"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya.
Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bingung. Tak terasa air matanya kembali mengalir dan ia terisak hingga harus berjongkok karena terlalu sesak bebannya. Kemudian ketika ia ingat sedang ditunggu, bangkit dan segera menyelesaikan mandinya. Usai mandi, ia berganti dengan baju yang dirasa cukup layak untuk berada di rumah mewah Elke apalagi jika tiba-tiba ternyata orang tua temannya itu sudah pulang, ia tidak ingin terlihat tidak pantas. Dan benar saja ketika Andini turun lalu menemui Elke di ruangan tempat temannya itu menunggu, ada seorang wanita anggun yang lebih muda dari Aruna memakai setelan blus dan celana bahan. Keduanya bangkit begitu melihat Andini. "Ma, ini Andini yang aku ceritakan itu dan An, ini mamaku Marvin." Elke mengenalkan keduanya. Andini tersenyum canggung seraya mendekati Marvi yang tersenyum hangat padanya, lalu ia mencium punggung tangan wanita itu. "Selamat malam, Tante, saya Andini." Masih dengan senyuman hangat dan belum melepaskan tangannya dari tangan Andini, Marvi mengangguk. "Ya, Elke cerita kalau di kelasnya ada temen baru. Kita ngobrolnya nanti saja. Ayok, langsung makan saja dulu," ajaknya. Andini membalas dengan senyuman tipis. Masih dalam gandengan tangan Marvi, ia berjalan mengikuti nyonya dan nona rumah ke ruang makan. "Ayo, Andini makan yang banyak. Nggak usah sungkan, ya?" kata Marvi setelah mereka bertiga duduk. "Hanya kita saja, papanya Elke masih ada kerjaan." Andini mengangguk perlahan. "Iya, Tante, makasih." Meski begitu ia tetap tidak bisa mengambil banyak dan lebih menyesuaikan apa yang dimakan pemilik rumah. Untungnya tidak ada makanan yang menurutnya aneh. Rupanya, suasana makan di rumah Elke seperti di rumah Aruna yang diselingi dengan obrolan apa saja khususnya kegiatan mereka di hari itu. "Andini asalnya dari mana?" tanya Marvi ramah. "Surabaya, Tante," jawab Andini. Marvi manggut-manggut. "Elke tadi sudah cerita semua, untuk sementara memang bagusnya kamu tinggal di sini dulu sampai Andhika jemput kamu." "M-mas Andhika?" Andini terkesiap saat tanpa sengaja mengulang ucapan Marvi. Marvi mengangguk penuh keyakinan, bahkan sampai mengulurkan tangannya dan mengusap lembut tangan Andini yang ada di samping kirinya. "Andhika itu baik kok, cuma dia sedang buta saja dengan Scarlett. Tante Yakin dia pasti akan marah mengetahui kamu diusir dari rumahnya. Selain itu, Kak Aruna sudah menitipkan kamu di sana, bisa-bisa murka dia. Scarlett terlalu kurang ajar dan percaya diri sampai berani mengusir kamu." Andini tak menyangka ternyata orang tua Elke mengenal keluarga Andhika. Mungkin rekan bisnis? Saat di mobil dari apartemen menuju rumah Elke, ia memang baru memberitahu di mana sebenarnya ia tinggal setelah temannya itu bertanya lagi. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjaga nama baik Andhika. Selesai makan, mereka masih lanjut ngobrol sebentar sampai Marvi pamit meninggalkan kedua gadis sendirian. Dan sebelum pergi, mama Elke tersebut mengatakan agar Andini jangan sungkan jika butuh bantuannya. "Kan, aku bilang apa? Mamaku tahu kalau Scarlett itu siluman rubah. Licik. Gimmick saja tuh dia di depan kamera. Mukanya memang cantik kalem bak malaikat, tapi faktanya dia itu iblis!" seru Elke tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. Saat ini keduanya sudah berada di kamar tamu tempat Andini beristirahat. Elke menggenggam kedua tangan Andini. "Andini, kamu bebas tinggal di sini. Aku malah suka karena ada temannya. Mama dan papaku juga nggak keberatan, tapi bagaimanapun kamu bisa dibilang anaknya Tante Aruna, jadi kami nggak bisa serta merta memintamu di sini saja. Maaf, ya, Kak Andhika harus tahu kondisimu jadi Mama memberitahu dia. Sengaja memang nggak kasih tahu Tante Aruna karena beliau pasti marah besar melihatmu disia-siakan. Tapi, seandainya Kak Dhika sudah betul-betul dibutakan oleh Scarlett dan nggak peduli dengan kamu, tangan kami terbuka lebar untukmu. Ya?" Lalu ia mengakhirinya dengan pelukan hangat. Andini hanya bisa mengangguk karena hatinya gamang jika harus berhadapan dengan Andhika lagi. *** Di sudut kota yang lain, tepat ketika Andhika hendak membuka pintu kantornya, ada panggilan masuk dan betapa terkejutnya melihat nama yang tertera. Biasanya ia lebih sering berhubungan dengan suami atau putra sulungnya saja. "Malam, Tante Marvi. Apa kabar?" sapa Andhika riang. "Tumben ini, ada yang bisa saya bantu?" Ya, yang menghubungi Andhika adalah Marvi Rahadi, mama Elke. "Malam, Dhika. Kabar Tante baik. Kamu di mana?" tanya Marvi lembut. "Masih di kantor. Baru mau pulang. Kenapa, ya, Tan?" Mereka memang akrab tapi tidak sampai terasa seperti saudara sendiri. Masih ada jarak. Oleh karena itu Andhika merasa ada sesuatu yang penting ingin disampaikan oleh Marvi. "Kamu tahu Tante paling nggak suka basa-basi busuk, kan, Dhika?" "Ya?" "Andini sekarang ada di rumah Tante." "An... Andini di mana? Maaf? Kok Tante kenal Andini?" Tanpa sadar suara Andhika meninggi. "Elke tadi menjemputnya di apartemen kamu dan akhirnya mengajaknya ke sini. Terus terang, nggak masalah Andini menginap bahkan tinggal di sini, hanya saja..." "Maaf, apartemen? Apartemen siapa? Kok bisa sampai di apartemen?" Andhika berusaha keras menahan geramannya mengingat bahwa ia sudah mengingatkan Andini untuk tidak keluyuran. Dan wajahnya memucat tatkala Marvi menceritakan apa yang terjadi pada gadis itu. "Baik, saya ke sana sekarang. Jemput besok? Tidak, saya rasa lebih baik sekarang saja. Maaf, sudah merepotkan." Setelah menutup dan menyimpan ponselnya, ia bergegas menuju lift meninggalkan sekretarisnya yang kebingungan dan berlari mengejarnya. Begitu sampai di tempat parkir, ia melempar tasnya begitu saja ke dalam mobil dan setelah masuk, ia segera menjalankan mobilnya ke kediaman keluarga Rahadi. Untuk pertama kalinya kemacetan Jakarta yang menjadi makanan sehari-hari membuat Andhika kesal bukan kepalang. Berkali-kali ia melirik arlojinya. "Scarlett ! Sudah kubilang biarkan saja Andini!" geram Andhika sambil mencengkram erat kemudinya. Kemudian setelah berjibaku beberapa lama dengan jalanan Jakarta, akhirnya Andhika sampai juga di rumah keluarga Rahadi. Berkat pemberitahuan dari pemilik rumah, mobilnya bisa langsung masuk. Bahkan Marvi sendiri yang menyambutnya. "Maafkan saya mengganggu Tante malam-malam begini," kata Andhika setelah menyapa dan mencium pipi kanan-kiri Marvi. Marvi yang sudah berganti dengan baju rumahan dan ditutup jubah tidur hanya mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Kalau nggak ingat mamimu, Tante biarkan saja Andini tinggal di sini," katanya sambil menatap wajah Andhika penuh arti. Andhika mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf sudah merepotkan. Saya kira sebaiknya saya langsung jemput Andini sekarang." "Oke. Kamu duduk dulu." Marvi menunjuk sofa di belakangnya sebab mereka memang masih berdiri. "Mbak Nur, tolong bangunkan Andini. Bilang Andhika menjemputnya." Nur yang mendengar perintah tersebut segera memanggil Andini. Sedangkan Marvi menyusul Andhika duduk di sofa. Sembari menunggu, ia mengajak Andhika mengobrol tentang hal lain dan itu lebih ke bisnis sebab ia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, kecuali jika memang perlu sekali untuk diselamatkan. Tak lama Andini datang bersama Nur dengan semua barang-barangnya. Tampak wajahnya diliputi kecemasan terutama saat bertemu muka dengan Andhika. Andhika sendiri langsung mengernyitkan keningnya melihat apa yang dipakai Andini termasuk tas bepergiannya. "Baju yang aku belikan mana? Sepatu? Dan kenapa bawa tas itu?" Andini saling meremas kedua tangannya sendiri dengan kepala tertunduk. Lalu menggeleng perlahan. "Cu-cuma itu yang dibawakan Mbak Scarlett." "Apa?!" pekik Andhika tak percaya. Ia hendak membuka mulutnya lagi tapi teringat mereka sedang berada di mana. "Ya sudah, kita bicarakan besok. Kita pamit sekarang." Ia pun menoleh kepada Marvi. "Tante, terima kasih atas bantuannya. Nanti saya ke sini lagi untuk main." Marvi berjalan mendekat dan menepuk lembut bahu Andhika. "Tentu." "Tante, terima kasih dan titip salam buat Elke," ucap Andini lalu mencium punggung tangan mama temannya itu. Marvi tersenyum dan membalasnya dengan pelukan hangat dan mencium kedua pipinya. "Besok juga ketemu, kan, di sekolah. Tapi, kapan-kapan harus main lagi ke sini. Dhika, tolong antar dia ke sini, ya?" Andhika mengangguk. "Tentu." Kemudian Andhika dan Andini pun pamit dengan diantarkan keluar bahkan sampai mobil oleh Marvi juga Nur yang membantu membawakan barang-barang Andini. Selanjutnya, mobil yang dikemudikan oleh Andhika meninggalkan kediaman Rahadi. Selama perjalanan tak ada satupun yang bicara, bahkan suara musik pun tidak. Andini jelas terlalu takut untuk buka suara dan Andhika terlalu marah untuk bersuara hingga... "Kita nggak pulang?" tanya Andini panik begitu mobil Andhika memasuki wilayah yang familiar baginya.Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Andini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya. Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk. Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada. "Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya. Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya. Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah. "Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman le
Andini susah payah membawa belanjaannya sendiri tanpa bantuan Andhika sama sekali. Kali ini hanya berdua, perempuan yang menemani mereka sudah pergi lebih dulu dan Andhika tak langsung mengajaknya pulang. Andhika ada janji dengan teman-temannya di salah satu restoran yang ada di mall tersebut. Karena ia tidak mengatakan Andini harus duduk di mana, akhirnya gadis itu duduk di meja sebelahnya. "Asisten lo ?" tanya teman Andhika yang seorang laki-laki yang penampilannya menarik bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan Andhika yang jauh lebih sederhana. Andhika hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Untungnya ia masih memiliki hati dengan memesankan Andini minuman. Ia sendiri sedang tidak melakukan pertemuan bisnis dengan temannya, hanya temu kangen sebab temannya itu baru datang ke Indonesia. Andini tidak tahu jam berapa dan tidak ada kesempatan untuk melihat jam sama sekali. Ketika akhirnya ia melihatnya di ponsel, ia terkejut bahwa waktu ashar sudah lama berlalu. Ia mengg