Andhika saat ini sudah berada di rumah setelah Scarlett menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Begitu ia datang, Scarlett berteriak tak karuan bagai orang kesurupan sambil menuduhnya selingkuh. Dengan sabar ia terus membujuknya untuk tenang dan mengajak semuanya ke ruang keluarga.
"Bisa-bisanya kamu nggak cerita sama aku hal sepenting ini!" seru Scarlett dengan air mata berderai. "Kamu tahu, aku sengaja nggak kasih tahu bahwa aku pulang hari ini mau kasih kejutan, eh nggak tahunya malah aku yang dapat kejutan!" "Maaf. Aku berencana kasih tahu saat kamu sudah pulang biar nggak ganggu proses syuting kamu," balas Andhika lembut. "Bohong! Kamu sengaja, kan, memang?" Lagi-lagi Scarlett tidak mau percaya dan menatap Andini penuh kebencian seolah berhadapan dengan saingan. Andini sendiri yang tubuhnya gemetar hebat dan ketakutan akibat teriakan dan tatapan penuh kebencian Scarlett, tengah duduk sambil dirangkul erat oleh Tati. "Andini cuma anak asuh mami. Dua di sini karena sekolah barunya dekat dengan rumahku, nggak lebih," terang Andhika seraya menghapus air mata Scarlett. Scarlett menghela napas berat. "Tapi kenapa harus di kamar yang biasa aku tempati setiap nginap di sini dan lagi interior kamarnya kayak niat banget gitu?" tuduhnya dengan wajah cemberut. "Itu kerjaan mami, sampai terakhir aku berusaha menolak tetap nggak bisa.," jawab Andhika. "Kan bisa dikasih apartemen sendiri, malah lebih nyaman bisa ngapain saja," rajuk Scarlett. "Sudah. Aku sudah mengusulkan itu juga, mami tetap menolak. Jadi, sampai Andini lulus SMA dia akan tinggal di sini," bujuk Andhika semeyakinkan mungkin. Scarlett masih cemberut tapi sudah berhenti menangis. "Oke, aku percaya sama kamu," mengatakan itu sambil mencium Andhika lalu menoleh pada Andini dengan tatapan tajam. "Andini!" Andini yang sedari tadi menunduk karena ketakutan, mendongakkan kepalanya dan mendapati Scarlett yang melotot padanya dengan jari yang teracung arogan. "Gue percaya sama Andhika, tapi gue nggak percaya sama lo ! Jadi, jangan pernah berpikir untuk macam-macam. Paham?!" Andini mengangguk. "Paham, Mbak " "Masuk kamar sekarang! Bu Tati, antar dia!" perintah Andhika dengan nada dingin. Andini dan Tati bangkit dari duduknya nyaris bersamaan. ART Andhika itu betul-betul menatap kasihan padanya dan menopangnya agar bisa jalan dengan benar. Ketika akan diajak menggunakan lift agar cepat, Andini menolak sehingga perlahan keduanya menaiki tangga. Sesampainya di kamar, Andini yang sudah tak tahan lagi terjatuh seolah badannya tak bertulang. Untungnya di atas tempat tidur dan masih dipegangi oleh Tati. "Aku buatkan teh anget dulu, ya?" Tati menawarkan dan bersiap beranjak dari tempatnya. Andini menggeleng dan tanpa sadar air matanya meleleh. Tati yang duduk di pinggir tempat tidur melihatnya dan mengusap air matanya. "Nggak usah didengarkan. Biarkan saja. Sifat Mbak Scarlett memang jelek," kata Tati lirih dan penuh kelembutan. Mustahil Andini membiarkan saja. Ia merasa seperti seorang pencuri dengan segala ucapan Scarlett, apalagi Andhika tidak membantunya sama sekali. Mungkin sikap Andhika memang tidak bisa diharapkan, tetapi Scarlett yang paling membuatnya syok. Sungguh tidak disangkanya seorang aktris yang terkenal ramah, lembut dan penuh senyum dalam kehidupan sehari-hari ternyata sebaliknya. "Mbak Andin nggak usah takut, ada Bu Tati di sini, Pak Ir juga. Ya?" kata Tati lagi sambil mengusap kepala Andini yang tertutup hijab. "Bu Tati buatkan susu cokelat dulu setelah itu Mbak Andin tidur. Kan, besok sekolah." "Nggak usah, Bu." Andini menggeleng. "Nggak apa-apa. Biasanya Mas Dhika, Mas Aydin dan Mbak Aditi juga gitu kok." Setelah menepuk pelan bahu Andini, Tati meninggalkannya. Dan Tati betul-betul membuatkan Andini susu cokelat, bahkan menunggui hingga Andini mengosongkan isi gelasnya lalu menyuruhnya tidur. *** "Hmm, bagus deh tahu diri. Cewek numpang hidup kayak lo harus bantu-bantu kerjaan rumah," komentar Scarlett yang baru memasuki ruang makan dengan penampilan baru bangun tidur. Karena dasarnya memang cantik, bahkan seperti itu pun tetap cantik. Andini yang sudah memakai seragamnya agar usai sarapan bisa langsung berangkat hanya menatap Scarlett sebentar lalu menunduk lagi dan menyelesaikan pekerjaannya menata meja makan. Melihat Scarlett yang mengenakan kamisol dan celana pendek begitu di rumah seorang laki-laki yang bukan keluarga membuatnya risih sendiri. Ia tidak berani membayangkan di mana perempuan itu tidur semalam. Apakah di kamar tamu atau... "Pagi, Sayang," sapa Andhika yang sudah menyusul turun dengan pakaian rapi sambil mencium kening Scarlett. Scarlett tersenyum lebar dan memeluk mesra Andhika seolah ingin pamer pada Andini yang tidak mau tahu dan memilih duduk. "Pagi, Babe." Lalu berjalan ke arah meja makan sambil berangkulan. "Kamu nanti berangkat sama Pak Ir," kata Andhika pada Andini. "Iya, Mas." Andini mengangguk. Ia tidak berani mengambil nasi sebelum Andhika melakukannya. Mendengar itu kontan Scarlett mencibir. "Enak betul lo yang anak bukan, saudara bukan dapat fasilitas mewah sampai ada sopir yang antar jemput segala. Naik angkot dong. Bis trans kan bisa. Manja!" katanya sambil mengisi piring Andhika dan piringnya sendiri. "Dia sekolah di mana sih?" "SMA Sage," jawab Andhika pendek. Andini sempat melihat sebelah alis Scarlett naik saat gilirannya mengambil nasi, tapi ia mencoba untuk tidak mengartikannya macam-macam dan mengabaikan saja. Ia ingin segera selesai dan berangkat sekolah. "Oh. Sekolahnya Emilia." Scarlett tertawa sinis. "Memangnya anak kampung seperti dia sanggup sekolah di tempat elit kayak gitu? Kok bisa sih mamimu daftarkan dia di situ? Yang ada bikin malu keluarga Wisesa saja! Carikan yang sesuai otaknya saja, kasihan. Yang SPPnya disubsidi pemerintah." Scarlett tak henti-hentinya menghina Andini dan itu membuatnya nyaris tak bisa menelan sarapannya. "Lo jangan bikin malu ya!" Scarlett menunjuk Andini dengan sendoknya. Andini hanya menanggapi dengan anggukan kecil. "Nggak sopan!" dengkus Scarlett. Karena semua sarapan dengan porsi kecil, maka semua selesai bersamaan. Andhika merogoh sakunya untuk meraih dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang lalu diberikan kepada Andini. "Ini uang sakumu Minggu ini." "Terima kasih, Mas," ucap Andini yang segera memasukkannya ke saku seragamnya. Scarlett melotot melihatnya. "Kok kamu ngasih duit banyak? Boros, Sayang, yang ada nanti dia tuh. Orang miskin kayak dia yang nggak pernah pegang uang pastinya bakalan lupa diri." Andhika tersenyum manis sambil menepuk tangan Scarlett yang ada di atas meja. "Itu dari Mami. Semua pengeluarannya ditanggung Mami sendiri, bukan aku. Andini cuma numpang tidur saja di sini." Mendengarkan percakapan mereka, Andini memperhatikan satu hal. Jika Scarlett enggan menyebut namanya, maka Andhika masih menyebutkan namanya. "Sudah, berangkat sana!" Andhika melakukan gerakan mengusir yang membuat Andini segera bangkit. "Saya berangkat, Mas, Mbak," pamit Andini yang segera meninggalkan meja makan, meraih tasnya di atas sofa ruang keluarga yang memang sebelahan dan turun ke lantai bawah. "Benar-benar enak hidup lo, habis makan nggak dicuci," sindir Scarlett. Andini mendengarnya di saat ia sudah berada di anak tangga keempat, tapi ia ragu untuk berbalik. Tepat saat itu ada Tati yang melintas dan spontan ia pamit sambil mencium tangannya.Seharusnya Andhika mengantar Andini, bahkan Aruna sudah membuat putranya itu berjanji, tapi akibat kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, akhirnya hanya menyuruh Irawan mengantarnya.Di kelasnya yang baru seluruh siswa menatap Andini, tapi sebagian tampak memberikan tatapan sinis dan merendahkan. Ia teringat perkataan Scarlett bahwa ia tak cocok berada di SMA Sage yang elit."Hai, aku Elke." Gadis berambut ikal pendek yang duduk satu deret dengannya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, setelah Andini duduk di tempat yang ditunjuk untuknya.Andini membalas jabatan tangan Elke sambil tersenyum tipis setelah ia duduk. "Andini."Namun, keduanya tak bisa berkenalan lebih jauh karena pelajaran sudah dimulai. Kebetulan bahasa Inggris. Meskipun cara mengajarnya berbeda dengan yang ia terima selama ini, tapi ia bisa mengikutinya dengan baik. Ketika jam istirahat tiba, Elke mengajak Andini ke kantin sambil mengenalkan apa saja yang mereka lewati dan seperti apa sekolah mereka yang bernuansa h
"Siapa lo yang sebenarnya?" tanya Scarlett tanpa menyembunyikan kekesalannya."Maaf, Mbak, maksudnya gimana?" Andini yang juga diselimuti rasa takut akan dibawa entah ke mana, menunjukkan wajah kebingungan atas pertanyaan Scarlett tersebut.Scarlett mendengkus jengkel. "Tante Aruna nggak mungkin sembarangan memasukkan cewek antah berantah ke rumah Andhika sampai Andhika sendiri nggak bisa nolak! Dengan alasan sebagai anak asuh? Cuih, gue lebih percaya simpanse bisa ngomong!""Astaghfirullah!" ucap Andini. "Nggak usah sok religius deh lo !" sentak Scarlett sambil meliriknya sekilas."Astaghfirullah. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna sejak saya SD," kata Andini jujur.Lagi-lagi Andini mendengkus untuk menampik jawab tersebut. "Alaaa, ngaku aja deh lo ! Siapa lo yang sebenarnya?""Demi Allah, Mbak. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna."Satu alis Scarlett naik. "Lo pikir gue percaya? Nggak pernah ada ceritanya anak asuh sampai diajak tinggal bareng dan lucunya di rumah anak cowoknya yang b
"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya. Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bing
Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se