Share

6. Andhika Harus Tahu.

"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya.

Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya.

"Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar.

Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya.

Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bingung.

Tak terasa air matanya kembali mengalir dan ia terisak hingga harus berjongkok karena terlalu sesak bebannya. Kemudian ketika ia ingat sedang ditunggu, bangkit dan segera menyelesaikan mandinya.

Usai mandi, ia berganti dengan baju yang dirasa cukup layak untuk berada di rumah mewah Elke apalagi jika tiba-tiba ternyata orang tua temannya itu sudah pulang, ia tidak ingin terlihat tidak pantas.

Dan benar saja ketika Andini turun lalu menemui Elke di ruangan tempat temannya itu menunggu, ada seorang wanita anggun yang lebih muda dari Aruna memakai setelan blus dan celana bahan.

Keduanya bangkit begitu melihat Andini.

"Ma, ini Andini yang aku ceritakan itu dan An, ini mamaku Marvin." Elke mengenalkan keduanya.

Andini tersenyum canggung seraya mendekati Marvi yang tersenyum hangat padanya, lalu ia mencium punggung tangan wanita itu. "Selamat malam, Tante, saya Andini."

Masih dengan senyuman hangat dan belum melepaskan tangannya dari tangan Andini, Marvi mengangguk. "Ya, Elke cerita kalau di kelasnya ada temen baru. Kita ngobrolnya nanti saja. Ayok, langsung makan saja dulu," ajaknya.

Andini membalas dengan senyuman tipis. Masih dalam gandengan tangan Marvi, ia berjalan mengikuti nyonya dan nona rumah ke ruang makan.

"Ayo, Andini makan yang banyak. Nggak usah sungkan, ya?" kata Marvi setelah mereka bertiga duduk. "Hanya kita saja, papanya Elke masih ada kerjaan."

Andini mengangguk perlahan. "Iya, Tante, makasih." Meski begitu ia tetap tidak bisa mengambil banyak dan lebih menyesuaikan apa yang dimakan pemilik rumah. Untungnya tidak ada makanan yang menurutnya aneh.

Rupanya, suasana makan di rumah Elke seperti di rumah Aruna yang diselingi dengan obrolan apa saja khususnya kegiatan mereka di hari itu.

"Andini asalnya dari mana?" tanya Marvi ramah.

"Surabaya, Tante," jawab Andini.

Marvi manggut-manggut. "Elke tadi sudah cerita semua, untuk sementara memang bagusnya kamu tinggal di sini dulu sampai Andhika jemput kamu."

"M-mas Andhika?" Andini terkesiap saat tanpa sengaja mengulang ucapan Marvi.

Marvi mengangguk penuh keyakinan, bahkan sampai mengulurkan tangannya dan mengusap lembut tangan Andini yang ada di samping kirinya. "Andhika itu baik kok, cuma dia sedang buta saja dengan Scarlett. Tante Yakin dia pasti akan marah mengetahui kamu diusir dari rumahnya. Selain itu, Kak Aruna sudah menitipkan kamu di sana, bisa-bisa murka dia. Scarlett terlalu kurang ajar dan percaya diri sampai berani mengusir kamu."

Andini tak menyangka ternyata orang tua Elke mengenal keluarga Andhika. Mungkin rekan bisnis? Saat di mobil dari apartemen menuju rumah Elke, ia memang baru memberitahu di mana sebenarnya ia tinggal setelah temannya itu bertanya lagi. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjaga nama baik Andhika.

Selesai makan, mereka masih lanjut ngobrol sebentar sampai Marvi pamit meninggalkan kedua gadis sendirian. Dan sebelum pergi, mama Elke tersebut mengatakan agar Andini jangan sungkan jika butuh bantuannya.

"Kan, aku bilang apa? Mamaku tahu kalau Scarlett itu siluman rubah. Licik. Gimmick saja tuh dia di depan kamera. Mukanya memang cantik kalem bak malaikat, tapi faktanya dia itu iblis!" seru Elke tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya.

Saat ini keduanya sudah berada di kamar tamu tempat Andini beristirahat.

Elke menggenggam kedua tangan Andini. "Andini, kamu bebas tinggal di sini. Aku malah suka karena ada temannya. Mama dan papaku juga nggak keberatan, tapi bagaimanapun kamu bisa dibilang anaknya Tante Aruna, jadi kami nggak bisa serta merta memintamu di sini saja. Maaf, ya, Kak Andhika harus tahu kondisimu jadi Mama memberitahu dia. Sengaja memang nggak kasih tahu Tante Aruna karena beliau pasti marah besar melihatmu disia-siakan. Tapi, seandainya Kak Dhika sudah betul-betul dibutakan oleh Scarlett dan nggak peduli dengan kamu, tangan kami terbuka lebar untukmu. Ya?" Lalu ia mengakhirinya dengan pelukan hangat.

Andini hanya bisa mengangguk karena hatinya gamang jika harus berhadapan dengan Andhika lagi.

***

Di sudut kota yang lain, tepat ketika Andhika hendak membuka pintu kantornya, ada panggilan masuk dan betapa terkejutnya melihat nama yang tertera. Biasanya ia lebih sering berhubungan dengan suami atau putra sulungnya saja.

"Malam, Tante Marvi. Apa kabar?" sapa Andhika riang. "Tumben ini, ada yang bisa saya bantu?"

Ya, yang menghubungi Andhika adalah Marvi Rahadi, mama Elke.

"Malam, Dhika. Kabar Tante baik. Kamu di mana?" tanya Marvi lembut.

"Masih di kantor. Baru mau pulang. Kenapa, ya, Tan?" Mereka memang akrab tapi tidak sampai terasa seperti saudara sendiri. Masih ada jarak. Oleh karena itu Andhika merasa ada sesuatu yang penting ingin disampaikan oleh Marvi.

"Kamu tahu Tante paling nggak suka basa-basi busuk, kan, Dhika?"

"Ya?"

"Andini sekarang ada di rumah Tante."

"An... Andini di mana? Maaf? Kok Tante kenal Andini?" Tanpa sadar suara Andhika meninggi.

"Elke tadi menjemputnya di apartemen kamu dan akhirnya mengajaknya ke sini. Terus terang, nggak masalah Andini menginap bahkan tinggal di sini, hanya saja..."

"Maaf, apartemen? Apartemen siapa? Kok bisa sampai di apartemen?" Andhika berusaha keras menahan geramannya mengingat bahwa ia sudah mengingatkan Andini untuk tidak keluyuran. Dan wajahnya memucat tatkala Marvi menceritakan apa yang terjadi pada gadis itu. "Baik, saya ke sana sekarang. Jemput besok? Tidak, saya rasa lebih baik sekarang saja. Maaf, sudah merepotkan." Setelah menutup dan menyimpan ponselnya, ia bergegas menuju lift meninggalkan sekretarisnya yang kebingungan dan berlari mengejarnya.

Begitu sampai di tempat parkir, ia melempar tasnya begitu saja ke dalam mobil dan setelah masuk, ia segera menjalankan mobilnya ke kediaman keluarga Rahadi.

Untuk pertama kalinya kemacetan Jakarta yang menjadi makanan sehari-hari membuat Andhika kesal bukan kepalang. Berkali-kali ia melirik arlojinya.

"Scarlett ! Sudah kubilang biarkan saja Andini!" geram Andhika sambil mencengkram erat kemudinya.

Kemudian setelah berjibaku beberapa lama dengan jalanan Jakarta, akhirnya Andhika sampai juga di rumah keluarga Rahadi. Berkat pemberitahuan dari pemilik rumah, mobilnya bisa langsung masuk. Bahkan Marvi sendiri yang menyambutnya.

"Maafkan saya mengganggu Tante malam-malam begini," kata Andhika setelah menyapa dan mencium pipi kanan-kiri Marvi.

Marvi yang sudah berganti dengan baju rumahan dan ditutup jubah tidur hanya mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Kalau nggak ingat mamimu, Tante biarkan saja Andini tinggal di sini," katanya sambil menatap wajah Andhika penuh arti.

Andhika mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf sudah merepotkan. Saya kira sebaiknya saya langsung jemput Andini sekarang."

"Oke. Kamu duduk dulu." Marvi menunjuk sofa di belakangnya sebab mereka memang masih berdiri. "Mbak Nur, tolong bangunkan Andini. Bilang Andhika menjemputnya."

Nur yang mendengar perintah tersebut segera memanggil Andini. Sedangkan Marvi menyusul Andhika duduk di sofa. Sembari menunggu, ia mengajak Andhika mengobrol tentang hal lain dan itu lebih ke bisnis sebab ia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, kecuali jika memang perlu sekali untuk diselamatkan.

Tak lama Andini datang bersama Nur dengan semua barang-barangnya. Tampak wajahnya diliputi kecemasan terutama saat bertemu muka dengan Andhika.

Andhika sendiri langsung mengernyitkan keningnya melihat apa yang dipakai Andini termasuk tas bepergiannya. "Baju yang aku belikan mana? Sepatu? Dan kenapa bawa tas itu?"

Andini saling meremas kedua tangannya sendiri dengan kepala tertunduk. Lalu menggeleng perlahan. "Cu-cuma itu yang dibawakan Mbak Scarlett."

"Apa?!" pekik Andhika tak percaya. Ia hendak membuka mulutnya lagi tapi teringat mereka sedang berada di mana. "Ya sudah, kita bicarakan besok. Kita pamit sekarang." Ia pun menoleh kepada Marvi. "Tante, terima kasih atas bantuannya. Nanti saya ke sini lagi untuk main."

Marvi berjalan mendekat dan menepuk lembut bahu Andhika. "Tentu."

"Tante, terima kasih dan titip salam buat Elke," ucap Andini lalu mencium punggung tangan mama temannya itu.

Marvi tersenyum dan membalasnya dengan pelukan hangat dan mencium kedua pipinya. "Besok juga ketemu, kan, di sekolah. Tapi, kapan-kapan harus main lagi ke sini. Dhika, tolong antar dia ke sini, ya?"

Andhika mengangguk. "Tentu."

Kemudian Andhika dan Andini pun pamit dengan diantarkan keluar bahkan sampai mobil oleh Marvi juga Nur yang membantu membawakan barang-barang Andini. Selanjutnya, mobil yang dikemudikan oleh Andhika meninggalkan kediaman Rahadi.

Selama perjalanan tak ada satupun yang bicara, bahkan suara musik pun tidak. Andini jelas terlalu takut untuk buka suara dan Andhika terlalu marah untuk bersuara hingga...

"Kita nggak pulang?" tanya Andini panik begitu mobil Andhika memasuki wilayah yang familiar baginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status