Seharusnya Andhika mengantar Andini, bahkan Aruna sudah membuat putranya itu berjanji, tapi akibat kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, akhirnya hanya menyuruh Irawan mengantarnya.
Di kelasnya yang baru seluruh siswa menatap Andini, tapi sebagian tampak memberikan tatapan sinis dan merendahkan. Ia teringat perkataan Scarlett bahwa ia tak cocok berada di SMA Sage yang elit. "Hai, aku Elke." Gadis berambut ikal pendek yang duduk satu deret dengannya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, setelah Andini duduk di tempat yang ditunjuk untuknya. Andini membalas jabatan tangan Elke sambil tersenyum tipis setelah ia duduk. "Andini." Namun, keduanya tak bisa berkenalan lebih jauh karena pelajaran sudah dimulai. Kebetulan bahasa Inggris. Meskipun cara mengajarnya berbeda dengan yang ia terima selama ini, tapi ia bisa mengikutinya dengan baik. Ketika jam istirahat tiba, Elke mengajak Andini ke kantin sambil mengenalkan apa saja yang mereka lewati dan seperti apa sekolah mereka yang bernuansa hijau sage seperti namanya itu. "Pengetahuan membuatmu baik adalah moto sekolah ini. Bahwa pendidikan itu penting dan jangan jadi orang bodoh bukan saja secara akademik melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari," kata Elke yang tak sungkan melingkarkan tangannya. "Aku punya dua sahabat. Sekelas juga dengan kita tapi mereka nggak masuk. Lihat kan ada meja yang kosong tadi? Namanya Amal, dia sedang sakit dan Katya, dia sedang di Inggris, ada kerabatnya yang menikah." "Oh." Andini manggut-manggut dan berharap keduanya sebaik Elke. Lebih dari itu, ia merasa minder mendengar keluarga sahabat Elke melangsungkan pernikahan di luar negeri. Apakah Katya blasteran atau orang Indonesia yang kaya dan memang ingin menikah di sana? "Kamu suka makan apa? " tanya Elke. "Adanya apa?" "Banyak sih. Makanan Cina, Korea, Jepang, Indonesia, pizza, salad..." Memasuki kantin, ketika melewati berbagai counter penjual makanan yang sangat berbeda dengan sekolahnya dulu, Andini seketika takjub juga merasa cemas tatkala melihat harganya. "Aku pesan soto ayam saja dan es teh," kata Andini lirih. Ia sengaja mencari menu yang aman dan bisa diterima oleh perutnya. Elke tersenyum lebar dan mengangguk. "Oke." Ia pun mengajak Andini memesan miliknya barulah memesan miliknya sendiri sebuah paket bento. "Eh, kita bayarnya gimana?" tanya Andini bingung karena hanya diberi selembar struk. "Di Kasir." Elke menjawab riang seraya menarik lembut teman barunya itu ke kasir yang ada di ujung counter. "Oh." Setelah mengantre sebentar, giliran mereka membayar lalu mencari salah satu meja yang kosong. "Di sekolahmu dulu nggak gini?" tanya Elke yang melihat kebingungan Andini. "Ya, enggaklah. Kan, di kampung." Tiba-tiba seorang gadis berambut panjang lurus sepinggang yang bak boneka Jepang itu menyahut sambil lewat dan bersama teman-temannya seperti sengaja duduk di meja sebelah Elke dan Andini. Andini menekan kedua bibirnya dan kedua tangannya saling meremas. Gadis itu teman sekelasnya juga dan sedari awal kedatangannya termasuk salah satu yang menatapnya sinis dan merendahkan. "Kamu ngomong apa sih, Em?" sergah Elke gusar. Ia pun menatap Andini dan tersenyum menghibur sambil mengibaskan tangannya. "Nggak usah didengarkan omongan Emilia. Dia memang gitu." Oh, namanya Emilia, batin Andini. "Fakta, Elke. Justru kamu yang harus hati-hati. Awas dia pansos dan manfaatin kamu," kata Emilia lagi. Elke yang gemas akhirnya mengajak Andini pindah meja dengan diiringi wajah sinis Emilia dan teman-temannya. "Emilia memang gitu. Pokoknya jangan didengarkan, ya?" kata Elke tetap lembut. Andini mengangguk. Tak lama makan siang pesanan mereka datang. Andini melihat bento Elke tampak lezat dan tidak seaneh bayangannya, tapi ia tetap ngeri dengan harganya. Bahkan sotonya pun... Ini kalau di rumah yang dulu lima ribu sudah dapat harga pelajar. Ada juga paling mahal lima belas ribu. Di sini dua puluh lima ribu semangkok, batin Andini agak ngeri meskipun setelah dicoba, rasanya sama saja dengan yang pernah ia makan. "Aku tuh nggak pernah paham dengan Emilia. Padahal sekolah ini tuh menekankan nilai moral, tapi dia selalu seperti baru keluar dari goa," gerutu Elke. "Besok aku ke kantin sendiri juga nggak apa-apa, kok," kata Andini. Elke seketika mengibaskan tangannya. "Ngomong apa sih." *** Andini bersyukur ia bisa mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah barunya dengan baik di hari pertamanya. Sejauh ini guru-gurunya juga ramah. Setidaknya berkonsentrasi di kelas membuatnya melupakan rasa tidak nyamannya. Namun, ketika pulang sekolah tiba, ia terkejut ternyata Scarlett yang menjemputnya. Ia berdiri cantik dalam balutan baju kasualnya di depan gedung sekolah. "Scarlett ! Kok lo di sini?" Dari arah belakang Andini terdengar suara Emilia yang kontan menghambur ke aktris muda tersebut hingga menabrak Andini. "Emilia, hati-hati kalau jalan! Nabrak orang kan jadinya." Disusul suara pemuda yang kemudian berhenti di samping Andini. "Maaf, ya, eh, lo..." Menyadari siapa yang mengajaknya bicara, kedua mata Andini melebar kala mengenali pemuda tersebut. Ia tersenyum tipis dan menangkupkan kedua tangannya. "Sekali lagi terima kasih buat kemarin." Pemuda itu balas tersenyum lebar. "Syukurlah lo nggak nyasar. Lo sekolah di sini juga ternyata. Gue Rishi." Ia mengulurkan tangannya. "Andini," balasnya. "Lo kenal dia, Rish?" Tanpa Andini dan Rishi sadari, Scarlett sudah mendekat dengan Emilia di sampingnya. Wajahnya tersenyum manis yang membuat Andini justru heran. "Oh, kemarin ketemu sih. Ternyata sekolah di sini juga," jawab Rishi dengan senyuman lebar. "Kemarin?" tanya Scarlett dan Emilia serentak. Melihat hal itu, Rishi tertawa, sedangkan Andini menunduk dan bergeming karena tak nyaman. "Di mana?" kejar Emilia yang menunjukkan raut tak suka. "Mall." Masih Rishi yang menjawab. "Mall?" ulang Scarlett yang seperti teringat sesuatu lalu menatap Andini dan menyentuh bahunya. "Lo kemarin ke mall sama Andhika?" Andini mendongak lalu mengangguk pelan dan untuk sepersekian detik ada emosi murka di wajah Scarlett yang segera ditutupi dengan senyuman manis. "Kukira dia pergi sama temannya," kata Scarlett. "Mas Dhika juga ketemu sama temannya," jawab Andini pelan. Scarlett manggut-manggut. "Oke deh, ayo kita pulang." Ia menarik tangan Andini. "Kok dia?" tanya Emilia kaget. "Gue emang nyusul Andini. Dia kan adiknya Andhika." Kalimat terakhir dipenuhi tekanan yang bernada mengejek. "Gue hubungi lo nanti deh." "Oke. Bubay." Emilia memberikan jempolnya dan menarik Rishi pergi. Sementara Andini yang pergelangannya masih ditarik Scarlett, kini mulai merasa kesakitan karena rasanya seperti diremas kuat. Scarlett tak berkata apa-apa hingga mereka memasuki mobil dan meninggalkan pelataran SMA Sage. "Insting gue nggak salah emang," kata Scarlett tanpa menoleh ke Andini. "Pertama Andhika, kedua Rishi. Lo tuh emang kegatelan ya? Tapi sok polos dibalik hijab lo! Cuih, munafik!" Andini yang tadinya menatap keluar jendela di sampingnya spontan menoleh ke arah Scarlett. "Maksudnya?""Siapa lo yang sebenarnya?" tanya Scarlett tanpa menyembunyikan kekesalannya."Maaf, Mbak, maksudnya gimana?" Andini yang juga diselimuti rasa takut akan dibawa entah ke mana, menunjukkan wajah kebingungan atas pertanyaan Scarlett tersebut.Scarlett mendengkus jengkel. "Tante Aruna nggak mungkin sembarangan memasukkan cewek antah berantah ke rumah Andhika sampai Andhika sendiri nggak bisa nolak! Dengan alasan sebagai anak asuh? Cuih, gue lebih percaya simpanse bisa ngomong!""Astaghfirullah!" ucap Andini. "Nggak usah sok religius deh lo !" sentak Scarlett sambil meliriknya sekilas."Astaghfirullah. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna sejak saya SD," kata Andini jujur.Lagi-lagi Andini mendengkus untuk menampik jawab tersebut. "Alaaa, ngaku aja deh lo ! Siapa lo yang sebenarnya?""Demi Allah, Mbak. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna."Satu alis Scarlett naik. "Lo pikir gue percaya? Nggak pernah ada ceritanya anak asuh sampai diajak tinggal bareng dan lucunya di rumah anak cowoknya yang b
"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya. Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bing
Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo