Share

3. Kedatangan Scarlett.

Andhika saat ini sudah berada di rumah setelah Scarlett menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Begitu ia datang, Scarlett berteriak tak karuan bagai orang kesurupan sambil menuduhnya selingkuh. Dengan sabar ia terus membujuknya untuk tenang dan mengajak semuanya ke ruang keluarga.

"Bisa-bisanya kamu nggak cerita sama aku hal sepenting ini!" seru Scarlett dengan air mata berderai. "Kamu tahu, aku sengaja nggak kasih tahu bahwa aku pulang hari ini mau kasih kejutan, eh nggak tahunya malah aku yang dapat kejutan!"

"Maaf. Aku berencana kasih tahu saat kamu sudah pulang biar nggak ganggu proses syuting kamu," balas Andhika lembut.

"Bohong! Kamu sengaja, kan, memang?" Lagi-lagi Scarlett tidak mau percaya dan menatap Andini penuh kebencian seolah berhadapan dengan saingan.

Andini sendiri yang tubuhnya gemetar hebat dan ketakutan akibat teriakan dan tatapan penuh kebencian Scarlett, tengah duduk sambil dirangkul erat oleh Tati.

"Andini cuma anak asuh mami. Dua di sini karena sekolah barunya dekat dengan rumahku, nggak lebih," terang Andhika seraya menghapus air mata Scarlett.

Scarlett menghela napas berat. "Tapi kenapa harus di kamar yang biasa aku tempati setiap nginap di sini dan lagi interior kamarnya kayak niat banget gitu?" tuduhnya dengan wajah cemberut.

"Itu kerjaan mami, sampai terakhir aku berusaha menolak tetap nggak bisa.," jawab Andhika.

"Kan bisa dikasih apartemen sendiri, malah lebih nyaman bisa ngapain saja," rajuk Scarlett.

"Sudah. Aku sudah mengusulkan itu juga, mami tetap menolak. Jadi, sampai Andini lulus SMA dia akan tinggal di sini," bujuk Andhika semeyakinkan mungkin.

Scarlett masih cemberut tapi sudah berhenti menangis. "Oke, aku percaya sama kamu," mengatakan itu sambil mencium Andhika lalu menoleh pada Andini dengan tatapan tajam. "Andini!"

Andini yang sedari tadi menunduk karena ketakutan, mendongakkan kepalanya dan mendapati Scarlett yang melotot padanya dengan jari yang teracung arogan.

"Gue percaya sama Andhika, tapi gue nggak percaya sama lo ! Jadi, jangan pernah berpikir untuk macam-macam. Paham?!"

Andini mengangguk. "Paham, Mbak "

"Masuk kamar sekarang! Bu Tati, antar dia!"  perintah Andhika dengan nada dingin.

Andini dan Tati bangkit dari duduknya nyaris bersamaan. ART Andhika itu betul-betul menatap kasihan padanya dan menopangnya agar bisa jalan dengan benar. Ketika akan diajak menggunakan lift agar cepat, Andini menolak sehingga perlahan keduanya menaiki tangga.

Sesampainya di kamar, Andini yang sudah tak tahan lagi terjatuh seolah badannya tak bertulang. Untungnya di atas tempat tidur dan masih dipegangi oleh Tati.

"Aku buatkan teh anget dulu, ya?" Tati menawarkan dan bersiap beranjak dari tempatnya.

Andini menggeleng dan tanpa sadar air matanya meleleh. Tati yang duduk di pinggir tempat tidur melihatnya dan mengusap air matanya.

"Nggak usah didengarkan. Biarkan saja. Sifat Mbak Scarlett memang jelek," kata Tati lirih dan penuh kelembutan.

Mustahil Andini membiarkan saja. Ia merasa seperti seorang pencuri dengan segala ucapan Scarlett, apalagi Andhika tidak membantunya sama sekali. Mungkin sikap Andhika memang tidak bisa diharapkan, tetapi Scarlett yang paling membuatnya syok. Sungguh tidak disangkanya seorang aktris yang terkenal ramah, lembut dan penuh senyum dalam kehidupan sehari-hari ternyata sebaliknya.

"Mbak Andin nggak usah takut, ada Bu Tati di sini, Pak Ir juga. Ya?" kata Tati lagi sambil mengusap kepala Andini yang tertutup hijab. "Bu Tati buatkan susu cokelat dulu setelah itu Mbak Andin tidur. Kan, besok sekolah."

"Nggak usah, Bu." Andini menggeleng.

"Nggak apa-apa. Biasanya Mas Dhika, Mas Aydin dan Mbak Aditi juga gitu kok." Setelah menepuk pelan bahu Andini, Tati meninggalkannya.

Dan Tati betul-betul membuatkan Andini susu cokelat, bahkan menunggui hingga Andini mengosongkan isi gelasnya lalu menyuruhnya tidur.

***

"Hmm, bagus deh tahu diri. Cewek numpang hidup kayak lo harus bantu-bantu kerjaan rumah," komentar Scarlett yang baru memasuki ruang makan dengan penampilan baru bangun tidur. Karena dasarnya memang cantik, bahkan seperti itu pun tetap cantik.

Andini yang sudah memakai seragamnya agar usai sarapan bisa langsung berangkat hanya menatap Scarlett sebentar lalu menunduk lagi dan menyelesaikan pekerjaannya menata meja makan.

Melihat Scarlett yang mengenakan kamisol dan celana pendek begitu di rumah seorang laki-laki yang bukan keluarga membuatnya risih sendiri. Ia tidak berani membayangkan di mana perempuan itu tidur semalam. Apakah di kamar tamu atau...

"Pagi, Sayang," sapa Andhika yang sudah menyusul turun dengan pakaian rapi sambil mencium kening Scarlett.

Scarlett tersenyum lebar dan memeluk mesra Andhika seolah ingin pamer pada Andini yang tidak mau tahu dan memilih duduk. "Pagi, Babe." Lalu berjalan ke arah meja makan sambil berangkulan.

"Kamu nanti berangkat sama Pak Ir," kata Andhika pada Andini.

"Iya, Mas." Andini mengangguk. Ia tidak berani mengambil nasi sebelum Andhika melakukannya.

Mendengar itu kontan Scarlett mencibir. "Enak betul lo yang anak bukan, saudara bukan dapat fasilitas mewah sampai ada sopir yang antar jemput segala. Naik angkot dong. Bis trans kan bisa. Manja!" katanya sambil mengisi piring Andhika dan piringnya sendiri. "Dia sekolah di mana sih?"

"SMA Sage," jawab Andhika pendek.

Andini sempat melihat sebelah alis Scarlett naik saat gilirannya mengambil nasi, tapi ia mencoba untuk tidak mengartikannya macam-macam dan mengabaikan saja. Ia ingin segera selesai dan berangkat sekolah.

"Oh. Sekolahnya Emilia." Scarlett tertawa sinis. "Memangnya anak kampung seperti dia sanggup sekolah di tempat elit kayak gitu? Kok bisa sih mamimu daftarkan dia di situ? Yang ada bikin malu keluarga Wisesa saja! Carikan yang sesuai otaknya saja, kasihan. Yang SPPnya disubsidi pemerintah."

Scarlett tak henti-hentinya menghina Andini dan itu membuatnya nyaris tak bisa menelan sarapannya.

"Lo jangan bikin malu ya!" Scarlett menunjuk Andini dengan sendoknya.

Andini hanya menanggapi dengan anggukan kecil.

"Nggak sopan!" dengkus Scarlett.

Karena semua sarapan dengan porsi kecil, maka semua selesai bersamaan.

Andhika merogoh sakunya untuk meraih dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang lalu diberikan kepada Andini. "Ini uang sakumu Minggu ini."

"Terima kasih, Mas," ucap Andini yang segera memasukkannya ke saku seragamnya.

Scarlett melotot melihatnya. "Kok kamu ngasih duit banyak? Boros, Sayang, yang ada nanti dia tuh. Orang miskin kayak dia yang nggak pernah pegang uang pastinya bakalan lupa diri."

Andhika tersenyum manis sambil menepuk tangan Scarlett yang ada di atas meja. "Itu dari Mami. Semua pengeluarannya ditanggung Mami sendiri, bukan aku. Andini cuma numpang tidur saja di sini."

Mendengarkan percakapan mereka, Andini memperhatikan satu hal. Jika Scarlett enggan menyebut namanya, maka Andhika masih menyebutkan namanya.

"Sudah, berangkat sana!" Andhika melakukan gerakan mengusir yang membuat Andini segera bangkit.

"Saya berangkat, Mas, Mbak," pamit Andini yang segera meninggalkan meja makan, meraih tasnya di atas sofa ruang keluarga yang memang sebelahan dan turun ke lantai bawah.

"Benar-benar enak hidup lo, habis makan nggak dicuci," sindir Scarlett.

Andini mendengarnya di saat ia sudah berada di anak tangga keempat, tapi ia ragu untuk berbalik. Tepat saat itu ada Tati yang melintas dan spontan ia pamit sambil mencium tangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status