Share

Aku Bukan Pembantu
Aku Bukan Pembantu
Penulis: Yashica Billy

1. Tempat Tinggal Baru

Andini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya.

Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk.

Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada.

"Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya.

Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya.

Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah.

"Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman lebar sambil menarik Andini agar berdiri di dekatnya.

"Ya, kan, dikasih makan, Mi," sahut Andhika dengan nada malas.

Andini yang sedari tadi menunduk, mendengar ucapan Andhika makin menunduk.

"Hush! Sekarang Andini tinggal sama kamu. Mami percayakan semuanya sama kamu." Lalu Aruna mengajak Andini duduk di salah satu sofa.

Andini duduk hati-hati dengan sikap kaku dan perlahan meletakkan tas pakaiannya di atas lantai.

Andhika menyusul duduk di bagian lain sofa. "Mi, kenapa harus tinggal sama aku, sih?"

"Kita sudah sepakat, Dhika," sahut Aruna.

"Itu kesepakatan kalian. Bukan aku. Kalau cuma alasannya rumahku dekat dengan sekolah barunya, kita bisa carikan dia apartemen terdekat." Andhika jelas terdengar keberatan, seperti yang ditakutkan Andini.

"Dhika, kamu tega menyuruh Andini yang baru datang ke Jakarta untuk tinggal sendirian?" tanya Aruna tak habis pikir.

Andhika berdecak keras. "Ya sudah sih, tinggal kita kasih pembantu dan sopir. Beres kan?"

Aruna melotot. "Kenapa kamu ngotot? Takut privasimu terganggu? Kamu mau masukin siapa? Perempuan nggak jelas?"

"Mami!"

"Terserah kamu pacaran sama siapa, tapi jangan harap kamu bisa menikah sama Scarlett!"

"Hanya karena dia artis? Mami nggak adil kalau alasannya itu. Mantu Mami ada yang anaknya artis!"

"Kamu masih muda. Mata Mami sudah melihat lebih banyak daripada kamu." Setelah berkata begitu, Aruna bangkit yang membuat Andini panik dan ikut bangkit karena takut ditinggalkan begitu saja. "Antar kami ke kamar Andini!"

Dengan muka keruh, Andhika bangkit dan mendahului menaiki tangga yang kemudian disusul oleh Aruna dan Andini.

"Di situ ada lift," Aruna menunjuk pintu sebelah tangga, "tapi karena kita bertiga dan liftnya sempit, jadi naik tangga saja."

Tak lama mereka sampai di lantai atas dan Andhika membuka salah satu pintu kamar. Aruna mengajak Andini masuk. Sebuah kamar yang menghadap jalan.

Mami Andhika tampak puas dengan interiornya dan mengangguk. "Bagus. Mami suka." Ia menoleh pada Andini dengan senyuman lebar. "Mulai hari ini, kamu tinggal di sini dan ini adalah kamarmu. Kalau butuh apa-apa, bilang saja pada Andhika."

"Iya, Bu, terima kasih," ucap Andini masih menunduk dan merasa tak pasti. Ia mencengkeram tasnya makin erat karena kekhawatirannya memuncak. Aruna memang memberikan sejumlah uang cash tapi ke depannya siapa yang tahu bagaimana nasibnya jika sikap Andhika saja tidak menyukai kehadirannya dan tak mau repot-repot menutupinya.

***

Hari pertama tinggal di rumah Andhika, Andini masih diliputi ketakutan. Acara makan malam bersama semalam saja masih terlihat jelas bagaimana sikap laki-laki itu yang masih berusaha membujuk maminya agar Andini dicarikan apartemen sendiri dengan alasan lebih nyaman daripada tinggal bersama orang yang tak dikenal. Aruna tetap kekeh bahwa Andini butuh perlindungan langsung bukan sekedar materi dan tempat tinggal yang menjadikan upaya Andhika gagal.

Andini sendiri berusaha membuat dirinya berguna dengan membantu pekerjaan ART Andhika. Meskipun sudah dilarang oleh Aruna dan Tati, wanita empat puluhan sang ART sendiri, ia tetap tidak ingin tampak ongkang-ongkang kaki saja apalagi dianggap aji mumpung dari miskin jadi kaya.

Pagi-pagi sekali Andhika entah pergi ke mana, kata Tati olahraga. Biasanya berenang. Andini sedikit lega karena tak harus bertemu dengannya. Kemudian siang hari sesudah makan, Andhika menyuruh Andini ganti baju dan mengajaknya keluar.

"Ke mana, Mas?" tanya Andini dengan jantung berdegup kencang karena tidak tahu rencana Andhika.

"Diam. Ikut saja. Buruan ganti!" perintah Andhika. "Dan jangan lama-lama!"

"I-iya, Mas." Andini mengangguk dan segera ke kamarnya.

Andini segera meraih gamisnya dan mengganti hijabnya. Ia memoles wajahnya dengan bedak, mengenakan lotion lalu mengambil sandal dan menemui Andhika yang menunggu di ruang keluarga.

Melihat Andini, Andhika langsung bangkit sambil memberikan tatapan penilaian. Apa yang dikenakan gadis di depannya itu bersih bahkan wajahnya terlihat polos hanya dengan sapuan bedak tapi bagi Andhika tetap tidak layak.

"Ayo!" Andhika bergerak meninggalkan ruang keluarga dan turun ke bawah menggunakan lift

Andini segera mengikutinya dan ikut masuk lift dengan jantung yang makin berdetak tak karuan. Apalagi ia belum pernah sekalipun naik lift, sehingga sensasinya membuatnya kurang nyaman.

Di garasi, keduanya langsung masuk ke mobil sedan hitam Andhika.

"Kamu ngapain duduk belakang?" tegur Andhika saat Andini hendak membuka pintu belakang.

"Saya..."

"Aku bukan sopirmu. Pindah depan!" Setelah berkata begitu, Andhika pun masuk mobil.

Andini buru-buru membuka pintu penumpang samping Andhika dan masuk.

Kemudian mobil pun meninggalkan rumah. Selama perjalanan tak sedikitpun Andhika mengajaknya bicara. Andini sendiri dalam hati terus mengucapkan doa berharap tidak diajak atau diperlakukan yang aneh-aneh oleh laki-laki di sampingnya itu.

Setelah sekian lama berkendara, rupanya Andhika mengajak Andini ke sebuah mall. Gadis itu pun merasa lega meskipun tidak berharap banyak.

Andini diajak ke salah satu toko pakaian. Ketika ada seorang perempuan yang seusia Andhika menyapanya, awalnya ia pikir pegawai toko karena di sana diminta membantu mencarikan baju-baju untuk Andini yang cocok dengan latar belakang keluarga Andhika.

"Mas Dhika, saya..." Ketika Andini hendak buka mulut, Andhika langsung angkat tangan menyuruhnya diam.

"Kamu nurut saja. Nggak masalah sih kamu pakai baju-bajumu tapi nanti dikira kami jahat ke kamu. Bikin malu keluarga Wisesa!"

Andini hanya bisa menelan ludahnya dan mengikuti kemauan Andhika. Jika situasinya berbeda dan Andhika seperti orang tuanya yang menerimanya dengan tangan terbuka, mungkin ia akan menerima baju-baju pemberian laki-laki itu dengan gembira dan penuh rasa syukur. Hanya saja, sikap Andhika membuatnya tak tahu harus bagaimana. Apalagi ketika ternyata mereka tidak berbelanja di satu toko saja, tetapi beberapa lagi termasuk belanja alas kaki.

Di saat perempuan yang sedari tadi tengah memilih sepatu, ponsel Andhika berdering.

"Kalian pilih saja," kata Andhika sambil melihat layar ponselnya, lalu, "Scarlett? Halo, Sayang..."

"Hai," balas suara di seberang dengan manja. "Lagi ngapain?"

Andhika tersenyum walaupun Scarlett tak bisa melihatnya. "Keluar. Ada urusan. Gimana syutingnya? Lancar?"

"Iya, dong. Scarlett Desiree pasti akan melakukan pekerjaannya dengan baik," ucapnya bangga. "Miss you."

"I miss you too," balas Andhika dengan semringah.

"I'll see you soon."

"Scarlett ! Ayo!" Terdengar panggilan di belakang Scarlett yang masuk di pendengar Andhika.

"Mau take lagi?" tanya Andhika.

"Eh, ehm, iya. Ya sudah, see you, baby." Buru-buru sambungan telepon ditutup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status