"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" kata Andini saat ada pergantian kelas kepada Elke.
"Mau ditemani?" Elke menawarkan diri. Andini menggeleng. "Nggak usah, makasih." "Ya sudah, aku bawakan barang-barangmu saja." Andini mengangguk dan meninggalkan Elke. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ia mendapati Emilia menyeret tangannya menjauh dari arah kamar mandi ke sudut yang lebih sepi. "Sini dulu!" Jantung Andini seketika terpacu lebih cepat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi. Ia berharap tidak pernah mengalami perundungan seperti yang beredar di banyak berita. "Eh, lo pagi ini sekolah berangkat sama siapa?" tanya Emilia dengan nada menuntut. "Hah?" Andini berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. "Kenapa?" "Jawab gue! Bukan malah tanya balik!" sergah Emilia pelan. "Sama orang rumah," jawab Andini masih tak mengerti dengan pertanyaan Emilia. "Bokap lo ?" "Bokap?" "Bapak! Ish." "Oh, bukan." Andini menggeleng. "Nyokap lo ?" "Nyokap?" "Ya ampun, manusia ini udik sekali. Ibu lo !" Emilia mulai kehilangan kesabarannya. Kedua tangannya dilipat depan dada. Karena tingginya melebihi Andini, jadi makin terasa mengintimidasi. Andini kembali menggeleng. "Sodara?" "Bukan." "Sopir lo ?" "Bukan," jawab Andini yang mulai terasa tak nyaman karena ingin segera buang air kecil. "Semua bukan, terus siapa? Hantu penunggu rumah?" desak Emilia. Andini terdiam. Ia bingung harus mendeskripsikan posisinya di rumah keluarga Wisesa. Meskipun anak asuh Aruna, bukan berarti ia dianggap keluarga oleh mereka. Emilia mendekatkan wajahnya sambil tersenyum sinis dan mengejek. "Sama sugar daddy lo, kan? " Tadi sugar baby, sekarang sugar daddy. Apalagi ini? Andini membatin dengan tampang kebingungan yang sangat, tapi tampaknya Emilia tak menyadari hal itu karena terlalu fokus dengan tuduhannya. "Ngapain lo kayak ulet gitu?" tegur Emilia melihat Andini bergerak-gerak tak nyaman. "Aku..." "Merasa bersalah? Eh, lo seudik dan semiskin itu atau gimana? Masa nggak tahu kalau Andhika Wisesa itu pacarnya aktris terkenal? Kalau cari mangsa itu yang tahu diri. Jangan punya orang lain lo embat juga, eh, namanya juga sugar baby, kan? Orang miskin yang butuh duit tapi nggak mau kerja. Makanya jadi orang tuh kerja!" Emilia mengatakan itu sambil menunjuk dada Andini cukup keras dengan jari telunjuknya yang dirawat baik. "Kalau miskin ya miskin aja, nggak usah mimpi jadi orang kaya!" Sebelum pergi, kali ini ia mendorong Andini hingga menabrak dinding di belakangnya. Dicerca seperti itu, dada Andini terasa sesak seketika, tapi di saat yang sama, ia harus ke kamar mandi sehingga ia segera meninggalkan tempat menuju kamar mandi sembari menahan air mata. Apa salahku sampai harus diperlakukan begini? Ya Allah, aku hanya ingin sekolah dan hidup damai, batin Andini sedih. Begitu di dalam kamar mandi, sambil menyelesaikan urusannya, Andini tak kuasa lagi menahan air matanya. Dan karena tak berhenti-berhenti meskipun sudah selesai buang air, akhirnya ia terlambat masuk kelas. "Dari mana kamu?" tanya seorang guru laki-laki yang bertampang seram begitu Andini memasuki kelas yang itupun sempat salah jalan. "Maaf, Pak, saya dari kamar mandi," ucap Andini sambil menunduk. "Ke kamar mandi saja lama?" "Saya salah jalan tadi." Jawaban Andini membuat sebagian teman-temannya menertawakan bahkan ada yang heran kenapa bisa tersesat. "Hei, hei, jangan ribut!" tegur sang guru, lalu menoleh pada Andini. "Kamu yang anak baru itu?" Andini mengangguk. "Iya, Pak." "Ya sudah, saya maafkan kali ini. Lain kali saya kurangi poin kamu! Duduk sana!" "Terima kasih, Pak." Andini pun segera berjalan cepat dan duduk di bangku sebelah Elke di mana buku-buku dan peralatan belajarnya sudah ada di atas meja. "Lama banget? Ada apa?" tanya Elke khawatir apalagi ia perhatikan wajah Andini tampak kacau. Andini hanya menggeleng dalam diam. *** "Yakin nggak bareng aku saja?" tanya Elke saat mereka pulang sekolah. Melihat wajah kusut Andini, ia jadi khawatir. Irawan tidak bisa menjemput Andini ke sekolah karena tengah mengantarkan Andhika, oleh karenanya laki-laki itu menyuruhnya naik taksi sendiri menuju apartemen. "Makasih, tapi sama Mas Dhika disuruh naik taksi saja," jawab Andini menolak halus atas tawaran baik temannya itu. "Ya sudah, hati-hati, ya? Kalau butuh apa-apa, hubungi aku." "Oke." "Aku duluan. Daaah." Elke melambaikan tangan pada Andini ketika melihat mobil jemputannya dan berjalan mendahului. "Daaah," balas Andini sambil melambaikan tangannya juga. "Hai," sapa Rishi. Andini menoleh dan tersenyum tipis. "Hai, Kak." "Menunggu jemputan?" Andini menoleh. "Nggak. Mau panggil taksi soalnya nggak ada yang bisa jemput." "Mau bareng?" Andini menggeleng dan menolaknya seperti kepada Elke tadi. "Nggak, makasih. Saya nggak boleh bareng orang. Maaf, ya?" Rishi mengangguk paham. "Ya sudah, aku temani sampai dapat taksi." Bersama Rishi, Andini berdiri di tempat yang sekiranya mempermudah baginya memesan dan menunggu taksi online. Keduanya tak menyadari dari kejauhan ada Emilia yang menahan amarah dari dalam mobil jemputannya yang mulai berlalu. Setelah menunggu beberapa lama, taksi online Andini datang dan ia pamit pulang lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih kepada Rishi yang menyusul pulang setelahnya. Andhika sendiri yang khawatir dapurnya kebakaran jika Andini menggunakannya, laki-laki itu menyuruhnya pesan makanan dari luar saja jika lapar bersamaan dengan pesannya menyuruh Andini pulang sendiri. Tak lupa ia memberikan alamat apartemennya. Andini tidak ingin berspekulasi apapun atas perintah Andhika yang tetap menyuruhnya kembali ke apartemen mengingat laki-laki itu belum sepenuhnya menerima dirinya juga karena di rumah masih ada Scarlett yang menginap. Sesampainya di apartemen, baru saja berganti pakaian, ada tamu yang memencet bel berkali-kali dengan tidak sabaran. Karena ia pikir Andhika yang mungkin butuh sesuatu, tanpa prasangka apapun, ia segera membukanya dan ternyata... "Mbak Scarlett?" Tanpa ba-bi-bu Scarlett menampar wajah Andini sekeras mungkin hingga terasa panas dan telinganya seperti berdenging dan air matanya meleleh sendiri. "Minggir lo!" perintahnya sambil mendorong Andini hingga menabrak dinding lalu masuk ke dalam unit. Andini tetap berdiri terpaku untuk melakukan sesuatu. "Tutup pintunya!" perintah Scarlett lagi, tapi karena Andini tak beranjak sedikitpun, ia yang akhirnya menutup pintu unit dengan kasar dan menyeret Andini ke dalam lalu mendorongnya hingga jatuh ke lantai. "Aduh!" erang Andini kesakitan kala tubuhnya terantuk lantai. Scarlett jongkok di hadapannya dengan wajah murka. "Lo udah gue kasih duit banyak buat ngejauh dari Andhika. Masih kurang? Hah!" Andini yang ketakutan hanya bisa meringkuk dan menggeleng. Dan gelengannya diartikan oleh Scarlett sebagai pembenaran atas uang pemberiannya. Aktris muda itu membuka tasnya dan melemparkan amplop setebal sebelumnya pada Andini. "Nih, gue tambah! Jauhi Andhika!" "Saya nggak ada hubungannya sama Mas Dhika, Mbak," terang Andini disela tangisannya. "Halah, air mata buaya. Kalau nggak ada, kenapa semalam dia milih di sini sama lo daripada pulang ke rumah? Gue pacarnya! Gue tungguin dia di rumah nggak ada kabar, nggak tahunya..." Andini menggeleng. "Saya nggak minta Mas Dhika untuk jemput, Mbak." Scarlett lebih mendekatkan wajahnya pada Andini. "Lo bilang bukan orang yang dijodohkan dengan Andhika, tapi lo nempel banget ke dia. Kalau butuh sekolah, ya sudah, sekolah saja. Nggak usah macam-macam! Makanya, kalau miskin nggak usah terlalu banyak berkhayal! Mimpi lo ketinggian. Cinderella itu cuma dongeng! Jadi orang yang realistis! Ini peringatan kedua buat lo." Lalu ia bangkit dan sedikit menendang Andini sebelum pergi. "Ibu...Ayah...aku mau pulang saja, Bu, Yah!" Andini mengadu sambil menangis dengan posisi yang masih sama seperti Scarlett meninggalkannya.Hari ini Andhika langsung kembali ke apartemen setelah dari kantor. Di sana ia menemukan Andini tengah duduk di kursi makan sambil menatap ponselnya dan begitu melihatnya, gadis itu langsung bangkit tapi bingung berkata apa."Kamu sudah makan?" tanya Andhika dengan nada acuh tak acuh sambil melonggarkan dasinya dan meletakkan tas kerja di atas meja makan."Baru mau pesan. Mas Dhika sudah makan?" tanya Andini pelan karena canggung.Andhika menatap Andini tajam sambil menghela napas berat. "Ini nih yang bikin malas.""Maaf?""Pulang kerja aku maunya istirahat dan kalaupun makan, ya, langsung makan. Aku itu paling nggak suka ritme hidupku diganggu," kata Andhika tajam."Maaf.""Ribet, tahu nggak?" Lalu Andhika mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk mereka. "Aku mau mandi dulu, nanti kamu terima makanannya.""Iya, Mas." Andini mengangguk.Andhika pun masuk ke kamarnya. Ia paling malas ribut untuk urusan tidak penting, makanya lebih memilih untuk menepi di apartemen untuk sementa
"Scarlett, tenang dulu!" Terdengar suara Andhika yang sedikit meninggi tepat saat Andini membuka pintu kamar hendak melihat apa yang sedang terjadi."Gimana aku bisa tenang, Babe? Kamu nggak pulang justru ke..." Scarlett yang tampak marah dan menangis manja dalam pelukan Andhika langsung berubah memberontak dan berusaha lepas begitu melihat Andini, "Lo! Sudah gue bilang menjauh dari Andhika! Pasti lo yang bujuk Andhika bahkan sampai tinggal di hotel!" Lalu ia menatap Andhika dengan wajah memelas. "Siapa yang nggak kaget saat diberitahu pacarnya berduaan dengan perempuan lain di hotel? Aku yang kebetulan dekat sini langsung kemari dan voilà, ternyata kalian di sini!"Andini hanya bisa bergeming di tempatnya tak tahu harus bagaimana.Andhika yang memeluk Scarlett dari belakang agar tenang kini mengajaknya duduk di sofa ruang tamu tanpa melepaskannya. "Andini, ke sini."Perlahan, dengan perasaan campur aduk, Andini mendekat. Ia bisa merasakan betapa marahnya Andhika saat ini meskipun tid
"Mas Andhika," panggil Andini di tengah perjalanan. Kebetulan saat pulang sekolah, laki-laki itu sendiri yang menjemput. Bedanya kali ini tidak menyetir sendiri. "Hem?" Andhika yang tengah membaca file di tabletnya merespon tanpa menoleh. "Boleh mampir ke minimarket terdekat sebentar?" tanya Andini ragu-ragu. "Buat apa?" "Saya mau beli uhm, pembalut, sabun mandi, pasta gigi, lotion, sampo..." jawab Andini seraya mengigit bibir bawahnya. Ketika mengemasi barang-barangnya, Scarlett tidak mengemasi toiletries miliknya juga. Beruntung di apartemen ada dan ketika pindah ke hotel, ia menggunakan apa yang ada di sana. Namun, jumlahnya terbatas dan ia lebih nyaman menggunakan yang biasa dipakainya. "Sebutkan saja, biar Gery yang belanja," sahut Andhika acuh tak acuh. Laki-laki yang tengah menyetir menoleh ke belakang sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan. "Iya, Mbak Andini bilang saja butuh apa, nanti saya belikan. Biasanya pakai pembalut merek apa?" Wajah Andini memerah se
Akibat mengetahui seberapa kayanya keluarga Wisesa, Andini jadi sulit tidur. Ia merasa minder berada di tengah-tengah mereka, walaupun saat ini hanya seorang Andhika, tapi bagaimanapun laki-laki itu seorang pemimpin perusahaan besar. Sedikitnya kini ia mengerti tentang penolakan terhadap dirinya. Saat Andini akhirnya keluar untuk sarapan, Andhika sudah menunggu dan segera menyuruhnya duduk. Keduanya sarapan dalam diam. Kali ini laki-laki itu hanya sarapan roti dan kopi hitam, sedangkan Andini sepiring nasi goreng. Kemudian, berbeda dengan kemarin, ketika berangkat sekolah, Andini dijemput oleh Irawan yang sudah menunggu di lobi. Sedangkan Andhika berangkat sendiri bahkan meninggalkannya lebih dulu sebelum ia selesai makan karena ada meeting katanya."Gimana, Neng?" tanya Irawan di tengah perjalanan menuju sekolah."Apanya, Pak?""Sekolahnya. Betah?"Andini tersenyum tipis. "Sejauh ini saya bisa menerima pelajaran dengan baik, alhamdulillah," jawabnya diplomatis."Alhamdulillah. Semo
Sepulang sekolah, Andhika sendiri yang menjemput meskipun yang menyetir adalah Gery dan mengantarnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut setelah melihat wajah Andini yang murung."Kenapa kamu nggak bilang kalau kena bola? Kalau masih pusing jangan diam saja! Bener-bener deh bikin repot!" sentak Andhika."Maaf, tapi saya nggak apa-apa," kata Andini dengan gelengan pelan.Andhika mendengkus. "Kalau baik, kenapa mukamu begitu?"Andini menoleh dan menatap Andhika bingung. Dan ia lebih bingung lagi bagaimana laki-laki itu bisa tahu? Apakah petugas ruang kesehatan memberitahunya? "Maaf, muka saya begini itu gimana ya?" tanya Andini lirih. "Sudahlah." Andhika melengos dengan wajah kesal. "Heran, baru berapa hari sih kamu di sini, susah ada saja masalah," gerutunya sebelum kembali memeriksa pekerjaannya.Andini menundukkan kepalanya dan tanpa sadar meremas ujung hijabnya. Ketika tiba di rumah sakit dengan ditemani oleh Andhika dan Gery, Andini diperiksa secara menyeluruh apakah b
Pada akhirnya Gery tetap tinggal di hotel menemani Andini, selain juga karena diminta membawakan baju ganti Andhika yang semuanya memang perintah laki-laki itu.Berbeda dengan biasanya, Gery mengajak Andini sarapan buffet di restoran hotel. Keduanya meletakkan barang bawaan di salah satu meja sebelum mengambil sarapan.Wah, begini ternyata restoran hotel bintang lima, batin Andini seraya berjalan canggung di samping Gery. "Silakan, mau yang mana?" kata Gery.Menyusuri meja di mana beraneka menu sarapan dihidangkan membuat Andini bagaimanapun tetap merasa tergiur karena semua tampak lezat. "Saya bingung," kata Andini jujur.Gery terkekeh lalu mulai menunjukkan apa saja yang ada di sana sebelum mengambil yang diinginkan. Andini sendiri akhirnya mengambil nasi, sup, ayam goreng dan atas saran Gery juga sedikit buah sedangkan minumnya ia hanya mengambil segelas air putih. Sekretaris Andhika sendiri mengambil buah, sup dan kopi.Dan siapa sangka keduanya bertemu dengan Andres ketika hend
Keringat dingin mulai dirasakan Andini. Bukan ia tidak mendengar gosip tentangnya, Emilia dan kawan-kawan jelas sudah berbaik hati untuk memberitahukan tapi mendengar sendiri dari mulut wali kelasnya, rasanya jauh lebih menyakitkan.Rain menghela napas panjang. "Saya sebagai wali kelasmu, tentu tahu siapa walimu saat ini. Reputasi Pak Andhika terlalu bagus untuk dipertaruhkan, apalagi Bu Aruna. Sebelum saya mengambil sikap, saya butuh keterangan darimu."Andini mengangguk dan tanpa sadar air matanya meleleh. Ia pun mengusapnya dengan punggung tangan."Foto-foto ini benar kamu?" Rain menunjukkan foto-foto yang ada di ponselnya.Andini mengangguk pelan."Jadi benar kamu keluar-masuk hotel? Bahkan hari ini pun keluar dari hotel?"Andini kembali mengangguk. "Saya... memang tinggal di hotel."Kedua alis Rain terangkat. "Oh. Kenapa?""Mas Andhika yang mengajak saya untuk tinggal di hotel," jawab Andini sambil menunduk dan berusaha keras untuk menahan air matanya.Kali ini kening Rain menger
Namun pada akhirnya Andini tidak jadi pulang. Ia minta izin Aydin tetap di sekolah karena tidak ingin dianggap anak emas dan alasan sebenarnya juga takut dibalas dengan cara yang lain lagi. Aydin mengalah dan membiarkannya tetap tinggal setelah berjanji akan memberitahunya jika terjadi sesuatu.Di kelas, Emilia yang melihat wajah kuyu Andini mengira ia ditegur oleh guru sehingga menatapnya mengejek."Kenapa?" tanya Elke berbisik.Andini menggeleng. Tidak bisa menjawab karena masih jam pelajaran juga.Barulah ketika istirahat makan siang dan berkumpul di kantin yang mana kali ini bersama dengan Amal dan Katya."Kenapa kamu berkali-kali dipanggil tadi?" tanya Katya seraya menyumpit sosis di kotak bentonya."Bukan karena gosip itu, kan?" Setelah mengatakan itu, Elke langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.Setelah keheningan sepersekian detik, kedua mata Amal dan Katya melebar dan serentak memekik."Jadi, itu tentang kamu?" tanya Amal seraya mengusap tangan Andini dengan simpatik.
Andini bisa merasa lega sebab setelah itu tak ada lagi kejadian buruk menimpanya. Kalaupun ada yang kurang menyenangkan, hanya sebatas Emilia dan beberapa teman lain yang menganggap ia tak layak berada di SMA Sage. Namun, secara umum ia tetap bisa fokus belajar. Kemudian hari untuk syuting iklan dimulai. Andini masih tidak percaya bahwa ia betul-betul dikontrak menjadi bintang iklan. Syutingnya sendiri dilakukan di akhir pekan saat ia libur sekolah."Lakukan saja seperti kamu biasanya. Ingat, kamu bagian dari Wisesa, jadi anggap sebagai membantu keluarga," kata Andhika yang ikut menemani Andini syuting. Saat ini mereka tengah menyiapkan set dan make up untuk para pemeran termasuk Andini.Dengan adanya laki-laki itu sangat tidak membantu Andini sama sekali. Ia merasa tidak nyaman dan takut melakukan kesalahan. "Kami tidak menjadikanmu bintang iklan karena kamu terkenal dan jago akting. Sedari awal kamu bukan artis. Ingat kan alasannya apa?" sambung Andhika."Ya." Tentu saja Andini in
Hari berikutnya Andini masih menunggu dengan sabar kabar dari Emilia, Putri atau Dona, tapi nyatanya tak ada satupun yang memberi tahu apapun. Bahkan di sekolah ketiganya tampak seperti orang tak kenal. Hari berikutnya lagi juga masih sama, akhirnya ketika hendak pulang, Andini memberanikan diri mencegat Emilia."Apa sih lo ?" sergah Emilia kesal."Tugasnya gimana?" tanya Andini."Gampang itu. Nanti gue hubungi. Masih lama ini, ribut amat sih! Dahlah gue mau pulang!" setelah mengatakan itu, Emilia berbalik pergi dan meninggalkan Andini terburu-buru.Andini menatap kepergian Emilia dengan bingung. Mengapa teman sekelasnya itu harus marah, padahal ia hanya bertanya biasa."Dia nggak ngerjain tugasnya?" Tiba-tiba Katya sudah berdiri tepat di belakang Andini."Iya. Aku sudah nunggu kapan buat diskusi, masih belum juga," jawab Andini jujur."Terus gimana? Nggak ada diskusi sama sekali?" Kali ini Elke yang bertanya."Cuma sekali sih, itu juga Mas Dhika marah-marah karena tempatnya di kafe.
Emilia mengajak Andini membahas presentasi mereka di sebuah kafe. Betapa sulitnya ia meminta izin kepada Andhika yang heran kenapa tidak dilakukan di rumah entah siapa. Kenapa sampai harus di kafe?Andini jelas tak bisa menjawab dan akhirnya dengan berat hati Andhika mengizinkan dengan syarat diantar oleh Gery.Hari ini sepulang kerja, Gery langsung menjemput Andini di sekolah menuju tempat janjian. Emilia mengatakan mereka akan ketemu di kafe."Mbak Andini masuk dulu saja, nanti kami menyusul. Saya parkir mobil," kata Gery.Andini pun turun lebih dulu dan memasuki kafe. Rupanya justru ia yang tiba terlebih dahulu daripada yang lain padahal setahunya tadi Emilia, Putri dan Dona pergi sebelum dirinya dari sekolah. Ia pun sengaja memilih tempat yang mudah terlihat jika ketiganya datang.Ketika Gery memasuki kafe, langsung berjalan ke arah Andini. "Temannya belum datang?" tanya Gery sambil melihat sekeliling.Andini menggeleng. "Belum. Mungkin kena macet."Gery mengangguk. "Saya tunggu
Andini baru saja memberikan uang kepada Irawan untuk mengganti yang digunakan membeli cilok dan batagor ketika mobil Andhika memasuki carport. Awalnya sopir pribadi tersebut tidak mau menerimanya, tapi karena terus dipaksa akhirnya mau. Karena tidak tahu jumlah pastinya, ia memberikan lebih."Kamu ngapain di sini?" tanya Andhika yang melihat Andini berada di lantai dasar.Bukan apa-apa, lebih karena di lantai itu hanya ada gudang, dapur kotor, dua kamar pegawai, garasi dan ruangan untuk Irawan berjaga jika sedang tidak mengantarkan siapapun."Oh, barusan kasih uang untuk Pak Ir," jawab Andini sambil menunggu Andhika naik terlebih dahulu.Kening Andhika berkerut. "Uang?""Tadi nitip belikan cilok dan batagor.""Oh." Setelah memberikan respon pendek, tanpa berkata apa-apa lagi, Andhika masuk ke lift dan langsung naik hingga lantai teratas.Sementara itu Andini naik menggunakan tangga hingga ke lantai teratas juga dan langsung masuk ke dalam kamarnya untuk melanjutkan belajar mata pelaja
Aditi berhasil membujuk Andini untuk membintangi iklan Padme dan body lotion Pure Bliss varian baru. Tidak jadi spray cologne. Menurut kakak Andhika tersebut setelah dikaji ulang, image Andini lebih cocok membintangi iklan body lotion.Pertemuan di kantor Andhika kemarin membuat Andini kepikiran hingga kini. Di sekolah, ia nyaris tidak bisa konsentrasi. "Kamu kenapa dari tadi kayak antara ada dan tiada gitu?" tanya Elke ketika jam istirahat, usai makan dan kini mereka tengah duduk di gazebo.Andini menggeleng. Ia ingat peringatan Andhika ketika masih tinggal di hotel dan baru memulai pelajaran tata krama bahwa sedekat apapun kita dengan orang lain, tidak semua hal bisa dibicarakan. "Nggak apa-apa." Andini menggeleng sambil tersenyum tipis. "Cuma nggak bisa tidur aja.""Scarlett gimana? Masih gangguin kamu?"Andini mengangguk."Kadang aku tuh pengen semua orang tahu sifat aslinya gimana," geran Elke.Saat asyik mengobrol, datang Rishi bersama seorang temannya dan keduanya langsung du
✉️ KatyaSepupuku kebetulan ada di hotel yang sama.Andini melihat foto yang dikirimkan Katya kepadanya. Foto berangkulan Scarlett bersama laki-laki yang lebih pantas disebut ayahnya. Jika saja Scarlett bukan kekasih Andhika, mungkin terserah saja dia mau berhubungan dengan siapa, karena itu hak masing-masing orang."Ini maksudnya apa pergi dengan orang yang berbeda?" gumam Andini tak percaya.✉️ AndiniDia sama siapa?Saudaranya?Tadi dari rumah Mas Dhika, tapi pulang marah-marah.✉️ KatyaOh ya?Kenapa? Berantem sama Kak Dhika?✉️ AndiniIya. Gara-gara dia nyuruh-nyuruh aku terus.Dia ditegur Mas Dhika dan ngambek.Pulang.✉️ KatyaWkwkwk Rasain!Aku nggak tahu sih dia sama siapa.Kemarin juga beda orang.Sulit untuk nggak curiga.Tapi hobinya memang godain suami orang.Atau...jadi sugar baby.✉️ AndiniMas Dhika tahu nggak ya?✉️ KatyaEntahlah, tapi semoga segera lepas.Menjijikkan!✉️ AndiniAamiin.Andini teringat saat bertemu di Bali pun dengan orang yang berbeda. "Apa Mbak
"Andini! Ambilkan gue minuman lagi!" Teriak Scarlett dari ruang keluarga kepada Andini yang tengah berada di kamar.Tadinya Andini ingin membuat kue yang berbahan sederhana bersama Tati. Kebetulan di rumah ada bahan-bahannya. Namun, karena kedatangan Scarlett yang tiba-tiba, membuat rencana tersebut gagal dan Andini memutuskan berdiam diri di kamarnya. Tati pun menyuruhnya sembunyi saja.Sebelumnya selain minuman, Andini mau menerima perintah Scarlett untuk mengambilkan camilan karena kebetulan Andhika juga memanggilnya. Tapi sekarang...Panggilan pertama dan kedua masih berusaha Andini abaikan."Andini! Lo punya kuping nggak sih?""Ish! Ngapain sih teriak-teriak kayak orang nggak punya tata krama!" gerutu Andini sambil bangkit dari yang tadinya baca novel di atas tempat tidur.Dengan perlahan saking malasnya, Andini keluar dari kamarnya dan turun ke lantai dua."Sudah aku bilang, jangan perintah Andini! Dia bukan pembantu! Butuh apa-apa tinggal panggil Bu Tati!" Tepat saat Andini me
Film yang dipilih oleh Katya memang bagus, Andini sampai lupa bahwa ia menontonnya bersama dengan Rishi dan teman-temannya juga. Untungnya saat menonton ia duduk di tengah antara Amal dan Elke sehingga mengurangi rasa bersalahnya. Meskipun semua murni kebetulan, ia tetap merasa bersalah.Kini mereka makan malam bersama di sebut restoran Italia berkat suara terbanyak. Di sana, tadinya Rishi ingin duduk dekat Andini tapi ditolak karena takut ketahuan Andhika dan disangka bohong. "Eh, Kak Rishi kayaknya naksir kamu deh," bisik Amal yang duduk di depan Katya saat mereka tengah menunggu pesanan datang.Elke yang duduk di depan Andini mengangguk. "Kupikir juga gitu, tapi nggak terang-terangan."Katya yang di samping Andini tersenyum sinis. "Semoga aja biar Emilia mampus.""Eh, jangan gitulah," sahut Andini tak nyaman. Meskipun ia tidak suka Emilia, tapi ia juga tak ingin ada yang mengolok Emilia seperti itu. Apalagi jika ada hubungan dengannya. Ia sudah trauma dengan Scarlett."Kelihatan k
Meskipun Elke memang berniat menjemput Andini, tetapi karena Andhika ingin bertemu, maka gadis itu menjemput Katya dan Amal terlebih dahulu barulah Andini. Tentu saja menggunakan sopir."Oh, Amal anaknya Pak Jamal Badawi." Andhika manggut-manggut setelah bertemu langsung dengan Katya dan khususnya Amal."Iya, Kak." Amal tersenyum sopan. Andhika mengangguk. "Ya sudah. Tapi maaf, ya, Saya cuma izinkan Andini buat nonton sama makan saja entah itu sebelum atau sesudahnya. Ini nggak ada cowoknya, kan?" Elke, Katya dan Amal serempak menggeleng."Nggak kok, Kak. Kita juga jomlo ini," jawab Elke sambil nyengir."Ya sudah.""Kami pamit, ya," ucap Elke mewakili yang lain."Mas Dhika, saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Andini."Wa'alaikumussalam," balas Andhika.Keempat gadis remaja tersebut pun meninggalkan rumah melalui pintu depan dan sampai carport langsung masuk ke dalam mobil MPV putih. "Agak...seram juga, ya, Kak Andhika tuh?" komentar Amal ketika mereka sudah berada di perjalan