Share

8. Nelangsa.

"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke.

"Mau ditemani?" Elke menawarkan diri.

Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih."

"Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja."

Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi.

"Sini dulu!"

Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita.

"Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut.

"Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?"

"Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan.

"Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia.

"Bokap lo ?"

"Bokap?"

"Bapak! Ish."

"Oh, bukan." Andini menggeleng.

"Nyokap lo ?"

"Nyokap?"

"Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !" Emilia mulai kehilangan kesabarannya. Kedua tangannya dilipat depan dada. Karena tingginya melebihi Andini, jadi makin terasa mengintimidasi.

Andini kembali menggeleng.

"Sodara?"

"Bukan."

"Sopir lo ?"

"Bukan," jawab Andini yang mulai terasa tak nyaman karena ingin segera buang air kecil.

"Semua bukan, terus siapa? Hantu penunggu rumah?" desak Emilia.

Andini terdiam. Ia bingung harus mendeskripsikan posisinya di rumah keluarga Wisesa. Meskipun anak asuh Aruna, bukan berarti ia dianggap keluarga oleh mereka.

Emilia mendekatkan wajahnya sambil tersenyum sinis dan mengejek. "Sama sugar daddy lo, kan? "

Tadi sugar baby, sekarang sugar daddy. Apalagi ini? Andini membatin dengan tampang kebingungan yang sangat, tapi tampaknya Emilia tak menyadari hal itu karena terlalu fokus dengan tuduhannya.

"Ngapain lo kayak ulet gitu?" tegur Emilia melihat Andini bergerak-gerak tak nyaman.

"Aku..."

"Merasa bersalah? Eh, lo seudik dan semiskin itu atau gimana? Masa nggak tahu kalau Andhika Wisesa itu pacarnya aktris terkenal? Kalau cari mangsa itu yang tahu diri. Jangan punya orang lain lo embat juga, eh, namanya juga sugar baby, kan? Orang miskin yang butuh duit tapi nggak mau kerja. Makanya jadi orang tuh kerja!" Emilia mengatakan itu sambil menunjuk dada Andini cukup keras dengan jari telunjuknya yang dirawat baik. "Kalau miskin ya miskin aja, nggak usah mimpi jadi orang kaya!" Sebelum pergi, kali ini ia mendorong Andini hingga menabrak dinding di belakangnya.

Dicerca seperti itu, dada Andini terasa sesak seketika, tapi di saat yang sama, ia harus ke kamar mandi sehingga ia segera meninggalkan tempat menuju kamar mandi sembari menahan air mata.

Apa salahku sampai harus diperlakukan begini? Ya Allah, aku hanya ingin sekolah dan hidup damai, batin Andini sedih.

Begitu di dalam kamar mandi, sambil menyelesaikan urusannya, Andini tak kuasa lagi menahan air matanya. Dan karena tak berhenti-berhenti meskipun sudah selesai buang air, akhirnya ia terlambat masuk kelas.

"Dari mana kamu?" tanya seorang guru laki-laki yang bertampang seram begitu Andini memasuki kelas yang itupun sempat salah jalan.

"Maaf, Pak, saya dari kamar mandi," ucap Andini sambil menunduk.

"Ke kamar mandi saja lama?"

"Saya salah jalan tadi."

Jawaban Andini membuat sebagian teman-temannya menertawakan bahkan ada yang heran kenapa bisa tersesat.

"Hei, hei, jangan ribut!" tegur sang guru, lalu menoleh pada Andini. "Kamu yang anak baru itu?"

Andini mengangguk. "Iya, Pak."

"Ya sudah, saya maafkan kali ini. Lain kali saya kurangi poin kamu! Duduk sana!"

"Terima kasih, Pak." Andini pun segera berjalan cepat dan duduk di bangku sebelah Elke di mana buku-buku dan peralatan belajarnya sudah ada di atas meja.

"Lama banget? Ada apa?" tanya Elke khawatir apalagi ia perhatikan wajah Andini tampak kacau.

Andini hanya menggeleng dalam diam.

***

"Yakin nggak bareng aku saja?" tanya Elke saat mereka pulang sekolah. Melihat wajah kusut Andini, ia jadi khawatir.

Irawan tidak bisa menjemput Andini ke sekolah karena tengah mengantarkan Andhika, oleh karenanya laki-laki itu menyuruhnya naik taksi sendiri menuju apartemen.

"Makasih, tapi sama Mas Dhika disuruh naik taksi saja," jawab Andini menolak halus atas tawaran baik temannya itu.

"Ya sudah, hati-hati, ya? Kalau butuh apa-apa, hubungi aku."

"Oke."

"Aku duluan. Daaah." Elke melambaikan tangan pada Andini ketika melihat mobil jemputannya dan berjalan mendahului.

"Daaah," balas Andini sambil melambaikan tangannya juga.

"Hai," sapa Rishi.

Andini menoleh dan tersenyum tipis. "Hai, Kak."

"Menunggu jemputan?"

Andini menoleh. "Nggak. Mau panggil taksi soalnya nggak ada yang bisa jemput."

"Mau bareng?"

Andini menggeleng dan menolaknya seperti kepada Elke tadi. "Nggak, makasih. Saya nggak boleh bareng orang. Maaf, ya?"

Rishi mengangguk paham. "Ya sudah, aku temani sampai dapat taksi."

Bersama Rishi, Andini berdiri di tempat yang sekiranya mempermudah baginya memesan dan menunggu taksi online. Keduanya tak menyadari dari kejauhan ada Emilia yang menahan amarah dari dalam mobil jemputannya yang mulai berlalu.

Setelah menunggu beberapa lama, taksi online Andini datang dan ia pamit pulang lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih kepada Rishi yang menyusul pulang setelahnya.

Andhika sendiri yang khawatir dapurnya kebakaran jika Andini menggunakannya, laki-laki itu menyuruhnya pesan makanan dari luar saja jika lapar bersamaan dengan pesannya menyuruh Andini pulang sendiri. Tak lupa ia memberikan alamat apartemennya.

Andini tidak ingin berspekulasi apapun atas perintah Andhika yang tetap menyuruhnya kembali ke apartemen mengingat laki-laki itu belum sepenuhnya menerima dirinya juga karena di rumah masih ada Scarlett yang menginap.

Sesampainya di apartemen, baru saja berganti pakaian, ada tamu yang memencet bel berkali-kali dengan tidak sabaran. Karena ia pikir Andhika yang mungkin butuh sesuatu, tanpa prasangka apapun, ia segera membukanya dan ternyata...

"Mbak Scarlett?"

Tanpa ba-bi-bu Scarlett menampar wajah Andini sekeras mungkin hingga terasa panas dan telinganya seperti berdenging dan air matanya meleleh sendiri.

"Minggir lo!" perintahnya sambil mendorong Andini hingga menabrak dinding lalu masuk ke dalam unit.

Andini tetap berdiri terpaku untuk melakukan sesuatu.

"Tutup pintunya!" perintah Scarlett lagi, tapi karena Andini tak beranjak sedikitpun, ia yang akhirnya menutup pintu unit dengan kasar dan menyeret Andini ke dalam lalu mendorongnya hingga jatuh ke lantai.

"Aduh!" erang Andini kesakitan kala tubuhnya terantuk lantai.

Scarlett jongkok di hadapannya dengan wajah murka. "Lo udah gue kasih duit banyak buat ngejauh dari Andhika. Masih kurang? Hah!"

Andini yang ketakutan hanya bisa meringkuk dan menggeleng. Dan gelengannya diartikan oleh Scarlett sebagai pembenaran atas uang pemberiannya. Aktris muda itu membuka tasnya dan melemparkan amplop setebal sebelumnya pada Andini.

"Nih, gue tambah! Jauhi Andhika!"

"Saya nggak ada hubungannya sama Mas Dhika, Mbak," terang Andini disela tangisannya.

"Halah, air mata buaya. Kalau nggak ada, kenapa semalam dia milih di sini sama lo daripada pulang ke rumah? Gue pacarnya! Gue tungguin dia di rumah nggak ada kabar, nggak tahunya..."

Andini menggeleng. "Saya nggak minta Mas Dhika untuk jemput, Mbak."

Scarlett lebih mendekatkan wajahnya pada Andini. "Lo bilang bukan orang yang dijodohkan dengan Andhika, tapi lo nempel banget ke dia. Kalau butuh sekolah, ya sudah, sekolah saja. Nggak usah macam-macam! Makanya, kalau miskin nggak usah terlalu banyak berkhayal! Mimpi lo ketinggian. Cinderella itu cuma dongeng! Jadi orang yang realistis! Ini peringatan kedua buat lo." Lalu ia bangkit dan sedikit menendang Andini sebelum pergi.

"Ibu...Ayah...aku mau pulang saja, Bu, Yah!" Andini mengadu sambil menangis dengan posisi yang masih sama seperti Scarlett meninggalkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status