"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya.
Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bingung. Tak terasa air matanya kembali mengalir dan ia terisak hingga harus berjongkok karena terlalu sesak bebannya. Kemudian ketika ia ingat sedang ditunggu, bangkit dan segera menyelesaikan mandinya. Usai mandi, ia berganti dengan baju yang dirasa cukup layak untuk berada di rumah mewah Elke apalagi jika tiba-tiba ternyata orang tua temannya itu sudah pulang, ia tidak ingin terlihat tidak pantas. Dan benar saja ketika Andini turun lalu menemui Elke di ruangan tempat temannya itu menunggu, ada seorang wanita anggun yang lebih muda dari Aruna memakai setelan blus dan celana bahan. Keduanya bangkit begitu melihat Andini. "Ma, ini Andini yang aku ceritakan itu dan An, ini mamaku Marvin." Elke mengenalkan keduanya. Andini tersenyum canggung seraya mendekati Marvi yang tersenyum hangat padanya, lalu ia mencium punggung tangan wanita itu. "Selamat malam, Tante, saya Andini." Masih dengan senyuman hangat dan belum melepaskan tangannya dari tangan Andini, Marvi mengangguk. "Ya, Elke cerita kalau di kelasnya ada temen baru. Kita ngobrolnya nanti saja. Ayok, langsung makan saja dulu," ajaknya. Andini membalas dengan senyuman tipis. Masih dalam gandengan tangan Marvi, ia berjalan mengikuti nyonya dan nona rumah ke ruang makan. "Ayo, Andini makan yang banyak. Nggak usah sungkan, ya?" kata Marvi setelah mereka bertiga duduk. "Hanya kita saja, papanya Elke masih ada kerjaan." Andini mengangguk perlahan. "Iya, Tante, makasih." Meski begitu ia tetap tidak bisa mengambil banyak dan lebih menyesuaikan apa yang dimakan pemilik rumah. Untungnya tidak ada makanan yang menurutnya aneh. Rupanya, suasana makan di rumah Elke seperti di rumah Aruna yang diselingi dengan obrolan apa saja khususnya kegiatan mereka di hari itu. "Andini asalnya dari mana?" tanya Marvi ramah. "Surabaya, Tante," jawab Andini. Marvi manggut-manggut. "Elke tadi sudah cerita semua, untuk sementara memang bagusnya kamu tinggal di sini dulu sampai Andhika jemput kamu." "M-mas Andhika?" Andini terkesiap saat tanpa sengaja mengulang ucapan Marvi. Marvi mengangguk penuh keyakinan, bahkan sampai mengulurkan tangannya dan mengusap lembut tangan Andini yang ada di samping kirinya. "Andhika itu baik kok, cuma dia sedang buta saja dengan Scarlett. Tante Yakin dia pasti akan marah mengetahui kamu diusir dari rumahnya. Selain itu, Kak Aruna sudah menitipkan kamu di sana, bisa-bisa murka dia. Scarlett terlalu kurang ajar dan percaya diri sampai berani mengusir kamu." Andini tak menyangka ternyata orang tua Elke mengenal keluarga Andhika. Mungkin rekan bisnis? Saat di mobil dari apartemen menuju rumah Elke, ia memang baru memberitahu di mana sebenarnya ia tinggal setelah temannya itu bertanya lagi. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjaga nama baik Andhika. Selesai makan, mereka masih lanjut ngobrol sebentar sampai Marvi pamit meninggalkan kedua gadis sendirian. Dan sebelum pergi, mama Elke tersebut mengatakan agar Andini jangan sungkan jika butuh bantuannya. "Kan, aku bilang apa? Mamaku tahu kalau Scarlett itu siluman rubah. Licik. Gimmick saja tuh dia di depan kamera. Mukanya memang cantik kalem bak malaikat, tapi faktanya dia itu iblis!" seru Elke tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. Saat ini keduanya sudah berada di kamar tamu tempat Andini beristirahat. Elke menggenggam kedua tangan Andini. "Andini, kamu bebas tinggal di sini. Aku malah suka karena ada temannya. Mama dan papaku juga nggak keberatan, tapi bagaimanapun kamu bisa dibilang anaknya Tante Aruna, jadi kami nggak bisa serta merta memintamu di sini saja. Maaf, ya, Kak Andhika harus tahu kondisimu jadi Mama memberitahu dia. Sengaja memang nggak kasih tahu Tante Aruna karena beliau pasti marah besar melihatmu disia-siakan. Tapi, seandainya Kak Dhika sudah betul-betul dibutakan oleh Scarlett dan nggak peduli dengan kamu, tangan kami terbuka lebar untukmu. Ya?" Lalu ia mengakhirinya dengan pelukan hangat. Andini hanya bisa mengangguk karena hatinya gamang jika harus berhadapan dengan Andhika lagi. *** Di sudut kota yang lain, tepat ketika Andhika hendak membuka pintu kantornya, ada panggilan masuk dan betapa terkejutnya melihat nama yang tertera. Biasanya ia lebih sering berhubungan dengan suami atau putra sulungnya saja. "Malam, Tante Marvi. Apa kabar?" sapa Andhika riang. "Tumben ini, ada yang bisa saya bantu?" Ya, yang menghubungi Andhika adalah Marvi Rahadi, mama Elke. "Malam, Dhika. Kabar Tante baik. Kamu di mana?" tanya Marvi lembut. "Masih di kantor. Baru mau pulang. Kenapa, ya, Tan?" Mereka memang akrab tapi tidak sampai terasa seperti saudara sendiri. Masih ada jarak. Oleh karena itu Andhika merasa ada sesuatu yang penting ingin disampaikan oleh Marvi. "Kamu tahu Tante paling nggak suka basa-basi busuk, kan, Dhika?" "Ya?" "Andini sekarang ada di rumah Tante." "An... Andini di mana? Maaf? Kok Tante kenal Andini?" Tanpa sadar suara Andhika meninggi. "Elke tadi menjemputnya di apartemen kamu dan akhirnya mengajaknya ke sini. Terus terang, nggak masalah Andini menginap bahkan tinggal di sini, hanya saja..." "Maaf, apartemen? Apartemen siapa? Kok bisa sampai di apartemen?" Andhika berusaha keras menahan geramannya mengingat bahwa ia sudah mengingatkan Andini untuk tidak keluyuran. Dan wajahnya memucat tatkala Marvi menceritakan apa yang terjadi pada gadis itu. "Baik, saya ke sana sekarang. Jemput besok? Tidak, saya rasa lebih baik sekarang saja. Maaf, sudah merepotkan." Setelah menutup dan menyimpan ponselnya, ia bergegas menuju lift meninggalkan sekretarisnya yang kebingungan dan berlari mengejarnya. Begitu sampai di tempat parkir, ia melempar tasnya begitu saja ke dalam mobil dan setelah masuk, ia segera menjalankan mobilnya ke kediaman keluarga Rahadi. Untuk pertama kalinya kemacetan Jakarta yang menjadi makanan sehari-hari membuat Andhika kesal bukan kepalang. Berkali-kali ia melirik arlojinya. "Scarlett ! Sudah kubilang biarkan saja Andini!" geram Andhika sambil mencengkram erat kemudinya. Kemudian setelah berjibaku beberapa lama dengan jalanan Jakarta, akhirnya Andhika sampai juga di rumah keluarga Rahadi. Berkat pemberitahuan dari pemilik rumah, mobilnya bisa langsung masuk. Bahkan Marvi sendiri yang menyambutnya. "Maafkan saya mengganggu Tante malam-malam begini," kata Andhika setelah menyapa dan mencium pipi kanan-kiri Marvi. Marvi yang sudah berganti dengan baju rumahan dan ditutup jubah tidur hanya mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Kalau nggak ingat mamimu, Tante biarkan saja Andini tinggal di sini," katanya sambil menatap wajah Andhika penuh arti. Andhika mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf sudah merepotkan. Saya kira sebaiknya saya langsung jemput Andini sekarang." "Oke. Kamu duduk dulu." Marvi menunjuk sofa di belakangnya sebab mereka memang masih berdiri. "Mbak Nur, tolong bangunkan Andini. Bilang Andhika menjemputnya." Nur yang mendengar perintah tersebut segera memanggil Andini. Sedangkan Marvi menyusul Andhika duduk di sofa. Sembari menunggu, ia mengajak Andhika mengobrol tentang hal lain dan itu lebih ke bisnis sebab ia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, kecuali jika memang perlu sekali untuk diselamatkan. Tak lama Andini datang bersama Nur dengan semua barang-barangnya. Tampak wajahnya diliputi kecemasan terutama saat bertemu muka dengan Andhika. Andhika sendiri langsung mengernyitkan keningnya melihat apa yang dipakai Andini termasuk tas bepergiannya. "Baju yang aku belikan mana? Sepatu? Dan kenapa bawa tas itu?" Andini saling meremas kedua tangannya sendiri dengan kepala tertunduk. Lalu menggeleng perlahan. "Cu-cuma itu yang dibawakan Mbak Scarlett." "Apa?!" pekik Andhika tak percaya. Ia hendak membuka mulutnya lagi tapi teringat mereka sedang berada di mana. "Ya sudah, kita bicarakan besok. Kita pamit sekarang." Ia pun menoleh kepada Marvi. "Tante, terima kasih atas bantuannya. Nanti saya ke sini lagi untuk main." Marvi berjalan mendekat dan menepuk lembut bahu Andhika. "Tentu." "Tante, terima kasih dan titip salam buat Elke," ucap Andini lalu mencium punggung tangan mama temannya itu. Marvi tersenyum dan membalasnya dengan pelukan hangat dan mencium kedua pipinya. "Besok juga ketemu, kan, di sekolah. Tapi, kapan-kapan harus main lagi ke sini. Dhika, tolong antar dia ke sini, ya?" Andhika mengangguk. "Tentu." Kemudian Andhika dan Andini pun pamit dengan diantarkan keluar bahkan sampai mobil oleh Marvi juga Nur yang membantu membawakan barang-barang Andini. Selanjutnya, mobil yang dikemudikan oleh Andhika meninggalkan kediaman Rahadi. Selama perjalanan tak ada satupun yang bicara, bahkan suara musik pun tidak. Andini jelas terlalu takut untuk buka suara dan Andhika terlalu marah untuk bersuara hingga... "Kita nggak pulang?" tanya Andini panik begitu mobil Andhika memasuki wilayah yang familiar baginya.Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Sepulang sekolah, Andhika sendiri yang menjemput meskipun yang menyetir adalah Gery dan mengantarnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut setelah melihat wajah Andini yang murung."Kenapa kamu nggak bilang kalau kena bola? Kalau masih pusing jangan diam saja! Bener-bener deh bikin repot!" sentak Andhika."Maaf, tapi saya nggak apa-apa," kata Andini dengan gelengan pelan.Andhika mendengkus. "Kalau baik, kenapa mukamu begitu?"Andini menoleh dan menatap Andhika bingung. Dan ia lebih bingung lagi bagaimana laki-laki itu bisa tahu? Apakah petugas ruang kesehatan memberitahunya? "Maaf, muka saya begini itu gimana ya?" tanya Andini lirih. "Sudahlah." Andhika melengos dengan wajah kesal. "Heran, baru berapa hari sih kamu di sini, susah ada saja masalah," gerutunya sebelum kembali memeriksa pekerjaannya.Andini menundukkan kepalanya dan tanpa sadar meremas ujung hijabnya. Ketika tiba di rumah sakit dengan ditemani oleh Andhika dan Gery, Andini diperiksa secara menyeluruh apakah b
Pada akhirnya Gery tetap tinggal di hotel menemani Andini, selain juga karena diminta membawakan baju ganti Andhika yang semuanya memang perintah laki-laki itu.Berbeda dengan biasanya, Gery mengajak Andini sarapan buffet di restoran hotel. Keduanya meletakkan barang bawaan di salah satu meja sebelum mengambil sarapan.Wah, begini ternyata restoran hotel bintang lima, batin Andini seraya berjalan canggung di samping Gery. "Silakan, mau yang mana?" kata Gery.Menyusuri meja di mana beraneka menu sarapan dihidangkan membuat Andini bagaimanapun tetap merasa tergiur karena semua tampak lezat. "Saya bingung," kata Andini jujur.Gery terkekeh lalu mulai menunjukkan apa saja yang ada di sana sebelum mengambil yang diinginkan. Andini sendiri akhirnya mengambil nasi, sup, ayam goreng dan atas saran Gery juga sedikit buah sedangkan minumnya ia hanya mengambil segelas air putih. Sekretaris Andhika sendiri mengambil buah, sup dan kopi.Dan siapa sangka keduanya bertemu dengan Andres ketika hend
Andini bisa merasa lega sebab setelah itu tak ada lagi kejadian buruk menimpanya. Kalaupun ada yang kurang menyenangkan, hanya sebatas Emilia dan beberapa teman lain yang menganggap ia tak layak berada di SMA Sage. Namun, secara umum ia tetap bisa fokus belajar. Kemudian hari untuk syuting iklan dimulai. Andini masih tidak percaya bahwa ia betul-betul dikontrak menjadi bintang iklan. Syutingnya sendiri dilakukan di akhir pekan saat ia libur sekolah."Lakukan saja seperti kamu biasanya. Ingat, kamu bagian dari Wisesa, jadi anggap sebagai membantu keluarga," kata Andhika yang ikut menemani Andini syuting. Saat ini mereka tengah menyiapkan set dan make up untuk para pemeran termasuk Andini.Dengan adanya laki-laki itu sangat tidak membantu Andini sama sekali. Ia merasa tidak nyaman dan takut melakukan kesalahan. "Kami tidak menjadikanmu bintang iklan karena kamu terkenal dan jago akting. Sedari awal kamu bukan artis. Ingat kan alasannya apa?" sambung Andhika."Ya." Tentu saja Andini in
Hari berikutnya Andini masih menunggu dengan sabar kabar dari Emilia, Putri atau Dona, tapi nyatanya tak ada satupun yang memberi tahu apapun. Bahkan di sekolah ketiganya tampak seperti orang tak kenal. Hari berikutnya lagi juga masih sama, akhirnya ketika hendak pulang, Andini memberanikan diri mencegat Emilia."Apa sih lo ?" sergah Emilia kesal."Tugasnya gimana?" tanya Andini."Gampang itu. Nanti gue hubungi. Masih lama ini, ribut amat sih! Dahlah gue mau pulang!" setelah mengatakan itu, Emilia berbalik pergi dan meninggalkan Andini terburu-buru.Andini menatap kepergian Emilia dengan bingung. Mengapa teman sekelasnya itu harus marah, padahal ia hanya bertanya biasa."Dia nggak ngerjain tugasnya?" Tiba-tiba Katya sudah berdiri tepat di belakang Andini."Iya. Aku sudah nunggu kapan buat diskusi, masih belum juga," jawab Andini jujur."Terus gimana? Nggak ada diskusi sama sekali?" Kali ini Elke yang bertanya."Cuma sekali sih, itu juga Mas Dhika marah-marah karena tempatnya di kafe.
Emilia mengajak Andini membahas presentasi mereka di sebuah kafe. Betapa sulitnya ia meminta izin kepada Andhika yang heran kenapa tidak dilakukan di rumah entah siapa. Kenapa sampai harus di kafe?Andini jelas tak bisa menjawab dan akhirnya dengan berat hati Andhika mengizinkan dengan syarat diantar oleh Gery.Hari ini sepulang kerja, Gery langsung menjemput Andini di sekolah menuju tempat janjian. Emilia mengatakan mereka akan ketemu di kafe."Mbak Andini masuk dulu saja, nanti kami menyusul. Saya parkir mobil," kata Gery.Andini pun turun lebih dulu dan memasuki kafe. Rupanya justru ia yang tiba terlebih dahulu daripada yang lain padahal setahunya tadi Emilia, Putri dan Dona pergi sebelum dirinya dari sekolah. Ia pun sengaja memilih tempat yang mudah terlihat jika ketiganya datang.Ketika Gery memasuki kafe, langsung berjalan ke arah Andini. "Temannya belum datang?" tanya Gery sambil melihat sekeliling.Andini menggeleng. "Belum. Mungkin kena macet."Gery mengangguk. "Saya tunggu
Andini baru saja memberikan uang kepada Irawan untuk mengganti yang digunakan membeli cilok dan batagor ketika mobil Andhika memasuki carport. Awalnya sopir pribadi tersebut tidak mau menerimanya, tapi karena terus dipaksa akhirnya mau. Karena tidak tahu jumlah pastinya, ia memberikan lebih."Kamu ngapain di sini?" tanya Andhika yang melihat Andini berada di lantai dasar.Bukan apa-apa, lebih karena di lantai itu hanya ada gudang, dapur kotor, dua kamar pegawai, garasi dan ruangan untuk Irawan berjaga jika sedang tidak mengantarkan siapapun."Oh, barusan kasih uang untuk Pak Ir," jawab Andini sambil menunggu Andhika naik terlebih dahulu.Kening Andhika berkerut. "Uang?""Tadi nitip belikan cilok dan batagor.""Oh." Setelah memberikan respon pendek, tanpa berkata apa-apa lagi, Andhika masuk ke lift dan langsung naik hingga lantai teratas.Sementara itu Andini naik menggunakan tangga hingga ke lantai teratas juga dan langsung masuk ke dalam kamarnya untuk melanjutkan belajar mata pelaja
Aditi berhasil membujuk Andini untuk membintangi iklan Padme dan body lotion Pure Bliss varian baru. Tidak jadi spray cologne. Menurut kakak Andhika tersebut setelah dikaji ulang, image Andini lebih cocok membintangi iklan body lotion.Pertemuan di kantor Andhika kemarin membuat Andini kepikiran hingga kini. Di sekolah, ia nyaris tidak bisa konsentrasi. "Kamu kenapa dari tadi kayak antara ada dan tiada gitu?" tanya Elke ketika jam istirahat, usai makan dan kini mereka tengah duduk di gazebo.Andini menggeleng. Ia ingat peringatan Andhika ketika masih tinggal di hotel dan baru memulai pelajaran tata krama bahwa sedekat apapun kita dengan orang lain, tidak semua hal bisa dibicarakan. "Nggak apa-apa." Andini menggeleng sambil tersenyum tipis. "Cuma nggak bisa tidur aja.""Scarlett gimana? Masih gangguin kamu?"Andini mengangguk."Kadang aku tuh pengen semua orang tahu sifat aslinya gimana," geran Elke.Saat asyik mengobrol, datang Rishi bersama seorang temannya dan keduanya langsung du
✉️ KatyaSepupuku kebetulan ada di hotel yang sama.Andini melihat foto yang dikirimkan Katya kepadanya. Foto berangkulan Scarlett bersama laki-laki yang lebih pantas disebut ayahnya. Jika saja Scarlett bukan kekasih Andhika, mungkin terserah saja dia mau berhubungan dengan siapa, karena itu hak masing-masing orang."Ini maksudnya apa pergi dengan orang yang berbeda?" gumam Andini tak percaya.✉️ AndiniDia sama siapa?Saudaranya?Tadi dari rumah Mas Dhika, tapi pulang marah-marah.✉️ KatyaOh ya?Kenapa? Berantem sama Kak Dhika?✉️ AndiniIya. Gara-gara dia nyuruh-nyuruh aku terus.Dia ditegur Mas Dhika dan ngambek.Pulang.✉️ KatyaWkwkwk Rasain!Aku nggak tahu sih dia sama siapa.Kemarin juga beda orang.Sulit untuk nggak curiga.Tapi hobinya memang godain suami orang.Atau...jadi sugar baby.✉️ AndiniMas Dhika tahu nggak ya?✉️ KatyaEntahlah, tapi semoga segera lepas.Menjijikkan!✉️ AndiniAamiin.Andini teringat saat bertemu di Bali pun dengan orang yang berbeda. "Apa Mbak
"Andini! Ambilkan gue minuman lagi!" Teriak Scarlett dari ruang keluarga kepada Andini yang tengah berada di kamar.Tadinya Andini ingin membuat kue yang berbahan sederhana bersama Tati. Kebetulan di rumah ada bahan-bahannya. Namun, karena kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, membuat rencana tersebut gagal dan Andini memutuskan berdiam diri di kamarnya. Tati pun menyuruhnya sembunyi saja.Sebelumnya selain minuman, Andini mau menerima perintah Scarlett untuk mengambilkan camilan karena kebetulan Andhika juga memanggilnya. Tapi sekarang...Panggilan pertama dan kedua masih berusaha Andini abaikan."Andini! Lo punya kuping nggak sih?""Ish! Ngapain sih teriak-teriak kayak orang nggak punya tata krama!" gerutu Andini sambil bangkit dari yang tadinya baca novel di atas tempat tidur.Dengan perlahan saking malasnya, Andini keluar dari kamarnya dan turun ke lantai dua."Sudah aku bilang, jangan perintah Andini! Dia bukan pembantu! Butuh apa-apa tinggal panggil Bu Tati!" Tepat saat Andini me
Film yang dipilih oleh Katya memang bagus, Andini sampai lupa bahwa ia menontonnya bersama dengan Rishi dan teman-temannya juga. Untungnya saat menonton ia duduk di tengah antara Amal dan Elke sehingga mengurangi rasa bersalahnya. Meskipun semua murni kebetulan, ia tetap merasa bersalah.Kini mereka makan malam bersama di sebut restoran Italia berkat suara terbanyak. Di sana, tadinya Rishi ingin duduk dekat Andini tapi ditolak karena takut ketahuan Andhika dan disangka bohong. "Eh, Kak Rishi kayaknya naksir kamu deh," bisik Amal yang duduk di depan Katya saat mereka tengah menunggu pesanan datang.Elke yang duduk di depan Andini mengangguk. "Kupikir juga gitu, tapi nggak terang-terangan."Katya yang di samping Andini tersenyum sinis. "Semoga aja biar Emilia mampus.""Eh, jangan gitulah," sahut Andini tak nyaman. Meskipun ia tidak suka Emilia, tapi ia juga tak ingin ada yang mengolok Emilia seperti itu. Apalagi jika ada hubungan dengannya. Ia sudah trauma dengan Scarlett."Kelihatan k
Meskipun Elke memang berniat menjemput Andini, tetapi karena Andhika ingin bertemu, maka gadis itu menjemput Katya dan Amal terlebih dahulu barulah Andini. Tentu saja menggunakan sopir."Oh, Amal anaknya Pak Jamal Badawi." Andhika manggut-manggut setelah bertemu langsung dengan Katya dan khususnya Amal."Iya, Kak." Amal tersenyum sopan. Andhika mengangguk. "Ya sudah. Tapi maaf, ya, Saya cuma izinkan Andini buat nonton sama makan saja entah itu sebelum atau sesudahnya. Ini nggak ada cowoknya, kan?" Elke, Katya dan Amal serempak menggeleng."Nggak kok, Kak. Kita juga jomlo ini," jawab Elke sambil nyengir."Ya sudah.""Kami pamit, ya," ucap Elke mewakili yang lain."Mas Dhika, saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Andini."Wa'alaikumussalam," balas Andhika.Keempat gadis remaja tersebut pun meninggalkan rumah melalui pintu depan dan sampai carport langsung masuk ke dalam mobil MPV putih. "Agak...seram juga, ya, Kak Andhika tuh?" komentar Amal ketika mereka sudah berada di perjalan