JIKA benar aku mati, ini namanya siksa kubur!
Kepalaku berat bukan main, seperti ditusuk habis-habisan dengan ribuan jarum dan dijahit dengan pola ikat mati. Pasokan udara terasa menipis, aku harus mengap-mengap sekadar meraup oksigen yang bergumul bebas di atas sana. Belum lagi, setiap kali aku coba menggerakkan anggota tubuhku, sengatan senyar mendominasi di mana-mana.
Beberapa menit pertama, aku sungguh mengira ragaku sudah terkubur dalam peti—jauh sekali di bawah tumpukan tanah. Pemikiranku ternyata keliru karena kandil kristal menggantung cantik beberapa meter tepat di atas kepalaku. Peti mati tidak mungkin memiliki kandil, apalagi terbuat dari kristal—terlalu glamor.
Sebelum lindurku semakin menjadi-jadi, kupaksakan netraku mengedari sekeliling tanpa beringsut dari posisi berbaring. Di depanku ada sebuah almari hitam besar dalam keadaan tertutup rapat. Menggeser pandangan ke kanan, ada jendela dengan tirai terkatup, serta sebuah
BUSA sabun mengotori telapak tanganku. Jika kedepannya aku terus-terusan mengisi waktu bersinggungan dengan buih itu, maka selamat tinggal untuk kulit mulus. Lebih baik berendam kuntum bunga di bathtub, merasai buih-buih itu membebat sekujur tubuh bagaikan awan kapas—ketimbang mencuci sayur-sayur hijau berbau busuk ini! Huek! Ingin rasanya kupenuhi animo kuatku untuk menerbangi buihnya tepat ke netra Remus dan menyumpal mulutnya dengan busa sabun. Secepat cahaya, kugeser atensi dari baskom berbuih menuju sofa dan meja marmer. Di sanalah pria jelek itu bera
AKU baru dua belas saat Dad mencekokiku anggur. Ia seorang maniak peminum, kerap mengangkat tubuhku ke atas pangkuan pahanya dengan dalih ingin berbagi sampanye. Celana kebesaran pria itu selalu melorot dari atas pinggang dan memintaku untuk menggerakkan bokong di antara kakinya. Saat itu, aku masih terlalu muda untuk memahami otak rusaknya. Dan secara tanpa sadar, tiga tahun telak aku memuaskan hasrat biologisnya. Sampai berakhir pada hari kematiannya akibat mengonsumsi obat keras berlebih. Berpulangnya Dad tidak membuatku bebas dari kebejatan pria. Patah hati pertamaku jatuh kepada ‘dia’, seseorang dari sekolah menengahku. Aku selalu bergantung padanya dan itu membuat ‘dia’ memanfaatkan momentum untuk menjadikanku seekor binatang. Katakan aku dungu
REMUS VALEZKETIKA proposal pengadaan Pesta Kesenangan satu bulan sekali diturunkan, aku tidak berpikir dua kali untuk menyetujuinya—dengan catatan keamanan manor tetap nomor satu. Kini, rasanya aku tergugah menganulir persetujuan proposal satu itu selepas melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kedua bawahanku, Deeon dan Ysee, melakukan ‘tidak-tidak’ di ruang istirahat. Sebagai Putra Mahkota, aku tidak bisa menoleransi tindakan mereka.Tetapi, sebagai Remus Valez, akal sehatku bagaikan terhantam badai ketidakwarasan.Manik hitam itu kutemukan paling pertama saat aku membuka pintu. Sempat berniat menegur mereka,
ITU aneh—perasaanku ketika melalui kebersamaan dengan si Putra Mahkota sepanjang malam. Terkesan berbeda daripada saat-saat kebersamaanku dengan pria lain. Tak bisa kumungkir, Remus memperlakukanku terlalu lembut dan sama sekali tidak menuntut, setidaknya bila disandingkan dengan permainanprialain. Kontras dengan asumsiku mengingat perangainya yang begitu mengesalkan saat bersilat lidah.Ini pertama kalinya aku diperlakukan seperti manusia sungguhan.Sial sekali karena aku gagal melupakan momen tersebut di saat telah memantapkan hati untuk melupakan percumbuan kami. Lebih sialnya lagi, Remus betul-betul serius dengan pengeklaiman atas diriku pada malam itu. Ia membuatku perlu repot-repot membentangkan jarak. Maka dari itu, selama berhari-hari terakhir, kuhabiskan waktu bersama Arael di dapur manor—well, aku menanggalkan peranku sebagai pelayan pribadi Remus secara sepihak.Jika para prajurit tengah berlatih, aku akan mendatangi Lennox atau Deeon. Untuk sem
SEPERTI seorang peternak yang menggiring para ayam memasuki kandang, metode sebelas dua belas mirip itu juga digunakan oleh Arael untuk membubarkan kebisingan sekitaran pelabuhan. Saking di luar nalar tingkah pelayan satu itu—berjempalitan sana sini sembari mencerocos lebar—mulutku spontan ternganga. Rasanya, aku ingin membalikkan baki, membenamkan kepala di dalam sana, dan menutup diri dari dunia luar.Arael betul-betul tidak tahu malu! Mau ditaruh ke mana mukaku saat orang-orang tahu aku memiliki kolega yang mirip pawang ayam?Mengantukkan kening ke sisi baki dengan gusar, kulirik salah satu bocah lelaki yang masih bisa terjangkau oleh sudut netra. Kaos putih dan celana cokelat kodoknya basah kuyup, sedangkan permukaan kulit si bocah hampir mengering. Hany
REMUS VALEZTIBA-TIBA, kabar perihaldua penyusup cilik dan pelayan manor tersiar ke indra pendengarku. Itu suatu kabar yang teramat merepotkan, mengusik kesibukanku dalam mengurus berkas-berkas sialan ini yang seakan-akan tidak pernah habis. Beruntung, ada Leger menawarkan diri untuk terjun ke tempat kejadian. Meski terkadang bisa bersikap tengil, setidaknya ia masih berguna di masa-masa genting ini.Selesai membubuhkan cap kekaisaran di atas selembar kertas, aku membanting punggung ke sandaran dengan dua tangan bertumpu pada sisi bangku. Untuk beberapa waktu, aku bergeming di dalam ruang kerja, masih terlalu malaskembali ke kamar. Itu yang awalnya kupikirkan, sebelum sadar bila ‘malas’ bukan alasan sebenarnya. Alam ketidaksadaranku diam-diam menanti kabar Leger tentang manusia menyusahkan tersebut—itu alasannya.Dua pelayan manor, sudah pasti Ysee dan Arael, diber
MENURUT strategi yang telah diperhitungkan, mereka akan keluar dari penjagaan tepat ‘alat’ itu berhasil membelokkan atensi dua orang prajurit kekaisaran. Berpindah dari mata ke mata, akhirnya pandangan empat kawanan pria itu mendarat serempak ke satu-satunya kaum hawa di sana. Yang ditatap tidak merasa terusik, ia masih sibuk memancangkan pandangan lurus ke depan. “Firasatku buruk,” gumam salah seorang pria, kerutan dalam muncul di permukaan keningnya. “Cih, gelagatnya begitu kaku.” “Diamlah, Viktas. Jangan memancing keributan.” Pria kedua menegur si pria pertama bernama Viktas itu dengan bisikan hati-hati. Viktas kembali meludah, tetapi ia memutuskan untuk diam. Mereka berlima terus mengamati panggung terbuka, melihat bagaimana Engar—pemuda memprihatinkan yang dijadikan sebagai ‘alat’ baru dalam suku mereka—mulai mengikuti fase-fase dalam skenario; menangis, tertawa, menggila, kemudian kabur. Pada fase terakhir ini, si prajurit kekaisaran ke
KERUMUNAN orang mengombak di pusat kelab, rata-rata pria pemabuk. Mereka terbuai oleh kehangatan meledak-ledak dan pemandangan sedap mata di atas meja bulat. Ada tiga penari striptis bergelayut luwes dan berekspresi manja, mengundang lautan tangan kukuh berlomba-lombainginmerasai tubuh molek mereka—tentu saja sia-sia karena ketiga penari itu berlindung di bawah peraturan kelab.Kuhentikan putaran gelas sampanye di tangan, meneguk tuntas anggurku tanpa beralih atensi dari pusat kelab. Lalu di luar kesadaran, aku meloloskan kekehan. Ah, penantianku datang juga. Saat itu juga, aku menegakkan punggung polosku di sandaran kursi bar. Antusiasmeku bergolak hangat. Kuamati keempat kawanku baru saja berhasil menerobos kerumun terdepan. Calis diseret paksa ke atas meja.Gadis cupu berbusana kolot, primitif, atau apalah itu, menangis sejadi-jadinya saat keempat kawanku berbaur kembali dengan kerumun. Ia berakhir seorang diri. Lautan tangan pria pemabuk itu mulai