Setelah hidup damai di kampung, kini Andini tinggal di kota besar. Namun, semua itu tak seindah bayangannya. Meskipun ia hidup bersama orang kaya dan menjamin kebutuhan materinya, yang ia terima justru siksaan batin akibat hinaan yang diterimanya karena dianggap tidak setara termasuk dari Andhika, pemilik rumah tempatnya tinggal kini. Akankah Andini memilih bertahan demi hidup yang nyaman atau melepaskan semuanya demi ketentraman hatinya?
Lihat lebih banyakAndini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya.
Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk. Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada. "Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya. Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya. Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah. "Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman lebar sambil menarik Andini agar berdiri di dekatnya. "Ya, kan, dikasih makan, Mi," sahut Andhika dengan nada malas. Andini yang sedari tadi menunduk, mendengar ucapan Andhika makin menunduk. "Hush! Sekarang Andini tinggal sama kamu. Mami percayakan semuanya sama kamu." Lalu Aruna mengajak Andini duduk di salah satu sofa. Andini duduk hati-hati dengan sikap kaku dan perlahan meletakkan tas pakaiannya di atas lantai. Andhika menyusul duduk di bagian lain sofa. "Mi, kenapa harus tinggal sama aku, sih?" "Kita sudah sepakat, Dhika," sahut Aruna. "Itu kesepakatan kalian. Bukan aku. Kalau cuma alasannya rumahku dekat dengan sekolah barunya, kita bisa carikan dia apartemen terdekat." Andhika jelas terdengar keberatan, seperti yang ditakutkan Andini. "Dhika, kamu tega menyuruh Andini yang baru datang ke Jakarta untuk tinggal sendirian?" tanya Aruna tak habis pikir. Andhika berdecak keras. "Ya sudah sih, tinggal kita kasih pembantu dan sopir. Beres kan?" Aruna melotot. "Kenapa kamu ngotot? Takut privasimu terganggu? Kamu mau masukin siapa? Perempuan nggak jelas?" "Mami!" "Terserah kamu pacaran sama siapa, tapi jangan harap kamu bisa menikah sama Scarlett!" "Hanya karena dia artis? Mami nggak adil kalau alasannya itu. Mantu Mami ada yang anaknya artis!" "Kamu masih muda. Mata Mami sudah melihat lebih banyak daripada kamu." Setelah berkata begitu, Aruna bangkit yang membuat Andini panik dan ikut bangkit karena takut ditinggalkan begitu saja. "Antar kami ke kamar Andini!" Dengan muka keruh, Andhika bangkit dan mendahului menaiki tangga yang kemudian disusul oleh Aruna dan Andini. "Di situ ada lift," Aruna menunjuk pintu sebelah tangga, "tapi karena kita bertiga dan liftnya sempit, jadi naik tangga saja." Tak lama mereka sampai di lantai atas dan Andhika membuka salah satu pintu kamar. Aruna mengajak Andini masuk. Sebuah kamar yang menghadap jalan. Mami Andhika tampak puas dengan interiornya dan mengangguk. "Bagus. Mami suka." Ia menoleh pada Andini dengan senyuman lebar. "Mulai hari ini, kamu tinggal di sini dan ini adalah kamarmu. Kalau butuh apa-apa, bilang saja pada Andhika." "Iya, Bu, terima kasih," ucap Andini masih menunduk dan merasa tak pasti. Ia mencengkeram tasnya makin erat karena kekhawatirannya memuncak. Aruna memang memberikan sejumlah uang cash tapi ke depannya siapa yang tahu bagaimana nasibnya jika sikap Andhika saja tidak menyukai kehadirannya dan tak mau repot-repot menutupinya. *** Hari pertama tinggal di rumah Andhika, Andini masih diliputi ketakutan. Acara makan malam bersama semalam saja masih terlihat jelas bagaimana sikap laki-laki itu yang masih berusaha membujuk maminya agar Andini dicarikan apartemen sendiri dengan alasan lebih nyaman daripada tinggal bersama orang yang tak dikenal. Aruna tetap kekeh bahwa Andini butuh perlindungan langsung bukan sekedar materi dan tempat tinggal yang menjadikan upaya Andhika gagal. Andini sendiri berusaha membuat dirinya berguna dengan membantu pekerjaan ART Andhika. Meskipun sudah dilarang oleh Aruna dan Tati, wanita empat puluhan sang ART sendiri, ia tetap tidak ingin tampak ongkang-ongkang kaki saja apalagi dianggap aji mumpung dari miskin jadi kaya. Pagi-pagi sekali Andhika entah pergi ke mana, kata Tati olahraga. Biasanya berenang. Andini sedikit lega karena tak harus bertemu dengannya. Kemudian siang hari sesudah makan, Andhika menyuruh Andini ganti baju dan mengajaknya keluar. "Ke mana, Mas?" tanya Andini dengan jantung berdegup kencang karena tidak tahu rencana Andhika. "Diam. Ikut saja. Buruan ganti!" perintah Andhika. "Dan jangan lama-lama!" "I-iya, Mas." Andini mengangguk dan segera ke kamarnya. Andini segera meraih gamisnya dan mengganti hijabnya. Ia memoles wajahnya dengan bedak, mengenakan lotion lalu mengambil sandal dan menemui Andhika yang menunggu di ruang keluarga. Melihat Andini, Andhika langsung bangkit sambil memberikan tatapan penilaian. Apa yang dikenakan gadis di depannya itu bersih bahkan wajahnya terlihat polos hanya dengan sapuan bedak tapi bagi Andhika tetap tidak layak. "Ayo!" Andhika bergerak meninggalkan ruang keluarga dan turun ke bawah menggunakan lift Andini segera mengikutinya dan ikut masuk lift dengan jantung yang makin berdetak tak karuan. Apalagi ia belum pernah sekalipun naik lift, sehingga sensasinya membuatnya kurang nyaman. Di garasi, keduanya langsung masuk ke mobil sedan hitam Andhika. "Kamu ngapain duduk belakang?" tegur Andhika saat Andini hendak membuka pintu belakang. "Saya..." "Aku bukan sopirmu. Pindah depan!" Setelah berkata begitu, Andhika pun masuk mobil. Andini buru-buru membuka pintu penumpang samping Andhika dan masuk. Kemudian mobil pun meninggalkan rumah. Selama perjalanan tak sedikitpun Andhika mengajaknya bicara. Andini sendiri dalam hati terus mengucapkan doa berharap tidak diajak atau diperlakukan yang aneh-aneh oleh laki-laki di sampingnya itu. Setelah sekian lama berkendara, rupanya Andhika mengajak Andini ke sebuah mall. Gadis itu pun merasa lega meskipun tidak berharap banyak. Andini diajak ke salah satu toko pakaian. Ketika ada seorang perempuan yang seusia Andhika menyapanya, awalnya ia pikir pegawai toko karena di sana diminta membantu mencarikan baju-baju untuk Andini yang cocok dengan latar belakang keluarga Andhika. "Mas Dhika, saya..." Ketika Andini hendak buka mulut, Andhika langsung angkat tangan menyuruhnya diam. "Kamu nurut saja. Nggak masalah sih kamu pakai baju-bajumu tapi nanti dikira kami jahat ke kamu. Bikin malu keluarga Wisesa!" Andini hanya bisa menelan ludahnya dan mengikuti kemauan Andhika. Jika situasinya berbeda dan Andhika seperti orang tuanya yang menerimanya dengan tangan terbuka, mungkin ia akan menerima baju-baju pemberian laki-laki itu dengan gembira dan penuh rasa syukur. Hanya saja, sikap Andhika membuatnya tak tahu harus bagaimana. Apalagi ketika ternyata mereka tidak berbelanja di satu toko saja, tetapi beberapa lagi termasuk belanja alas kaki. Di saat perempuan yang sedari tadi tengah memilih sepatu, ponsel Andhika berdering. "Kalian pilih saja," kata Andhika sambil melihat layar ponselnya, lalu, "Scarlett? Halo, Sayang..." "Hai," balas suara di seberang dengan manja. "Lagi ngapain?" Andhika tersenyum walaupun Scarlett tak bisa melihatnya. "Keluar. Ada urusan. Gimana syutingnya? Lancar?" "Iya, dong. Scarlett Desiree pasti akan melakukan pekerjaannya dengan baik," ucapnya bangga. "Miss you." "I miss you too," balas Andhika dengan semringah. "I'll see you soon." "Scarlett ! Ayo!" Terdengar panggilan di belakang Scarlett yang masuk di pendengar Andhika. "Mau take lagi?" tanya Andhika. "Eh, ehm, iya. Ya sudah, see you, baby." Buru-buru sambungan telepon ditutup.Karena produk baru, jelas wajah Andini ikut terpampang di mana-mana sebagai bintang iklannya dan hal itu membuat Emilia kesal. Sedangkan tanggapan beberapa teman lain yang tidak memandangnya rendah cukup beragam. Ada yang sedikit berubah yang artinya kini Andini memiliki value untuk berada di tengah-tengah mereka dan sebagian lagi tetap memandang sinis padanya serta menganggapnya sekedar beruntung ditawari menjadi bintang iklan apalagi karena berada di tengah-tengah keluarga Wisesa."Biarin ajalah. Mereka cuma iri," kata Elke menghibur Andini. Andini bisa melihat apa yang dikatakan Elke benar karena embel-embel nama besar Wisesa, tapi ia tidak bisa bangga sepenuhnya karena memang bukan anggota keluarga itu. Namun, tak menampik bahwa kesempatannya datang dari sana. "Aku tahu kamu bukan nggak bersyukur, tapi nggak usah dipikirkan. Benar deh. Nikmati saja selagi bisa," timpal Amal sambil menepuk bahu Andini."Banyak yang lupa kalau di atas langit masih ada langit." Katya menambahkan de
Begitu acara selesai, semua berkumpul di rumah utama. Tidak ada agenda khusus, hanya kumpul keluarga rutin selagi Surya dan Aruna di Jakarta."Kamu nggak istirahat?" tanya Andhika yang tadinya ingin bersantai di pinggir kolam malah mendapati Andini sudah lebih dulu di sana."Ini istirahat," jawab Andini yang tadinya berbaring segera duduk tegak.Keduanya sudah berganti baju santai. Biasanya jika ada Andini, Andhika lebih sering menghindar dan saat ini justru duduk di lounger atau kursi santai sebelah gadis itu."Ada beberapa tawaran pemotretan dan iklan buat kamu," kata Andhika tanpa menatap Andini, justru ke ponsel yang dibawanya sambil bersandar santai.Andini yang mendengar hal itu langsung menatap kaget. Ia masih duduk tegak. "Saya?""Memangnya siapa lagi? Bu Tati?""Kok saya?" tanya Andini tak percaya dan heran bukan kepalang.Andhika meletakkan ponsel di atas meja yang ada di antara mereka. "Kenapa?""Ya ...aneh saja sih. Saya kan bukan model," jawab Andini lirih tapi masih bisa
"...kontrak saudari Scarlett Desiree sebagai brand ambassador seluruh produk yang berada di bawah naungan Wisesa Group telah berakhir hari ini sebagaimana yang tertulis secara hitam dan putih, namun begitu, Wisesa Group tidak berniat untuk memperpanjangnya dan sudah kami sampaikan kepada pihak manajemennya dengan atau tidak adanya kasus yang tengah terjadi saat ini. Semuanya murni keputusan pimpinan. Oleh karena itu, mohon untuk tidak mengaitkan saudari Scarlett dengan Wisesa Group lagi. Sedangkan untuk urusan pribadi yang berkaitan dengan CEO PT. Wisesa Indonesia Lestari, saya juga ingin menyampaikan agar tidak mengaitkan pemberitaan apapun dengan beliau. Bapak Andhika..." Selanjutnya suara dari legal team perusahaan yang berbicara mewakili Andhika seperti dengungan lebah di telinga Andini yang terpaku dengan apa yang disampaikan.Andini terdiam memikirkan Scarlett. Bukan karena bersimpati, ia malah tidak tahu harus merasa bagaimana atas nasib kekasih Andhika itu sejak berita tersebu
Setelah syuting, hari-hari Andini berjalan seperti biasa, termasuk bagaimana Emilia yang masih memusuhinya dan Rishi yang semakin sering menemuinya selagi ada waktu."Kak Rishi naksir kamu deh, An," komentar Elke suatu hari ketika mereka tengah bersantai di gazebo usai makan siang. Andini langsung mengibaskan tangannya. "Ngawur kamu.""Iya." Katya mengangguk membenarkan."Setuju." Amal memberikan jempolnya. "Cuma kamunya yang nggak respon atau kayak berusaha menjauh gitu. Tapi, dia gigih, lho.""Iya, benar." Elke setuju. "Mungkin karena Emilia juga, kan dia naksir Kak Rishi. Tapi, kamu sendiri gimana? Suka nggak?"Amal memang ada benarnya bahwa Andini sedikit menjauh karena perintah Andhika juga, hanya jika ditanya apakah ia suka, terus terang ia tidak tahu. "Gimana?" desak Katya sedikit menggoda.Andini menggeleng. "Nggak tahu.""Coba aja dulu," kata Katya.Andini menunduk. "Gimana, ya...aku ke sini untuk sekolah.""Tapi, masa jatuh cinta dilarang?" tanya Amal ingin tahu. "Kayaknya
Melihat kedatangan Scarlett membuat semua yang ada di sana menoleh. Andini memucat seketika dan tubuhnya kaku. Andhika yang melihat hal itu dengan luwes mendekati kekasihnya sambil ikut membawakan pizza dan membantu meletakkan di meja yang ada di sana."Kok nggak cerita kamu ke sini?" tanya Andhika dengan senyuman lebar sambil mencium kedua pipi Scarlett."Kejutan dong, Sayang," sahut Scarlett gembira kejutannya berhasil dan tatapan matanya tertuju pada Andini yang masih mematung di tempatnya."Makasih, aku senang kamu kasih aku kejutan. Let's talk, shall we?" Masih dengan senyuman, Andhika menggandeng Scarlett pergi."Tapi, Babe, aku belum menyapa yang lain," ujar Scarlett berusaha tetap bertahan."Kamu bisa menyapa mereka nanti." Siapapun masih mendengar suara lembut Andhika yang mendapat godaan oleh kru di studio.Melihat Scarlett menjauh, perlahan napas Andini berhembus. Ia tidak sadar sejak kapan menahannya. Sungguh siapa sangka wanita itu tiba-tiba datang. Melihat reaksi Andhika
Andini bisa merasa lega sebab setelah itu tak ada lagi kejadian buruk menimpanya. Kalaupun ada yang kurang menyenangkan, hanya sebatas Emilia dan beberapa teman lain yang menganggap ia tak layak berada di SMA Sage. Namun, secara umum ia tetap bisa fokus belajar. Kemudian hari untuk syuting iklan dimulai. Andini masih tidak percaya bahwa ia betul-betul dikontrak menjadi bintang iklan. Syutingnya sendiri dilakukan di akhir pekan saat ia libur sekolah."Lakukan saja seperti kamu biasanya. Ingat, kamu bagian dari Wisesa, jadi anggap sebagai membantu keluarga," kata Andhika yang ikut menemani Andini syuting. Saat ini mereka tengah menyiapkan set dan make up untuk para pemeran termasuk Andini.Dengan adanya laki-laki itu sangat tidak membantu Andini sama sekali. Ia merasa tidak nyaman dan takut melakukan kesalahan. "Kami tidak menjadikanmu bintang iklan karena kamu terkenal dan jago akting. Sedari awal kamu bukan artis. Ingat kan alasannya apa?" sambung Andhika."Ya." Tentu saja Andini in
Hari berikutnya Andini masih menunggu dengan sabar kabar dari Emilia, Putri atau Dona, tapi nyatanya tak ada satupun yang memberi tahu apapun. Bahkan di sekolah ketiganya tampak seperti orang tak kenal. Hari berikutnya lagi juga masih sama, akhirnya ketika hendak pulang, Andini memberanikan diri mencegat Emilia."Apa sih lo ?" sergah Emilia kesal."Tugasnya gimana?" tanya Andini."Gampang itu. Nanti gue hubungi. Masih lama ini, ribut amat sih! Dahlah gue mau pulang!" setelah mengatakan itu, Emilia berbalik pergi dan meninggalkan Andini terburu-buru.Andini menatap kepergian Emilia dengan bingung. Mengapa teman sekelasnya itu harus marah, padahal ia hanya bertanya biasa."Dia nggak ngerjain tugasnya?" Tiba-tiba Katya sudah berdiri tepat di belakang Andini."Iya. Aku sudah nunggu kapan buat diskusi, masih belum juga," jawab Andini jujur."Terus gimana? Nggak ada diskusi sama sekali?" Kali ini Elke yang bertanya."Cuma sekali sih, itu juga Mas Dhika marah-marah karena tempatnya di kafe.
Emilia mengajak Andini membahas presentasi mereka di sebuah kafe. Betapa sulitnya ia meminta izin kepada Andhika yang heran kenapa tidak dilakukan di rumah entah siapa. Kenapa sampai harus di kafe?Andini jelas tak bisa menjawab dan akhirnya dengan berat hati Andhika mengizinkan dengan syarat diantar oleh Gery.Hari ini sepulang kerja, Gery langsung menjemput Andini di sekolah menuju tempat janjian. Emilia mengatakan mereka akan ketemu di kafe."Mbak Andini masuk dulu saja, nanti kami menyusul. Saya parkir mobil," kata Gery.Andini pun turun lebih dulu dan memasuki kafe. Rupanya justru ia yang tiba terlebih dahulu daripada yang lain padahal setahunya tadi Emilia, Putri dan Dona pergi sebelum dirinya dari sekolah. Ia pun sengaja memilih tempat yang mudah terlihat jika ketiganya datang.Ketika Gery memasuki kafe, langsung berjalan ke arah Andini. "Temannya belum datang?" tanya Gery sambil melihat sekeliling.Andini menggeleng. "Belum. Mungkin kena macet."Gery mengangguk. "Saya tunggu
Andini baru saja memberikan uang kepada Irawan untuk mengganti yang digunakan membeli cilok dan batagor ketika mobil Andhika memasuki carport. Awalnya sopir pribadi tersebut tidak mau menerimanya, tapi karena terus dipaksa akhirnya mau. Karena tidak tahu jumlah pastinya, ia memberikan lebih."Kamu ngapain di sini?" tanya Andhika yang melihat Andini berada di lantai dasar.Bukan apa-apa, lebih karena di lantai itu hanya ada gudang, dapur kotor, dua kamar pegawai, garasi dan ruangan untuk Irawan berjaga jika sedang tidak mengantarkan siapapun."Oh, barusan kasih uang untuk Pak Ir," jawab Andini sambil menunggu Andhika naik terlebih dahulu.Kening Andhika berkerut. "Uang?""Tadi nitip belikan cilok dan batagor.""Oh." Setelah memberikan respon pendek, tanpa berkata apa-apa lagi, Andhika masuk ke lift dan langsung naik hingga lantai teratas.Sementara itu Andini naik menggunakan tangga hingga ke lantai teratas juga dan langsung masuk ke dalam kamarnya untuk melanjutkan belajar mata pelaja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen