"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke.
"Mau ditemani?" Elke menawarkan diri. Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih." "Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja." Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita. "Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut. "Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?" "Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan. "Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia. "Bokap lo ?" "Bokap?" "Bapak! Ish." "Oh, bukan." Andini menggeleng. "Nyokap lo ?" "Nyokap?" "Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !" Emilia mulai kehilangan kesabarannya. Kedua tangannya dilipat depan dada. Karena tingginya melebihi Andini, jadi makin terasa mengintimidasi. Andini kembali menggeleng. "Sodara?" "Bukan." "Sopir lo ?" "Bukan," jawab Andini yang mulai terasa tak nyaman karena ingin segera buang air kecil. "Semua bukan, terus siapa? Hantu penunggu rumah?" desak Emilia. Andini terdiam. Ia bingung harus mendeskripsikan posisinya di rumah keluarga Wisesa. Meskipun anak asuh Aruna, bukan berarti ia dianggap keluarga oleh mereka. Emilia mendekatkan wajahnya sambil tersenyum sinis dan mengejek. "Sama sugar daddy lo, kan? " Tadi sugar baby, sekarang sugar daddy. Apalagi ini? Andini membatin dengan tampang kebingungan yang sangat, tapi tampaknya Emilia tak menyadari hal itu karena terlalu fokus dengan tuduhannya. "Ngapain lo kayak ulet gitu?" tegur Emilia melihat Andini bergerak-gerak tak nyaman. "Aku..." "Merasa bersalah? Eh, lo seudik dan semiskin itu atau gimana? Masa nggak tahu kalau Andhika Wisesa itu pacarnya aktris terkenal? Kalau cari mangsa itu yang tahu diri. Jangan punya orang lain lo embat juga, eh, namanya juga sugar baby, kan? Orang miskin yang butuh duit tapi nggak mau kerja. Makanya jadi orang tuh kerja!" Emilia mengatakan itu sambil menunjuk dada Andini cukup keras dengan jari telunjuknya yang dirawat baik. "Kalau miskin ya miskin aja, nggak usah mimpi jadi orang kaya!" Sebelum pergi, kali ini ia mendorong Andini hingga menabrak dinding di belakangnya. Dicerca seperti itu, dada Andini terasa sesak seketika, tapi di saat yang sama, ia harus ke kamar mandi sehingga ia segera meninggalkan tempat menuju kamar mandi sembari menahan air mata. Apa salahku sampai harus diperlakukan begini? Ya Allah, aku hanya ingin sekolah dan hidup damai, batin Andini sedih. Begitu di dalam kamar mandi, sambil menyelesaikan urusannya, Andini tak kuasa lagi menahan air matanya. Dan karena tak berhenti-berhenti meskipun sudah selesai buang air, akhirnya ia terlambat masuk kelas. "Dari mana kamu?" tanya seorang guru laki-laki yang bertampang seram begitu Andini memasuki kelas yang itupun sempat salah jalan. "Maaf, Pak, saya dari kamar mandi," ucap Andini sambil menunduk. "Ke kamar mandi saja lama?" "Saya salah jalan tadi." Jawaban Andini membuat sebagian teman-temannya menertawakan bahkan ada yang heran kenapa bisa tersesat. "Hei, hei, jangan ribut!" tegur sang guru, lalu menoleh pada Andini. "Kamu yang anak baru itu?" Andini mengangguk. "Iya, Pak." "Ya sudah, saya maafkan kali ini. Lain kali saya kurangi poin kamu! Duduk sana!" "Terima kasih, Pak." Andini pun segera berjalan cepat dan duduk di bangku sebelah Elke di mana buku-buku dan peralatan belajarnya sudah ada di atas meja. "Lama banget? Ada apa?" tanya Elke khawatir apalagi ia perhatikan wajah Andini tampak kacau. Andini hanya menggeleng dalam diam. *** "Yakin nggak bareng aku saja?" tanya Elke saat mereka pulang sekolah. Melihat wajah kusut Andini, ia jadi khawatir. Irawan tidak bisa menjemput Andini ke sekolah karena tengah mengantarkan Andhika, oleh karenanya laki-laki itu menyuruhnya naik taksi sendiri menuju apartemen. "Makasih, tapi sama Mas Dhika disuruh naik taksi saja," jawab Andini menolak halus atas tawaran baik temannya itu. "Ya sudah, hati-hati, ya? Kalau butuh apa-apa, hubungi aku." "Oke." "Aku duluan. Daaah." Elke melambaikan tangan pada Andini ketika melihat mobil jemputannya dan berjalan mendahului. "Daaah," balas Andini sambil melambaikan tangannya juga. "Hai," sapa Rishi. Andini menoleh dan tersenyum tipis. "Hai, Kak." "Menunggu jemputan?" Andini menoleh. "Nggak. Mau panggil taksi soalnya nggak ada yang bisa jemput." "Mau bareng?" Andini menggeleng dan menolaknya seperti kepada Elke tadi. "Nggak, makasih. Saya nggak boleh bareng orang. Maaf, ya?" Rishi mengangguk paham. "Ya sudah, aku temani sampai dapat taksi." Bersama Rishi, Andini berdiri di tempat yang sekiranya mempermudah baginya memesan dan menunggu taksi online. Keduanya tak menyadari dari kejauhan ada Emilia yang menahan amarah dari dalam mobil jemputannya yang mulai berlalu. Setelah menunggu beberapa lama, taksi online Andini datang dan ia pamit pulang lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih kepada Rishi yang menyusul pulang setelahnya. Andhika sendiri yang khawatir dapurnya kebakaran jika Andini menggunakannya, laki-laki itu menyuruhnya pesan makanan dari luar saja jika lapar bersamaan dengan pesannya menyuruh Andini pulang sendiri. Tak lupa ia memberikan alamat apartemennya. Andini tidak ingin berspekulasi apapun atas perintah Andhika yang tetap menyuruhnya kembali ke apartemen mengingat laki-laki itu belum sepenuhnya menerima dirinya juga karena di rumah masih ada Scarlett yang menginap. Sesampainya di apartemen, baru saja berganti pakaian, ada tamu yang memencet bel berkali-kali dengan tidak sabaran. Karena ia pikir Andhika yang mungkin butuh sesuatu, tanpa prasangka apapun, ia segera membukanya dan ternyata... "Mbak Scarlett?" Tanpa ba-bi-bu Scarlett menampar wajah Andini sekeras mungkin hingga terasa panas dan telinganya seperti berdenging dan air matanya meleleh sendiri. "Minggir lo!" perintahnya sambil mendorong Andini hingga menabrak dinding lalu masuk ke dalam unit. Andini tetap berdiri terpaku untuk melakukan sesuatu. "Tutup pintunya!" perintah Scarlett lagi, tapi karena Andini tak beranjak sedikitpun, ia yang akhirnya menutup pintu unit dengan kasar dan menyeret Andini ke dalam lalu mendorongnya hingga jatuh ke lantai. "Aduh!" erang Andini kesakitan kala tubuhnya terantuk lantai. Scarlett jongkok di hadapannya dengan wajah murka. "Lo udah gue kasih duit banyak buat ngejauh dari Andhika. Masih kurang? Hah!" Andini yang ketakutan hanya bisa meringkuk dan menggeleng. Dan gelengannya diartikan oleh Scarlett sebagai pembenaran atas uang pemberiannya. Aktris muda itu membuka tasnya dan melemparkan amplop setebal sebelumnya pada Andini. "Nih, gue tambah! Jauhi Andhika!" "Saya nggak ada hubungannya sama Mas Dhika, Mbak," terang Andini disela tangisannya. "Halah, air mata buaya. Kalau nggak ada, kenapa semalam dia milih di sini sama lo daripada pulang ke rumah? Gue pacarnya! Gue tungguin dia di rumah nggak ada kabar, nggak tahunya..." Andini menggeleng. "Saya nggak minta Mas Dhika untuk jemput, Mbak." Scarlett lebih mendekatkan wajahnya pada Andini. "Lo bilang bukan orang yang dijodohkan dengan Andhika, tapi lo nempel banget ke dia. Kalau butuh sekolah, ya sudah, sekolah saja. Nggak usah macam-macam! Makanya, kalau miskin nggak usah terlalu banyak berkhayal! Mimpi lo ketinggian. Cinderella itu cuma dongeng! Jadi orang yang realistis! Ini peringatan kedua buat lo." Lalu ia bangkit dan sedikit menendang Andini sebelum pergi. "Ibu...Ayah...aku mau pulang saja, Bu, Yah!" Andini mengadu sambil menangis dengan posisi yang masih sama seperti Scarlett meninggalkannya.Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Andini Yusfiani gugup bukan kepalang. Gadis remaja itu tengah berjalan mengekor di belakang wanita berkelas nan anggun, Aruna Wisesa, menaiki tangga teras menuju pintu utama. Ia menggenggam erat tas pakaiannya yang lusuh seolah itulah pegangan hidupnya. Sesampainya di depan pintu, tanpa menunggu harus mengetuk atau memencet bel, pintu sudah dibuka oleh seorang wanita yang lebih muda dari Aruna dan sepertinya ART di rumah itu. Terbukti segera menyilakan mereka masuk. Mereka berhenti di ruang keluarga di mana ada seorang laki-laki muda yang Andini yakini sebagai sang tuan rumah, Andhika Wisesa, berada. "Halo, Mi," sapa laki-laki itu seraya bangkit dari duduknya untuk memeluk Aruna setelah meletakkan tablet di sampingnya. Aruna berdecak setelah menerima salam putra bungsunya itu. "Harusnya kamu yang sambut Mami!" omelnya. Andhika hanya tersenyum tipis lalu menatap Andini dari atas ke bawah. "Ah, iya. Ini Andini. Sudah besar kan, ya, dia sekarang," kata Aruna dengan senyuman le
Andini susah payah membawa belanjaannya sendiri tanpa bantuan Andhika sama sekali. Kali ini hanya berdua, perempuan yang menemani mereka sudah pergi lebih dulu dan Andhika tak langsung mengajaknya pulang. Andhika ada janji dengan teman-temannya di salah satu restoran yang ada di mall tersebut. Karena ia tidak mengatakan Andini harus duduk di mana, akhirnya gadis itu duduk di meja sebelahnya. "Asisten lo ?" tanya teman Andhika yang seorang laki-laki yang penampilannya menarik bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan Andhika yang jauh lebih sederhana. Andhika hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Untungnya ia masih memiliki hati dengan memesankan Andini minuman. Ia sendiri sedang tidak melakukan pertemuan bisnis dengan temannya, hanya temu kangen sebab temannya itu baru datang ke Indonesia. Andini tidak tahu jam berapa dan tidak ada kesempatan untuk melihat jam sama sekali. Ketika akhirnya ia melihatnya di ponsel, ia terkejut bahwa waktu ashar sudah lama berlalu. Ia mengg
Andhika saat ini sudah berada di rumah setelah Scarlett menelepon dan menyuruhnya segera pulang. Begitu ia datang, Scarlett berteriak tak karuan bagai orang kesurupan sambil menuduhnya selingkuh. Dengan sabar ia terus membujuknya untuk tenang dan mengajak semuanya ke ruang keluarga."Bisa-bisanya kamu nggak cerita sama aku hal sepenting ini!" seru Scarlett dengan air mata berderai. "Kamu tahu, aku sengaja nggak kasih tahu bahwa aku pulang hari ini mau kasih kejutan, eh nggak tahunya malah aku yang dapat kejutan!""Maaf. Aku berencana kasih tahu saat kamu sudah pulang biar nggak ganggu proses syuting kamu," balas Andhika lembut."Bohong! Kamu sengaja, kan, memang?" Lagi-lagi Scarlett tidak mau percaya dan menatap Andini penuh kebencian seolah berhadapan dengan saingan.Andini sendiri yang tubuhnya gemetar hebat dan ketakutan akibat teriakan dan tatapan penuh kebencian Scarlett, tengah duduk sambil dirangkul erat oleh Tati."Andini cuma anak asuh mami. Dua di sini karena sekolah barunya
Seharusnya Andhika mengantar Andini, bahkan Aruna sudah membuat putranya itu berjanji, tapi akibat kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, akhirnya hanya menyuruh Irawan mengantarnya.Di kelasnya yang baru seluruh siswa menatap Andini, tapi sebagian tampak memberikan tatapan sinis dan merendahkan. Ia teringat perkataan Scarlett bahwa ia tak cocok berada di SMA Sage yang elit."Hai, aku Elke." Gadis berambut ikal pendek yang duduk satu deret dengannya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, setelah Andini duduk di tempat yang ditunjuk untuknya.Andini membalas jabatan tangan Elke sambil tersenyum tipis setelah ia duduk. "Andini."Namun, keduanya tak bisa berkenalan lebih jauh karena pelajaran sudah dimulai. Kebetulan bahasa Inggris. Meskipun cara mengajarnya berbeda dengan yang ia terima selama ini, tapi ia bisa mengikutinya dengan baik. Ketika jam istirahat tiba, Elke mengajak Andini ke kantin sambil mengenalkan apa saja yang mereka lewati dan seperti apa sekolah mereka yang bernuansa h