Share

7. Kegaduhan Belum Berakhir.

Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen.

"Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.

Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal.

Esoknya, Andini terbangun oleh suara alarm subuh dari ponselnya. Ia pun keluar untuk mengambil wudu di kamar mandi luar sebab kamarnya tidak ada kamar mandi. Dan begitu membuka pintu, betapa terkejutnya ia mendapati Andhika ternyata sudah bangun bahkan tengah serius menghadap laptop di ruang makan ditemani secangkir minuman entah kopi atau teh.

Entah Andhika yang terlalu fokus atau memang tidak peduli dengan kehadiran Andini itu tak bergerak sedikitpun untuk menyapanya. Andini pun akhirnya berlalu ke kamar mandi sekalian mandi. Dan sebelum melepaskan pakaiannya, ia memastikan dulu bagaimana menggunakan apa yang ada di sana.

Usai mandi, Andini yang hendak kembali ke kamarnya masih melihat Andhika dengan kesibukannya. Namun, begitu selesai salat dan keluar dari kamar berniat untuk membuat sarapan meskipun harus bertanya kepada Andhika cara menggunakan dapurnya, ia terkejut karena laki-laki itu justru sedang berada di dapur. Depan kompor tepatnya.

"Mas Dhika ngapain?" Buru-buru Andini mendekatinya. "Saya saja yang masak, Mas."

"Nggak usah! Kamu duduk saja sana atau siapin keperluan sekolahmu saja. Shuh!" usir Andhika ketus.

"Saya bisa masak kok." Andini kekeh karena merasa tak enak harus merepotkan Andhika.

"Iya, tapi rasanya bukan seleraku! Pergi sana sebelum aku teriakin kamu!"

Melihat wajah garang dan asam Andhika, Andini pun menyingkir. Ia tak menyangka laki-laki itu mau repot masak untuknya juga. Ia jadi merasa tidak enak.

Andini pun kembali ke kamar tempatnya tidur semalam. Karena tak ada lagi yang harus dilakukan, ia memilih menyiapkan keperluan sekolahnya, berganti seragam agar begitu Andhika memanggilnya untuk sarapan, ia sudah siap. Setelahnya ia belajar sebentar.

Sekitar setengah jam kemudian ada pesan masuk.

✉️ Elke

Pagi, An. Sudah bangun, kan?

Aku kaget waktu dikasih tahu kamu sudah dijemput Kak Dhika.

Tapi kalau dia masih waras, memang seharusnya begitu.

Nggak apa. Kalau dia macam-macam, bilang saja ke aku, ya?

Sampai jumpa di sekolah.

Kamu sekolah, kan?

Andini tersenyum atas perhatian Elke. Ia bersyukur bertemu Elke dan berharap semoga temannya itu memang betul-betul tulus, sebab jika tidak, ia tak tahu lagi harus percaya kepada siapa.

✉️ Andini

Pagi, Elke.

Ya, aku sudah bangun.

Maaf, ya, aku pergi nggak sempat pamit sama kamu karena sudah malam sekali. Kami kembali ke apartemen dulu, kata Mas Dhika.

Aku masih belum tahu kapan kami balik ke rumahnya dan sekarang justru Mas Dhika yang lagi bikin sarapan. Aku jadi nggak enak.

Sekali lagi maaf sudah ngerepotin dan terima kasih atas bantuannya 🙏

Tak ada balasan dari Elke, mungkin karena sudah bersiap untuk ke sekolah.

Beberapa lama kemudian, Andhika memanggil Andini untuk sarapan dan ketika ia keluar, tampaknya laki-laki itu sudah rapi dan siap kerja juga.

"Buruan makan!" perintah Andhika.

Berbeda dengan di rumah, Andhika menyajikannya langsung di piring masing-masing yang terdiri dari nasi putih, telur ceplok, sosis goreng dan sayur tumis yang menurut Andini tidak biasa. Ia hanya mengenali brokoli, wortel dan timun. Meskipun penasaran ia tidak berani bertanya.

Ketika akhirnya selesai dan ia menawarkan diri untuk mencuci peralatan makan mereka, Andhika lagi-lagi melarangnya dan mengatakan ada mesin pencuci piring. Namun, kali ini ia tetap berada di dapur dan memperhatikan bagaimana cara menggunakannya.

***

Karena jarak sekolah dan apartemen lebih dekat, Andini yang diantar langsung oleh Andhika tiba lebih cepat.

"Nanti tunggu aku jemput. Kalau aku nggak bisa, tunggu Pak Ir. Kalau Pak Ir nggak bisa, kamu ke kantorku naik taksi. Jangan pulang sama orang lain lagi, paham?!" kata Andhika setelah mobilnya berhenti di depan sekolah Andini.

Andini mengangguk. "Paham, Mas."

Andhika mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan diserahkan kepada Andini. "Ini buat naik taksi. Kalau ada apa-apa, hubungi aku, paham?!"

Andini mengangguk lagi. "Paham, Mas."

"Sudah, sana!" Begitu Andini keluar dari mobilnya, Andhika segera meninggalkannya.

Sementara itu, Andini masih terpaku di tempat karena teringat amplop berisi uang yang diberikan oleh Scarlett. Ia bermaksud mengembalikannya melalui Andhika atas saran Elke, tapi ia lupa.

"Hei, bengong aja!" tegur seseorang dari belakang Andini yang ketika berbalik rupanya Rishi.

Andini tersenyum sambil buru-buru menyimpan uang dari Andhika. "Hai, Kak."

"Diantar Bang Dhika?" tanya Rishi.

Andini mengangguk lalu bergerak memasuki pelataran sekolah diikuti oleh Rishi. "Kenal Mas Dhika juga?" tanyanya kemudian menyadari bahwa itu pertanyaan bodoh.

Ganti Rishi yang mengangguk. "Nggak akrab banget sih, lebih tepatnya karena dekat dengan sepupuku."

"Ah, iya. Mbak Scarlett."

"Iya, Scarlett. Kamu kok bisa kenal Bang Dhika?"

"Uhm, saya..." Andini bingung bagaimana mengatakannya dengan sopan. Bukan karena malu, tapi dengan Andhika yang masih menolak keberadaannya dan menganggapnya seperti benalu, ia tak yakin bagaimana memposisikan diri di tengah keluarga Wisesa. "Maminya Mas Dhika ibu asuh saya."

"Oh, gitu. Kukira saudaranya." Rishi manggut-manggut.

Ketika berada di koridor, tiba-tiba ada seseorang menyeruak di antara mereka.

"Lo ngapain sih, Em?" tegur Rishi dengan kening berkerut. "Jalan kan masih lebar."

Emilia tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. "Gue mau ngomong sama lo," katanya manis sambil menarik Rishi pergi. Ia sempat menoleh sebentar dengan tatapan peringatan pada Andini.

Melihat itu, Andini menghela napas panjang lalu melanjutkan langkahnya sendirian ke kelas. Sesampainya, belum terlalu banyak siswa yang datang bahkan Elke sekalipun. Akhirnya ia putuskan untuk membaca buku mata pelajaran pertama seraya menunggu bel masuk.

"Wah, rajin juga." Terdengar komentar Elke.

Andini mendongak dan tersenyum. Ia melihat jam dinding di kelasnya, rupanya ia sudah membaca sekitar sepuluh menit. Lumayan. "Pagi, Elke."

"Jadi gimana? Kak Dhika masakin kamu?" tanyanya penasaran sambil duduk di bangkunya dan menyimpan tasnya.

Andini menutup bukunya dan duduk menghadap Elke. "Iya. Aku masakin nggak mau."

Elke tersenyum. "Nggak apa-apa, terima saja. Pada dasarnya dia memang baik kok," ia menghela napas dalam seolah menyesali sesuatu, "kayaknya berubah jadi setan karena Scarlett aja. Terus, nanti kamu tinggal di mana?"

"Belum tahu. Mas Dhika nggak kasih tahu."

Elke manggut-manggut dan menepuk bahu Andini. "Kalau butuh apa-apa jangan takut untuk bilang ke aku, ya?"

"Makasih, ya, aku nggak tahu harus apa kalau nggak ada kamu."

Elke kembali tersenyum. "Kita kan teman."

Andini balas tersenyum meski canggung. "Makasih."

Sejujurnya dalam hati, bukannya Andini tidak mempercayai Elke, ia hanya tidak mempercayai dirinya sendiri si orang miskin yang tiba-tiba bisa dianggap teman oleh anak orang kaya.

"Oh, tolong titip salam ke Tante Marvi, maaf merepotkan," ucap Andini.

Elke mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Mama justru nyuruh aku untuk ajakin kamu main ke rumah lagi."

"Makasih. Oh ya, aku semalam lupa kasih amplopnya ke Mas Dhika."

Wajah santai Elke berubah serius. "Pokoknya harus kamu kasih ke Kak Dhika, jangan ke Scarlett. Biar ada bukti. Percaya sama aku."

Andini mengangguk. "Padahal cantik begitu. Dia kan artis..."

Elke seketika mendengkus.

Tak lama Emilia masuk ke dalam kelas dan langsung menuju meja Andini. Satu tangan ditumpukan pada permukaan meja. "Eh, gue kasih tahu lo, ya, anak baru. Jangan coba-coba godain Rishi. Menjauh dari Rishi."

"Maaf, aku nggak pernah godain Kak Rishi," sahut Andini jujur.

Emilia mendekatkan mulutnya di telinga Andini. "Lo tahu kan sebenarnya nggak cocok di sekolah ini. Kalau nggak jadi sugar baby, nggak mungkin lo bisa tiba-tiba naik kelas."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status