Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen.
"Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan. Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Esoknya, Andini terbangun oleh suara alarm subuh dari ponselnya. Ia pun keluar untuk mengambil wudu di kamar mandi luar sebab kamarnya tidak ada kamar mandi. Dan begitu membuka pintu, betapa terkejutnya ia mendapati Andhika ternyata sudah bangun bahkan tengah serius menghadap laptop di ruang makan ditemani secangkir minuman entah kopi atau teh. Entah Andhika yang terlalu fokus atau memang tidak peduli dengan kehadiran Andini itu tak bergerak sedikitpun untuk menyapanya. Andini pun akhirnya berlalu ke kamar mandi sekalian mandi. Dan sebelum melepaskan pakaiannya, ia memastikan dulu bagaimana menggunakan apa yang ada di sana. Usai mandi, Andini yang hendak kembali ke kamarnya masih melihat Andhika dengan kesibukannya. Namun, begitu selesai salat dan keluar dari kamar berniat untuk membuat sarapan meskipun harus bertanya kepada Andhika cara menggunakan dapurnya, ia terkejut karena laki-laki itu justru sedang berada di dapur. Depan kompor tepatnya. "Mas Dhika ngapain?" Buru-buru Andini mendekatinya. "Saya saja yang masak, Mas." "Nggak usah! Kamu duduk saja sana atau siapin keperluan sekolahmu saja. Shuh!" usir Andhika ketus. "Saya bisa masak kok." Andini kekeh karena merasa tak enak harus merepotkan Andhika. "Iya, tapi rasanya bukan seleraku! Pergi sana sebelum aku teriakin kamu!" Melihat wajah garang dan asam Andhika, Andini pun menyingkir. Ia tak menyangka laki-laki itu mau repot masak untuknya juga. Ia jadi merasa tidak enak. Andini pun kembali ke kamar tempatnya tidur semalam. Karena tak ada lagi yang harus dilakukan, ia memilih menyiapkan keperluan sekolahnya, berganti seragam agar begitu Andhika memanggilnya untuk sarapan, ia sudah siap. Setelahnya ia belajar sebentar. Sekitar setengah jam kemudian ada pesan masuk. ✉️ Elke Pagi, An. Sudah bangun, kan? Aku kaget waktu dikasih tahu kamu sudah dijemput Kak Dhika. Tapi kalau dia masih waras, memang seharusnya begitu. Nggak apa. Kalau dia macam-macam, bilang saja ke aku, ya? Sampai jumpa di sekolah. Kamu sekolah, kan? Andini tersenyum atas perhatian Elke. Ia bersyukur bertemu Elke dan berharap semoga temannya itu memang betul-betul tulus, sebab jika tidak, ia tak tahu lagi harus percaya kepada siapa. ✉️ Andini Pagi, Elke. Ya, aku sudah bangun. Maaf, ya, aku pergi nggak sempat pamit sama kamu karena sudah malam sekali. Kami kembali ke apartemen dulu, kata Mas Dhika. Aku masih belum tahu kapan kami balik ke rumahnya dan sekarang justru Mas Dhika yang lagi bikin sarapan. Aku jadi nggak enak. Sekali lagi maaf sudah ngerepotin dan terima kasih atas bantuannya 🙏 Tak ada balasan dari Elke, mungkin karena sudah bersiap untuk ke sekolah. Beberapa lama kemudian, Andhika memanggil Andini untuk sarapan dan ketika ia keluar, tampaknya laki-laki itu sudah rapi dan siap kerja juga. "Buruan makan!" perintah Andhika. Berbeda dengan di rumah, Andhika menyajikannya langsung di piring masing-masing yang terdiri dari nasi putih, telur ceplok, sosis goreng dan sayur tumis yang menurut Andini tidak biasa. Ia hanya mengenali brokoli, wortel dan timun. Meskipun penasaran ia tidak berani bertanya. Ketika akhirnya selesai dan ia menawarkan diri untuk mencuci peralatan makan mereka, Andhika lagi-lagi melarangnya dan mengatakan ada mesin pencuci piring. Namun, kali ini ia tetap berada di dapur dan memperhatikan bagaimana cara menggunakannya. *** Karena jarak sekolah dan apartemen lebih dekat, Andini yang diantar langsung oleh Andhika tiba lebih cepat. "Nanti tunggu aku jemput. Kalau aku nggak bisa, tunggu Pak Ir. Kalau Pak Ir nggak bisa, kamu ke kantorku naik taksi. Jangan pulang sama orang lain lagi, paham?!" kata Andhika setelah mobilnya berhenti di depan sekolah Andini. Andini mengangguk. "Paham, Mas." Andhika mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan diserahkan kepada Andini. "Ini buat naik taksi. Kalau ada apa-apa, hubungi aku, paham?!" Andini mengangguk lagi. "Paham, Mas." "Sudah, sana!" Begitu Andini keluar dari mobilnya, Andhika segera meninggalkannya. Sementara itu, Andini masih terpaku di tempat karena teringat amplop berisi uang yang diberikan oleh Scarlett. Ia bermaksud mengembalikannya melalui Andhika atas saran Elke, tapi ia lupa. "Hei, bengong aja!" tegur seseorang dari belakang Andini yang ketika berbalik rupanya Rishi. Andini tersenyum sambil buru-buru menyimpan uang dari Andhika. "Hai, Kak." "Diantar Bang Dhika?" tanya Rishi. Andini mengangguk lalu bergerak memasuki pelataran sekolah diikuti oleh Rishi. "Kenal Mas Dhika juga?" tanyanya kemudian menyadari bahwa itu pertanyaan bodoh. Ganti Rishi yang mengangguk. "Nggak akrab banget sih, lebih tepatnya karena dekat dengan sepupuku." "Ah, iya. Mbak Scarlett." "Iya, Scarlett. Kamu kok bisa kenal Bang Dhika?" "Uhm, saya..." Andini bingung bagaimana mengatakannya dengan sopan. Bukan karena malu, tapi dengan Andhika yang masih menolak keberadaannya dan menganggapnya seperti benalu, ia tak yakin bagaimana memposisikan diri di tengah keluarga Wisesa. "Maminya Mas Dhika ibu asuh saya." "Oh, gitu. Kukira saudaranya." Rishi manggut-manggut. Ketika berada di koridor, tiba-tiba ada seseorang menyeruak di antara mereka. "Lo ngapain sih, Em?" tegur Rishi dengan kening berkerut. "Jalan kan masih lebar." Emilia tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. "Gue mau ngomong sama lo," katanya manis sambil menarik Rishi pergi. Ia sempat menoleh sebentar dengan tatapan peringatan pada Andini. Melihat itu, Andini menghela napas panjang lalu melanjutkan langkahnya sendirian ke kelas. Sesampainya, belum terlalu banyak siswa yang datang bahkan Elke sekalipun. Akhirnya ia putuskan untuk membaca buku mata pelajaran pertama seraya menunggu bel masuk. "Wah, rajin juga." Terdengar komentar Elke. Andini mendongak dan tersenyum. Ia melihat jam dinding di kelasnya, rupanya ia sudah membaca sekitar sepuluh menit. Lumayan. "Pagi, Elke." "Jadi gimana? Kak Dhika masakin kamu?" tanyanya penasaran sambil duduk di bangkunya dan menyimpan tasnya. Andini menutup bukunya dan duduk menghadap Elke. "Iya. Aku masakin nggak mau." Elke tersenyum. "Nggak apa-apa, terima saja. Pada dasarnya dia memang baik kok," ia menghela napas dalam seolah menyesali sesuatu, "kayaknya berubah jadi setan karena Scarlett aja. Terus, nanti kamu tinggal di mana?" "Belum tahu. Mas Dhika nggak kasih tahu." Elke manggut-manggut dan menepuk bahu Andini. "Kalau butuh apa-apa jangan takut untuk bilang ke aku, ya?" "Makasih, ya, aku nggak tahu harus apa kalau nggak ada kamu." Elke kembali tersenyum. "Kita kan teman." Andini balas tersenyum meski canggung. "Makasih." Sejujurnya dalam hati, bukannya Andini tidak mempercayai Elke, ia hanya tidak mempercayai dirinya sendiri si orang miskin yang tiba-tiba bisa dianggap teman oleh anak orang kaya. "Oh, tolong titip salam ke Tante Marvi, maaf merepotkan," ucap Andini. Elke mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Mama justru nyuruh aku untuk ajakin kamu main ke rumah lagi." "Makasih. Oh ya, aku semalam lupa kasih amplopnya ke Mas Dhika." Wajah santai Elke berubah serius. "Pokoknya harus kamu kasih ke Kak Dhika, jangan ke Scarlett. Biar ada bukti. Percaya sama aku." Andini mengangguk. "Padahal cantik begitu. Dia kan artis..." Elke seketika mendengkus. Tak lama Emilia masuk ke dalam kelas dan langsung menuju meja Andini. Satu tangan ditumpukan pada permukaan meja. "Eh, gue kasih tahu lo, ya, anak baru. Jangan coba-coba godain Rishi. Menjauh dari Rishi." "Maaf, aku nggak pernah godain Kak Rishi," sahut Andini jujur. Emilia mendekatkan mulutnya di telinga Andini. "Lo tahu kan sebenarnya nggak cocok di sekolah ini. Kalau nggak jadi sugar baby, nggak mungkin lo bisa tiba-tiba naik kelas.""Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Andini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya. Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk. Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada. "Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya. Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya. Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah. "Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman le
Andini susah payah membawa belanjaannya sendiri tanpa bantuan Andhika sama sekali. Kali ini hanya berdua, perempuan yang menemani mereka sudah pergi lebih dulu dan Andhika tak langsung mengajaknya pulang. Andhika ada janji dengan teman-temannya di salah satu restoran yang ada di mall tersebut. Karena ia tidak mengatakan Andini harus duduk di mana, akhirnya gadis itu duduk di meja sebelahnya. "Asisten lo ?" tanya teman Andhika yang seorang laki-laki yang penampilannya menarik bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan Andhika yang jauh lebih sederhana. Andhika hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Untungnya ia masih memiliki hati dengan memesankan Andini minuman. Ia sendiri sedang tidak melakukan pertemuan bisnis dengan temannya, hanya temu kangen sebab temannya itu baru datang ke Indonesia. Andini tidak tahu jam berapa dan tidak ada kesempatan untuk melihat jam sama sekali. Ketika akhirnya ia melihatnya di ponsel, ia terkejut bahwa waktu ashar sudah lama berlalu. Ia mengg
Andhika saat ini sudah berada di rumah setelah Scarlett menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Begitu ia datang, Scarlett berteriak tak karuan bagai orang kesurupan sambil menuduhnya selingkuh. Dengan sabar ia terus membujuknya untuk tenang dan mengajak semuanya ke ruang keluarga."Bisa-bisanya kamu nggak cerita sama aku hal sepenting ini!" seru Scarlett dengan air mata berderai. "Kamu tahu, aku sengaja nggak kasih tahu bahwa aku pulang hari ini mau kasih kejutan, eh nggak tahunya malah aku yang dapat kejutan!""Maaf. Aku berencana kasih tahu saat kamu sudah pulang biar nggak ganggu proses syuting kamu," balas Andhika lembut."Bohong! Kamu sengaja, kan, memang?" Lagi-lagi Scarlett tidak mau percaya dan menatap Andini penuh kebencian seolah berhadapan dengan saingan.Andini sendiri yang tubuhnya gemetar hebat dan ketakutan akibat teriakan dan tatapan penuh kebencian Scarlett, tengah duduk sambil dirangkul erat oleh Tati."Andini cuma anak asuh mami. Dua di sini karena sekolah barunya