"Siapa lo yang sebenarnya?" tanya Scarlett tanpa menyembunyikan kekesalannya.
"Maaf, Mbak, maksudnya gimana?" Andini yang juga diselimuti rasa takut akan dibawa entah ke mana, menunjukkan wajah kebingungan atas pertanyaan Scarlett tersebut. Scarlett mendengkus jengkel. "Tante Aruna nggak mungkin sembarangan memasukkan cewek antah berantah ke rumah Andhika sampai Andhika sendiri nggak bisa nolak! Dengan alasan sebagai anak asuh? Cuih, gue lebih percaya simpanse bisa ngomong!" "Astaghfirullah!" ucap Andini. "Nggak usah sok religius deh lo !" sentak Scarlett sambil meliriknya sekilas. "Astaghfirullah. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna sejak saya SD," kata Andini jujur. Lagi-lagi Andini mendengkus untuk menampik jawab tersebut. "Alaaa, ngaku aja deh lo ! Siapa lo yang sebenarnya?" "Demi Allah, Mbak. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna." Satu alis Scarlett naik. "Lo pikir gue percaya? Nggak pernah ada ceritanya anak asuh sampai diajak tinggal bareng dan lucunya di rumah anak cowoknya yang belum menikah! Lo pikir gue bego?!" Tanpa sadar Andini duduk merapat ke pintu mobil. "S-saya nggak bohong, Mbak " "Siyi nggik bihing mbik," tiru Scarlett dengan nada mengejek. "Kambing kau nggak bohong! Di mana-mana anak asuh ya sekedar ngasih biaya sekolah doang! Lo, anak angkat bukan, diadopsi resmi juga enggak, saudara bukan terus lo nyuruh gue percaya?" "S-saya memang anak asuhnya Bu Aruna." "Bise gue dengernya. Keluarga Wisesa nggak mungkin bertindak tanpa alasan. Lo itu cewek yang akan dijodohkan dengan Andhika, kan? Lo disuruh tinggal di rumah Andhika buat menggoda dia dan bikin cowok gue itu jatuh cinta sama lo, tunangan sampai lo cukup umur, menikah, happy end!" Mendengar tuduhan Scarlett kali ini, untuk sesaat Andini melongo lalu buru-buru menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mbak. Kata Ibu, rumah beliau terlalu jauh ke SMA saya sekarang." "Ya, emang!" sahut Scarlett cepat. "Tapi lo kan bisa tinggal di tempat lain. Mereka punya gedung apartemen yang nggak jauh dari SMA Sage. Lebih dekat malah daripada rumah Andhika ke SMA Sage." "S-saya nggak tahu." "Halah! Berita gue pacaran dengan Andhika Wisesa sudah ada di mana-mana. Mustahil lo nggak tahu," ujar Scarlett lagi. "Andhika itu punya gue! Paham?!" Andini mengangguk. "Dan Rishi itu punya Emilia! Masih muda juga punya bibit pelakor! Jijik banget dah! Belum cukup Andhika, eh sepupu gue lo embat juga!" "Sepupu?" tanya Andini kebingungan. "Rishi itu sepupu gue!" "Oh." "Muka malaikat tapi hati setan! Busuk!" Andini hanya bisa terdiam tak tahu harus berkata apa, tetapi matanya melebar tatkala menyadari mobil Scarlett sudah memasuki pelataran apartemen lalu berhenti di tempat parkir. "Turun!" perintah Scarlett. "Kita mau ke mana?" tanya Andini dengan wajah memucat. Scarlett yang tak sabaran pun turun lalu membuka pintu Andini, melepaskan sabuk pengamannya dan menarik kasar Andini. "Gue bilang turun! Budek lo ya?!" Setelah keluar dari mobil, masih dengan kasar, Scarlett menariknya agar berjalan mengikutinya dan lagi-lagi tangan yang berada di pergelangan Andini itu meremas kuat seolah ingin meremukkannya. Keduanya terus memasuki lift hingga di lantai teratas. "Ini unit pribadi Andhika!" kata Scarlett sambil mendorong Andini hingga jatuh ke sofa dengan kasar. Lalu melemparkan kunci dan amplop ke dada Andini. "Itu kunci unit ini dan uang buat lo! Gue sudah cukup baik kasih uang saku ke Lo, entar kalau habis lo bisa minta gue lagi, gue ikhlas asal lo jauh dari Andhika. Lo juga lebih nyaman tinggal sendirian di sini dengan bebas, kan? Gue juga sudah isi kulkas dengan berbagai macam makanan dan kebutuhan lainnya. Lo mau masak sendiri atau beli terserah lo !" Setelah berkata begitu Scarlett melenggang meninggalkannya sendirian. "Mbak! Mbak Scarlett mau ke mana?" Andini buru-buru bangkit dan saat hendak menyusul pergi, ia baru melihat bahwa tas bepergian miliknya dan buku-buku sekolah sudah ada di ruangan itu. Ia pun batal menyusul Scarlett dan berjalan ke tempat barang-barangnya berada. Semua ada lengkap kecuali baju-baju dan sepatu baru yang dibelikan Andhika kemarin. *** Scarlett sudah pergi satu jam yang lalu dan Andini belum beranjak dari tempatnya. Untuk beberapa lama ia menangis keras, menangisi nasibnya. "Ya Allah, saya ingin pulang, Ya Allah," gumamnya letih. Lalu Andini bangkit untuk melihat isi kulkas. Scarlett tidak bohong. Di sana terisi penuh dari minuman, susu, telur, daging, sayur hingga buah. Namun, ia tetap bimbang. Selain itu ia bingung dengan yang ada di sekitarnya. Sekali lihat, semua peralatannya modern. Bahkan ia belum pernah menggunakan kompor di rumah Andhika. Satu-satunya hal modern yang ia kuasai di rumah lelaki itu hanyalah apa yang ada di kamar mandi. Baginya itu sudah luar biasa sebab di rumahnya dulu tidak ada hal seperti itu. Hanya ada kloset jongkok dan bak mandi dengan gayung. Di tengah kebingungannya, Andini menghubungi Elke sebab tidak tahu lagi harus bicara dengan siapa. Ia tidak berani menghubungi Aruna yang sangat sibuk. "Kenapa, An?" tanya Elke ceria di seberang telepon. "A-aku...nggak tahu cara pakai dapurnya," kata Andini yang baru menyadari betapa tangannya gemetar hebat. "Dapur?" ulang Elke kebingungan. "Dapur siapa?" "Apartemen." "Apartemen?" "Iya. Aku nggak berani sentuh apa-apa." Sepertinya Elke yang bingung dengan ucapan Andini jadi terdiam. "Aku...uhm, kan ada pembantu..." "Aku sendirian. Nggak ada siapa-siapa dan jujur, aku takut, El." Andini mengatakan itu sambil sekuat tenaga menahan tangis. "Sebentar, coba cerita pelan-pelan," pinta Elke. Andini yang merasa lemas, bukan karena lapar melainkan syok, dengan terbata-bata menceritakan apa yang terjadi kepada Elke sambil terduduk di lantai dapur. "Oke, shareloc dan kamu tunggu di situ. Aku segera ke sana." Setelah mengatakan itu, Elke langsung menutup sambungan telepon. Andini sendiri akhirnya kembali ke ruang duduk dan menunggu Elke yang baru tiba sekitar hampir dua jam kemudian. Teman barunya itu tidak sendirian, tetapi datang dengan seseorang yang kemungkinan adalah seorang ART. "Ini minum dulu," Elke menyodorkan segelas teh yang ia beli di salah satu cabang kedai teh terkenal yang ia lewati sebelum menemui Andini. Setelah Andini membukakan pintu, Elke segera mengajaknya kembali ke ruang duduk. Wajahnya betul-betul kesal melihat Andini yang seperti anak hilang apalagi masih mengenakan seragam sekolahnya. Sekali lagi Elke meminta Andini mengulangi ceritanya sebab ia takut salah dengar. "Sebaiknya kamu tinggal di rumahku," Elke memutuskan, "sebetulnya nggak masalah kamu di sini, nanti biar Mbak Nur menemani kamu untuk beberapa hari dan ngajarin semuanya hehehe soalnya aku nggak pernah nginjek dapur juga, tapi aku khawatir sama kamu. Gimana sekolahmu, berangkat dan pulangnya ditambah Scarlett bakalan ngelunjak dan apa yang dia lakukan sekarang akan dijadikan senjata untuk menyerangmu nanti. Dia itu licik." "Kamu percaya sama aku?" tanya Andini kaget sekaligus penuh kelegaan. Elke mengangguk lalu memeluknya sebentar. "Kita pergi sekarang.""Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya. Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bing
Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Andini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya. Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk. Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada. "Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya. Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya. Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah. "Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman le