Chryssant Elettra—akrab disapa Ysee—mendapati diri berpindah ke tubuh lain setelah 'dikutuk' oleh korban perundungan kawanannya atas perlakuan buruk mereka. Tragisnya, ialah satu-satunya yang terkena imbas atas 'kutukan' itu. Ysee berakhir di sebuah kontinen bernama Earthalic, terancam mati pada perjumpaan pertama dengan Remus Valez, sang putra mahkota kekaisaran. Dituduh sebagai penggerak utama agresi suku Ace, Ysee hampir menjadi tawanan kekaisaran sampai seorang tabib istana memvalidasi kejujurannya. Atas izin dari sang Putra Mahkota, Ysee menempati manornya, dijadikan sebagai pelayan pribadi pria itu secara sepihak. Sampai kehadiran Ysee berdampak pada terkuaknya satu demi satu kebenaran yang selama ini luput dari jangkauan pengetahuan Remus. Tetapi, mereka tidak sadar bila keduanya telah menjadi bagian dari permainan skema seseorang—memainkan peran sebagai dua buah bidak yang akan menjadi awal dari kehancuran.[] Cover By: @wnc_design_
View MoreREMUS VALEZTIBA-TIBA, kabar perihaldua penyusup cilik dan pelayan manor tersiar ke indra pendengarku. Itu suatu kabar yang teramat merepotkan, mengusik kesibukanku dalam mengurus berkas-berkas sialan ini yang seakan-akan tidak pernah habis. Beruntung, ada Leger menawarkan diri untuk terjun ke tempat kejadian. Meski terkadang bisa bersikap tengil, setidaknya ia masih berguna di masa-masa genting ini.Selesai membubuhkan cap kekaisaran di atas selembar kertas, aku membanting punggung ke sandaran dengan dua tangan bertumpu pada sisi bangku. Untuk beberapa waktu, aku bergeming di dalam ruang kerja, masih terlalu malaskembali ke kamar. Itu yang awalnya kupikirkan, sebelum sadar bila ‘malas’ bukan alasan sebenarnya. Alam ketidaksadaranku diam-diam menanti kabar Leger tentang manusia menyusahkan tersebut—itu alasannya.Dua pelayan manor, sudah pasti Ysee dan Arael, diber
SEPERTI seorang peternak yang menggiring para ayam memasuki kandang, metode sebelas dua belas mirip itu juga digunakan oleh Arael untuk membubarkan kebisingan sekitaran pelabuhan. Saking di luar nalar tingkah pelayan satu itu—berjempalitan sana sini sembari mencerocos lebar—mulutku spontan ternganga. Rasanya, aku ingin membalikkan baki, membenamkan kepala di dalam sana, dan menutup diri dari dunia luar.Arael betul-betul tidak tahu malu! Mau ditaruh ke mana mukaku saat orang-orang tahu aku memiliki kolega yang mirip pawang ayam?Mengantukkan kening ke sisi baki dengan gusar, kulirik salah satu bocah lelaki yang masih bisa terjangkau oleh sudut netra. Kaos putih dan celana cokelat kodoknya basah kuyup, sedangkan permukaan kulit si bocah hampir mengering. Hany
ITU aneh—perasaanku ketika melalui kebersamaan dengan si Putra Mahkota sepanjang malam. Terkesan berbeda daripada saat-saat kebersamaanku dengan pria lain. Tak bisa kumungkir, Remus memperlakukanku terlalu lembut dan sama sekali tidak menuntut, setidaknya bila disandingkan dengan permainanprialain. Kontras dengan asumsiku mengingat perangainya yang begitu mengesalkan saat bersilat lidah.Ini pertama kalinya aku diperlakukan seperti manusia sungguhan.Sial sekali karena aku gagal melupakan momen tersebut di saat telah memantapkan hati untuk melupakan percumbuan kami. Lebih sialnya lagi, Remus betul-betul serius dengan pengeklaiman atas diriku pada malam itu. Ia membuatku perlu repot-repot membentangkan jarak. Maka dari itu, selama berhari-hari terakhir, kuhabiskan waktu bersama Arael di dapur manor—well, aku menanggalkan peranku sebagai pelayan pribadi Remus secara sepihak.Jika para prajurit tengah berlatih, aku akan mendatangi Lennox atau Deeon. Untuk sem
REMUS VALEZKETIKA proposal pengadaan Pesta Kesenangan satu bulan sekali diturunkan, aku tidak berpikir dua kali untuk menyetujuinya—dengan catatan keamanan manor tetap nomor satu. Kini, rasanya aku tergugah menganulir persetujuan proposal satu itu selepas melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kedua bawahanku, Deeon dan Ysee, melakukan ‘tidak-tidak’ di ruang istirahat. Sebagai Putra Mahkota, aku tidak bisa menoleransi tindakan mereka.Tetapi, sebagai Remus Valez, akal sehatku bagaikan terhantam badai ketidakwarasan.Manik hitam itu kutemukan paling pertama saat aku membuka pintu. Sempat berniat menegur mereka,
AKU baru dua belas saat Dad mencekokiku anggur. Ia seorang maniak peminum, kerap mengangkat tubuhku ke atas pangkuan pahanya dengan dalih ingin berbagi sampanye. Celana kebesaran pria itu selalu melorot dari atas pinggang dan memintaku untuk menggerakkan bokong di antara kakinya. Saat itu, aku masih terlalu muda untuk memahami otak rusaknya. Dan secara tanpa sadar, tiga tahun telak aku memuaskan hasrat biologisnya. Sampai berakhir pada hari kematiannya akibat mengonsumsi obat keras berlebih. Berpulangnya Dad tidak membuatku bebas dari kebejatan pria. Patah hati pertamaku jatuh kepada ‘dia’, seseorang dari sekolah menengahku. Aku selalu bergantung padanya dan itu membuat ‘dia’ memanfaatkan momentum untuk menjadikanku seekor binatang. Katakan aku dungu
BUSA sabun mengotori telapak tanganku. Jika kedepannya aku terus-terusan mengisi waktu bersinggungan dengan buih itu, maka selamat tinggal untuk kulit mulus. Lebih baik berendam kuntum bunga di bathtub, merasai buih-buih itu membebat sekujur tubuh bagaikan awan kapas—ketimbang mencuci sayur-sayur hijau berbau busuk ini! Huek! Ingin rasanya kupenuhi animo kuatku untuk menerbangi buihnya tepat ke netra Remus dan menyumpal mulutnya dengan busa sabun. Secepat cahaya, kugeser atensi dari baskom berbuih menuju sofa dan meja marmer. Di sanalah pria jelek itu bera
JIKA benar aku mati, ini namanya siksa kubur!Kepalaku berat bukan main, seperti ditusuk habis-habisan dengan ribuan jarum dan dijahit dengan pola ikat mati. Pasokan udara terasa menipis, aku harus mengap-mengap sekadar meraup oksigen yang bergumul bebas di atas sana. Belum lagi, setiap kali aku coba menggerakkan anggota tubuhku, sengatan senyar mendominasi di mana-mana.Beberapa menit pertama, aku sungguh mengira ragaku sudah terkubur dalam peti—jauhsekalidi bawah tumpukan tanah.Pemikiranku ternyata keliru karena kandil kristal menggantung cantik beberapa meter tepat di atas kepalaku. Peti mati tidak mungkin memiliki kandil, apalagi terbuat dari kristal—terlalu glamor.Sebelum lindurku semakin menjadi-jadi, kupaksakan netraku mengedari sekeliling tanpa beringsut dari posisi berbaring. Di depanku ada sebuah almari hitam besar dalam keadaan tertutup rapat. Menggeser pandangan ke kanan, ada jendela dengan tirai terkatup, serta sebuah
REMUS VALEZSEPERTI biasa, Kaisar Paladin—Paman—selain merepotkan, juga selalu tidak kenal waktu. Pagi sekali, beliau mengirim merpati pos ke manorku. Melalui tulisan tangan sukar terbaca dan tidak pernah rapi itu, Paman memintaku datang ke kekaisaran. Jarak manorku dengan istana kekaisaran tidak begitu memakan waktu lama bila ditempuh dengan berkuda. Jadi, aku menerima panggilannya meski terpaksa.Selepas menanggalkan kaos dan menggantinya dengan atribut lebih etis, kubawa langkahku menuju istal untuk menunggang Vanity. Ia merupakan seekor kuda bersurai hitam lebat yang menjadi
TUK! Tuk! Tuk! Bidang datar namun tajam pisau mencincang mentimun dan sayur-sayuran dengan tidak santai. Itu sama persis dengan pemikiranku saat ini—buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tanpa menghiraukan bau mentimun dan sayur lain yang menguar. Kebencianku terhadap pria jelek itu mampu menandingi kebencianku terhadap sayuran. Kuambil mentimun satu lagi, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum melontarkan seringai bengis. Lagi, aku bernafsu bukan main ketika memotongnya dengan pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan
MENURUT strategi yang telah diperhitungkan, mereka akan keluar dari penjagaan tepat ‘alat’ itu berhasil membelokkan atensi dua orang prajurit kekaisaran. Berpindah dari mata ke mata, akhirnya pandangan empat kawanan pria itu mendarat serempak ke satu-satunya kaum hawa di sana. Yang ditatap tidak merasa terusik, ia masih sibuk memancangkan pandangan lurus ke depan. “Firasatku buruk,” gumam salah seorang pria, kerutan dalam muncul di permukaan keningnya. “Cih, gelagatnya begitu kaku.” “Diamlah, Viktas. Jangan memancing keributan.” Pria kedua menegur si pria pertama bernama Viktas itu dengan bisikan hati-hati. Viktas kembali meludah, tetapi ia memutuskan untuk diam. Mereka berlima terus mengamati panggung terbuka, melihat bagaimana Engar—pemuda memprihatinkan yang dijadikan sebagai ‘alat’ baru dalam suku mereka—mulai mengikuti fase-fase dalam skenario; menangis, tertawa, menggila, kemudian kabur. Pada fase terakhir ini, si prajurit kekaisaran ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments