SEPERTI seorang peternak yang menggiring para ayam memasuki kandang, metode sebelas dua belas mirip itu juga digunakan oleh Arael untuk membubarkan kebisingan sekitaran pelabuhan. Saking di luar nalar tingkah pelayan satu itu—berjempalitan sana sini sembari mencerocos lebar—mulutku spontan ternganga. Rasanya, aku ingin membalikkan baki, membenamkan kepala di dalam sana, dan menutup diri dari dunia luar.
Arael betul-betul tidak tahu malu! Mau ditaruh ke mana mukaku saat orang-orang tahu aku memiliki kolega yang mirip pawang ayam?
Mengantukkan kening ke sisi baki dengan gusar, kulirik salah satu bocah lelaki yang masih bisa terjangkau oleh sudut netra. Kaos putih dan celana cokelat kodoknya basah kuyup, sedangkan permukaan kulit si bocah hampir mengering. Hany
REMUS VALEZTIBA-TIBA, kabar perihaldua penyusup cilik dan pelayan manor tersiar ke indra pendengarku. Itu suatu kabar yang teramat merepotkan, mengusik kesibukanku dalam mengurus berkas-berkas sialan ini yang seakan-akan tidak pernah habis. Beruntung, ada Leger menawarkan diri untuk terjun ke tempat kejadian. Meski terkadang bisa bersikap tengil, setidaknya ia masih berguna di masa-masa genting ini.Selesai membubuhkan cap kekaisaran di atas selembar kertas, aku membanting punggung ke sandaran dengan dua tangan bertumpu pada sisi bangku. Untuk beberapa waktu, aku bergeming di dalam ruang kerja, masih terlalu malaskembali ke kamar. Itu yang awalnya kupikirkan, sebelum sadar bila ‘malas’ bukan alasan sebenarnya. Alam ketidaksadaranku diam-diam menanti kabar Leger tentang manusia menyusahkan tersebut—itu alasannya.Dua pelayan manor, sudah pasti Ysee dan Arael, diber
MENURUT strategi yang telah diperhitungkan, mereka akan keluar dari penjagaan tepat ‘alat’ itu berhasil membelokkan atensi dua orang prajurit kekaisaran. Berpindah dari mata ke mata, akhirnya pandangan empat kawanan pria itu mendarat serempak ke satu-satunya kaum hawa di sana. Yang ditatap tidak merasa terusik, ia masih sibuk memancangkan pandangan lurus ke depan. “Firasatku buruk,” gumam salah seorang pria, kerutan dalam muncul di permukaan keningnya. “Cih, gelagatnya begitu kaku.” “Diamlah, Viktas. Jangan memancing keributan.” Pria kedua menegur si pria pertama bernama Viktas itu dengan bisikan hati-hati. Viktas kembali meludah, tetapi ia memutuskan untuk diam. Mereka berlima terus mengamati panggung terbuka, melihat bagaimana Engar—pemuda memprihatinkan yang dijadikan sebagai ‘alat’ baru dalam suku mereka—mulai mengikuti fase-fase dalam skenario; menangis, tertawa, menggila, kemudian kabur. Pada fase terakhir ini, si prajurit kekaisaran ke
KERUMUNAN orang mengombak di pusat kelab, rata-rata pria pemabuk. Mereka terbuai oleh kehangatan meledak-ledak dan pemandangan sedap mata di atas meja bulat. Ada tiga penari striptis bergelayut luwes dan berekspresi manja, mengundang lautan tangan kukuh berlomba-lombainginmerasai tubuh molek mereka—tentu saja sia-sia karena ketiga penari itu berlindung di bawah peraturan kelab.Kuhentikan putaran gelas sampanye di tangan, meneguk tuntas anggurku tanpa beralih atensi dari pusat kelab. Lalu di luar kesadaran, aku meloloskan kekehan. Ah, penantianku datang juga. Saat itu juga, aku menegakkan punggung polosku di sandaran kursi bar. Antusiasmeku bergolak hangat. Kuamati keempat kawanku baru saja berhasil menerobos kerumun terdepan. Calis diseret paksa ke atas meja.Gadis cupu berbusana kolot, primitif, atau apalah itu, menangis sejadi-jadinya saat keempat kawanku berbaur kembali dengan kerumun. Ia berakhir seorang diri. Lautan tangan pria pemabuk itu mulai
“CIH. Pemaksaan.”Gugahankuuntuk menggiling muka si pria rupawan itu menjadi kertas dan memampangkannya luas-luas di dinding kamar begitu besar. Pria yang baru saja kutahu namanya sebagai Remus Valez, secuil pun tidak sudi menaruh kepercayaan dalam setiap kata yang kututurkan. Ia menuduhku sebagai penggerak utama suku apalah-itu-namanya, bahkan berhasil mengintimidasiku dengan sebuah anak panah runcing di tangan.“Masih tidak mau jujur?” tanyanya, untuk sekian ratuskali.Keningku mengerut tidak senang. Ingin rasanya, selain menggiling muka tampan pria itu, aku juga tergugah berat untuk mengebiri lidahnya—menjual di pelelangan seharga miliaran dolar. Sungguh, aku hampir muak menghadapi pria jeleksatu ini jika bukan karena tampangnya melampaui ketampanan aktor papan atas.Lihat saja, satu alis rapinya tertarik naiksecara mengesalkan, belum lagiterselip nada menantang setiap kali ia b
TABIB Icarus penyelamat hidupku. Lupakan dulu tentangnya yang sempat mengibaratkanku seperti setan. Tanpa sang tabib, aku mungkin terancam mati di tangan pria jelek. Ingin rasanya aku berguru kepada tabib itu. Bagaimana tidak, ia dengan kesabaran besarnya yang tidak mungkin dapat siapa pun punya—kecuali orang kalis, memvalidasi kejujuranku dengan tabah di depan sang Putra Mahkota. Uh, aneh juga menyebut si pria jelek dan tidak sabaran dengan gelar sebesar itu. Omong-omong, semua kejadian ini masih tidak sampai ke otakku. Pasalnya, kata si tabib, jiwaku berpindah ke tubuh lain dan itu melampaui akal sehatku. Kendati semenjak dulu akal sehatku tidak sehat-sehat amat, aku dibuat kelimp
TUK! Tuk! Tuk! Bidang datar namun tajam pisau mencincang mentimun dan sayur-sayuran dengan tidak santai. Itu sama persis dengan pemikiranku saat ini—buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tanpa menghiraukan bau mentimun dan sayur lain yang menguar. Kebencianku terhadap pria jelek itu mampu menandingi kebencianku terhadap sayuran. Kuambil mentimun satu lagi, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum melontarkan seringai bengis. Lagi, aku bernafsu bukan main ketika memotongnya dengan pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan
REMUS VALEZSEPERTI biasa, Kaisar Paladin—Paman—selain merepotkan, juga selalu tidak kenal waktu. Pagi sekali, beliau mengirim merpati pos ke manorku. Melalui tulisan tangan sukar terbaca dan tidak pernah rapi itu, Paman memintaku datang ke kekaisaran. Jarak manorku dengan istana kekaisaran tidak begitu memakan waktu lama bila ditempuh dengan berkuda. Jadi, aku menerima panggilannya meski terpaksa.Selepas menanggalkan kaos dan menggantinya dengan atribut lebih etis, kubawa langkahku menuju istal untuk menunggang Vanity. Ia merupakan seekor kuda bersurai hitam lebat yang menjadi
JIKA benar aku mati, ini namanya siksa kubur!Kepalaku berat bukan main, seperti ditusuk habis-habisan dengan ribuan jarum dan dijahit dengan pola ikat mati. Pasokan udara terasa menipis, aku harus mengap-mengap sekadar meraup oksigen yang bergumul bebas di atas sana. Belum lagi, setiap kali aku coba menggerakkan anggota tubuhku, sengatan senyar mendominasi di mana-mana.Beberapa menit pertama, aku sungguh mengira ragaku sudah terkubur dalam peti—jauhsekalidi bawah tumpukan tanah.Pemikiranku ternyata keliru karena kandil kristal menggantung cantik beberapa meter tepat di atas kepalaku. Peti mati tidak mungkin memiliki kandil, apalagi terbuat dari kristal—terlalu glamor.Sebelum lindurku semakin menjadi-jadi, kupaksakan netraku mengedari sekeliling tanpa beringsut dari posisi berbaring. Di depanku ada sebuah almari hitam besar dalam keadaan tertutup rapat. Menggeser pandangan ke kanan, ada jendela dengan tirai terkatup, serta sebuah