Andini susah payah membawa belanjaannya sendiri tanpa bantuan Andhika sama sekali. Kali ini hanya berdua, perempuan yang menemani mereka sudah pergi lebih dulu dan Andhika tak langsung mengajaknya pulang.
Andhika ada janji dengan teman-temannya di salah satu restoran yang ada di mall tersebut. Karena ia tidak mengatakan Andini harus duduk di mana, akhirnya gadis itu duduk di meja sebelahnya. "Asisten lo ?" tanya teman Andhika yang seorang laki-laki yang penampilannya menarik bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan Andhika yang jauh lebih sederhana. Andhika hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Untungnya ia masih memiliki hati dengan memesankan Andini minuman. Ia sendiri sedang tidak melakukan pertemuan bisnis dengan temannya, hanya temu kangen sebab temannya itu baru datang ke Indonesia. Andini tidak tahu jam berapa dan tidak ada kesempatan untuk melihat jam sama sekali. Ketika akhirnya ia melihatnya di ponsel, ia terkejut bahwa waktu ashar sudah lama berlalu. Ia menggerakkan mulutnya dengan ragu ingin izin ke mushala sebentar tapi di satu sisi takut tersesat. Hanya saja jika tidak pergi, artinya tidak salat. Akhirnya memberanikan diri untuk berdiri dan mendekati Andhika. "Mas Dhika, permisi," ucap Andini pada Andhika yang tengah berbicara seru hingga terkekeh. Andhika mendongak dan mengernyit. Ia juga kesal obrolannya diganggu. "Apa?" "Saya mau izin shalat dulu," ucap Andini sedikit lirih. Andhika mengibaskan tangannya dan Andini pun segera pergi,. Sambil berusaha memperhatikan para pengunjung yang kira-kira bisa ditanya. Ia khawatir penampilannya yang jauh dari gaya orang-orang di mall tersebut membuat mereka enggan untuk bicara padanya. "Kenapa, Mbak?" Tiba-tiba ada lelaki muda yang sedikit lebih tua dari Andini mendekat. Ia tengah sendirian. "Kesasar atau bagaimana?" Andini semakin khawatir. Ia berada di tempat asing seorang diri dan takut ada modus yang aneh-aneh. Seketika ia teringat nasehat orang tuanya agar tidak bicara dengan orang asing yang membawa permen. Ia tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Ia bingung lalu berdoa dalam hati. "Anu, uhm, mushala di sini di mana, ya?" "Oh, mushala." Pemuda tadi tersenyum penuh pengertian dan kemudian menjelaskan di mana posisinya, tapi karena Andini masih terlihat bingung, ia menyuruh mengikutinya. "Eh, iya..." Andini mengangguk dan dengan langkah ragu dan doa yang terus teruçap berharap bukan tipuan, ia mengikuti pemuda itu. "Baru pertama kali ke sini?" "Iya." "Baru datang ke Jakarta?" "Iya." "Asalnya dari mana?" "Surabaya." Meskipun asalnya bukan tepat di kota pahlawan tersebut, karena orang luar Jawa Timur tidak akan tahu letaknya, Andini memilih kota terdekat dari rumahnya yang dikenal seluruh Indonesia. Pemuda itu manggut-manggut. "Pantes logatnya agak-agak mirip Ahmad Dhani, Ari Lasso gitu-gitu. Liburan atau gimana di Jakarta?" "Uhm, sekolah." Pemuda itu kembali menganggukkan kepalanya dan mungkin mengira Andini mahasiswi baru yang sedang refreshing. "Sendirian?" Andini menggeleng. "Ada..." Entah mengapa pemuda itu manggut-manggut penuh pengertian dan tidak bertanya lagi hingga mereka tiba di depan mushala. "Terima kasih banyak ya, Mas," ucap Andini tulus, lega sekaligus merasa bersalah karena sudah suuzan. Pemuda tadi mengangguk. "Saya tinggal bisa, kan? " Andini balas mengangguk. "Bisa. Sekali lagi terima kasih." Pemuda itu yang penampilannya menurut Andini seperti artis itu membalas dengan senyuman dan meninggalkannya. Lalu Andini segera salat sebelum waktunya berakhir. Ia bersyukur masih bisa mengejarnya. Siapa sangka berkeliling mall membeli baju dan sepatu saja sampai menghabiskan waktu lama. Seusai salat, Andini berusaha mengingat-ingat arahnya datang tadi sambil berdoa agar tidak tersesat. Ia berjalan dengan langkah ragu sehingga membuatnya bergerak agak lambat ketika akhirnya menemukan restoran tempat Andhika bertemu temannya. Sesampainya di sana tampaknya Andhika tidak tertarik untuk mengkhawatirkannya, hanya melirik sekilas untuk memastikan keberadaannya sambil terus mengobrol. "Aku sudah menyuruh Pak Irawan ke sini. Kalau Pak Ir datang, kamu langsung pulang sama dia," kata Andhika memberitahu. Andini mengangguk. "Iya, Mas." Setelah itu, ia meminum esnya yang sudah tidak seberapa dingin. Sepertinya Andhika juga tidak peduli dengan perutnya sebab meja tempatnya berada hanya tersedia minuman yang sedari awal dipesan tanpa tambahan apapun, sedangkan meja Andhika sudah penuh dengan bekas makanan. Entah camilan atau makanan berat. *** Setelah Irawan, laki-laki yang sedikit lebih tua dari Tati menjemput, Andini langsung pulang. Kali ini seluruh belanjaannya dibantu dibawakan oleh sopir yang sekaligus merangkap sebagai tukang kebun di rumah Andhika itu. Berbeda dengan ketika bersama Andhika, kali ini Andini dipaksa duduk di belakang meskipun ia tadinya duduk di sebelah Irawan. Alasannya karena Andini anak asuh Aruna yang secara tidak langsung adalah adik Andhika. Andini hanya menuruti dan tak kuasa mendebat lebih jauh. Untungnya Irawan cukup ramah dan mengajaknya bicara. Sesampainya di rumah, Andini segera ke kamarnya, setelah menyimpan semua barang-barang yang baru dibeli, ia mengganti bajunya dengan baju rumahan yang lebih nyaman lalu salat. Setelahnya Tati memanggilnya untuk makan malam. Andhika belum pulang sehingga ia makan sendirian. "Padahal Bu Tati bisa makan sama saya di sini atau saya yang ke bawah sama Ibu," kata Andini pada Tati. Ia masih merasa tidak nyaman diperlukan layaknya majikan di saat tuan rumah tidak menganggapnya sama sekali. "Nggak apa-apa, Mbak Andin di sini saja," sahut Tati lalu pamit ke bawah. Tepat ketika Andini selesai makan, bel pintu berbunyi. Ia pun buru-buru membukanya. Seorang perempuan cantik dan menurutnya sangat mirip dengan salah satu selebriti Indonesia yang tengah naik daun. Tamu tersebut juga membawa tas bepergian berukuran sedang. Melihat Andini, perempuan yang mengenakan baju crop top dan celana jeans itu menatapnya dari atas ke bawah. "Lo siapa?" tanya perempuan itu dengan gaya arogan. "Saya Andini. Maaf, mbaknya siapa, ya dan nyari siapa?" tanya Andini hati-hati. Kemungkinan besar pasti tamu Andhika, tapi ia tetap tidak mau ambil resiko. Perempuan tadi kembali menatap Andini dari atas ke bawah. "Lo nggak kenal gue?" Andini dengan polosnya menggeleng. Perempuan tadi berdecak. "Ya ampun, lo tinggal di mana nggak kenal gue? Baru datang dari kampung, ya? Ya sudahlah. Gue Scarlett pacar Andhika. Dia sudah pulang belum?" Berkata begitu sambil melewati Andini dan menyenggolnya kasar. "Mas Dhika belum pulang. Silakan duduk," kata Andini sopan. Scarlett mendengkus dan berbalik. "Buatin gue minuman dingin saja. Oh, jangan bilang Andhika gue datang. Mau kasih kejutan soalnya. Kalau sudah selesai, panggil saja, gue mau mandi, gerah." "Eh, iya, Mbak." Andini mengangguk bingung dengan perintah Scarlett. Ketika Scarlett naik ke lantai atas, Andini ke lantai bawah untuk memberitahu Tati dan juga minta ajari membuat minuman untuk tamu karena takutnya berbeda cara dengan yang biasa dilakukannya selama ini. Di bawah, tepat saat Tati bertanya siapa yang datang, terdengar teriakan dari lantai atas yang segera membuat Andini, Tati dan Irawan ke lantai atas. Tati mengajaknya menggunakan lift biar cepat, sedangkan Irawan berlari menaiki tangga. "Bibik! Bi Tati!" teriak Scarlett penuh amarah sekaligus syok. "Mbak Scarlett, ada apa?" Tergopoh-gopoh Tati menuju tempat Scarlett berada yang ternyata berada di kamar Andini. "Perempuan siapa yang tinggal di sini?!" teriak Scarlett curiga sambil menunjuk penuh amarah ke arah tempat tidur yang sangat feminin bernuansa pink pastel dan terdapat beberapa boneka di atasnya. "K-kamar saya, Mbak," jawab Andini takut-takut. "Apa?!" pekik Scarlett murka.Andhika saat ini sudah berada di rumah setelah Scarlett menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Begitu ia datang, Scarlett berteriak tak karuan bagai orang kesurupan sambil menuduhnya selingkuh. Dengan sabar ia terus membujuknya untuk tenang dan mengajak semuanya ke ruang keluarga."Bisa-bisanya kamu nggak cerita sama aku hal sepenting ini!" seru Scarlett dengan air mata berderai. "Kamu tahu, aku sengaja nggak kasih tahu bahwa aku pulang hari ini mau kasih kejutan, eh nggak tahunya malah aku yang dapat kejutan!""Maaf. Aku berencana kasih tahu saat kamu sudah pulang biar nggak ganggu proses syuting kamu," balas Andhika lembut."Bohong! Kamu sengaja, kan, memang?" Lagi-lagi Scarlett tidak mau percaya dan menatap Andini penuh kebencian seolah berhadapan dengan saingan.Andini sendiri yang tubuhnya gemetar hebat dan ketakutan akibat teriakan dan tatapan penuh kebencian Scarlett, tengah duduk sambil dirangkul erat oleh Tati."Andini cuma anak asuh mami. Dua di sini karena sekolah barunya
Seharusnya Andhika mengantar Andini, bahkan Aruna sudah membuat putranya itu berjanji, tapi akibat kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, akhirnya hanya menyuruh Irawan mengantarnya.Di kelasnya yang baru seluruh siswa menatap Andini, tapi sebagian tampak memberikan tatapan sinis dan merendahkan. Ia teringat perkataan Scarlett bahwa ia tak cocok berada di SMA Sage yang elit."Hai, aku Elke." Gadis berambut ikal pendek yang duduk satu deret dengannya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, setelah Andini duduk di tempat yang ditunjuk untuknya.Andini membalas jabatan tangan Elke sambil tersenyum tipis setelah ia duduk. "Andini."Namun, keduanya tak bisa berkenalan lebih jauh karena pelajaran sudah dimulai. Kebetulan bahasa Inggris. Meskipun cara mengajarnya berbeda dengan yang ia terima selama ini, tapi ia bisa mengikutinya dengan baik. Ketika jam istirahat tiba, Elke mengajak Andini ke kantin sambil mengenalkan apa saja yang mereka lewati dan seperti apa sekolah mereka yang bernuansa h
"Siapa lo yang sebenarnya?" tanya Scarlett tanpa menyembunyikan kekesalannya."Maaf, Mbak, maksudnya gimana?" Andini yang juga diselimuti rasa takut akan dibawa entah ke mana, menunjukkan wajah kebingungan atas pertanyaan Scarlett tersebut.Scarlett mendengkus jengkel. "Tante Aruna nggak mungkin sembarangan memasukkan cewek antah berantah ke rumah Andhika sampai Andhika sendiri nggak bisa nolak! Dengan alasan sebagai anak asuh? Cuih, gue lebih percaya simpanse bisa ngomong!""Astaghfirullah!" ucap Andini. "Nggak usah sok religius deh lo !" sentak Scarlett sambil meliriknya sekilas."Astaghfirullah. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna sejak saya SD," kata Andini jujur.Lagi-lagi Andini mendengkus untuk menampik jawab tersebut. "Alaaa, ngaku aja deh lo ! Siapa lo yang sebenarnya?""Demi Allah, Mbak. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna."Satu alis Scarlett naik. "Lo pikir gue percaya? Nggak pernah ada ceritanya anak asuh sampai diajak tinggal bareng dan lucunya di rumah anak cowoknya yang b
"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya. Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bing
Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid