Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen.
"Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan. Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Esoknya, Andini terbangun oleh suara alarm subuh dari ponselnya. Ia pun keluar untuk mengambil wudu di kamar mandi luar sebab kamarnya tidak ada kamar mandi. Dan begitu membuka pintu, betapa terkejutnya ia mendapati Andhika ternyata sudah bangun bahkan tengah serius menghadap laptop di ruang makan ditemani secangkir minuman entah kopi atau teh. Entah Andhika yang terlalu fokus atau memang tidak peduli dengan kehadiran Andini itu tak bergerak sedikitpun untuk menyapanya. Andini pun akhirnya berlalu ke kamar mandi sekalian mandi. Dan sebelum melepaskan pakaiannya, ia memastikan dulu bagaimana menggunakan apa yang ada di sana. Usai mandi, Andini yang hendak kembali ke kamarnya masih melihat Andhika dengan kesibukannya. Namun, begitu selesai salat dan keluar dari kamar berniat untuk membuat sarapan meskipun harus bertanya kepada Andhika cara menggunakan dapurnya, ia terkejut karena laki-laki itu justru sedang berada di dapur. Depan kompor tepatnya. "Mas Dhika ngapain?" Buru-buru Andini mendekatinya. "Saya saja yang masak, Mas." "Nggak usah! Kamu duduk saja sana atau siapin keperluan sekolahmu saja. Shuh!" usir Andhika ketus. "Saya bisa masak kok." Andini kekeh karena merasa tak enak harus merepotkan Andhika. "Iya, tapi rasanya bukan seleraku! Pergi sana sebelum aku teriakin kamu!" Melihat wajah garang dan asam Andhika, Andini pun menyingkir. Ia tak menyangka laki-laki itu mau repot masak untuknya juga. Ia jadi merasa tidak enak. Andini pun kembali ke kamar tempatnya tidur semalam. Karena tak ada lagi yang harus dilakukan, ia memilih menyiapkan keperluan sekolahnya, berganti seragam agar begitu Andhika memanggilnya untuk sarapan, ia sudah siap. Setelahnya ia belajar sebentar. Sekitar setengah jam kemudian ada pesan masuk. ✉️ Elke Pagi, An. Sudah bangun, kan? Aku kaget waktu dikasih tahu kamu sudah dijemput Kak Dhika. Tapi kalau dia masih waras, memang seharusnya begitu. Nggak apa. Kalau dia macam-macam, bilang saja ke aku, ya? Sampai jumpa di sekolah. Kamu sekolah, kan? Andini tersenyum atas perhatian Elke. Ia bersyukur bertemu Elke dan berharap semoga temannya itu memang betul-betul tulus, sebab jika tidak, ia tak tahu lagi harus percaya kepada siapa. ✉️ Andini Pagi, Elke. Ya, aku sudah bangun. Maaf, ya, aku pergi nggak sempat pamit sama kamu karena sudah malam sekali. Kami kembali ke apartemen dulu, kata Mas Dhika. Aku masih belum tahu kapan kami balik ke rumahnya dan sekarang justru Mas Dhika yang lagi bikin sarapan. Aku jadi nggak enak. Sekali lagi maaf sudah ngerepotin dan terima kasih atas bantuannya 🙏 Tak ada balasan dari Elke, mungkin karena sudah bersiap untuk ke sekolah. Beberapa lama kemudian, Andhika memanggil Andini untuk sarapan dan ketika ia keluar, tampaknya laki-laki itu sudah rapi dan siap kerja juga. "Buruan makan!" perintah Andhika. Berbeda dengan di rumah, Andhika menyajikannya langsung di piring masing-masing yang terdiri dari nasi putih, telur ceplok, sosis goreng dan sayur tumis yang menurut Andini tidak biasa. Ia hanya mengenali brokoli, wortel dan timun. Meskipun penasaran ia tidak berani bertanya. Ketika akhirnya selesai dan ia menawarkan diri untuk mencuci peralatan makan mereka, Andhika lagi-lagi melarangnya dan mengatakan ada mesin pencuci piring. Namun, kali ini ia tetap berada di dapur dan memperhatikan bagaimana cara menggunakannya. *** Karena jarak sekolah dan apartemen lebih dekat, Andini yang diantar langsung oleh Andhika tiba lebih cepat. "Nanti tunggu aku jemput. Kalau aku nggak bisa, tunggu Pak Ir. Kalau Pak Ir nggak bisa, kamu ke kantorku naik taksi. Jangan pulang sama orang lain lagi, paham?!" kata Andhika setelah mobilnya berhenti di depan sekolah Andini. Andini mengangguk. "Paham, Mas." Andhika mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan diserahkan kepada Andini. "Ini buat naik taksi. Kalau ada apa-apa, hubungi aku, paham?!" Andini mengangguk lagi. "Paham, Mas." "Sudah, sana!" Begitu Andini keluar dari mobilnya, Andhika segera meninggalkannya. Sementara itu, Andini masih terpaku di tempat karena teringat amplop berisi uang yang diberikan oleh Scarlett. Ia bermaksud mengembalikannya melalui Andhika atas saran Elke, tapi ia lupa. "Hei, bengong aja!" tegur seseorang dari belakang Andini yang ketika berbalik rupanya Rishi. Andini tersenyum sambil buru-buru menyimpan uang dari Andhika. "Hai, Kak." "Diantar Bang Dhika?" tanya Rishi. Andini mengangguk lalu bergerak memasuki pelataran sekolah diikuti oleh Rishi. "Kenal Mas Dhika juga?" tanyanya kemudian menyadari bahwa itu pertanyaan bodoh. Ganti Rishi yang mengangguk. "Nggak akrab banget sih, lebih tepatnya karena dekat dengan sepupuku." "Ah, iya. Mbak Scarlett." "Iya, Scarlett. Kamu kok bisa kenal Bang Dhika?" "Uhm, saya..." Andini bingung bagaimana mengatakannya dengan sopan. Bukan karena malu, tapi dengan Andhika yang masih menolak keberadaannya dan menganggapnya seperti benalu, ia tak yakin bagaimana memposisikan diri di tengah keluarga Wisesa. "Maminya Mas Dhika ibu asuh saya." "Oh, gitu. Kukira saudaranya." Rishi manggut-manggut. Ketika berada di koridor, tiba-tiba ada seseorang menyeruak di antara mereka. "Lo ngapain sih, Em?" tegur Rishi dengan kening berkerut. "Jalan kan masih lebar." Emilia tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. "Gue mau ngomong sama lo," katanya manis sambil menarik Rishi pergi. Ia sempat menoleh sebentar dengan tatapan peringatan pada Andini. Melihat itu, Andini menghela napas panjang lalu melanjutkan langkahnya sendirian ke kelas. Sesampainya, belum terlalu banyak siswa yang datang bahkan Elke sekalipun. Akhirnya ia putuskan untuk membaca buku mata pelajaran pertama seraya menunggu bel masuk. "Wah, rajin juga." Terdengar komentar Elke. Andini mendongak dan tersenyum. Ia melihat jam dinding di kelasnya, rupanya ia sudah membaca sekitar sepuluh menit. Lumayan. "Pagi, Elke." "Jadi gimana? Kak Dhika masakin kamu?" tanyanya penasaran sambil duduk di bangkunya dan menyimpan tasnya. Andini menutup bukunya dan duduk menghadap Elke. "Iya. Aku masakin nggak mau." Elke tersenyum. "Nggak apa-apa, terima saja. Pada dasarnya dia memang baik kok," ia menghela napas dalam seolah menyesali sesuatu, "kayaknya berubah jadi setan karena Scarlett aja. Terus, nanti kamu tinggal di mana?" "Belum tahu. Mas Dhika nggak kasih tahu." Elke manggut-manggut dan menepuk bahu Andini. "Kalau butuh apa-apa jangan takut untuk bilang ke aku, ya?" "Makasih, ya, aku nggak tahu harus apa kalau nggak ada kamu." Elke kembali tersenyum. "Kita kan teman." Andini balas tersenyum meski canggung. "Makasih." Sejujurnya dalam hati, bukannya Andini tidak mempercayai Elke, ia hanya tidak mempercayai dirinya sendiri si orang miskin yang tiba-tiba bisa dianggap teman oleh anak orang kaya. "Oh, tolong titip salam ke Tante Marvi, maaf merepotkan," ucap Andini. Elke mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Mama justru nyuruh aku untuk ajakin kamu main ke rumah lagi." "Makasih. Oh ya, aku semalam lupa kasih amplopnya ke Mas Dhika." Wajah santai Elke berubah serius. "Pokoknya harus kamu kasih ke Kak Dhika, jangan ke Scarlett. Biar ada bukti. Percaya sama aku." Andini mengangguk. "Padahal cantik begitu. Dia kan artis..." Elke seketika mendengkus. Tak lama Emilia masuk ke dalam kelas dan langsung menuju meja Andini. Satu tangan ditumpukan pada permukaan meja. "Eh, gue kasih tahu lo, ya, anak baru. Jangan coba-coba godain Rishi. Menjauh dari Rishi." "Maaf, aku nggak pernah godain Kak Rishi," sahut Andini jujur. Emilia mendekatkan mulutnya di telinga Andini. "Lo tahu kan sebenarnya nggak cocok di sekolah ini. Kalau nggak jadi sugar baby, nggak mungkin lo bisa tiba-tiba naik kelas.""Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Sepulang sekolah, Andhika sendiri yang menjemput meskipun yang menyetir adalah Gery dan mengantarnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut setelah melihat wajah Andini yang murung."Kenapa kamu nggak bilang kalau kena bola? Kalau masih pusing jangan diam saja! Bener-bener deh bikin repot!" sentak Andhika."Maaf, tapi saya nggak apa-apa," kata Andini dengan gelengan pelan.Andhika mendengkus. "Kalau baik, kenapa mukamu begitu?"Andini menoleh dan menatap Andhika bingung. Dan ia lebih bingung lagi bagaimana laki-laki itu bisa tahu? Apakah petugas ruang kesehatan memberitahunya? "Maaf, muka saya begini itu gimana ya?" tanya Andini lirih. "Sudahlah." Andhika melengos dengan wajah kesal. "Heran, baru berapa hari sih kamu di sini, susah ada saja masalah," gerutunya sebelum kembali memeriksa pekerjaannya.Andini menundukkan kepalanya dan tanpa sadar meremas ujung hijabnya. Ketika tiba di rumah sakit dengan ditemani oleh Andhika dan Gery, Andini diperiksa secara menyeluruh apakah b
Pada akhirnya Gery tetap tinggal di hotel menemani Andini, selain juga karena diminta membawakan baju ganti Andhika yang semuanya memang perintah laki-laki itu.Berbeda dengan biasanya, Gery mengajak Andini sarapan buffet di restoran hotel. Keduanya meletakkan barang bawaan di salah satu meja sebelum mengambil sarapan.Wah, begini ternyata restoran hotel bintang lima, batin Andini seraya berjalan canggung di samping Gery. "Silakan, mau yang mana?" kata Gery.Menyusuri meja di mana beraneka menu sarapan dihidangkan membuat Andini bagaimanapun tetap merasa tergiur karena semua tampak lezat. "Saya bingung," kata Andini jujur.Gery terkekeh lalu mulai menunjukkan apa saja yang ada di sana sebelum mengambil yang diinginkan. Andini sendiri akhirnya mengambil nasi, sup, ayam goreng dan atas saran Gery juga sedikit buah sedangkan minumnya ia hanya mengambil segelas air putih. Sekretaris Andhika sendiri mengambil buah, sup dan kopi.Dan siapa sangka keduanya bertemu dengan Andres ketika hend
Keringat dingin mulai dirasakan Andini. Bukan ia tidak mendengar gosip tentangnya, Emilia dan kawan-kawan jelas sudah berbaik hati untuk memberitahukan tapi mendengar sendiri dari mulut wali kelasnya, rasanya jauh lebih menyakitkan.Rain menghela napas panjang. "Saya sebagai wali kelasmu, tentu tahu siapa walimu saat ini. Reputasi Pak Andhika terlalu bagus untuk dipertaruhkan, apalagi Bu Aruna. Sebelum saya mengambil sikap, saya butuh keterangan darimu."Andini mengangguk dan tanpa sadar air matanya meleleh. Ia pun mengusapnya dengan punggung tangan."Foto-foto ini benar kamu?" Rain menunjukkan foto-foto yang ada di ponselnya.Andini mengangguk pelan."Jadi benar kamu keluar-masuk hotel? Bahkan hari ini pun keluar dari hotel?"Andini kembali mengangguk. "Saya... memang tinggal di hotel."Kedua alis Rain terangkat. "Oh. Kenapa?""Mas Andhika yang mengajak saya untuk tinggal di hotel," jawab Andini sambil menunduk dan berusaha keras untuk menahan air matanya.Kali ini kening Rain menger
Andini bisa merasa lega sebab setelah itu tak ada lagi kejadian buruk menimpanya. Kalaupun ada yang kurang menyenangkan, hanya sebatas Emilia dan beberapa teman lain yang menganggap ia tak layak berada di SMA Sage. Namun, secara umum ia tetap bisa fokus belajar. Kemudian hari untuk syuting iklan dimulai. Andini masih tidak percaya bahwa ia betul-betul dikontrak menjadi bintang iklan. Syutingnya sendiri dilakukan di akhir pekan saat ia libur sekolah."Lakukan saja seperti kamu biasanya. Ingat, kamu bagian dari Wisesa, jadi anggap sebagai membantu keluarga," kata Andhika yang ikut menemani Andini syuting. Saat ini mereka tengah menyiapkan set dan make up untuk para pemeran termasuk Andini.Dengan adanya laki-laki itu sangat tidak membantu Andini sama sekali. Ia merasa tidak nyaman dan takut melakukan kesalahan. "Kami tidak menjadikanmu bintang iklan karena kamu terkenal dan jago akting. Sedari awal kamu bukan artis. Ingat kan alasannya apa?" sambung Andhika."Ya." Tentu saja Andini in
Hari berikutnya Andini masih menunggu dengan sabar kabar dari Emilia, Putri atau Dona, tapi nyatanya tak ada satupun yang memberi tahu apapun. Bahkan di sekolah ketiganya tampak seperti orang tak kenal. Hari berikutnya lagi juga masih sama, akhirnya ketika hendak pulang, Andini memberanikan diri mencegat Emilia."Apa sih lo ?" sergah Emilia kesal."Tugasnya gimana?" tanya Andini."Gampang itu. Nanti gue hubungi. Masih lama ini, ribut amat sih! Dahlah gue mau pulang!" setelah mengatakan itu, Emilia berbalik pergi dan meninggalkan Andini terburu-buru.Andini menatap kepergian Emilia dengan bingung. Mengapa teman sekelasnya itu harus marah, padahal ia hanya bertanya biasa."Dia nggak ngerjain tugasnya?" Tiba-tiba Katya sudah berdiri tepat di belakang Andini."Iya. Aku sudah nunggu kapan buat diskusi, masih belum juga," jawab Andini jujur."Terus gimana? Nggak ada diskusi sama sekali?" Kali ini Elke yang bertanya."Cuma sekali sih, itu juga Mas Dhika marah-marah karena tempatnya di kafe.
Emilia mengajak Andini membahas presentasi mereka di sebuah kafe. Betapa sulitnya ia meminta izin kepada Andhika yang heran kenapa tidak dilakukan di rumah entah siapa. Kenapa sampai harus di kafe?Andini jelas tak bisa menjawab dan akhirnya dengan berat hati Andhika mengizinkan dengan syarat diantar oleh Gery.Hari ini sepulang kerja, Gery langsung menjemput Andini di sekolah menuju tempat janjian. Emilia mengatakan mereka akan ketemu di kafe."Mbak Andini masuk dulu saja, nanti kami menyusul. Saya parkir mobil," kata Gery.Andini pun turun lebih dulu dan memasuki kafe. Rupanya justru ia yang tiba terlebih dahulu daripada yang lain padahal setahunya tadi Emilia, Putri dan Dona pergi sebelum dirinya dari sekolah. Ia pun sengaja memilih tempat yang mudah terlihat jika ketiganya datang.Ketika Gery memasuki kafe, langsung berjalan ke arah Andini. "Temannya belum datang?" tanya Gery sambil melihat sekeliling.Andini menggeleng. "Belum. Mungkin kena macet."Gery mengangguk. "Saya tunggu
Andini baru saja memberikan uang kepada Irawan untuk mengganti yang digunakan membeli cilok dan batagor ketika mobil Andhika memasuki carport. Awalnya sopir pribadi tersebut tidak mau menerimanya, tapi karena terus dipaksa akhirnya mau. Karena tidak tahu jumlah pastinya, ia memberikan lebih."Kamu ngapain di sini?" tanya Andhika yang melihat Andini berada di lantai dasar.Bukan apa-apa, lebih karena di lantai itu hanya ada gudang, dapur kotor, dua kamar pegawai, garasi dan ruangan untuk Irawan berjaga jika sedang tidak mengantarkan siapapun."Oh, barusan kasih uang untuk Pak Ir," jawab Andini sambil menunggu Andhika naik terlebih dahulu.Kening Andhika berkerut. "Uang?""Tadi nitip belikan cilok dan batagor.""Oh." Setelah memberikan respon pendek, tanpa berkata apa-apa lagi, Andhika masuk ke lift dan langsung naik hingga lantai teratas.Sementara itu Andini naik menggunakan tangga hingga ke lantai teratas juga dan langsung masuk ke dalam kamarnya untuk melanjutkan belajar mata pelaja
Aditi berhasil membujuk Andini untuk membintangi iklan Padme dan body lotion Pure Bliss varian baru. Tidak jadi spray cologne. Menurut kakak Andhika tersebut setelah dikaji ulang, image Andini lebih cocok membintangi iklan body lotion.Pertemuan di kantor Andhika kemarin membuat Andini kepikiran hingga kini. Di sekolah, ia nyaris tidak bisa konsentrasi. "Kamu kenapa dari tadi kayak antara ada dan tiada gitu?" tanya Elke ketika jam istirahat, usai makan dan kini mereka tengah duduk di gazebo.Andini menggeleng. Ia ingat peringatan Andhika ketika masih tinggal di hotel dan baru memulai pelajaran tata krama bahwa sedekat apapun kita dengan orang lain, tidak semua hal bisa dibicarakan. "Nggak apa-apa." Andini menggeleng sambil tersenyum tipis. "Cuma nggak bisa tidur aja.""Scarlett gimana? Masih gangguin kamu?"Andini mengangguk."Kadang aku tuh pengen semua orang tahu sifat aslinya gimana," geran Elke.Saat asyik mengobrol, datang Rishi bersama seorang temannya dan keduanya langsung du
✉️ KatyaSepupuku kebetulan ada di hotel yang sama.Andini melihat foto yang dikirimkan Katya kepadanya. Foto berangkulan Scarlett bersama laki-laki yang lebih pantas disebut ayahnya. Jika saja Scarlett bukan kekasih Andhika, mungkin terserah saja dia mau berhubungan dengan siapa, karena itu hak masing-masing orang."Ini maksudnya apa pergi dengan orang yang berbeda?" gumam Andini tak percaya.✉️ AndiniDia sama siapa?Saudaranya?Tadi dari rumah Mas Dhika, tapi pulang marah-marah.✉️ KatyaOh ya?Kenapa? Berantem sama Kak Dhika?✉️ AndiniIya. Gara-gara dia nyuruh-nyuruh aku terus.Dia ditegur Mas Dhika dan ngambek.Pulang.✉️ KatyaWkwkwk Rasain!Aku nggak tahu sih dia sama siapa.Kemarin juga beda orang.Sulit untuk nggak curiga.Tapi hobinya memang godain suami orang.Atau...jadi sugar baby.✉️ AndiniMas Dhika tahu nggak ya?✉️ KatyaEntahlah, tapi semoga segera lepas.Menjijikkan!✉️ AndiniAamiin.Andini teringat saat bertemu di Bali pun dengan orang yang berbeda. "Apa Mbak
"Andini! Ambilkan gue minuman lagi!" Teriak Scarlett dari ruang keluarga kepada Andini yang tengah berada di kamar.Tadinya Andini ingin membuat kue yang berbahan sederhana bersama Tati. Kebetulan di rumah ada bahan-bahannya. Namun, karena kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, membuat rencana tersebut gagal dan Andini memutuskan berdiam diri di kamarnya. Tati pun menyuruhnya sembunyi saja.Sebelumnya selain minuman, Andini mau menerima perintah Scarlett untuk mengambilkan camilan karena kebetulan Andhika juga memanggilnya. Tapi sekarang...Panggilan pertama dan kedua masih berusaha Andini abaikan."Andini! Lo punya kuping nggak sih?""Ish! Ngapain sih teriak-teriak kayak orang nggak punya tata krama!" gerutu Andini sambil bangkit dari yang tadinya baca novel di atas tempat tidur.Dengan perlahan saking malasnya, Andini keluar dari kamarnya dan turun ke lantai dua."Sudah aku bilang, jangan perintah Andini! Dia bukan pembantu! Butuh apa-apa tinggal panggil Bu Tati!" Tepat saat Andini me
Film yang dipilih oleh Katya memang bagus, Andini sampai lupa bahwa ia menontonnya bersama dengan Rishi dan teman-temannya juga. Untungnya saat menonton ia duduk di tengah antara Amal dan Elke sehingga mengurangi rasa bersalahnya. Meskipun semua murni kebetulan, ia tetap merasa bersalah.Kini mereka makan malam bersama di sebut restoran Italia berkat suara terbanyak. Di sana, tadinya Rishi ingin duduk dekat Andini tapi ditolak karena takut ketahuan Andhika dan disangka bohong. "Eh, Kak Rishi kayaknya naksir kamu deh," bisik Amal yang duduk di depan Katya saat mereka tengah menunggu pesanan datang.Elke yang duduk di depan Andini mengangguk. "Kupikir juga gitu, tapi nggak terang-terangan."Katya yang di samping Andini tersenyum sinis. "Semoga aja biar Emilia mampus.""Eh, jangan gitulah," sahut Andini tak nyaman. Meskipun ia tidak suka Emilia, tapi ia juga tak ingin ada yang mengolok Emilia seperti itu. Apalagi jika ada hubungan dengannya. Ia sudah trauma dengan Scarlett."Kelihatan k
Meskipun Elke memang berniat menjemput Andini, tetapi karena Andhika ingin bertemu, maka gadis itu menjemput Katya dan Amal terlebih dahulu barulah Andini. Tentu saja menggunakan sopir."Oh, Amal anaknya Pak Jamal Badawi." Andhika manggut-manggut setelah bertemu langsung dengan Katya dan khususnya Amal."Iya, Kak." Amal tersenyum sopan. Andhika mengangguk. "Ya sudah. Tapi maaf, ya, Saya cuma izinkan Andini buat nonton sama makan saja entah itu sebelum atau sesudahnya. Ini nggak ada cowoknya, kan?" Elke, Katya dan Amal serempak menggeleng."Nggak kok, Kak. Kita juga jomlo ini," jawab Elke sambil nyengir."Ya sudah.""Kami pamit, ya," ucap Elke mewakili yang lain."Mas Dhika, saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Andini."Wa'alaikumussalam," balas Andhika.Keempat gadis remaja tersebut pun meninggalkan rumah melalui pintu depan dan sampai carport langsung masuk ke dalam mobil MPV putih. "Agak...seram juga, ya, Kak Andhika tuh?" komentar Amal ketika mereka sudah berada di perjalan