KERUMUNAN orang mengombak di pusat kelab, rata-rata pria pemabuk. Mereka terbuai oleh kehangatan meledak-ledak dan pemandangan sedap mata di atas meja bulat. Ada tiga penari striptis bergelayut luwes dan berekspresi manja, mengundang lautan tangan kukuh berlomba-lomba ingin merasai tubuh molek mereka—tentu saja sia-sia karena ketiga penari itu berlindung di bawah peraturan kelab.
Kuhentikan putaran gelas sampanye di tangan, meneguk tuntas anggurku tanpa beralih atensi dari pusat kelab. Lalu di luar kesadaran, aku meloloskan kekehan. Ah, penantianku datang juga. Saat itu juga, aku menegakkan punggung polosku di sandaran kursi bar. Antusiasmeku bergolak hangat. Kuamati keempat kawanku baru saja berhasil menerobos kerumun terdepan. Calis diseret paksa ke atas meja.
Gadis cupu berbusana kolot, primitif, atau apalah itu, menangis sejadi-jadinya saat keempat kawanku berbaur kembali dengan kerumun. Ia berakhir seorang diri. Lautan tangan pria pemabuk itu mulai menjangkau kaos kumal si cupu, merobek paksa kain-kain tipis tersebut hingga pundak Calis dan beberapa daerah tubuh polosnya timbul dengan malu-malu.
Para pemabuk cerdas dalam memanfaatkan situasi—mengingat penari-penari striptis tidak bisa dijamah, tetapi di lain sisi, si cupu bisa dan kenapa tidak?
“Menikmati sekali, duh?” Meagan datang dari arah kerumun. Antusiasme gadis bersurai ombre biru-perak itu melebihiku, mengingat ia terjun langsung bersama Lakisha, Janette, dan Irene untuk memberi pelajaran kepada si cupu. Memalingkan muka sepintas ke arah bartender, Meagan mengangkat tangan kanan dan berteriak, “Satu gelas anggur, terima kasih!”
“Dua, tolong!” timpalku, menerima acungan ibu jari dari sang bartender. Kemudian, aku mulai tertawa dan setengah berteriak kepada Meagan, “Hell, tentu saja aku sangat menikmati pemandangan itu. Si cupu pantas mendapatkannya.”
“Yeah, katakan ‘tidak’ untuk perebut pria orang!” pekiknya, mengacungkan jari tengah tinggi-tinggi ke atap kelab. “Kaulihat, Ysee, si cupu gemetaran sekali. Haha, rasakan akibatnya!”
Bibir ranumku melontarkan dengkusan, hampir menyeringai. Aku mengurungkan niat untuk itu saat si bartender datang dengan mengusung dua gelas sampanye. Jemariku cepat-cepat merampas salah satu gelas, begitu juga Meagan. Kami sama-sama menumpas habis anggurnya dalam sekali tegukan. Aku tergelak kuat, merasakan alkohol-alkohol di lambungku bercokol. Sisa cairan yang sempat mengalir di kerongkongan terasa begitu menghangatkan.
“Sekarang apa?” tanyaku, mulai merasakan pening. Jadi, aku segera meremas batang hidungku keras-keras dan menambahkan, “Mabuk sampai pagi buta?”
“Kurasa tidak.” Meagan menginstruksikanku melalui netra biru lautnya, tidak bisa menahan tawa keras. “Lihat Lakisha. Ia datang dengan memikul dua karung beras.”
“Uh, teler sekali kawan-kawanmu itu,” kelakarku, menikmati kesulitan Lakisha ketika ia perlu merangkul Janette dan Irene yang mabuk. “Bantu mereka sana—langsung antar ke mobil saja. Bill on me, aku sedang berbaik hati hari ini.”
“Woah, kawanku memang.” Cup! Meagan cengar-cengir begitu mendaratkan kecupan memuakkan di permukaan pipiku. “Aku duluan!”
Aku menggulirkan netra hitamku, sedikit bergidik dan merasa kotor oleh sikap menjijikkan Meagan. Kutatap lambaian tangannya selagi kawanku satu itu mendatangi Lakisha. Ia mengambil alih tubuh Irene di rangkulan kanan Lakisha—seketika aku gagal menahan tawa. Bagaimana tidak, wajah teler Janette dan Irene sungguh menggelitikku.
Semestinya aku tidak meninggalkan ponsel di mobil, sehingga aku bisa mengabadikan potret jelek mereka.
Penampakan keempat gadis bertubuh molek dan berbusana terbuka itu sudah tidak lagi terjangkau oleh visualku, mereka mungkin sudah keluar dari pintu kelab. Akhirnya, aku merogoh tas kecil yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi, mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus ke atas meja.
Si bartender pria mendatangiku dan merangkul pinggangku yang terbatasi meja bar, sementara aku memeluk singkat tubuh gagah berbalut kemeja hitam itu dan mendaratkan kecupan ringan di pelipisnya. Selanjutnya, kami sama-sama melepaskan diri untuk kembali ke aktivitas masing-masing—ia dengan profesinya dan aku dengan keinginan untuk kembali.
Tetapi, tiba-tiba aku teringat dengan Calis. Harusnya aku tidak perlu memedulikan si cupu yang sudah merebut kekasih Irene, namun aku tetap membawa kakiku menuju pusat kelab malam. Calis masih berjongkok di atas meja. Kaosnya tidak lagi berbentuk, menampakkan sebagian besar pakaian dalam hijau tuanya.
Uh, selera warnanya begitu buruk, batinku, tertawa pelan saat netra memelas Calis menemuiku. “Mau pulang?” tanyaku, melipat tangan di depan dada selagi memainkan sepasang alisku naik dan turun. “Atau sudah terbuai dengan kenikmatan dunia malam ini?”
Ia mengabaikan pertanyaanku, lebih tepatnya teralih, sebab tangan-tangan pria pemabuk kian meliar di tengah dentuman musik yang semakin panas. Calis berkelit, mungkin mulanya berhasil, tetapi para pria—apalagi sedang mabuk—memiliki seribu satu cara untuk merasakan kepuasan saat meraba kulit mulus para gadis perawan. Sampai akhirnya, aku menawarkan uluran tangan ke hadapan Calis.
Ia ragu-ragu mencoba untuk menerima uluran tanganku. Terlalu lama, pikirku. Gerak lambannya membuatku tergugah menangkap lengan Calis. Otomatis ia hilang keseimbangan dan menggelepar di atas meja bulat, itu memudahkan lautan tangan pria untuk meraba kulit polosnya. Aku menggulirkan netra, semakin dibuat kesal karena Calis hanya diam saja. Apakah si cupu ini sudah menikmati betul?
“Y-Ysee,” gumam Calis, menatapku dengan binar yang tidak kumengerti. “B-Bantu aku ….”
Satu alisku tertarik naik. “Kau tinggal berdiri kemari. Apa sulitnya?” tanyaku, jengkel. “Jangan bersikap infantil. Dunia di luar sana lebih kejam dari ini, Chalistia Zidney.”
Lengan kanan Calis terulur ke hadapanku. “J-Jika aku berdiri, m-mereka akan … memegangku,” ucapnya, menggunakan raut memelas seperti anjing.
Kulukis senyum miring di bibir ranumku. Ah, gadis cupu ini betul-betul membuatku ingin tertawa keras-keras. “Kau bahkan tidak pernah merasakan lebih dari ini,” balasku, ironisnya jauh lebih pelan dan ada secuil gemetar di sana. “Jangan berlebihan. Sekarang turun—atau kutinggal kau bersama pria-pria berhidung belang di sini.”
“J-Jangan! A-Aku turun sekarang!”
Calis panik bukan kepalang. Tanpa mengangkat tubuhnya, ia mulai merangkak secara memprihatinkan di permukaan meja bulat. Aku menanti dengan sabar, menikmati air muka ketakutan yang menghiasi paras cupu Calis. Ada sedikit kepuasan—ah, tidak sedikit, cukup banyak kepuasan setiap kali melihat mereka, para korban perundunganku dan kawan-kawanku, seperti sekarang.
Atas satu dan lain hal, aku berakhir menjadi seorang gadis tanpa hati. Begitu juga dengan Meagan, Lakisha, Janette, dan Irene. Kami lima sekawan yang pernah dibuat hancur oleh dunia, kemudian kami berhasil bangkit untuk menjadi bagian dari kehancuran itu. Kendati lebih banyak mengamati, aku tetap sama brutalnya dengan keempat kawanku.
Jadi, ketika Calis hampir mendekati sisiku, kutarik paksa tangannya hingga ia jatuh terjengkang ke dasar lantai. Aku segera bertelut, meraih dagunya untuk menahan tatapan kami. Calis menatapku dengan amarah tak terkatakan. Aku tahu karena aku juga pernah melakukan hal yang sama. Lalu, apa yang kudapat? Sebuah tamparan.
Oleh karena itu, segera kutampar pipinya keras-keras sampai ia terhuyung membentur sisi meja. Calis memegang bekas tamparanku, menatapku dengan netra berkaca-kaca. Tidak ada lagi kemarahan, tetapi lebih parah lagi, ia menatapku penuh kebencian.
“Aku bersumpah, neraka menantimu dan kawan-kawanmu, Ysee!”
“Beraninya kau—argh!”
Baru aku menggantungkan tangan di udara, bersiap menampar si cupu pemberani itu kembali, kemunculan tiba-tiba sebuah denging memaksaku berhenti. Suaranya pekak sekali. Jika terus berlanjut, indra pendengarku akan berakhir tuli. Kututup erat-erat netra hitamku, juga telingaku dengan kedua tangan. Aku ingin berteriak mengumpat, namun aku seakan-akan lupa cara untuk bersuara.
Denging itu semakin menjadi-jadi. Ingar bingar kelab malam tergantikan oleh resonansi tinggi. Hingga kurasakan bogem mentah mendarat ke tulang tengkorakku bertalu-talu. Ruangan penuh kelap-kelip warna dari bola disko terasa berotasi tanpa henti, menjungkirbalikkan tubuhku seratus delapan puluh derajat.
Tidak ada gravitasi sama sekali. Itu berlangsung cukup lama. Visualku mengabur seiring tubuhku mulai berserah diri. Persetan dengan neraka ketika alur hidupku sendiri sudah seperti berada dalam jahanam itu. Batinku mulai mengukir senyum pilu. Aku menanti ketibaanku di dalam sana.
Ya, aku sungguh menantinya ….
*
Sengatan kuat dan begitu panas membuat netra hitamku terekspos sempurna. Melupakan sementara rasa sakit itu, bibirku mengap-mengap untuk meraup kandungan oksigen yang merebak. Pasokan paru-paruku terasa habis dari udara. Aku mengangkat tangan kanan, meremas dadaku sekuat mungkin agar mereka berhasil kudapatkan kembali.
Ketika deru napasku mulai teratur, aku baru membuka pandanganku yang rupanya masih mengabur. Dan visualku terkuasai oleh eksistensi sepasang kaki di depanku tersimpuh. Aku menaikkan tatapan ke depan, mendongak sampai leherku hampir patah karena perawakan dari si pemilik kaki tinggi bukan main. Lalu, akhirnya kutemukan dua netra berwarna sama dengan milikku.
Tanpa kusadari, tahu-tahu saja aku sudah membuka mulut dan ingin menjatuhkan rahang. Bila benar ini adalah neraka, aku tidak akan pernah menyesal karena sudah menanam perbuatan buruk selama aku hidup!
Aku meneguk liur sembari mengamati paras rupawan si pria ini. Garis rahangnya asertif bukan main, hidung bangirnya terpahat dengan begitu sempurna, bibirnya merah alami—tidak terlalu tipis dan tidak juga tebal, kerapian alisnya jangan ditanya. Aku perlu setidaknya lima belas menit untuk merapikan sepasang alisku dengan sisir alis.
Sialan, jantungku tidak aman jika aku melihatnya lebih lama. Belum lagi, surai hitamnya dibiarkan awut-awutan seperti itu membuat jemariku gatal ingin memainkannya.
Uh, sadarlah tempatmu sekarang, Ysee! ingatku kepada diri sendiri. “Siapa kau?” Itu kalimat pertama yang berhasil kulontarkan dan air mukanya menatapku aneh—juga remeh. Apa-apaan pria jelek itu?!
Belum juga aku mendengar suara maskulin, atau mungkin cempreng—mengingat dalam kekurangan pasti ada kelebihan, tiba-tiba empat tangan meringkusku dari belakang. Aku mencoba untuk menoleh ke balik pundak, tetapi lidahku sudah lebih dulu mendesis ketika sengatan kuat itu kembali dan menggerayangi pergelangan kaki kananku.
Aku memelotot lebar tepat kepalaku menunduk. Ketumbar Busuk! Kenapa ada anak panah menancap di kakiku?! batinku berteriak kencang. “Berengsek! Setidaknya lepaskan dulu anak panah ini sebelum membekukku!”
Kutatap sewot pria rupawan berhati sadis yang masih setia berdiri di depanku. Ia semakin menatapku aneh dan aku balas menatapnya tidak kalah aneh. Ia memutuskan kontak setelah menghela napas dan menoleh ke balik pundaknya. Pria itu tampak berbicara sepatah dua kata ke salah satu pria—beratribut zirah besi? Tanpa sadar, aku mengerutkan kening.
Segera kuedarkan pandanganku sejauh yang bisa kujangkau karena tubuhku masih tercekal kuat-kuat oleh dua orang di belakang.
Menyelisik lebih jauh ke balik pundak si pria rupawan, ada sebuah gerbang dengan dua menara kecil di sisi kanan dan kiri. Gerbang bersadur obsidian itu dalam posisi terekspos lebar, tetapi tidak sampai habis karena aku masih dapat melihat cuatan pagar hitamnya.
Semakin jauh lagi, sebuah bangunan lebar bukan main dan menjulang kukuh—kurasa terdiri atas empat tingkat—penuh dengan jendela kotak yang berderet apik. Bagian tengah bangunan, atapnya paling lancip dibandingkan yang lain. Ada juga pintu, sayangnya tidak dapat terjangkau oleh visualku karena terhalau oleh pundak tegap si pria.
Belum puas menggeser penglihatanku ke bagian lain dan memenuhi rasa keingintahuanku, dua orang di belakang tahu-tahu saja sudah menyeret tubuhku dengan brutal. “Argh! Kakiku sakit, berengsek!" seruku, bergelayutan lasak di udara agar mereka menurunkanku saat itu juga, tetapi tidak mempan. “Astaga, kukutuk kalian—terutama kau—menjadi pria jelek!”
Kami lagi-lagi saling bertukar tatapan ketika dua orang yang masih kugelayuti ini melintasi pria itu. Aku ingin mengacungkan jari tengah, tetapi akhirnya kuurungkan niat itu dengan memfokuskan diri pada rasa sakit di pergelangan kaki. Inikah rasanya menjadi lumpuh? pikirku, mendengus pelan. Kedengaran jauh lebih baik daripada kehilangan nuraniku itu.
Tatapanku lurus ke depan. Dua orang itu mengusungku seperti membawakan belanjaan para wanitanya, begitu enteng. Seingatku, aku tidak seringan itu. Ah, sudahlah. Lebih baik kutinjau kembali di mana aku sekarang.
Terakhir kali, aku berada di kelab malam, bermain-main sebentar dengan korban perundunganku dan kawan-kawanku. Hingga aku hampir berakhir tuli karena mendengar denging yang pekak tepat ia mengutukku—dan voilà! Di sinilah aku berada, dunia antah-berantah, bertemu pria dengan ketampanan tiada tara.
Ini tidak masuk akal. Kurasa aku memang sudah tidak lagi waras. Orang mana yang bisa berpindah tempat secepat kilat? Dari kelab malam ke bangunan yang luasnya menandingi jidat Sir Urel—profesorku di kampus. Cuman aku, Chryssant Elettra, gadis gila yang hidupnya selalu dikelilingi oleh orang-orang yang jauh lebih gila. Lucu sekali nasibmu, Ysee malang.
Setelah melalui keluk demi keluk yang mustahil aku hafal dengan kapasitas memori pendekku ini, tibalah aku bersama kedua orang itu di depan sebuah lorong. Aku menjatuhkan kakiku ke permukaan lantai usai bergelantungan seperti primata. Kerutan di keningku kembali muncul. Ah, aku lumpuh sungguhan—sekarang saja kakiku sudah mati rasa, seperti tidak lagi bersatu dengan Bumi.
Hm … itupun jika aku saat ini memang bukan berada di Bumi.
Seakan-akan menyadari kelumpuhan kakiku, dua orang itu—yang baru kusadari beratribut zirah juga—dengan cerdasnya tetap membiarkan tangan kekar berhiaskan urat-urat biru mereka menyeretku turun ke bawah. Entah ke mana undakan pada lorong corong itu mengusungku pergi. Saking gelapnya, aku sempat berpikir kelumpuhan itu juga terjadi kepada netra hitamku.
Obor kaca yang di dalamnya terdapat lampu listrik mini mulai menyala satu demi satu. Aku sedikit merasa lega karena setidaknya aku tidak buta. Pantulan obor merefleksikan bayangan sinar di dinding. Dengan itu, aku dapat melihat jelas ke mana lorong itu mengarah seiring dengan turunnya aku dari undakan. Hingga aku melihat deretan sel bertepatan kami tiba di dasar.
Sebagian besar sel itu kosong sampai suara raungan dan denting besi beradu tepat di sisi kananku. Itu berasal dari seorang pemuda dengan netra membelalak ketakutan. Urat merah di bola mata bagian putihnya tampak mengerikan. Bibir ranumku ingin meloloskan jeritan, tetapi segera kembali kukatupkan saat suara maskulin di belakangku terdengar.
“Tidak mau bertegur sapa atau berbagi rindu dengan alat suku kebanggaanmu, Rysa?”
Hah? Alih-alih menjeritkan kengerian karena bola mata seram pemuda itu, aku malah tidak jadi takut. Kualihkan atensi dari pemuda di sel dan melongok ke balik pundakku.
Terdiam cukup lama, akhirnya aku hanya bisa berkata, “Oh, aku baru sadar pria jelek masih mengikutiku sampai kemari.”[]
“CIH. Pemaksaan.”Gugahankuuntuk menggiling muka si pria rupawan itu menjadi kertas dan memampangkannya luas-luas di dinding kamar begitu besar. Pria yang baru saja kutahu namanya sebagai Remus Valez, secuil pun tidak sudi menaruh kepercayaan dalam setiap kata yang kututurkan. Ia menuduhku sebagai penggerak utama suku apalah-itu-namanya, bahkan berhasil mengintimidasiku dengan sebuah anak panah runcing di tangan.“Masih tidak mau jujur?” tanyanya, untuk sekian ratuskali.Keningku mengerut tidak senang. Ingin rasanya, selain menggiling muka tampan pria itu, aku juga tergugah berat untuk mengebiri lidahnya—menjual di pelelangan seharga miliaran dolar. Sungguh, aku hampir muak menghadapi pria jeleksatu ini jika bukan karena tampangnya melampaui ketampanan aktor papan atas.Lihat saja, satu alis rapinya tertarik naiksecara mengesalkan, belum lagiterselip nada menantang setiap kali ia b
TABIB Icarus penyelamat hidupku. Lupakan dulu tentangnya yang sempat mengibaratkanku seperti setan. Tanpa sang tabib, aku mungkin terancam mati di tangan pria jelek. Ingin rasanya aku berguru kepada tabib itu. Bagaimana tidak, ia dengan kesabaran besarnya yang tidak mungkin dapat siapa pun punya—kecuali orang kalis, memvalidasi kejujuranku dengan tabah di depan sang Putra Mahkota. Uh, aneh juga menyebut si pria jelek dan tidak sabaran dengan gelar sebesar itu. Omong-omong, semua kejadian ini masih tidak sampai ke otakku. Pasalnya, kata si tabib, jiwaku berpindah ke tubuh lain dan itu melampaui akal sehatku. Kendati semenjak dulu akal sehatku tidak sehat-sehat amat, aku dibuat kelimp
TUK! Tuk! Tuk! Bidang datar namun tajam pisau mencincang mentimun dan sayur-sayuran dengan tidak santai. Itu sama persis dengan pemikiranku saat ini—buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tanpa menghiraukan bau mentimun dan sayur lain yang menguar. Kebencianku terhadap pria jelek itu mampu menandingi kebencianku terhadap sayuran. Kuambil mentimun satu lagi, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum melontarkan seringai bengis. Lagi, aku bernafsu bukan main ketika memotongnya dengan pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan
REMUS VALEZSEPERTI biasa, Kaisar Paladin—Paman—selain merepotkan, juga selalu tidak kenal waktu. Pagi sekali, beliau mengirim merpati pos ke manorku. Melalui tulisan tangan sukar terbaca dan tidak pernah rapi itu, Paman memintaku datang ke kekaisaran. Jarak manorku dengan istana kekaisaran tidak begitu memakan waktu lama bila ditempuh dengan berkuda. Jadi, aku menerima panggilannya meski terpaksa.Selepas menanggalkan kaos dan menggantinya dengan atribut lebih etis, kubawa langkahku menuju istal untuk menunggang Vanity. Ia merupakan seekor kuda bersurai hitam lebat yang menjadi
JIKA benar aku mati, ini namanya siksa kubur!Kepalaku berat bukan main, seperti ditusuk habis-habisan dengan ribuan jarum dan dijahit dengan pola ikat mati. Pasokan udara terasa menipis, aku harus mengap-mengap sekadar meraup oksigen yang bergumul bebas di atas sana. Belum lagi, setiap kali aku coba menggerakkan anggota tubuhku, sengatan senyar mendominasi di mana-mana.Beberapa menit pertama, aku sungguh mengira ragaku sudah terkubur dalam peti—jauhsekalidi bawah tumpukan tanah.Pemikiranku ternyata keliru karena kandil kristal menggantung cantik beberapa meter tepat di atas kepalaku. Peti mati tidak mungkin memiliki kandil, apalagi terbuat dari kristal—terlalu glamor.Sebelum lindurku semakin menjadi-jadi, kupaksakan netraku mengedari sekeliling tanpa beringsut dari posisi berbaring. Di depanku ada sebuah almari hitam besar dalam keadaan tertutup rapat. Menggeser pandangan ke kanan, ada jendela dengan tirai terkatup, serta sebuah
BUSA sabun mengotori telapak tanganku. Jika kedepannya aku terus-terusan mengisi waktu bersinggungan dengan buih itu, maka selamat tinggal untuk kulit mulus. Lebih baik berendam kuntum bunga di bathtub, merasai buih-buih itu membebat sekujur tubuh bagaikan awan kapas—ketimbang mencuci sayur-sayur hijau berbau busuk ini! Huek! Ingin rasanya kupenuhi animo kuatku untuk menerbangi buihnya tepat ke netra Remus dan menyumpal mulutnya dengan busa sabun. Secepat cahaya, kugeser atensi dari baskom berbuih menuju sofa dan meja marmer. Di sanalah pria jelek itu bera
AKU baru dua belas saat Dad mencekokiku anggur. Ia seorang maniak peminum, kerap mengangkat tubuhku ke atas pangkuan pahanya dengan dalih ingin berbagi sampanye. Celana kebesaran pria itu selalu melorot dari atas pinggang dan memintaku untuk menggerakkan bokong di antara kakinya. Saat itu, aku masih terlalu muda untuk memahami otak rusaknya. Dan secara tanpa sadar, tiga tahun telak aku memuaskan hasrat biologisnya. Sampai berakhir pada hari kematiannya akibat mengonsumsi obat keras berlebih. Berpulangnya Dad tidak membuatku bebas dari kebejatan pria. Patah hati pertamaku jatuh kepada ‘dia’, seseorang dari sekolah menengahku. Aku selalu bergantung padanya dan itu membuat ‘dia’ memanfaatkan momentum untuk menjadikanku seekor binatang. Katakan aku dungu
REMUS VALEZKETIKA proposal pengadaan Pesta Kesenangan satu bulan sekali diturunkan, aku tidak berpikir dua kali untuk menyetujuinya—dengan catatan keamanan manor tetap nomor satu. Kini, rasanya aku tergugah menganulir persetujuan proposal satu itu selepas melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kedua bawahanku, Deeon dan Ysee, melakukan ‘tidak-tidak’ di ruang istirahat. Sebagai Putra Mahkota, aku tidak bisa menoleransi tindakan mereka.Tetapi, sebagai Remus Valez, akal sehatku bagaikan terhantam badai ketidakwarasan.Manik hitam itu kutemukan paling pertama saat aku membuka pintu. Sempat berniat menegur mereka,
REMUS VALEZTIBA-TIBA, kabar perihaldua penyusup cilik dan pelayan manor tersiar ke indra pendengarku. Itu suatu kabar yang teramat merepotkan, mengusik kesibukanku dalam mengurus berkas-berkas sialan ini yang seakan-akan tidak pernah habis. Beruntung, ada Leger menawarkan diri untuk terjun ke tempat kejadian. Meski terkadang bisa bersikap tengil, setidaknya ia masih berguna di masa-masa genting ini.Selesai membubuhkan cap kekaisaran di atas selembar kertas, aku membanting punggung ke sandaran dengan dua tangan bertumpu pada sisi bangku. Untuk beberapa waktu, aku bergeming di dalam ruang kerja, masih terlalu malaskembali ke kamar. Itu yang awalnya kupikirkan, sebelum sadar bila ‘malas’ bukan alasan sebenarnya. Alam ketidaksadaranku diam-diam menanti kabar Leger tentang manusia menyusahkan tersebut—itu alasannya.Dua pelayan manor, sudah pasti Ysee dan Arael, diber
SEPERTI seorang peternak yang menggiring para ayam memasuki kandang, metode sebelas dua belas mirip itu juga digunakan oleh Arael untuk membubarkan kebisingan sekitaran pelabuhan. Saking di luar nalar tingkah pelayan satu itu—berjempalitan sana sini sembari mencerocos lebar—mulutku spontan ternganga. Rasanya, aku ingin membalikkan baki, membenamkan kepala di dalam sana, dan menutup diri dari dunia luar.Arael betul-betul tidak tahu malu! Mau ditaruh ke mana mukaku saat orang-orang tahu aku memiliki kolega yang mirip pawang ayam?Mengantukkan kening ke sisi baki dengan gusar, kulirik salah satu bocah lelaki yang masih bisa terjangkau oleh sudut netra. Kaos putih dan celana cokelat kodoknya basah kuyup, sedangkan permukaan kulit si bocah hampir mengering. Hany
ITU aneh—perasaanku ketika melalui kebersamaan dengan si Putra Mahkota sepanjang malam. Terkesan berbeda daripada saat-saat kebersamaanku dengan pria lain. Tak bisa kumungkir, Remus memperlakukanku terlalu lembut dan sama sekali tidak menuntut, setidaknya bila disandingkan dengan permainanprialain. Kontras dengan asumsiku mengingat perangainya yang begitu mengesalkan saat bersilat lidah.Ini pertama kalinya aku diperlakukan seperti manusia sungguhan.Sial sekali karena aku gagal melupakan momen tersebut di saat telah memantapkan hati untuk melupakan percumbuan kami. Lebih sialnya lagi, Remus betul-betul serius dengan pengeklaiman atas diriku pada malam itu. Ia membuatku perlu repot-repot membentangkan jarak. Maka dari itu, selama berhari-hari terakhir, kuhabiskan waktu bersama Arael di dapur manor—well, aku menanggalkan peranku sebagai pelayan pribadi Remus secara sepihak.Jika para prajurit tengah berlatih, aku akan mendatangi Lennox atau Deeon. Untuk sem
REMUS VALEZKETIKA proposal pengadaan Pesta Kesenangan satu bulan sekali diturunkan, aku tidak berpikir dua kali untuk menyetujuinya—dengan catatan keamanan manor tetap nomor satu. Kini, rasanya aku tergugah menganulir persetujuan proposal satu itu selepas melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kedua bawahanku, Deeon dan Ysee, melakukan ‘tidak-tidak’ di ruang istirahat. Sebagai Putra Mahkota, aku tidak bisa menoleransi tindakan mereka.Tetapi, sebagai Remus Valez, akal sehatku bagaikan terhantam badai ketidakwarasan.Manik hitam itu kutemukan paling pertama saat aku membuka pintu. Sempat berniat menegur mereka,
AKU baru dua belas saat Dad mencekokiku anggur. Ia seorang maniak peminum, kerap mengangkat tubuhku ke atas pangkuan pahanya dengan dalih ingin berbagi sampanye. Celana kebesaran pria itu selalu melorot dari atas pinggang dan memintaku untuk menggerakkan bokong di antara kakinya. Saat itu, aku masih terlalu muda untuk memahami otak rusaknya. Dan secara tanpa sadar, tiga tahun telak aku memuaskan hasrat biologisnya. Sampai berakhir pada hari kematiannya akibat mengonsumsi obat keras berlebih. Berpulangnya Dad tidak membuatku bebas dari kebejatan pria. Patah hati pertamaku jatuh kepada ‘dia’, seseorang dari sekolah menengahku. Aku selalu bergantung padanya dan itu membuat ‘dia’ memanfaatkan momentum untuk menjadikanku seekor binatang. Katakan aku dungu
BUSA sabun mengotori telapak tanganku. Jika kedepannya aku terus-terusan mengisi waktu bersinggungan dengan buih itu, maka selamat tinggal untuk kulit mulus. Lebih baik berendam kuntum bunga di bathtub, merasai buih-buih itu membebat sekujur tubuh bagaikan awan kapas—ketimbang mencuci sayur-sayur hijau berbau busuk ini! Huek! Ingin rasanya kupenuhi animo kuatku untuk menerbangi buihnya tepat ke netra Remus dan menyumpal mulutnya dengan busa sabun. Secepat cahaya, kugeser atensi dari baskom berbuih menuju sofa dan meja marmer. Di sanalah pria jelek itu bera
JIKA benar aku mati, ini namanya siksa kubur!Kepalaku berat bukan main, seperti ditusuk habis-habisan dengan ribuan jarum dan dijahit dengan pola ikat mati. Pasokan udara terasa menipis, aku harus mengap-mengap sekadar meraup oksigen yang bergumul bebas di atas sana. Belum lagi, setiap kali aku coba menggerakkan anggota tubuhku, sengatan senyar mendominasi di mana-mana.Beberapa menit pertama, aku sungguh mengira ragaku sudah terkubur dalam peti—jauhsekalidi bawah tumpukan tanah.Pemikiranku ternyata keliru karena kandil kristal menggantung cantik beberapa meter tepat di atas kepalaku. Peti mati tidak mungkin memiliki kandil, apalagi terbuat dari kristal—terlalu glamor.Sebelum lindurku semakin menjadi-jadi, kupaksakan netraku mengedari sekeliling tanpa beringsut dari posisi berbaring. Di depanku ada sebuah almari hitam besar dalam keadaan tertutup rapat. Menggeser pandangan ke kanan, ada jendela dengan tirai terkatup, serta sebuah
REMUS VALEZSEPERTI biasa, Kaisar Paladin—Paman—selain merepotkan, juga selalu tidak kenal waktu. Pagi sekali, beliau mengirim merpati pos ke manorku. Melalui tulisan tangan sukar terbaca dan tidak pernah rapi itu, Paman memintaku datang ke kekaisaran. Jarak manorku dengan istana kekaisaran tidak begitu memakan waktu lama bila ditempuh dengan berkuda. Jadi, aku menerima panggilannya meski terpaksa.Selepas menanggalkan kaos dan menggantinya dengan atribut lebih etis, kubawa langkahku menuju istal untuk menunggang Vanity. Ia merupakan seekor kuda bersurai hitam lebat yang menjadi
TUK! Tuk! Tuk! Bidang datar namun tajam pisau mencincang mentimun dan sayur-sayuran dengan tidak santai. Itu sama persis dengan pemikiranku saat ini—buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tanpa menghiraukan bau mentimun dan sayur lain yang menguar. Kebencianku terhadap pria jelek itu mampu menandingi kebencianku terhadap sayuran. Kuambil mentimun satu lagi, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum melontarkan seringai bengis. Lagi, aku bernafsu bukan main ketika memotongnya dengan pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan