Share

4. Di Sekolah Baru.

Seharusnya Andhika mengantar Andini, bahkan Aruna sudah membuat putranya itu berjanji, tapi akibat kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, akhirnya hanya menyuruh Irawan mengantarnya.

Di kelasnya yang baru seluruh siswa menatap Andini, tapi sebagian tampak memberikan tatapan sinis dan merendahkan. Ia teringat perkataan Scarlett bahwa ia tak cocok berada di SMA Sage yang elit.

"Hai, aku Elke." Gadis berambut ikal pendek yang duduk satu deret dengannya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, setelah Andini duduk di tempat yang ditunjuk untuknya.

Andini membalas jabatan tangan Elke sambil tersenyum tipis setelah ia duduk. "Andini."

Namun, keduanya tak bisa berkenalan lebih jauh karena pelajaran sudah dimulai. Kebetulan bahasa Inggris. Meskipun cara mengajarnya berbeda dengan yang ia terima selama ini, tapi ia bisa mengikutinya dengan baik.

Ketika jam istirahat tiba, Elke mengajak Andini ke kantin sambil mengenalkan apa saja yang mereka lewati dan seperti apa sekolah mereka yang bernuansa hijau sage seperti namanya itu.

"Pengetahuan membuatmu baik adalah moto sekolah ini. Bahwa pendidikan itu penting dan jangan jadi orang bodoh bukan saja secara akademik melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari," kata Elke yang tak sungkan melingkarkan tangannya. "Aku punya dua sahabat. Sekelas juga dengan kita tapi mereka nggak masuk. Lihat kan ada meja yang kosong tadi? Namanya Amal, dia sedang sakit dan Katya, dia sedang di Inggris, ada kerabatnya yang menikah."

"Oh." Andini manggut-manggut dan berharap keduanya sebaik Elke. Lebih dari itu, ia merasa minder mendengar keluarga sahabat Elke melangsungkan pernikahan di luar negeri. Apakah Katya blasteran atau orang Indonesia yang kaya dan memang ingin menikah di sana?

"Kamu suka makan apa? " tanya Elke.

"Adanya apa?"

"Banyak sih. Makanan Cina, Korea, Jepang, Indonesia, pizza, salad..."

Memasuki kantin, ketika melewati berbagai counter penjual makanan yang sangat berbeda dengan sekolahnya dulu, Andini seketika takjub juga merasa cemas tatkala melihat harganya.

"Aku pesan soto ayam saja dan es teh," kata Andini lirih. Ia sengaja mencari menu yang aman dan bisa diterima oleh perutnya.

Elke tersenyum lebar dan mengangguk. "Oke." Ia pun mengajak Andini memesan miliknya barulah memesan miliknya sendiri sebuah paket bento.

"Eh, kita bayarnya gimana?" tanya Andini bingung karena hanya diberi selembar struk.

"Di Kasir." Elke menjawab riang seraya menarik lembut teman barunya itu ke kasir yang ada di ujung counter.

"Oh."

Setelah mengantre sebentar, giliran mereka membayar lalu mencari salah satu meja yang kosong.

"Di sekolahmu dulu nggak gini?" tanya Elke yang melihat kebingungan Andini.

"Ya, enggaklah. Kan, di kampung." Tiba-tiba seorang gadis berambut panjang lurus sepinggang yang bak boneka Jepang itu menyahut sambil lewat dan bersama teman-temannya seperti sengaja duduk di meja sebelah Elke dan Andini.

Andini menekan kedua bibirnya dan kedua tangannya saling meremas. Gadis itu teman sekelasnya juga dan sedari awal kedatangannya termasuk salah satu yang menatapnya sinis dan merendahkan.

"Kamu ngomong apa sih, Em?" sergah Elke gusar. Ia pun menatap Andini dan tersenyum menghibur sambil mengibaskan tangannya. "Nggak usah didengarkan omongan Emilia. Dia memang gitu."

Oh, namanya Emilia, batin Andini.

"Fakta, Elke. Justru kamu yang harus hati-hati. Awas dia pansos dan manfaatin kamu," kata Emilia lagi.

Elke yang gemas akhirnya mengajak Andini pindah meja dengan diiringi wajah sinis Emilia dan teman-temannya.

"Emilia memang gitu. Pokoknya jangan didengarkan, ya?" kata Elke tetap lembut.

Andini mengangguk.

Tak lama makan siang pesanan mereka datang. Andini melihat bento Elke tampak lezat dan tidak seaneh bayangannya, tapi ia tetap ngeri dengan harganya. Bahkan sotonya pun...

Ini kalau di rumah yang dulu lima ribu sudah dapat harga pelajar. Ada juga paling mahal lima belas ribu. Di sini dua puluh lima ribu semangkok, batin Andini agak ngeri meskipun setelah dicoba, rasanya sama saja dengan yang pernah ia makan.

"Aku tuh nggak pernah paham dengan Emilia. Padahal sekolah ini tuh menekankan nilai moral, tapi dia selalu seperti baru keluar dari goa," gerutu Elke.

"Besok aku ke kantin sendiri juga nggak apa-apa, kok," kata Andini.

Elke seketika mengibaskan tangannya. "Ngomong apa sih."

***

Andini bersyukur ia bisa mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah barunya dengan baik di hari pertamanya. Sejauh ini guru-gurunya juga ramah. Setidaknya berkonsentrasi di kelas membuatnya melupakan rasa tidak nyamannya.

Namun, ketika pulang sekolah tiba, ia terkejut ternyata Scarlett yang menjemputnya. Ia berdiri cantik dalam balutan baju kasualnya di depan gedung sekolah.

"Scarlett ! Kok lo di sini?" Dari arah belakang Andini terdengar suara Emilia yang kontan menghambur ke aktris muda tersebut hingga menabrak Andini.

"Emilia, hati-hati kalau jalan! Nabrak orang kan jadinya." Disusul suara pemuda yang kemudian berhenti di samping Andini. "Maaf, ya, eh, lo..."

Menyadari siapa yang mengajaknya bicara, kedua mata Andini melebar kala mengenali pemuda tersebut. Ia tersenyum tipis dan menangkupkan kedua tangannya. "Sekali lagi terima kasih buat kemarin."

Pemuda itu balas tersenyum lebar. "Syukurlah lo nggak nyasar. Lo sekolah di sini juga ternyata. Gue Rishi." Ia mengulurkan tangannya.

"Andini," balasnya.

"Lo kenal dia, Rish?" Tanpa Andini dan Rishi sadari, Scarlett sudah mendekat dengan Emilia di sampingnya. Wajahnya tersenyum manis yang membuat Andini justru heran.

"Oh, kemarin ketemu sih. Ternyata sekolah di sini juga," jawab Rishi dengan senyuman lebar.

"Kemarin?" tanya Scarlett dan Emilia serentak.

Melihat hal itu, Rishi tertawa, sedangkan Andini menunduk dan bergeming karena tak nyaman.

"Di mana?" kejar Emilia yang menunjukkan raut tak suka.

"Mall." Masih Rishi yang menjawab.

"Mall?" ulang Scarlett yang seperti teringat sesuatu lalu menatap Andini dan menyentuh bahunya. "Lo kemarin ke mall sama Andhika?"

Andini mendongak lalu mengangguk pelan dan untuk sepersekian detik ada emosi murka di wajah Scarlett yang segera ditutupi dengan senyuman manis.

"Kukira dia pergi sama temannya," kata Scarlett.

"Mas Dhika juga ketemu sama temannya," jawab Andini pelan.

Scarlett manggut-manggut. "Oke deh, ayo kita pulang." Ia menarik tangan Andini.

"Kok dia?" tanya Emilia kaget.

"Gue emang nyusul Andini. Dia kan adiknya Andhika." Kalimat terakhir dipenuhi tekanan yang bernada mengejek. "Gue hubungi lo nanti deh."

"Oke. Bubay." Emilia memberikan jempolnya dan menarik Rishi pergi.

Sementara Andini yang pergelangannya masih ditarik Scarlett, kini mulai merasa kesakitan karena rasanya seperti diremas kuat. Scarlett tak berkata apa-apa hingga mereka memasuki mobil dan meninggalkan pelataran SMA Sage.

"Insting gue nggak salah emang," kata Scarlett tanpa menoleh ke Andini. "Pertama Andhika, kedua Rishi. Lo tuh emang kegatelan ya? Tapi sok polos dibalik hijab lo! Cuih, munafik!"

Andini yang tadinya menatap keluar jendela di sampingnya spontan menoleh ke arah Scarlett. "Maksudnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status