yang berarti akan bertambah pula bonusnya nanti.Sudah seminggu Jingga kembali bekerja di butik. Meski jengkel setengah mati pada Krisna, tapi ia tak mau munafik jika bisa kembali ke butik adalah hal yang memang ia inginkan. Namun, tentu saja itu tidak berarti pertolongannya pada Krisna tempo hari pamrih. Semua yang terjadi hanya sebuah kebetulan. Dan, Jingga harap Krisna masih punya otak untuk berpikir seperti itu. Karena gadis itu yakin jika pemanggilannya kembali pasti bukan murn
"Sungguh ini sebuah kesalahpahaman, Pak Krisna. Saya berani jamin tidak ada hubungan semacam itu antara saya dengan Jingga atau pegawai lain. Saya berani mempertaruhkan pekerjaan saya untuk itu." Krisna berjalan sembari memikirkan kembali ucapan Farhan sewaktu diinterogasi olehnya tadi. Ia sebenarnya tidak punya alasan untuk peduli dengan hal tersebut. Mau Farhan main serong dengan Jingga atau siapa pun, selama tidak berdampak buruk pada pekerjaan maka tidak jadi masalah untuknya. Bukan berarti Krisna menyetujui perselingkuhan. Hanya saja itu adalah urusan pribadi mereka, ia tidak punya hak untuk ikut campur. Akan tetapi, jika sampai gosip yang didengarnya dari dua pegawai lain itu sampai benar, tentu itu memalukan. Sama dengan para pegawainya tidak profesional. Sedangkan jika tidak benar, hal itu masih mengusik Krisna. Sebab dirinyalah yang membuat Jingga bisa kembali bekerja di sana. Kredit itu harusnya diberikan untuk dirinya, bukan orang lain.
“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so
Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga
"Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken