Share

CHAPTER 4: Selada Bau

TUK! Tuk! Tuk! Bidang datar namun tajam pisau mencincang mentimun dan sayur-sayuran dengan tidak santai. Itu sama persis dengan pemikiranku saat ini—buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tanpa menghiraukan bau mentimun dan sayur lain yang menguar. Kebencianku terhadap pria jelek itu mampu menandingi kebencianku terhadap sayuran. 

Kuambil mentimun satu lagi, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum melontarkan seringai bengis. Lagi, aku bernafsu bukan main ketika memotongnya dengan pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan yang sedikit kuciptakan mengundang atensi dari beberapa pelayan lain di dapur manor, salah satunya Arael Swan—si gadis pelayan yang lancang menerobos kamar kecilku tadi.

“Astaga, Ysee!” Arael menganga lebar. Sorot prihatin lekas ia lemparkan menuju hasil potongan beragam sayurku ke dalam mangkuk kaca. “Huek! Itu mirip sekali dengan kotoran sapi! Hijau-hijau memuakkan! Ulang! Ulang!”

Andaikan ia tahu kotoran sapi bisa dijadikan pupuk untuk tanaman sayur di Bumi. “Tidak mau. Ini resep khusus dariku untuk Yang Mulia,” balasku enteng, selagi  menahan muntah karena ucapan Arael tidak sepenuhnya salah. “Aku menjamin kesedapannya sampai seratus persen.”

Arael menggulirkan netranya, kemudian mengibaskan satu tangan yang bersabun. “Cih, kalau begitu lanjutkan. Aku tidak ikut campur bila Yang Mulia memecatmu di hari pertama kau bekerja,” ketus Arael, kemudian memunggungiku untuk berfokus kembali pada kegiatan mencuci piringnya.

Sekali lagi, bibir ranumku meloloskan seringai. Meski awalnya aku terpaksa, sekarang aku benar-benar gembira. Kubayangkan Remus berakhir muntah-muntah dan bolak-balik ke kamar kecil sepanjang aku mengurus kudapan malam untuk pria jelek itu. Bila ia sengaja menjadikanku sebagai pelayan pribadinya secara sepihak, maka aku akan meracik kudapan luar biasa juga secara sepihak untuknya. 

Aku hanya menjunjung tinggi keselarasan, bukan malah timpang sebelah.

Cukup lama aku melaksanakan tugas pertamaku, akhirnya hampir selesai sekitar lima belas menit kemudian. Sisa menata selada di mangkuk agar menjadi semakin rapi—dan voilà! Selada Bau sudah siap disajikan untuk Putra Mahkota Tersayang. Tatanan lapisan teratas selada kubentuk seperti sebuah wajah jelek. Ada dua potongan bulat tomat tipis sebagai mata, satu kembang kol sebagai hidung berbulu, dan irisan bawang bombai ungu sebagai seringai di bibir. 

Bagian dalam lapisan utuh dengan mentimun dan beragam sayur-mayur lain yang sudah kutumbuk sampai mirip kotoran hijau sapi.

Beberapa kali, Arael kedapatan mengintip dan hampir muntah-muntah. Seperti saat ini, begitu aku melirik si gadis pelayan tersebut, ia mengarahkan kepala ke wastafel sambil memegang leher jenjangnya. Seburuk itukah tampilan Selada Bau buatanku? Aku menunduk ke mangkuk. Respons tubuhku terlambat mengirimkan sinyal mual. Dengan cekatan, kuambil talenan yang masih kotor untuk menutup kasar bagian atas mangkuk kaca tersebut. 

Menggeser mangkuknya jauh-jauh bagaikan hama, aku bertolak menuju Arael dan buru-buru mendorongnya selagi aku muntah. 

Ya, aku benar-benar muntah. Bau asam mulai terasa naik dari lambungku tanpa bisa kucegah. Sejak tadi, aku terlalu bernafsu untuk membuat Remus menderita. Hingga aku baru dapat ingat bahwa aku sendiri tidak doyan memakan semua yang berbau sayur-sayuran. Jangankan makan, membaui aroma memuakkannya saja sudah membuatku muntah-muntah. Apalagi sekarang? Tatanan yang jelek, berbau busuk, dan isinya seperti kotoran sapi. Huek!

“Aku tidak bisa! Aku tidak bisa!” gumam Arael, merenggut kasar mangkuk kaca yang masih tertutup talenan. Lengannya terulur panjang ke depan, mengusungnya jijik ke luar pintu pembuangan. 

Begitu ia kembali dengan mangkuk kaca yang sudah kosong, air mukanya masam tepat netra kami berserobok. “Biarkan aku yang membuatkan selada untuk Yang Mulia malam ini. Kau tetap di sampingku. Pelajari baik-baik, lalu antarkan kudapan malam ini ke kamar Putra Mahkota. Mengerti?!” titah Arael, setengah memelotot sampai urat merah kelopak netranya tampak.

“Iya, Nenek Sewot.”

Arael berdecak. Mungkin karena diburu oleh waktu—mengingat sudah mendekati jadwal makan malam si Putra Mahkota, Arael tidak berbicara apa-apa lagi. Aku mengamati si gadis pelayan mulai memotong kecil-kecil beragam sayur menjadi dadu. Jemarinya bergerak santai, tidak sepertiku tadi. Kurasa Arael sudah menghabiskan sepanjang hidupnya di dapur manor dengan potong-memotong dan cuci mencuci alat makan. 

Bagaimana bisa ia tahan dengan kegiatan itu? Uh, baunya terlampau menusuk.

Bahkan, aku beringsut mundur sekali lagi agar aroma busuk itu berkurang. Dengan telunjuk, aku menggosok kasar rongga hidungku—untungnya wangi sabun. Baguslah. Kuhabiskan waktuku menunggu Arael dengan kegiatan itu, merasakan berpasang-pasang netra menatapku jijik. Di mata mereka, mungkin aku tidak tampak higienis. Persetan, itu niatku juga agar Remus tetap bisa bolak-balik kamar kecil saat jari kotorku menyentuh kudapan pria itu. 

Ia tidak bisa bermanja-manja dengan hanya berbaring leha-leha di dipan rajanya.

“Begini caranya. Kau sudah memperhatikan, bukan?” Arael menaruh asal pisaunya ke talenan, kemudian memamerkan mangkuk kaca yang kini sudah dipenuhi Selada Bau versi bersinarnya. Namun, tetap saja bau! “Esok sore, kaudatang lagi kemari dan coba buat dengan versi lebih baik dari kotoran sapi. Ingat, ya!”

“Ya, nanti akan kubentuk lagi versi lain yang lebih oke dari kotoran sapi.” Kotoran kambing, misalnya, imbuhku dalam batin. Menahan senyum culasku, aku menerima operan mangkuk kaca dari kedua tangan Arael. “Kalau begitu, aku pergi dulu, Swan.”

“Ya, ya. Pergi sana.” Arael mengibaskan tangan tanpa minat, mengusirku agar segera bertolak dari dapur manor. Tidak seperti aku akan betah di ruangan tertutup yang berbau busuk ini. “Jangan membuat Yang Mulia menunggu lama.”

Beranjak keluar dari dapur manor, kuhabiskan waktu perjalananku dengan mengedarkan netra ke sana sini. Lorong manor terbias oleh beberapa warna. Itu bersumber dari kaca patri di langit-langit manor yang terjangkau oleh netra. Bergeser ke kanan sedikit, terdapat separasi pada masing-masing tingkat. Bangunan ini terdiri dari tiga lantai. Yang kutahu, semakin atas lantainya, semakin tinggi juga tingkat privasi untuk si Putra Mahkota. 

Aku, tanpa berniat meninggikan moral, termasuk bagian dari privasi tersebut—karena singgahanku satu lantai dengan ruang kamar pribadi Putra Mahkota. Kami ada di lantai teratas alias lantai tiga. Sedangkan lantai dua, terdiri dari kumpulan ruangan yang kerap dipakai oleh Remus untuk kerjaannya sebagai Putra Mahkota. Ada ruang konferensi, ruang kerja, perpustakaan, dan … aku tidak ingat selebihnya. 

Sementara itu, tersedia dua kamar terpisah antara pelayan dan kesatria di lantai pertama manor. Jumlah pengurus manor yang tidak begitu banyak membuat kamar itu ditempatkan beramai-ramai. Selain dua ruang kamar untuk para pengurus manor, terdapat dapur dan satu ruangan lagi untuk beristirahat. Jangan lupakan dua kamar kecil yang tidak ada kecil-kecilnya—dan penuh dengan bilik. 

Itu untuk mereka semua. Meski terkesan tidak adil bila disandingkan oleh fasilitas kamar kecil Remus, namun aku sempat meluangkan waktu untuk mengintip ruangan tersebut. Secara mengejutkan, kamar kecil para pengurus manor sangat mumpuni. Bersih dan beraroma wangi. Pantas sedari tadi aku tidak mendengar keluhan apa-apa dari mereka.

Kuteruskan langkah sampai menjumpai sebuah tangga spiral di pertengahan lorong. Luas manor ini tidak main-main, memang. Hanya saja, ada satu kekurangan dari manor Putra Mahkota. Tidak ada elevator. Jadi, aku harus secara manual menaiki tiga lantai sekaligus untuk dapat menjamah kamar singgahanku dan kamar pribadi Remus. 

Earthalic, secara teknologi, memang masih kurang. Aku tahu itu dari Tabib Icarus. Bahkan, untuk memulihkan luka kecil saja perlu memakai metode kunyahan daun herbal! Aku jadi teringat Stuart, si pemedis kekaisaran. Apa ia juga menggunakan metode itu untuk menyembuhkan luka kakiku—kaki Rysa? Lalu, bagaimana dengan bekas luka pipi?

Teringat dengan baret anak panah Remus di permukaan pipiku, tanpa sadar membersit secuil kegentaran di benakku. Peganganku pada mangkuk kaca agak gemetaran, namun tidak berlangsung lama usai aku sampai di undakan teratas. Menjorok ke kiri, kujatuhkan netra ke salah satu pintu. Aku menepis pemikiran tidak mengenakkan yang sempat terbit, dengan cepat-cepat beranjak ke sana dan memutar knop tanpa melibatkan norma kesopanan. 

Tepat aku tiba di dalam kamar pribadi Remus, kutatap pria itu hingga memelotot. Mangkuk Selada Bau kutaruh dengan kasar di atas meja marmer. Remus yang sedang duduk santai di sofa menaikkan satu alisnya, menginspeksiku dari atas sampai bawah. Jangan lupakan sorot hidung belangnya. Karena aku tidak sedang dalam suasana ingin bersilat lidah atau berperang tatap, kuputar balik tubuhku untuk menghadap pintu yang masih menganga. Sampai suara maskulin si Putra Mahkota merangsek ke telinga. 

“Kau cocok dengan atribut itu.”

Aku meremas telapak tanganku, tergugah untuk menumbuk wajahnya sampai penyek. Bagaimana tidak, saat ini aku terpaksa mengenakan atribut pelayan manornya. Entah pria jelek ini sedang memujiku atau menghinaku. Sepertinya lebih ke 'menghina', sih. Tidak bisa kumungkir, penampilanku lebih mirip bocah infantil ketimbang wanita jalang yang kerap kuterima dari orang-orang sekitar.

Memutar tubuhku lagi semata-mata menggebrak meja marmer yang membatasi kami, aku mempertahankan senyum kucingku dengan senatural mungkin. “Akan semakin cocok jika aku tidak berbusana, sayang,” balasku, mengeluarkan siasat terampuhku untuk menyiksa moral pria itu. 

Kilat netraku memancarkan secuil kepuasan begitu mendapati cupingnya memerah. Cih, semua pria memang sama saja. Kendati ia bisa menutup dengan baik ekspresinya, pria itu kentara sedang memikirkan hal-hal liar. Aku segera menggulirkan netra, tidak berniat lebih lama berada di sini—apalagi berduaan dengan pria berotak binal itu. Akan tetapi, sebelum aku siap meneruskan langkah untuk menjamah pintu, Remus sudah lebih dulu mendahuluiku dan mencegatku keluar. 

Ia dengan santai bersandar di permukaan pintu yang sudah ia tutup dengan satu kakinya, melipat kedua tangan dalam arogansi penuh.

“Geser,” titahku datar, tepatnya lebih terdengar muak.

“Tidak.” Bibir pria itu meloloskan seringai. Apa lagi yang ia inginkan? “Cicip lebih dulu selada buatanmu.”

Aku memicing tidak senang. “Tidak, terima kasih.”

“Lantas, bagaimana aku bisa tahu selada itu tidak beracun?”

“Kau mencurigaiku?” Kupelototi Remus untuk kali sekian.

“Dengar, Ysee.” Ia mengangkat sudut bibirnya secara mengesalkan, kemudian menegakkan sandaran di permukaan pintu tanpa melecutkan arogansinya. Sok keren! “Aku mungkin percaya kau sedang menumpang di tubuh itu. Tetapi, siapa yang tahu bila si penggerak utama sempat mengambil alih tubuh itu dan berniat membunuhku?”

“Baguslah kalau begitu.”

“Intinya, aku ingin kau cicip selada itu. Jangan membantah,” gurat si Putra Mahkota berubah dongkol, “aku tidak ingin merelakan nyawaku semata-mata karena makhluk fana sepertimu, Ysee.”

Entah mengapa aku jadi kesal sendiri. Ia lebih bebal dari yang kusangka. Tanpa sadar, kakiku mulai tergerak untuk mendekatinya. Dengan telunjuk kanan, aku mengetukkan dada berbalut kaos rumahannya selagi berkata, “Pertama, selada itu bukan buatanku. Itu buatan Arael. Jika kau mati, gentayangi dia.”

“Kedua, aku masih sepenuhnya sadar. Bahkan lebih dari sadar untuk membuat selada yang berakhir seperti kotoran sapi.” Yang satu ini, aku tidak berniat untuk melawak. “Ketiga, aku pemakan daging, bukan sayur. Jika kau terus mendesakku, aku bisa saja memakan dagingmu, Remus.”

Lawan bicaraku spontan mengejap usai mendengar akhir dari kalimat itu. “Kau—”

“Ya, aku kanibal,” balasku, mulai mengikuti permainan kebohongan yang kubuat sendiri. Jangankan memakan daging manusia, sup kambing saja ogah kusantap. “Dan sekarang, rasanya aku benar-benar ingin memakanmu.”

Otakku sama sekali tidak berpikir panjang begitu kedua kakiku mulai berjingkat. Menaikkan tangan kanan untuk memegang pundak tegap Remus, sedangkan tangan kiriku mengusap dadanya penuh sensual. Dapat kurasakan deru napas pria itu terasa lebih berat. Debar jantungnya juga terdengar cukup kuat di antara senyap. Niat awalku untuk mempermainkan moral pria itu sepertinya berjalan dengan mulus. 

Lihat saja, begitu bibirku mencecap garis rahangnya yang asertif, aku bisa merasakan ketegangan luar biasa di sekujur tubuhnya. Ini membuatku bertanya-tanya. Apakah pria itu tidak pernah benar-benar meniduri betina?

Well, aku tahu cara melemahkanmu, Yang Mulia.” Bibirku mendesis di depan cuping telinga memerahnya. “Satu kartumu ada di tanganku. Jadi, jangan lagi membuat masalah denganku.”

Remus berdecak. Ia mendorongku detik itu juga, lantas menerbitkan senyum kemenanganku di bibir. Netra hitam pria itu memandangku gusar. “Jangan sembarang berbicara, Ysee. Kau hanya tidak tahu aku,” balasnya, melangkah lurus untuk mengikis jarak kembali di antara kami. “Selain itu, aku juga punya satu kartumu, Nona.”

Seringai yang mengukir bibirku memudar secepat cahaya tepat sepasang telapak tangan kukuh Remus menjamah parasku—menekan keras-keras pipiku dengan kuku-kuku tajamnya. Dapat kurasakan penopang tubuhku mulai melemah, namun aku memaksakan kakiku untuk tetap berdiri. Kilat bengis mendominasi netra hitam Remus, persis dengan manik itu

Tanpa kuketahui sejak kapan, citra si Putra Mahkota dalam visualku berganti menjadi orang lain … pria lain. 

“Kau ingat kataku, Ysee?” Suara Remus terasa sangat jauh dari indra pendengarku. “Jika kau  mencoba memanipulasiku, aku juga bisa memanipulasimu lebih dari ini.” 

Pada batas tertentu, aku ingat Remus memang pernah mengatakan hal seperti itu—tetapi tidak kusangka ia akan bertindak kelewatan. Berengsek! 

“Maka jangan bermain-main denganku, Manusia.”

Dalam satu entakan kasar di dada bidangnya, aku mengelit. Kubawa langkah kakiku pergi dengan sekuat tenaga dari kamar Remus, tanpa sekali pun berminat menoleh atau melawannya. Yang kutahu, aku tidak lagi bertenaga selama aku berada di dalam kamar singgahan. Sepanjang malam, kuhabiskan waktuku dengan uring-uringan—hingga paginya kudapati jeritan lengking Arael. 

Di ambang ketidaksadaran, aku baru menyadari sekujur tanganku penuh darah dan serpihan kaca. Begitu aku memaksakan diri mendongak, cermin sudah meretak tidak karuan. Cairan merah beraroma anyir melekat berceceran di sana. Sebelum netraku terpejam rapat, bibirku mengulaskan senyum pahit untuk kali terakhir

Semoga ini benar-benar akhir, sebab aku tidak ingin melakukannya lagi.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status