MENURUT strategi yang telah diperhitungkan, mereka akan keluar dari penjagaan tepat ‘alat’ itu berhasil membelokkan atensi dua orang prajurit kekaisaran. Berpindah dari mata ke mata, akhirnya pandangan empat kawanan pria itu mendarat serempak ke satu-satunya kaum hawa di sana. Yang ditatap tidak merasa terusik, ia masih sibuk memancangkan pandangan lurus ke depan.
“Firasatku buruk,” gumam salah seorang pria, kerutan dalam muncul di permukaan keningnya. “Cih, gelagatnya begitu kaku.”
“Diamlah, Viktas. Jangan memancing keributan.”
Pria kedua menegur si pria pertama bernama Viktas itu dengan bisikan hati-hati. Viktas kembali meludah, tetapi ia memutuskan untuk diam. Mereka berlima terus mengamati panggung terbuka, melihat bagaimana Engar—pemuda memprihatinkan yang dijadikan sebagai ‘alat’ baru dalam suku mereka—mulai mengikuti fase-fase dalam skenario; menangis, tertawa, menggila, kemudian kabur.
Pada fase terakhir ini, si prajurit kekaisaran kemungkinan besar akan mengejar Engar dan kelima orang itu dapat memulai aksi mereka. Untuk kelanjutan dari nasib Engar sendiri, tidak akan ada yang memedulikan. Bila beruntung, Engar dapat kembali dengan utuh bersama mereka, kemudian melanjutkan pelatihan untuk diperalat lagi oleh kelima orang itu.
“Mereka sudah pergi,” suara setenang riak air dari satu-satunya gadis tiba-tiba menarik kesimpulan di antara keheningan, “ayo, bergerak.”
Gadis berparas oriental dengan garis asertif di setiap fitur wajahnya mulai memimpin keempat pria keluar dari hutan, sekitar setengah kilometer dari gerbang kekaisaran. Engar sudah tidak lagi tampak, begitu pun si prajurit kekaisaran yang bertugas menjaga gerbang. Entah prajurit itu dungu atau bagaimana, atensinya begitu mudah dibelokkan oleh ‘alat’ suku.
Meneguhkan misi utama suku Ace untuk mengguncang kekaisaran, kelimanya semakin mempercepat langkah untuk menggapai gerbang. Tetapi, keteguhan mereka menjadi bias, berganti keterkejutan karena tahu-tahu saja lima prajurit melompat keluar dari semak sisi kanan dan kiri gerbang. Jelas presensi mereka tidak terjangkau oleh visual para anggota suku. Lagi pula, semenjak kapan mereka bisa berkamuflase dengan baik di antara semak-semak itu?
Sepertinya mereka sudah belajar dari kesalahan, batin si gadis berparas oriental itu, binar netra hitamnya sedikit mengejek. “Halo, prajurit-prajurit sampah kekaisaran.”
“Cih, kita tertangkap basah oleh sampah, huh?” Viktas turut melontarkan olok-olok, tidak merasa terintimidasi walau kelimanya kini terkepung tanpa celah. “Ace Tribes, tunjukkan mana kebanggaan dari leluhur kita! Balas mata dengan mata!”
Bertepatan orasi singkat itu dikumandangkan, Viktas dan kesemua anggota suku Ace mulai mengabsen seluruh mana yang mendiami aliran darah mereka. Viktas memusatkan mananya di telapak tangan dan merunduk menggapai tanah, menciptakan getaran berskala besar yang cukup menimbulkan patahan. Seringai brutal menghiasi bibir pria itu ketika dilihatnya para prajurit kekaisaran menunduk.
Arah retakan dari area patahan mulai bercabang, tersebar merangkak untuk menjangkau sepatu bot kulit mereka.
Dalam sekejap, area patahan mulai menjorok naik ke atas. Itu perbuatan Gylan, ia memusatkan seluruh mana pada area tapak kaki kanannya. Hanya dengan satu kali entakan kuat, ia berhasil mengekspos lebar-lebar puncak retakan dan menguarkan lava pijar. Atmosfer kekaisaran kian intens. Satu per satu dari kelima anggota suku Ace mulai memamerkan anugerah dari leluhur mereka.
Para prajurit kekaisaran terus beringsut mundur setiap kali cairan lava merangkak ganas ke arah mereka. Buih-buih jingga kemerahan yang muncul seakan-akan mengejek bahwa presensi mereka di sini cuman untuk mencari mati. Pedang yang tersampir pada atribut zirah besi jelas tidak memiliki nilai kegunaan untuk melawan mana para anggota suku Ace.
Di tengah arogansi dan kepercayaan diri akan kemenangan suku Ace atas kekaisaran, mereka tidak tahu bila situasi saat ini merupakan bagian dari taktik Remus Valez, sang Putra Mahkota. Dari balik pilar istana, netranya memancang lurus ke depan. Ia sudah mempelajari bagaimana mana itu bekerja, serta menarik kesimpulan cara untuk melemahkan kinerja mana mereka.
Lima orang itu perlu dibuat lengah di masing-masing titik pemusatan mereka. Jadi, Remus mulai menginstruksikan keempat prajurit kekaisaran di balik pilar yang sama dengannya. Pembawaan tenang dari pria itu membuat seluruh instruksi sang Putra Mahkota didengar baik-baik oleh bawahannya.
Hunjaman belasan anak panah sukses mengalihkan atensi suku Ace dari kelima prajurit. Mereka spontan menoleh cepat ke arah gerbang. Sage cepat-cepat memasang tubuh untuk melindungi keempat kawannya. Ia mulai memusatkan mana pada daerah mata dan kening, dari sana sebuah mekanisme pertahanan dalam bentuk selubung transparan muncul. Belasan anak panah langsung tertancap di sana.
Tidak mau mengulur-ulur waktu, Kaz—pria kedua yang sempat menegur Viktas—menjentikkan jari di dekat selubung. Listrik mengarus tidak lama setelahnya, menghanguskan belasan anak panah lain yang baru diarahkan kepada mereka.
Masih mengamati situasi memanas dari balik pilar, Remus mengerutkan kening tidak senang. Ia menggeser tatapan menuju busur di tangan, terselip anak panah dengan ujung besi panas mematikan pada talinya. Mau bagaimana lagi? pikirnya, berlari keluar dari pilar untuk turun tangan dalam menumpas para kotoran yang kerap mengusik ketenangan kontinennya.
Ia berdiri tidak jauh dari keempat kesatria yang masih menghunjam anak panah lain. Tanpa berminat meminta kesatrianya menggeser, ia memicingkan netra dan menjentikkan tali busur. Anak panah berujung besi panas memelesat di antara dua kepala kesatrianya, terhunjam lurus ke depan tepat pada selubung.
“Argh! Mataku panas!” Sage mengerang, konsentrasinya seketika buyar.
Selubung ciptaan mananya terpecah. Kaz menghadap Sage, berniat untuk meredakan kepanikan pria itu akan rasa panas yang menggerayangi netra kawannya. Di tengah erangan Sage, suara gedebuk Viktas dan Gylan terdengar di belakang. Chryssant—si gadis satu-satunya dalam suku—spontan menoleh ke balik pundak, mendapati dua dari lima kesatria itu sudah menahan punggung kedua kawan prianya dengan lutut dan siku.
Masih dengan paras setenang riak air, netra hitam gadis itu mengilat merah saat berserobok dengan si Putra Mahkota. Remus menggeserkan arah busur dari Sage dan Kaz, menuju Chryssant. Ia tentu tidak diam saja. Berbeda dengan keempat kawan prianya, pemusatan mana Chryssant ada di sekujur tubuh moleknya. Ia mengabsen mananya untuk dibangkitkan kembali, lambat laun tubuhnya menciptakan aura kemerahan.
Surai hitam Chryssant berkobar-kobar bagaikan nyala api. Ia mengangkat tangan ke atas langit. Yang tadinya cerah, situasi sekitar kekaisaran berubah seratus delapan puluh derajat. Remus secuil pun tidak merasa gentar. Ia melangkah ke tengah-tengah keempat kesatrianya, menginstruksikan mereka untuk bersama-sama melecutkan anak panah.
Disertai rintik hujan, petir menyambar. Remus tidak ingin membuang waktu lebih lama. Ia tahu tujuan Chryssant menggunakan petirnya untuk mendinginkan ujung besi panas dari anak panah. Tetapi, tidak akan semudah itu. Kekaisaran sengaja mempersiapkan pemanasan anak panah ini dari lama sekali. Secepat kilat, belasan desing anak panah biasa memelesat membelah udara mendung kekaisaran.
Petir itu terus berusaha menyambar anak panah hasil bidikan kesatria, tetapi Chryssant kesulitan untuk mengendalikan lebih banyak petir. Manik hitamnya kembali mengilat, ia mencoba mencari anak panah berujung besi panas yang terarah kepada suku Ace. Tetapi, di mana? Itu tidak terjangkau oleh visualnya.
“Kita mundur.” Kaz menangkap lengan Chryssant. "Rysa!"
“Kita sudah sejauh ini!”
Chryssant masih teguh dengan pendiriannya untuk bertahan. Ia hanya perlu menghabiskan panah berujung besi panas dan mereka akan memenangkan kekaisaran. Akan tetapi, keteguhan itu menurun meski tidak ingin ia akui secara pribadi. Bagaimana tidak, anak panah biasa dari kesatria tadi kini sudah tergantikan oleh belasan anak panah berujung besi panas.
Kaz akhirnya melepaskan tangan Chryssant ketika sadar anak panah maut itu terarah kepada mereka. Tanpa repot-repot menoleh kembali ke belakang, Kaz, Sage, Viktas, dan Gylan segera melarikan diri ke hutan. Begitu tahu Chryssant sengaja ditinggal oleh keempat kawan satu sukunya, netra hitam itu menggelap dan mengilat kemerahan pekat.
Terlarut dalam amarah, Chryssant tidak sadar bila Remus sedang berancang-ancang menarik busur tepat ke arah kakinya. Dalam kecepatan tinggi, anak panah berujung besi panas sukses menancap pergelangan kaki kanannya, seketika melumpuhkan fungsi dari seluruh anggota tubuh Chryssant. Gadis berparas oriental itu jatuh terduduk di permukaan tanah.
Gemuruh menggelegak, mulanya teramat besar. Tetapi, seiring kelumpuhan itu terjadi, petir-petir lambat laun raib dan himpunan awan bersih seputih kapas kembali mendominasi langit. Angkasa jauh lebih tenang. Tidak ada lagi pemicu kemarahan, selain Chryssant yang kini diam-diam meloloskan sumpah serapah penuh murka dari tempatnya tersimpuh.
“Aku, Chryssant Elettra, bersumpah demi darah leluhurku—Dewi Achena—akan membalas keserakahan kalian semua. Mata dengan mata.”
Ketika sumpah sakral itu ia turunkan, maka 'bayaran' setimpal telah menunggu di depan. Pusaka Terlarang, akan ia dapatkan.[]
KERUMUNAN orang mengombak di pusat kelab, rata-rata pria pemabuk. Mereka terbuai oleh kehangatan meledak-ledak dan pemandangan sedap mata di atas meja bulat. Ada tiga penari striptis bergelayut luwes dan berekspresi manja, mengundang lautan tangan kukuh berlomba-lombainginmerasai tubuh molek mereka—tentu saja sia-sia karena ketiga penari itu berlindung di bawah peraturan kelab.Kuhentikan putaran gelas sampanye di tangan, meneguk tuntas anggurku tanpa beralih atensi dari pusat kelab. Lalu di luar kesadaran, aku meloloskan kekehan. Ah, penantianku datang juga. Saat itu juga, aku menegakkan punggung polosku di sandaran kursi bar. Antusiasmeku bergolak hangat. Kuamati keempat kawanku baru saja berhasil menerobos kerumun terdepan. Calis diseret paksa ke atas meja.Gadis cupu berbusana kolot, primitif, atau apalah itu, menangis sejadi-jadinya saat keempat kawanku berbaur kembali dengan kerumun. Ia berakhir seorang diri. Lautan tangan pria pemabuk itu mulai
“CIH. Pemaksaan.”Gugahankuuntuk menggiling muka si pria rupawan itu menjadi kertas dan memampangkannya luas-luas di dinding kamar begitu besar. Pria yang baru saja kutahu namanya sebagai Remus Valez, secuil pun tidak sudi menaruh kepercayaan dalam setiap kata yang kututurkan. Ia menuduhku sebagai penggerak utama suku apalah-itu-namanya, bahkan berhasil mengintimidasiku dengan sebuah anak panah runcing di tangan.“Masih tidak mau jujur?” tanyanya, untuk sekian ratuskali.Keningku mengerut tidak senang. Ingin rasanya, selain menggiling muka tampan pria itu, aku juga tergugah berat untuk mengebiri lidahnya—menjual di pelelangan seharga miliaran dolar. Sungguh, aku hampir muak menghadapi pria jeleksatu ini jika bukan karena tampangnya melampaui ketampanan aktor papan atas.Lihat saja, satu alis rapinya tertarik naiksecara mengesalkan, belum lagiterselip nada menantang setiap kali ia b
TABIB Icarus penyelamat hidupku. Lupakan dulu tentangnya yang sempat mengibaratkanku seperti setan. Tanpa sang tabib, aku mungkin terancam mati di tangan pria jelek. Ingin rasanya aku berguru kepada tabib itu. Bagaimana tidak, ia dengan kesabaran besarnya yang tidak mungkin dapat siapa pun punya—kecuali orang kalis, memvalidasi kejujuranku dengan tabah di depan sang Putra Mahkota. Uh, aneh juga menyebut si pria jelek dan tidak sabaran dengan gelar sebesar itu. Omong-omong, semua kejadian ini masih tidak sampai ke otakku. Pasalnya, kata si tabib, jiwaku berpindah ke tubuh lain dan itu melampaui akal sehatku. Kendati semenjak dulu akal sehatku tidak sehat-sehat amat, aku dibuat kelimp
TUK! Tuk! Tuk! Bidang datar namun tajam pisau mencincang mentimun dan sayur-sayuran dengan tidak santai. Itu sama persis dengan pemikiranku saat ini—buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tanpa menghiraukan bau mentimun dan sayur lain yang menguar. Kebencianku terhadap pria jelek itu mampu menandingi kebencianku terhadap sayuran. Kuambil mentimun satu lagi, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum melontarkan seringai bengis. Lagi, aku bernafsu bukan main ketika memotongnya dengan pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan
REMUS VALEZSEPERTI biasa, Kaisar Paladin—Paman—selain merepotkan, juga selalu tidak kenal waktu. Pagi sekali, beliau mengirim merpati pos ke manorku. Melalui tulisan tangan sukar terbaca dan tidak pernah rapi itu, Paman memintaku datang ke kekaisaran. Jarak manorku dengan istana kekaisaran tidak begitu memakan waktu lama bila ditempuh dengan berkuda. Jadi, aku menerima panggilannya meski terpaksa.Selepas menanggalkan kaos dan menggantinya dengan atribut lebih etis, kubawa langkahku menuju istal untuk menunggang Vanity. Ia merupakan seekor kuda bersurai hitam lebat yang menjadi
JIKA benar aku mati, ini namanya siksa kubur!Kepalaku berat bukan main, seperti ditusuk habis-habisan dengan ribuan jarum dan dijahit dengan pola ikat mati. Pasokan udara terasa menipis, aku harus mengap-mengap sekadar meraup oksigen yang bergumul bebas di atas sana. Belum lagi, setiap kali aku coba menggerakkan anggota tubuhku, sengatan senyar mendominasi di mana-mana.Beberapa menit pertama, aku sungguh mengira ragaku sudah terkubur dalam peti—jauhsekalidi bawah tumpukan tanah.Pemikiranku ternyata keliru karena kandil kristal menggantung cantik beberapa meter tepat di atas kepalaku. Peti mati tidak mungkin memiliki kandil, apalagi terbuat dari kristal—terlalu glamor.Sebelum lindurku semakin menjadi-jadi, kupaksakan netraku mengedari sekeliling tanpa beringsut dari posisi berbaring. Di depanku ada sebuah almari hitam besar dalam keadaan tertutup rapat. Menggeser pandangan ke kanan, ada jendela dengan tirai terkatup, serta sebuah
BUSA sabun mengotori telapak tanganku. Jika kedepannya aku terus-terusan mengisi waktu bersinggungan dengan buih itu, maka selamat tinggal untuk kulit mulus. Lebih baik berendam kuntum bunga di bathtub, merasai buih-buih itu membebat sekujur tubuh bagaikan awan kapas—ketimbang mencuci sayur-sayur hijau berbau busuk ini! Huek! Ingin rasanya kupenuhi animo kuatku untuk menerbangi buihnya tepat ke netra Remus dan menyumpal mulutnya dengan busa sabun. Secepat cahaya, kugeser atensi dari baskom berbuih menuju sofa dan meja marmer. Di sanalah pria jelek itu bera
AKU baru dua belas saat Dad mencekokiku anggur. Ia seorang maniak peminum, kerap mengangkat tubuhku ke atas pangkuan pahanya dengan dalih ingin berbagi sampanye. Celana kebesaran pria itu selalu melorot dari atas pinggang dan memintaku untuk menggerakkan bokong di antara kakinya. Saat itu, aku masih terlalu muda untuk memahami otak rusaknya. Dan secara tanpa sadar, tiga tahun telak aku memuaskan hasrat biologisnya. Sampai berakhir pada hari kematiannya akibat mengonsumsi obat keras berlebih. Berpulangnya Dad tidak membuatku bebas dari kebejatan pria. Patah hati pertamaku jatuh kepada ‘dia’, seseorang dari sekolah menengahku. Aku selalu bergantung padanya dan itu membuat ‘dia’ memanfaatkan momentum untuk menjadikanku seekor binatang. Katakan aku dungu