Nalira kehilangan segalanya saat kerajaannya dihancurkan. Sebagai tawanan perang, ia dihadapkan pada Aaron Devonsa, Duke utara sekaligus Jendral berhati dingin dan kejam, pria yang paling ia benci. Di balik ambisinya yang tak terhentikan, Aaron menyembunyikan rahasia kelam yang perlahan melahap sisi kemanusiaannya. Sementara Nalira, dengan keberanian dan luka yang ia bawa, menjadi satu-satunya yang mampu menantangnya. Dalam permainan dendam, obsesi, dan hasrat, mereka bertarung bukan hanya untuk kekuasaan, tetapi juga untuk hati yang seharusnya tak mereka miliki. Namun, ketika kutukan mematikan mengancam nyawanya, hanya sentuhan Aaron yang mampu menyelamatkannya. Terikat dalam takdir yang tak mereka inginkan, kebencian di antara mereka berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya. --------- ⚠ Bergenre Dark Romance⚠ Novel ini diperuntukan untuk pembaca 18+ (keatas) karena mengandung konten sesitif; Kata kata kasar dan menjijikan serta adegan kekerasan dan sensual. ⚠Bijak Baca
View MoreNalira mengarahkan kudanya melewati jalan setapak yang sempit. Gadis cantik berambut hitam legam itu baru saja menyelesaikan pelatihannya bersama pamannya, Halim, dan ingin segera kembali ke istana.
Di punggungnya terikat sebuah busur panah, serta kantong berisi anak panah yang tergantung di sisi tubuhnya. Dengan keahliannya, senjata itu tak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga alat untuk perlindungan. Namun, bukannya mengikuti rute utama, ia memilih jalur pintas melalui hutan yang belum pernah ia lalui sebelumnya, berharap hutan itu bisa mempercepat perjalanannya. Tetapi Nalira sungguh tak mengindahkan peringatan siapapun untuk menjauhi hutan itu. Sejak pertama memasukinya, ia merasakan suasana yang sangat aneh. Angin berbisik di antara pepohonan raksasa yang tumbuh jauh lebih besar dari biasanya. Udara terasa lembap, aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk menguar memenuhi indra penciumannya. Semakin jauh ia masuk, semakin hutan itu terasa mencekam. Tidak ada kicau burung. Tidak ada gemerisik serangga, benar benar senyap, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Nalira mulai merasa ada yang tidak beres. Ia menarik tali kekang, menghentikan kudanya. Hewan itu gelisah, telinganya bergerak-gerak, kakinya menghentak tanah seakan ingin berlari menjauh. "Apa yang membuatmu cemas, Rano?" gumam Nalira, tangannya menenangkan leher kudanya. Ia menoleh ke belakang. Jalan setapak yang tadi ia lalui kini samar, tertutup bayangan pepohonan yang menjulang. Ia mencoba memutar arah, kembali memacu kudanya. Namun alih-alih menemukan jalan keluar, ia justru semakin tersesat sampai tiba tiba kuda kuning kecoklatan miliknya itu menginjak tanah yang lunak. Hewan itu meringkik, tubuhnya goyah sebelum akhirnya terjerembap ke dalam kubangan lumpur yang dalam. Kaki-kakinya berkecipak, berjuang keras untuk menarik tubuhnya keluar. Nalira segera turun, mencoba menarik tali kekang, mesti mustahil, tubuh hewan itu 5 kali lipat lebih besar darinya. "Bertahanlah, Rano" gumam Nalira mencoba menarik tubuh kudanya dengan susah payah, hingga tiba tiba suara lesatan anak panah membelah udara dan dalam sekejap benda runcing itu menembus leher kudanya. "Rano!" teriaknya. Napasnya tercekat saat melihat kudanya meronta, darah mengalir deras bercampur dengan lumpur hitam pekat. Hewan itu mengerang lemah, matanya yang penuh semangat kini meredup dalam hitungan detik. "Tidak...! Rano!" ia berlutut suaranya pecah, nyaris tak terdengar di tengah heningnya hutan, meratapi kuda kesayanganya harus mati dengan cara mengenaskan. Ia lalu berdiri dadanya naik turun dengan tangan terkepal gemetar, amarahnya meledak begitu saja. "Kurang ajar!" teriaknya, matanya menyala liar. "Siapa yang melakukan ini?!" teriakanya menggema. Ia lalu menyambar busurnya, menarik anak panah dan melesatkannya ke arah semak-semak di sekelilingnya. Tak peduli siapa pelakunya, ia akan membalas. tetapi sayangnya tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam, menelan setiap denting anak panah yang hilang di balik pepohonan. Nalira mengatupkan rahangnya, air matanya luruh, ia mendekat ke arah kudanya, mencium kening kuda itu yang telah setia menemaninya selama bertahun-tahun. Ia ingin meratap lebih lama,tapi ia tak punya waktu banyak sementara keluarga di istana pasti telah menunggunya. Nalira mengusap sudut matanya. menghapus jejak air mata sebelum menegakkan bahu, lalu melangkah menjauh dengan perasaan berat. Semakin lama ia berjalan, semakin hutan itu terasa seperti perangkap. Ranting ranting tajam menggores dan mengoyak sebagian gaun indahnya, bahkan tak jarang ia terjatuh dalam kubangan lumpur yang membuat penampilannya tak di kenali sebagai seorang Tuan putri. "Sungai..." gumamnya tatkala ia menemukan aliran sungai yang airnya tampak jernih, di tengah rasa lelahnya bagaia oase di tengah gurun, sungai itu mengalir tenang di bawah cahaya senja, meski uuranya terasa mencekam. Namun rasa haus membuat Nalira tak memedulikannya. Dengan langkah lunglai ia mendekat lalu berjongkok, menciduk air dengan telapak tangan, dan meneguknya perlahan hingga dahaganya terpuaskan. krek. krek. krek. Seketika Nalira mengang, seluruh indranya waspada kala tiba-tiba Suara ranting patah memecah kesunyian. Langkah kaki itu mendekat membuat jantungnya berdegup cepat. Tak berpikir panjang Nalira berdiri lalu dengan gerakan cepat ia memutar tubuhnya. Mata biru Nalira membelalak, ketika ujung pedang yang tajam berkilat hampir menusuk lehernya. Nalira menahan napas. Di hadapannya kini berdiri seorang pria dengan mata sehitam malam, bertubuh tinggi, berbahu lebar, dan berbalut jubah gelap yang menyatu dengan bayangan hutan. "Siapa kau?" suara pria itu berat, dan tatapanya penuh ancaman. Nalira berusaha tetap tenang, mengendalikan degup jantungnya yang berderap. "Seharusnya aku yang bertanya. Kau menyerang tanpa alasan!" Pria itu mendengus kecil. "Kau berkeliaran di hutan ini, di wilayah yang seharusnya tidak boleh dimasuki siapa pun." Nalira menyipitkan mata. "Aku hanya mengambil jalan pintas dan tersesat." jawabnya. Pria itu mendekat, menekan pedangnya lebih dalam hingga mata Nalira membelalak sesaat. "Bohong. Mata-mata sepertimu selalu punya alasan." Wanita itu menelan amarahnya. Ia bisa saja bertarung, tapi dalam jarak sedekat ini, satu gerakan salah akan membuatnya kehilangan nyawa. "Mata-mata?" Ia tertawa pendek. "Itu tuduhan konyol. Aku tidak memiliki alasan untuk menjadi mata-mata." ucap Nalira. Namun pria itu tidak terpengaruh, terus mencari tahu identitas wanita di hadapannya. "Namamu?" "Kalau aku menolak?" Nalira mengangkat dagu penuh keangkuhan dan pria di depannya justru tersenyum licik "Kau akan merasakan betapa tajamnya pedang ini," bisik pria itu, mengancam. Nalira mengepalkan tangan. Ia tahu ia tidak bisa sembarangan melawan. Pria ini jelas seorang prajurit, mungkin lebih dari itu. Akhirnya dengan enggan ia pun menjawab, "Nalira. Nalira Elvandale, putri Duke Elvandale, dari selatan." Mata pria itu menyipit. "Putri seorang Duke ? Lalu apa yang kau lakukan di sini tanpa pengawal?" "Aku sudah mengatakan alasanku," Nalira mendesis, tidak suka diinterogasi seperti penjahat. "Sekarang, siapa kau sebenarnya?" Nalira balik bertanya. Pria itu diam sejenak, sebelum akhirnya menarik pedangnya dengan gerakan cepat. "Aaron Devonsa," katanya dingin. "Jendral, Sekaligus Duke paling berkuasa di Utara" Mata Nalira membelalak. Nama itu bukanlah nama sembarangan. Aaron Devonsa, seorang Duke sekaligus panglima perang yang tak terkalahkan, sosok yang ditakuti di medan pertempuran. "Aku tidak percaya bahwa seorang jendral seperti dirimu bersembunyi di tengah hutan. Menjadi pengecut dan membunuh kuda tanpa alasan." Aaron menyarungkan pedangnya, tatapannya tidak berubah. "Itu karena aku sedang memburu mata mata "Sudah kubilang aku bukan mata-mata!' Nalira menegaskan, suaranya lantang. Aaron mendengus. "Dan aku harus begitu saja percaya?" Tanpa memberi Nalira kesempatan menjawab, pria itu tiba-tiba mencengkeram lengannya erat. Nalira tersentak, mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Aaron jauh lebih kuat. "Lepaskan aku!" Nalira berontak, namun Aaron menariknya lebih dekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal. "Jangan harap! Putri seorang Duke yang tiba-tiba muncul di hutan ini? Entah kau memang bodoh atau punya niat tersembunyi." Aaron berbisik dingin. Nalira menatapnya penuh amarah. "Aku tidak punya urusan dengan kerajaanmu!" Aaron diam sejenak, matanya mengamati wajah Nalira seakan menilai apakah wanita itu berbohong. Lalu, tanpa Nalira sadari ia menarik tali kulit dari ikat pinggangnya, lalu merampas busur beserta anak panahnya, dan melemparkannya ke tengah sungai tanpa ragu. "Apa yang kau lakukan? Busurku!" Nalira memandang senjatanya yang melayang terjun ke sungai sambil berusaha menghindar, tetapi percuma. Dalam satu gerakan cepat, pria itu membelit pergelangan tangannya dengan tali kulit, mengikatnya kuat ke belakang. Nalira menggertakkan gigi, pergelangannya terasa perih saat kulitnya bergesekan dengan serat kasar tali itu. "Lepaskan aku!" desisnya penuh amarah. Aaron hanya tersenyum miring. "Jangan banyak bergerak, atau kau akan merasakannya semakin ketat." serunya. " Setelah ini aku akan membawamu ke markas," "Kalau kau benar-benar tidak bersalah, kau akan bebas. Tapi kalau aku menemukan bukti bahwa kau mata-mata, aku sendiri yang akan menghabisimu." ancam Aaron. Darah Nalira berdesir. Pria ini benar-benar gila! "Aku tidak akan ikut denganmu!" teriaknya, tetapi Aaron hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu tanpa berkata-kata lagi ia mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dan melemparkannya ke atas punggung seperti membawa sekarung gandum.Perlahan Aaron menurunkan garpunya, matanya lalu memindai kondisi tubuh Nalira dengan seksama. Sedetik kemudian seringai tipis terulas di sudut bibirnya. "kau terlihat seperti... Hantu" Aaron terkekeh mengejek, suara tawanya yang berat membuat rahang wanita itu mengeras. Mata Aaron lalu bergerak ke hidangan di depannya yang nampak seperti pakan hewan. "Kau pasti lelah.. Makanlah jika kau lapar juga." tawarnya tanpa rasa bersalah. Nalira menahan diri untuk tidak meludahi makanan itu, matanya menyorot tajam, menatap Aaron dengan penuh kemarahan. "Kau monster menjijikan. Lepaskan aku!" teriaknya, nyaring. Aaron tertawa kecil, seolah kemarahan Nalira adalah hiburan baginya. "Kau akan menyadarinya," Aaron berdiri. Dan dengan langkah pelan ia mendekat ke arah Nalira. "Aku bukan hanya sekedar monster. Lebih dari itu, aku adalah penderitaan dan kematian bagi setiap orang yang mencoba menantangku dan menghalangiku." Mata Nalira nyalang menatapnya. "Dan kau pikir aku akan takut padamu
Gerimis membasahi tanah saat Pangeran Felix dan Jenderal Gavriel memimpin pasukan berkuda melewati pemukiman dan perbukitan menuju utara. Obor di tangan para prajurit menjadi satu-satunya penerangan di tengah malam yang pekat. Sudah tujuh hari sejak Nalira meninggalkan istana untuk berlatih bersama pamannya. Surat terakhirnya mengatakan bahwa ia akan kembali hari ini, tetapi hingga malam berlalu, ia tak juga tiba. Kekhawatiran melanda istana, terutama Felix. Nalira bukan sekedar tunangannya, lebih dari itu ia adalah bagian dari hidupnya serta salah satu wanita yang berpengaruh dalam politik kerajaan. "Nalira!" teriak Jenderal Gavriel di ikuti oleh teriakan prajurit yang tak kalah lantang memanggil Tuan putrinya. Mereka tak henti hentinya meneriakan nama Nalira yang hanya di jawab desiran angin malam, dan tanpa mereka tahu, Nalira tidak akan pernah menjawab sebab dirinya telah tertawan di markas kegelapan dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Malam semakin larut, tetapi suasa
"Hutan Kegelapan?" gumam pangeran Felix.Duke Elvandale mengangguk pelan."Ya, Pangeran. Hutan itu bukan sekadar mitos atau cerita rakyat. Itu adalah tempat di mana kejahatan dan kematian saling bertautan. Tidak ada yang bisa keluar dengan selamat dari sana ,tidak ada yang tahu makhluk apa yang bersembunyi di dalamnya.""Tetapi gadis itu tidak percaya..." Elvandale melanjutkan, suaranya mengandung ketidakberdayaan."Saat dia meminta izin untuk menemui pamannya dan mengevaluasi bela dirinya, aku sudah memperingatkannya agar tidak mendekati hutan itu. Tapi aku tak tahu apakah dia mendengarkanku atau tidak. Nalira… dia itu keras kepala."Felix merasakan jantungnya mencelos. Nalira… di sana? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.Rahang Felix mengatup, lalu menatap Duke Elvandale."Kalau begitu, aku akan ikut mencarinya."Duchess Clarissa terkejut."Pangeran Felix—" katanya menggelengkan kepalanya dengan ragu, ia tentu khawatir pada keselamatan putra mahkota itu jika ia mencari putrinya."Aku t
Malam beranjak larut di Astheria. Cahaya bulan menyinari istana megah yang berdiri anggun di pusat kota. Angin dingin berembus lembut, namun ketenangan malam itu tidak bisa meredakan kecemasan seorang pria yang mondar-mandir di depan aula kerajaan. Duke Elvandale berdiri di ambang pintu istana,matanya tajam menatap ke kejauhan, ke arah gerbang utama. Namun, sejauh apa pun matanya memandang, tak ada tanda-tanda kehadiran putrinya. Nalira belum kembali. Perasaannya semakin gelisah, Duke Elvandale lalu membuka telapak tangannya dimana serpihan kristal merah muncul, kilaunya berdenyut seolah itu detak jantung Nalira. Saat sinar kristal itu bergetar pelan, kenangan baru menyeruak ke dalam pikirannya, malam itu, ketika ia mendatangi Menara Arthelion demi satu harapan. Kilas balik. Duke Elvandale berjalan cepat menuju taman istana yang tersembunyi di balik kabut perak. Di sana Menara Arthelion, menara tinggi berbalut batu bulan dan akar suci yang menjulang ke langit nyaris tak terl
"Hei! Turunkan aku!" Nalira meronta, ingin rasanya menendang dan memukul punggung pria kurang ajar itu, tetapi tangannya terikat ke belakang tubuhnya, dan Aaron bahkan tidak bergeming.Pria itu terus melangkah tanpa henti, membiarkan Nalira meronta di atas punggungnya. Otot-otot punggungnya tetap kokoh, seolah-olah keberatan tubuh Nalira bukanlah apa-apa baginya. Napas wanita itu memburu, amarah dan rasa takut bercampur menjadi satu. "Lepaskan aku, dasar pria tidak tahu sopan santun!" Nalira berteriak, tubuhnya menggeliat, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. Aaron hanya mendengus, matanya menatap lurus ke depan, tanpa memedulikan perlawanan wanita itu. "Lebih baik kau diam sebelum aku mengikat mulutmu juga." Nalira mendengus frustrasi. Pria ini benar-benar tidak memiliki belas kasihan! Aaron terus bergerak melewati hutan yang semakin gelap. Bayangan pepohonan raksasa menjulang tinggi, ranting-rantingnya menjalar seperti tangan kurus yang ingin mencengkeram siapa saja
Nalira mengarahkan kudanya melewati jalan setapak yang sempit. Gadis cantik berambut hitam legam itu baru saja menyelesaikan pelatihannya bersama pamannya, Halim, dan ingin segera kembali ke istana. Di punggungnya terikat sebuah busur panah, serta kantong berisi anak panah yang tergantung di sisi tubuhnya. Dengan keahliannya, senjata itu tak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga alat untuk perlindungan. Namun, bukannya mengikuti rute utama, ia memilih jalur pintas melalui hutan yang belum pernah ia lalui sebelumnya, berharap hutan itu bisa mempercepat perjalanannya. Tetapi Nalira sungguh tak mengindahkan peringatan siapapun untuk menjauhi hutan itu. Sejak pertama memasukinya, ia merasakan suasana yang sangat aneh. Angin berbisik di antara pepohonan raksasa yang tumbuh jauh lebih besar dari biasanya. Udara terasa lembap, aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk menguar memenuhi indra penciumannya. Semakin jauh ia masuk, semakin hutan itu terasa mencekam. Tidak ada kicau buru
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments