Share

2. Di Mall

Andini susah payah membawa belanjaannya sendiri tanpa bantuan Andhika sama sekali. Kali ini hanya berdua, perempuan yang menemani mereka sudah pergi lebih dulu dan Andhika tak langsung mengajaknya pulang.

Andhika ada janji dengan teman-temannya di salah satu restoran yang ada di mall tersebut. Karena ia tidak mengatakan Andini harus duduk di mana, akhirnya gadis itu duduk di meja sebelahnya.

"Asisten lo ?" tanya teman Andhika yang seorang laki-laki yang penampilannya menarik bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan Andhika yang jauh lebih sederhana.

Andhika hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Untungnya ia masih memiliki hati dengan memesankan Andini minuman. Ia sendiri sedang tidak melakukan pertemuan bisnis dengan temannya, hanya temu kangen sebab temannya itu baru datang ke Indonesia.

Andini tidak tahu jam berapa dan tidak ada kesempatan untuk melihat jam sama sekali. Ketika akhirnya ia melihatnya di ponsel, ia terkejut bahwa waktu ashar sudah lama berlalu. Ia menggerakkan mulutnya dengan ragu ingin izin ke mushala sebentar tapi di satu sisi takut tersesat. Hanya saja jika tidak pergi, artinya tidak salat. Akhirnya memberanikan diri untuk berdiri dan mendekati Andhika.

"Mas Dhika, permisi," ucap Andini pada Andhika yang tengah berbicara seru hingga terkekeh.

Andhika mendongak dan mengernyit. Ia juga kesal obrolannya diganggu. "Apa?"

"Saya mau izin shalat dulu," ucap Andini sedikit lirih.

Andhika mengibaskan tangannya dan Andini pun segera pergi,. Sambil berusaha memperhatikan para pengunjung yang kira-kira bisa ditanya. Ia khawatir penampilannya yang jauh dari gaya orang-orang di mall tersebut membuat mereka enggan untuk bicara padanya.

"Kenapa, Mbak?" Tiba-tiba ada lelaki muda yang sedikit lebih tua dari Andini mendekat. Ia tengah sendirian. "Kesasar atau bagaimana?"

Andini semakin khawatir. Ia berada di tempat asing seorang diri dan takut ada modus yang aneh-aneh. Seketika ia teringat nasehat orang tuanya agar tidak bicara dengan orang asing yang membawa permen. Ia tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Ia bingung lalu berdoa dalam hati. "Anu, uhm, mushala di sini di mana, ya?"

"Oh, mushala." Pemuda tadi tersenyum penuh pengertian dan kemudian menjelaskan di mana posisinya, tapi karena Andini masih terlihat bingung, ia menyuruh mengikutinya.

"Eh, iya..." Andini mengangguk dan dengan langkah ragu dan doa yang terus teruçap berharap bukan tipuan, ia mengikuti pemuda itu.

"Baru pertama kali ke sini?"

"Iya."

"Baru datang ke Jakarta?"

"Iya."

"Asalnya dari mana?"

"Surabaya." Meskipun asalnya bukan tepat di kota pahlawan tersebut, karena orang luar Jawa Timur tidak akan tahu letaknya, Andini memilih kota terdekat dari rumahnya yang dikenal seluruh Indonesia.

Pemuda itu manggut-manggut. "Pantes logatnya agak-agak mirip Ahmad Dhani, Ari Lasso gitu-gitu. Liburan atau gimana di Jakarta?"

"Uhm, sekolah."

Pemuda itu kembali menganggukkan kepalanya dan mungkin mengira Andini mahasiswi baru yang sedang refreshing. "Sendirian?"

Andini menggeleng. "Ada..."

Entah mengapa pemuda itu manggut-manggut penuh pengertian dan tidak bertanya lagi hingga mereka tiba di depan mushala.

"Terima kasih banyak ya, Mas," ucap Andini tulus, lega sekaligus merasa bersalah karena sudah suuzan.

Pemuda tadi mengangguk. "Saya tinggal bisa, kan? "

Andini balas mengangguk. "Bisa. Sekali lagi terima kasih."

Pemuda itu yang penampilannya menurut Andini seperti artis itu membalas dengan senyuman dan meninggalkannya. Lalu Andini segera salat sebelum waktunya berakhir. Ia bersyukur masih bisa mengejarnya. Siapa sangka berkeliling mall membeli baju dan sepatu saja sampai menghabiskan waktu lama.

Seusai salat, Andini berusaha mengingat-ingat arahnya datang tadi sambil berdoa agar tidak tersesat. Ia berjalan dengan langkah ragu sehingga membuatnya bergerak agak lambat ketika akhirnya menemukan restoran tempat Andhika bertemu temannya.

Sesampainya di sana tampaknya Andhika tidak tertarik untuk mengkhawatirkannya, hanya melirik sekilas untuk memastikan keberadaannya sambil terus mengobrol.

"Aku sudah menyuruh Pak Irawan ke sini. Kalau Pak Ir datang, kamu langsung pulang sama dia," kata Andhika memberitahu.

Andini mengangguk. "Iya, Mas." Setelah itu, ia meminum esnya yang sudah tidak seberapa dingin. Sepertinya Andhika juga tidak peduli dengan perutnya sebab meja tempatnya berada hanya tersedia minuman yang sedari awal dipesan tanpa tambahan apapun, sedangkan meja Andhika sudah penuh dengan bekas makanan. Entah camilan atau makanan berat.

***

Setelah Irawan, laki-laki yang sedikit lebih tua dari Tati menjemput, Andini langsung pulang. Kali ini seluruh belanjaannya dibantu dibawakan oleh sopir yang sekaligus merangkap sebagai tukang kebun di rumah Andhika itu.

Berbeda dengan ketika bersama Andhika, kali ini Andini dipaksa duduk di belakang meskipun ia tadinya duduk di sebelah Irawan. Alasannya karena Andini anak asuh Aruna yang secara tidak langsung adalah adik Andhika. Andini hanya menuruti dan tak kuasa mendebat lebih jauh. Untungnya Irawan cukup ramah dan mengajaknya bicara.

Sesampainya di rumah, Andini segera ke kamarnya, setelah menyimpan semua barang-barang yang baru dibeli, ia mengganti bajunya dengan baju rumahan yang lebih nyaman lalu salat. Setelahnya Tati memanggilnya untuk makan malam. Andhika belum pulang sehingga ia makan sendirian.

"Padahal Bu Tati bisa makan sama saya di sini atau saya yang ke bawah sama Ibu," kata Andini pada Tati. Ia masih merasa tidak nyaman diperlukan layaknya majikan di saat tuan rumah tidak menganggapnya sama sekali.

"Nggak apa-apa, Mbak Andin di sini saja," sahut Tati lalu pamit ke bawah.

Tepat ketika Andini selesai makan, bel pintu berbunyi. Ia pun buru-buru membukanya. Seorang perempuan cantik dan menurutnya sangat mirip dengan salah satu selebriti Indonesia yang tengah naik daun. Tamu tersebut juga membawa tas bepergian berukuran sedang.

Melihat Andini, perempuan yang mengenakan baju crop top dan celana jeans itu menatapnya dari atas ke bawah.

"Lo siapa?" tanya perempuan itu dengan gaya arogan.

"Saya Andini. Maaf, mbaknya siapa, ya dan nyari siapa?" tanya Andini hati-hati. Kemungkinan besar pasti tamu Andhika, tapi ia tetap tidak mau ambil resiko.

Perempuan tadi kembali menatap Andini dari atas ke bawah. "Lo nggak kenal gue?"

Andini dengan polosnya menggeleng.

Perempuan tadi berdecak. "Ya ampun, lo tinggal di mana nggak kenal gue? Baru datang dari kampung, ya? Ya sudahlah. Gue Scarlett pacar Andhika. Dia sudah pulang belum?" Berkata begitu sambil melewati Andini dan menyenggolnya kasar.

"Mas Dhika belum pulang. Silakan duduk," kata Andini sopan.

Scarlett mendengkus dan berbalik. "Buatin gue minuman dingin saja. Oh, jangan bilang Andhika gue datang. Mau kasih kejutan soalnya. Kalau sudah selesai, panggil saja, gue mau mandi, gerah."

"Eh, iya, Mbak." Andini mengangguk bingung dengan perintah Scarlett.

Ketika Scarlett naik ke lantai atas, Andini ke lantai bawah untuk memberitahu Tati dan juga minta ajari membuat minuman untuk tamu karena takutnya berbeda cara dengan yang biasa dilakukannya selama ini.

Di bawah, tepat saat Tati bertanya siapa yang datang, terdengar teriakan dari lantai atas yang segera membuat Andini, Tati dan Irawan ke lantai atas. Tati mengajaknya menggunakan lift biar cepat, sedangkan Irawan berlari menaiki tangga.

"Bibik! Bi Tati!" teriak Scarlett penuh amarah sekaligus syok.

"Mbak Scarlett, ada apa?" Tergopoh-gopoh Tati menuju tempat Scarlett berada yang ternyata berada di kamar Andini.

"Perempuan siapa yang tinggal di sini?!" teriak Scarlett curiga sambil menunjuk penuh amarah ke arah tempat tidur yang sangat feminin bernuansa pink pastel dan terdapat beberapa boneka di atasnya.

"K-kamar saya, Mbak," jawab Andini takut-takut.

"Apa?!" pekik Scarlett murka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status