Andini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya.
Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk. Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada. "Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya. Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya. Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah. "Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman lebar sambil menarik Andini agar berdiri di dekatnya. "Ya, kan, dikasih makan, Mi," sahut Andhika dengan nada malas. Andini yang sedari tadi menunduk, mendengar ucapan Andhika makin menunduk. "Hush! Sekarang Andini tinggal sama kamu. Mami percayakan semuanya sama kamu." Lalu Aruna mengajak Andini duduk di salah satu sofa. Andini duduk hati-hati dengan sikap kaku dan perlahan meletakkan tas pakaiannya di atas lantai. Andhika menyusul duduk di bagian lain sofa. "Mi, kenapa harus tinggal sama aku, sih?" "Kita sudah sepakat, Dhika," sahut Aruna. "Itu kesepakatan kalian. Bukan aku. Kalau cuma alasannya rumahku dekat dengan sekolah barunya, kita bisa carikan dia apartemen terdekat." Andhika jelas terdengar keberatan, seperti yang ditakutkan Andini. "Dhika, kamu tega menyuruh Andini yang baru datang ke Jakarta untuk tinggal sendirian?" tanya Aruna tak habis pikir. Andhika berdecak keras. "Ya sudah sih, tinggal kita kasih pembantu dan sopir. Beres kan?" Aruna melotot. "Kenapa kamu ngotot? Takut privasimu terganggu? Kamu mau masukin siapa? Perempuan nggak jelas?" "Mami!" "Terserah kamu pacaran sama siapa, tapi jangan harap kamu bisa menikah sama Scarlett!" "Hanya karena dia artis? Mami nggak adil kalau alasannya itu. Mantu Mami ada yang anaknya artis!" "Kamu masih muda. Mata Mami sudah melihat lebih banyak daripada kamu." Setelah berkata begitu, Aruna bangkit yang membuat Andini panik dan ikut bangkit karena takut ditinggalkan begitu saja. "Antar kami ke kamar Andini!" Dengan muka keruh, Andhika bangkit dan mendahului menaiki tangga yang kemudian disusul oleh Aruna dan Andini. "Di situ ada lift," Aruna menunjuk pintu sebelah tangga, "tapi karena kita bertiga dan liftnya sempit, jadi naik tangga saja." Tak lama mereka sampai di lantai atas dan Andhika membuka salah satu pintu kamar. Aruna mengajak Andini masuk. Sebuah kamar yang menghadap jalan. Mami Andhika tampak puas dengan interiornya dan mengangguk. "Bagus. Mami suka." Ia menoleh pada Andini dengan senyuman lebar. "Mulai hari ini, kamu tinggal di sini dan ini adalah kamarmu. Kalau butuh apa-apa, bilang saja pada Andhika." "Iya, Bu, terima kasih," ucap Andini masih menunduk dan merasa tak pasti. Ia mencengkeram tasnya makin erat karena kekhawatirannya memuncak. Aruna memang memberikan sejumlah uang cash tapi ke depannya siapa yang tahu bagaimana nasibnya jika sikap Andhika saja tidak menyukai kehadirannya dan tak mau repot-repot menutupinya. *** Hari pertama tinggal di rumah Andhika, Andini masih diliputi ketakutan. Acara makan malam bersama semalam saja masih terlihat jelas bagaimana sikap laki-laki itu yang masih berusaha membujuk maminya agar Andini dicarikan apartemen sendiri dengan alasan lebih nyaman daripada tinggal bersama orang yang tak dikenal. Aruna tetap kekeh bahwa Andini butuh perlindungan langsung bukan sekedar materi dan tempat tinggal yang menjadikan upaya Andhika gagal. Andini sendiri berusaha membuat dirinya berguna dengan membantu pekerjaan ART Andhika. Meskipun sudah dilarang oleh Aruna dan Tati, wanita empat puluhan sang ART sendiri, ia tetap tidak ingin tampak ongkang-ongkang kaki saja apalagi dianggap aji mumpung dari miskin jadi kaya. Pagi-pagi sekali Andhika entah pergi ke mana, kata Tati olahraga. Biasanya berenang. Andini sedikit lega karena tak harus bertemu dengannya. Kemudian siang hari sesudah makan, Andhika menyuruh Andini ganti baju dan mengajaknya keluar. "Ke mana, Mas?" tanya Andini dengan jantung berdegup kencang karena tidak tahu rencana Andhika. "Diam. Ikut saja. Buruan ganti!" perintah Andhika. "Dan jangan lama-lama!" "I-iya, Mas." Andini mengangguk dan segera ke kamarnya. Andini segera meraih gamisnya dan mengganti hijabnya. Ia memoles wajahnya dengan bedak, mengenakan lotion lalu mengambil sandal dan menemui Andhika yang menunggu di ruang keluarga. Melihat Andini, Andhika langsung bangkit sambil memberikan tatapan penilaian. Apa yang dikenakan gadis di depannya itu bersih bahkan wajahnya terlihat polos hanya dengan sapuan bedak tapi bagi Andhika tetap tidak layak. "Ayo!" Andhika bergerak meninggalkan ruang keluarga dan turun ke bawah menggunakan lift Andini segera mengikutinya dan ikut masuk lift dengan jantung yang makin berdetak tak karuan. Apalagi ia belum pernah sekalipun naik lift, sehingga sensasinya membuatnya kurang nyaman. Di garasi, keduanya langsung masuk ke mobil sedan hitam Andhika. "Kamu ngapain duduk belakang?" tegur Andhika saat Andini hendak membuka pintu belakang. "Saya..." "Aku bukan sopirmu. Pindah depan!" Setelah berkata begitu, Andhika pun masuk mobil. Andini buru-buru membuka pintu penumpang samping Andhika dan masuk. Kemudian mobil pun meninggalkan rumah. Selama perjalanan tak sedikitpun Andhika mengajaknya bicara. Andini sendiri dalam hati terus mengucapkan doa berharap tidak diajak atau diperlakukan yang aneh-aneh oleh laki-laki di sampingnya itu. Setelah sekian lama berkendara, rupanya Andhika mengajak Andini ke sebuah mall. Gadis itu pun merasa lega meskipun tidak berharap banyak. Andini diajak ke salah satu toko pakaian. Ketika ada seorang perempuan yang seusia Andhika menyapanya, awalnya ia pikir pegawai toko karena di sana diminta membantu mencarikan baju-baju untuk Andini yang cocok dengan latar belakang keluarga Andhika. "Mas Dhika, saya..." Ketika Andini hendak buka mulut, Andhika langsung angkat tangan menyuruhnya diam. "Kamu nurut saja. Nggak masalah sih kamu pakai baju-bajumu tapi nanti dikira kami jahat ke kamu. Bikin malu keluarga Wisesa!" Andini hanya bisa menelan ludahnya dan mengikuti kemauan Andhika. Jika situasinya berbeda dan Andhika seperti orang tuanya yang menerimanya dengan tangan terbuka, mungkin ia akan menerima baju-baju pemberian laki-laki itu dengan gembira dan penuh rasa syukur. Hanya saja, sikap Andhika membuatnya tak tahu harus bagaimana. Apalagi ketika ternyata mereka tidak berbelanja di satu toko saja, tetapi beberapa lagi termasuk belanja alas kaki. Di saat perempuan yang sedari tadi tengah memilih sepatu, ponsel Andhika berdering. "Kalian pilih saja," kata Andhika sambil melihat layar ponselnya, lalu, "Scarlett? Halo, Sayang..." "Hai," balas suara di seberang dengan manja. "Lagi ngapain?" Andhika tersenyum walaupun Scarlett tak bisa melihatnya. "Keluar. Ada urusan. Gimana syutingnya? Lancar?" "Iya, dong. Scarlett Desiree pasti akan melakukan pekerjaannya dengan baik," ucapnya bangga. "Miss you." "I miss you too," balas Andhika dengan semringah. "I'll see you soon." "Scarlett ! Ayo!" Terdengar panggilan di belakang Scarlett yang masuk di pendengar Andhika. "Mau take lagi?" tanya Andhika. "Eh, ehm, iya. Ya sudah, see you, baby." Buru-buru sambungan telepon ditutup.Andini susah payah membawa belanjaannya sendiri tanpa bantuan Andhika sama sekali. Kali ini hanya berdua, perempuan yang menemani mereka sudah pergi lebih dulu dan Andhika tak langsung mengajaknya pulang. Andhika ada janji dengan teman-temannya di salah satu restoran yang ada di mall tersebut. Karena ia tidak mengatakan Andini harus duduk di mana, akhirnya gadis itu duduk di meja sebelahnya. "Asisten lo ?" tanya teman Andhika yang seorang laki-laki yang penampilannya menarik bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan Andhika yang jauh lebih sederhana. Andhika hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Untungnya ia masih memiliki hati dengan memesankan Andini minuman. Ia sendiri sedang tidak melakukan pertemuan bisnis dengan temannya, hanya temu kangen sebab temannya itu baru datang ke Indonesia. Andini tidak tahu jam berapa dan tidak ada kesempatan untuk melihat jam sama sekali. Ketika akhirnya ia melihatnya di ponsel, ia terkejut bahwa waktu ashar sudah lama berlalu. Ia mengg
Andhika saat ini sudah berada di rumah setelah Scarlett menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Begitu ia datang, Scarlett berteriak tak karuan bagai orang kesurupan sambil menuduhnya selingkuh. Dengan sabar ia terus membujuknya untuk tenang dan mengajak semuanya ke ruang keluarga."Bisa-bisanya kamu nggak cerita sama aku hal sepenting ini!" seru Scarlett dengan air mata berderai. "Kamu tahu, aku sengaja nggak kasih tahu bahwa aku pulang hari ini mau kasih kejutan, eh nggak tahunya malah aku yang dapat kejutan!""Maaf. Aku berencana kasih tahu saat kamu sudah pulang biar nggak ganggu proses syuting kamu," balas Andhika lembut."Bohong! Kamu sengaja, kan, memang?" Lagi-lagi Scarlett tidak mau percaya dan menatap Andini penuh kebencian seolah berhadapan dengan saingan.Andini sendiri yang tubuhnya gemetar hebat dan ketakutan akibat teriakan dan tatapan penuh kebencian Scarlett, tengah duduk sambil dirangkul erat oleh Tati."Andini cuma anak asuh mami. Dua di sini karena sekolah barunya
Seharusnya Andhika mengantar Andini, bahkan Aruna sudah membuat putranya itu berjanji, tapi akibat kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, akhirnya hanya menyuruh Irawan mengantarnya.Di kelasnya yang baru seluruh siswa menatap Andini, tapi sebagian tampak memberikan tatapan sinis dan merendahkan. Ia teringat perkataan Scarlett bahwa ia tak cocok berada di SMA Sage yang elit."Hai, aku Elke." Gadis berambut ikal pendek yang duduk satu deret dengannya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, setelah Andini duduk di tempat yang ditunjuk untuknya.Andini membalas jabatan tangan Elke sambil tersenyum tipis setelah ia duduk. "Andini."Namun, keduanya tak bisa berkenalan lebih jauh karena pelajaran sudah dimulai. Kebetulan bahasa Inggris. Meskipun cara mengajarnya berbeda dengan yang ia terima selama ini, tapi ia bisa mengikutinya dengan baik. Ketika jam istirahat tiba, Elke mengajak Andini ke kantin sambil mengenalkan apa saja yang mereka lewati dan seperti apa sekolah mereka yang bernuansa h
"Siapa lo yang sebenarnya?" tanya Scarlett tanpa menyembunyikan kekesalannya."Maaf, Mbak, maksudnya gimana?" Andini yang juga diselimuti rasa takut akan dibawa entah ke mana, menunjukkan wajah kebingungan atas pertanyaan Scarlett tersebut.Scarlett mendengkus jengkel. "Tante Aruna nggak mungkin sembarangan memasukkan cewek antah berantah ke rumah Andhika sampai Andhika sendiri nggak bisa nolak! Dengan alasan sebagai anak asuh? Cuih, gue lebih percaya simpanse bisa ngomong!""Astaghfirullah!" ucap Andini. "Nggak usah sok religius deh lo !" sentak Scarlett sambil meliriknya sekilas."Astaghfirullah. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna sejak saya SD," kata Andini jujur.Lagi-lagi Andini mendengkus untuk menampik jawab tersebut. "Alaaa, ngaku aja deh lo ! Siapa lo yang sebenarnya?""Demi Allah, Mbak. Saya memang anak asuhnya Bu Aruna."Satu alis Scarlett naik. "Lo pikir gue percaya? Nggak pernah ada ceritanya anak asuh sampai diajak tinggal bareng dan lucunya di rumah anak cowoknya yang b
"Kamu tidur di sini. Sebenarnya mau aku ajak di kamarku, tapi kupikir kamu akan lebih suka istirahat sendirian," kata Elke begitu mereka sampai di rumahnya. Rumah yang sama besarnya dengan rumah Aruna Wisesa, hanya saja tak ada orang lain kecuali Elke dan para pekerja. Orang tua Elke masih kerja begitupun kakak pertamanya, sedangkan kakak kedua tengah kuliah di luar negeri. "Kamar mandinya di sini," lanjutnya sambil berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya. Karena Elke masuk ke sana, Andini pun mengikutinya seraya mendengarkan bagaimana cara menggunakannya. "Sekarang kamu mandi dulu. Aku tunggu di bawah dan kita makan bersama." Elke mengatakan itu dengan senyuman yang hangat lalu meninggalkan kamar. Buru-buru Andini mandi agar Elke tidak menunggu terlalu lama. Namun, ketika berada di bawah shower, pikirannya kembali melayang merenungi nasibnya. Ya Allah, aku harus bagaimana? Nggak mungkin selamanya menumpang di rumah Elke dan kalau Bu Aruna tahu bagaimana? batin Andini bing
Meskipun Andhika menjemputnya seperti kata Elke dan mamanya, bukan berarti laki-laki itu berubah baik. Dari tempat parkir hingga unit apartemen, Andini tetap dibiarkan kerepotan sendiri dengan barang-barang miliknya. Ya, keduanya kembali ke apartemen."Aku terlalu capek untuk kembali ke rumah. Malam ini kita tidur di sini." Setelah berkata begitu, ia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan Andini sendirian di tengah-tengah ruangan antata ruang duduk dan meja makan.Andini hanya bisa menghembuskan napasnya lalu berjalan ke salah satu pintu dan berharap itu adalah kamar. Betapa leganya ketika harapannya benar. Ia tidak tahu itu kamar siapa, apakah kamar tamu khusus Scarlett lagi atau tidak, malam ini iia tidak peduli. Jiwa raganya terlalu lelah. Jika tadi di rumah Elke saat diberitahu bahwa Andhika menjemputnya ia masih belum tidur, kini sebaliknya. Ia ingin memejamkan matanya sebentar sebelum memulai perjuangannya lagi. Setelah mengganti bajunya, ia langsung tertidur begitu kepalanya
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke."Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih.""Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita."Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut."Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?""Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan."Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia."Bokap lo ?""Bokap?""Bapak! Ish.""Oh, bukan." Andini menggeleng."Nyokap lo ?""Nyokap?""Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !"
Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa