Home / Pernikahan / KARMA PERSELINGKUHAN AYAH / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of KARMA PERSELINGKUHAN AYAH : Chapter 81 - Chapter 90

181 Chapters

BAB 89. Opa kabur.

.“Silakan Ibu tidak percaya! Bagaimana dengan anak itu, hah! Anak itu datang ke sini ayah seperti kesetanan. Anak itu memberi keterangan di kantor polisi apa ibu masih tidak percaya!” teriak Tante Devi menunjuk Cici.“Tidaak! Suamiku tidak begitu!” Oma makin histeris dan mengacak-acak rambutnya sendiri.“Silakan jika Ibu tidak percaya! Tapi, fakta sudah membenarkan semuanya. Aku tidak sudi punya bapak seperti itu. Bagiku bapak sudah mati!” Tante Devi masih saja berteriak di depan wajah oma.“Ayo, Mah ikut aku!” Nindi menarik lengan mamahnya meninggalkan ruang makan.~k~u🌸🌸🌸Sejak kejadian semalam oma mengurung diri di kamar. Makanan yang dibawa Bik Siti ke kamarnya dibuang begitu saja piring dan gelas pecah hingga Bik Siti terluka terkena pecahan beling saat membersihkannya.Nindi dan Tante Devi pun sama saja tetap berada di kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan sejak semalam pun tidak keluar.Tante Anin pagi-pagi sekali sudah pergi katanya ada urusan. Rumah ini sudah seperti ru
Read more

BAB 90. Trending di sosmed.

🌸🌸🌸“Nek, aku ke Nindi dulu, ya?”Gegas kukejar Nindi yang berjalan buru-buru ke luar rumah.“Ambil tasmu kita cari Opa!” teriaknya.Tanpa pikir panjang aku pun lari ke kamar mengambil tas dan berganti jilbab.“Sudah kupesan taxi onlinenya,” ucap Nindi. Tangannya masih sibuk dengan ponselnya.“Cari ke mana, ya, Al?”“Entahlah yang jelas kita ke rumah sakit dulu. Kita lihat CCTV. Kok, bisa opa kabur. Bukankah dia kritis?” jawabku heran. Opa ini seperti punya ilmu rawa rontek saja. Padahal kukira ajian itu hanya ada di film kolosal Indonesia.“Kamu order ke mana, Nin?”“Rumah, sakit!”“Good job!”Sesampainya di rumah sakit sudah ada dua petugas kepolisian yang sedang memeriksa CCTV.Terlihat opa susah payah melepas jarum infusnya kemudian mendobel bajunya dengan baju yang ada dipakainya sewaktu dibawa ke rumah sakit lalu mengendap-endap ke luar kamar.Dari CCTV lorong kamar rumah sakit opa terlihat kepayahan berjalan merambat seperti anak kecil baru belajar jalan. Anehnya semua orang
Read more

BAB 91. Tante Anin.

“Sebaiknya kamu jangan buka sosmed dulu, Nind. Biar kamu enggak terpengaruh,” saranku seraya kukembalikan ponselnya.“Iya, Al. Thanks ya. Kalau tidak ada kamu mungkin aku ....” Nindi menitikkan air matanya. Baru kali ini aku lihat dia semelow ini.“Sssstt ... jangan berkata seperti itu. Bukan karena aku, tapi karena kerja sama kita dan juga pertolongan Tuhan. Itulah kenapa kita harus melibatkan Allah SWT dalam setiap masalah ataupun tindakan kita lainnya. Kalau kamu mau nangis, silakan nangis sepuasmu tidak ada yang melarang. Semoga dengan kamu menangis bisa meringankan sedikit bebanmu.” Nindi hanya manggut-manggut saja seraya sesekali mengusap kasar air matanya.“Hidupku malang sekali. Aku punya papah narapidana punya mamah juga begitu,” ujarnya lagi.“Kamu tidak sendiri, Nind. Di luar sana masih banyak yang jauh lebih tidak beruntung dari kamu. Contohnya aku sendiri. Aku juga punya ayah bejat yang tega menjual kehormatan istrinya sendiri. Itu kejahatannya pun sudah level tidak bisa
Read more

BAB 92. Opah ditemukan.

Wah, kok, ada yang komentar nyelekit, ya? Bilang Tante Anin norak numpang foto doang, tapi kok enggak dibalas ya, sama Tante Anin. Jangan-jangan benar komentar temannya, di sana Tante Anin hanya cuci mata saja. Dasar gaya aja yang sosialita budget mah BPJS. Lucu juga lumayan menghibur saat penat begini.Sampai rumah sudah lumayan malam sudah waktunya tidur. Aku gegas bersih-bersih badan dan menunaikan salat isya.Bik Siti sudah tertidur pulas di ranjangku pasti dia sangat capek sampai tidak menyadari kedatanganku.Cici dan ibunya tidur di kamar tamu. Tadi pun yang menyambutku dan membuatkanku coklat panas ibunya Cici. Katanya tidak bisa tidur karena takut. Kupastikan padanya di rumah ini aman. Di depan ada satpam dan juga ada kamera pengawas di setiap sudut rumah ini.Dari kamar depan terdengar suara ribut-ribut oma dan Nindi, tapi aku tidak berminat untuk datang ke sana. Jiwa dan ragaku lelah butuh istirahat.~k~u🌸🌸🌸“Pagi semua,” sapaku. Pagi ini aku mau memulai hari dengan suka
Read more

BAB 93. Pesan asing.

🌸🌸🌸“Nind, apa kamu batal janji dengan si itu?” tanyaku ragu. Setahuku kalau sudah menjadi sugar baby harus siap selalu diajak ke mana pun pergi.“Astaga! Aku lupa. Em ... kita ke sananya nanti aja ya, Al tunggu aku pulang. Enggak lama kok, sore juga pulang,” katanya seraya berlalu. Di depan pintu gerbang sekolah ternyata sudah ada mobil yang menunggunya.“Apa Nindi masih jadi itu, Al?” Lusi sepertinya penasaran karena katanya beberapa kali memergoki Nindi sedang jalan dengan Putri dan seorang om-om.“Ya, aku sudah peringatkan, tapi tidak mempan jadi, ya terserah dia aja.”“Kita ke mana dulu, nih?”“Rumah sakit, Lus aku mau lihat keadaan omaku.“Pulang dulu, Al. Aku mau mandi plus salin baju, lihat aku tembus,” rengeknya.Seperti biasa Angga selalu on time menungguku. Dia cengengesan bak orang gila baru begitu melihatku dan Lusi menghampirinya.“Anak sultan mau juga jalan kaki,” sindirnya pada Lusi.“Nama ayahku Hadikusumo, Ngga, bukan sultan!” tegas Lusi.“Oo, Pak Hadi. Itu kan, o
Read more

BAB 94. Oma masuk ICU

Pesan ini dikirim sampai lima kali. Siapa yang kirim? Tante Anin? Tidak mungkin. Apa opa? Tidak mungkin juga, ini bahasa perempuan. Opa kalau kirim pesan akan singkat, padat, jelas, dan bahasanya juga baku.“Tuh, kan, apa aku bilang? Jangan dibuka kalau dibuka gitu mengganggu kamu makan!” Angga menyambar HP-ku dan. Menaruhnya lagi ke meja.“Ciee ... perhatian banget!” sahut Lusi.Ting!Ponselku bunyi lagi. Segera kusambar ponselku.[Siapa yang kirim ya, Al?] Ternyata dari Nindi. Dia meneruskan pesan yang sama persis dikirimkan padaku.[Aku juga dapat itu.] jawabku segera.[Opa?] Tebak Nindi.[Impossible. Opa tidak akan berani mengirim pesan saat odp begini.] Jawabku yakin.Nindi tak membalasnya lagi. Aku melanjutkan makan pecelku. Angga dan Lusi sudah memelototiku sedari tadi.“Alhamdulillah ... kenyang. Mantap ya, pecelnya,” seloroh Lusi.“Ini beneran level 10, Lus?” tanyaku seraya menyomot lontong di piring Lusi.“Wuaaah ... astaghfirullah, Lusi!” pekikku tak tahan. Pedasnya membuat
Read more

BAB 95. Opah bundir.

“Oma bangun, ya, nanti kita jalan-jalan. Oma mau beli apa aja aku belikan.” Kubelai wajah cantik oma. Kata orang aku sedikit mirip oma.“Oma, tahu enggak yang ambil uang Oma dua puluh juta rupiah itu aku, he-he maafkan aku ya, Oma. Aku sengaja lakuin itu habisnya aku kesal sekali pada Oma,” kataku lagi. Padahal mulutku tertawa, tapi entah kenapa air mataku keluar.“Itu uang Oma dapat dari ayah kan? Dapat dari penjualan cincin berlianku, kan?”“Oma, please dengar ya? Bangun ya? Aku sayang banget sama Oma.” Kudekatkan kupingku ke mulut oma berharap oma menyahut ucapanku. Konyol memang, dan hanya terdengar suara nat nit nut dari monitor perekam jantung. Air mataku makin deras.“Tenang aja, nanti uangnya aku ganti tiga kali lipat. Oma mau apa lagi? Mau beli cincin berlian? Beli tas branded? Beli sepatu atau baju branded? Aku belikan untuk Oma. Atau Oma pingin jalan-jalan ke Bali?” kataku sedih.Oma sama sekali tidak merespon. Aku tahu itu sangat mustahil bagi orang yang masuk ICU bisa sem
Read more

BAB 96. Istri muda Opah.

🌸🌸🌸🌸“Astaghfirullah ... Opa, innalilahi waInnailaihiroji’uun,” gumamku.Aku sungguh tak percaya dengan semua yang kulihat. Opa nekat sekali mengakhiri hidupnya begini. Hanya kasih sayang dan ampunan Allah yang akan menolongnya di akhirat kelak.Tiga anggota kepolisian dibantu beberapa warga menurunkan jenazah opa.Opa nekat gantung diri pas di pintu masuk rumahnya menggunakan tali tambang yang sepertinya masih baru karena warna dan baunya masih tajam.Kakek berkali-kali mengelus pundakku. Aku paham pasti kakek tidak mau aku sedih. Kusak-kusuk mulut tetangga sudah mulai memenuhi indra pendengaranku.Setelah memeriksa mayat opa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dibantu dokter puskesmas daerah sini memutuskan opa benar-benar murni melakukannya sendiri.“Jadi tidak perlu dibawa ke rumah sakit, Om?” tanyaku.“Tidak usah, Al. Berdasarkan keterangan beberapa warga yang melihat opamu beli tali jemuran ini di warung depan rumah sudah jelas kalau opamu memang dengan sengaja mengakhiri
Read more

BAB 97. Ternyata Tante Rima.

“Jadi, kamu takut kalau nanti kakek jadi hantu?” tanyaku memastikan.“Iya, Kak. Aku takut kakek jadi setan gentayangan nanti jadi hantuin aku,” jawabnya polos.“Masih hidup aja permainan rahasianya bikin mulut dan tenggorokanku sakit apa lagi sudah jadi setan. Aku takut dibunuh setan kakek, Kak,” imbuhnya. Kini raut wajah Cici memang terlihat sekali ketakutan.“Astaghfirullahal’adhiim ... Ci, orang yang sudah meninggal itu tidak akan pernah jadi setan. Makanya kamu mulai sekarang harus rajin berdoa salatnya jangan bolong-bolong, ya?” Kubingkai wajah chubby Cici, dia meringis memperlihatkan gigi kelincinya. Gemes sekali.“Iya, Kak. Aku akan rajin salat dan mengaji. Kak, apa kakek nekat bunuh diri begitu karena tidak main permainan rahasia lagi denganku? Kakak lihat kan, itu lidah kakek menjulur begitu. Aku takut sekali.”“Bukan Ci, kakek begitu karena enggak ada iman. Sudah jangan dipikirkan lagi. Lebih baik kamu do’akan untuk kakek.”“Baik, Kak. Ya Allah, semoga kakek tidak jadi seta
Read more

BAB 98. Menghajar Tante Rima.

“Eh, Neng. Mangga,” ucap ibu yang sedang menyiangi sayuran. Aku menanggapinya dengan anggukan kepala.“Kamu itu gimana Mama Ganis? Mbak ini kan, cucunya almarhum. Memangnya kamu enggak tahu?”“Gimana mau tahu, dia kan, pelakor!” timpal ibu yang menata piring disambut gelak tawa yang lain.Tante Rima tambah pucat. Dia diam seribu bahasa.“Aku kenal sama Tante Rima kok, Bu. Dia kemarin baru dari rumahku, tapi dia bilangnya istri almarhum ayahku bukan istri opa.” Mendengar pengakuanku tentu saja mereka kaget.“Astaghfirullah, Rima. Kamu kapan sadarnya! Awas loh, kena karma!” ucap ibu yang duduk tepat di depan Tante Rima seraya menepuk bahu Tante Rima.“Orang kalau udah berkelakuan buruk memang begini susah insyafnya,” sahut yang lain.Aku tersenyum sinis memandang Tante Rima sedang dia sama sekali tidak berani melihatku.“Lama sekali, Al. Devi sudah berhenti nangisnya?” Nenek menyusulku ke dapur.“Bukan Tante Devi ataupun Nindi yang nangis, Nek. Tuh!” Aku menunjuk Tante Rima.“Loh, kamu
Read more
PREV
1
...
7891011
...
19
DMCA.com Protection Status