Home / Pernikahan / KARMA PERSELINGKUHAN AYAH / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of KARMA PERSELINGKUHAN AYAH : Chapter 91 - Chapter 100

181 Chapters

BAB 99. Oma meninggal.

🌸🌸🌸🌸“Syukurlah ... kamu sudah sadar, Al.” Om Ardi membantuku untuk duduk bersandar.“Sudah jangan sedih gitu setiap yang bernyawa pasti akan mati. Doakan yang terbaik untuk opa dan omamu.” Kali ini Om Ardi memberiku teh hangat dan juga ponselku.“Tadi Nindi telepon ke HP-ku akhirnya aku katakan padanya kalau kamu pingsan.” Angga ikut menimpali.“Kakak, jangan ikut mati nanti aku tidak punya Kakak lagi.” Cici menghambur ke pelukanku.“Kakak, enggak mati Ci. Tadi hanya pingsan saja. Jangan sedih, ya?” Cici mengangguk seraya mengusap air matanya.Gara-gara aku pingsan seisi rumah ini jadi panik dan malah sibuk mengurusku. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Para pelayat juga sudah sepi hanya ada beberapa bapak-bapak yang duduk di teras dan tenda.“Kamu tidurlah Ngga, sudah malam besok kamu pulang kan, bawa motor takut kenapa-napa,” titahku.“Aman itu Al, kalau aku ngantuk tinggal telepon aja anak buah papa suruh jemput,” jawab Angga matanya fokus ke benda pipih di tanganny
Read more

BAB 100. Kesedihan Tante Devi.

“Ssttt ... subuhan dulu nanti Nenek kasih tahu,” jawab nenek aku mengiyakan saja.Aku salat tidak bisa konsentrasi penuh anak Tante Rima terus saja merengek entah apa yang salah dengannya.Selesai salat Bik Siti langsung menggendong anak itu, tapi tetap saja tidak mau diam.“Ini Mbak, aku buatkan teh untuk si Ganis. Mungkin dia haus.” Tetangga yang membantu kami membawakan dot berisi air teh hangat untuk Ganis.“Terima kasih, Bu. Tapi, apa dia minum teh?” Bik Siti seperti ragu untuk memberikannya pada Ganis.“Tiap hari minumnya teh manis kalau ditinggal ibunya kerja, Mbak. Jangan khawatir dia akan baik-baik saja,” jawab ibu itu.Ajaib dia langsung diam dan lahap minumnya. Kasihan sekali hanya dikasih teh manis biasanya anak segini minum susu.“Em ... bau asem! Mandi sana, Nak. Malah bengong,” ujar nenek mencium pipiku.“Nanti, Nek, masih dingin. Tante Rima kenapa, Nek?”“Kepleset di depan pintu dapur itu kan licin, ternyata dia sedang hamil muda, tapi enggak tahu. Pendarahan dan kegug
Read more

BAB 101. Mengaku sodara Omah.

“Mbak Alya, kenapa lihat saya begitu?” tanya seseibu yang mengaku bernama Mei ini.“Enggak apa-apa kok, aku hanya seperti melihat ... ah, sudahlah.”“Iih, Mbak Alya bikin takut saya aja,” ucapnya lagi seraya merapatkan tubuhnya padaku. Ternyata penakut!Teriakan orang di depan sudah tidak terdengar lagi. Nindi? Dia masih berdiri elegan seperti tidak terjadi sesuatu padahal kusak-kusuk para tetangga mulai bikin kuping panas.“Apa benar itu Nindi pelakor?”“Ssstt ... jangan berisik kita fokus berdoa aja.”“Pelakor atau bukan itu tidak mempengaruhi hidup kita.”“Kata siapa tidak mempengaruhi? Ini loh kompleks perumahan kita ngeri kalau suami kita kepincut juga.”“Service yang baik kalau suaminya enggk mau kepincut pelakor.”“Pelakornya masih kinyis-kinyis. Belasan tahun.”“Ibarat mangga masih ranum-ranumnya itu.”“Kalau aku sih, suami mau sama pelakor buang aja enggak usah ditangisi.”“Bener tuh, suami yang baik tidak akan pernah tergoda perempuan di luar.”“Sayangnya langka suami begitu
Read more

BAB 102. Nindi dilabrak.

Kini aku paham. Aku biarkan saja mereka bicara ini dan itu. Toh, aku bukan ahli waris oma jadi tidak berkewajiban membayarkan utang oma. Masih ada Tante Devi dialah yang berkewajiban membayarkan utang-utang orang tuanya.“Utangnya berapa?” tanyaku pada akhirnya.“15 juta rupiah, Mbak Alya. Itu uang saya mau dipakai untuk mupuk kebun jagung. Katanya janji satu bulan belum ada satu bulan orangnya sudah meninggal dunia,” sahut Bu Mei lagi.Sebenarnya aku lumayan terkejut karena nominal utang oma. Untuk apa oma utang segitu banyak.“Perkara utang memang sangat sulit. Maka dari itu saya mau tanya, adakah saksi satu bukti bahwa almarhumah berhutang pada ibu Mei?” tanya Ustaz.Aku ingin ketawa melihat ekspresi Bu Mei, dia seperti cacing kepanasan.“Kalau saksi memang tidak ada Pak Ustaz karena kami kan, keluarga jadi saling percaya saja begitu.” Om Yuda ikut menimpali. Duh, dia sudah seperti juru bicara saja.“Iya, benar Pak Ustaz. Saya berani bersumpah kalau saya tidak bohong,” ucap Bu Mei
Read more

BAB 103. Siapa yang menjual rumah Opah?

“Kalau aku tidak mau?”“A—ku ... aku akan laporkan kalian ke istrinya.” Mendengar itu justru Nindi tertawa terbahak-bahak. Mengerikan sekali.“Lapor saja aku sama sekali tidak takut!” jawab Nindi dan berlalu pergi.“Dasar tidak punya hati! Pelakor! Murahan!” maki perempuan itu lagi.“Apa bedanya aku dengan kamu!? Jangan ganggu aku lagi kalau tidak mau hidupmu tambah berantakan!” Ancam Nindi.“Nindi, tunggu!” Kutarik lengan Nindi kuat sekali hingga dia mengaduh kesakitan.“Gika kamu, ya, Nind! Otakmu di mana? Sudahi semua!” pintaku.“Jangan atur hidupku, Al. Aku tahu mana yang terbaik untuk diriku sendiri! Jangan pernah ikut campur!” bentak Nindi, dia mendorongku.Aku benar-benar tidak paham jalan pikiran Nindi. Entah setan apa yang sudah meracuni otaknya . Hatinya telah mati.“Mbak, sebaiknya pulang saja. Mungkin saat ini sepupuku belum bisa diajak bicara aku akan bantu bilang padanya.” Perempuan itu tidak menjawab. Dia terus saja menangis dan beranjak pergi.Kasihan sekali. Ternyata
Read more

BAB 104. Menasihati Nindi.

🌸🌸🌸"Jangan mengada-ada kamu! Mana bisa begitu? Jual rumah itu tidak segampang jualan tempe!” Tante Devi memukulkan majalah yang ada di atas meja ke bahu Tante Rima.“Ka—lau itu saya tidak tahu, Mbak. Tapi, beneran aku dan Ganis diminta pergi dari sana.” Tante Rima terlihat sangat ketakutan sekali.“Apa yang menempati memberi tahu tanda bukti penjualannya, Rim?” tanya kakek menengahi.“Aku pun tidak menanyakan itu, Pak. Aku tidak paham.” Tante Rima sepertinya berkata jujur. Dia sesekali menghela nafas berat.“Kamu ikut aku ke sana! Awas kalau kamu bohong!”“Ba—ik, Mbak.”“Rim, sarapan dulu sana pasti kamu lelah dan lapar. Biar Bik Siti yang antar kamu,” ucap nenek.“Enggak ada waktu kita berangkat sekarang!”“Enggak bisa gitu, Dev! Dia punya anak perjalanan jauh pasti capek dan lapar!” bentak nenek.Tante Devi mendengus kesal lalu masuk kamar.“Nin, mau sekolah enggak?” tanyaku pada Nindi yang sedari tadi sama sekali tidak peduli pada keributan yang terjadi dia sibuk dengan ponseln
Read more

BAB 105. Mendatangi rumah opah.

“Bahagia atau tidak itu juga tidak penting bagiku, yang penting orang tuaku senang itulah yang bisa buat aku senang. Opa memang sudah mati, tapi aku masih ada orang tua yang harus aku bahagiakan.”“Kerjaanmu terlalu beresiko, Nind. Kalau kamu ketahuan dan diviralkan seluruh dunia akan tahu siapa dirimu.”“Aku sudah memikirkan itu matang-matang, Al. Kamu jangan khawatir aku sudah katakan padamu aku tidak peduli penilaian orang yang penting aku kerja dapat duit beres! Mulut mereka juga enggak bisa ‘tuh ngasih kehidupan layak untuk aku. Jadi, aku tidak perlu repot-repot malu ataupun peduli dengan omongan orang.”“Ya, sudah, Nin. Kamu susah dibilangin. Terserah kamu aja, kalau kamu kenapa-kenapa jangan ....”“Cari kamu? Tenang Al, aku akan punya uang banyak aku tidak akan merepotkan siapa pun dengan uang banyak aku bisa melakukan apa pun. Jadi, aku tidak cari kamu,” cerocos Nindi memotong ucapanku.“Ampun, deh! Ini kuping dengerin dulu kalau orang lagi ngomong!” kataku seraya kujewer kupi
Read more

BAB 106. Rumah Opah dijual anaknya yang lain.

“Wooi buka!” teriak Tante Devi lagi.Klek!Pintu terbuka.“Maaf siapa? Tadi saya lagi di belakang,” ucap ramah bapak paruh baya di depan kami sepertinya beliau juga bingung karena melihat penampilan kami dari atas sampai bawah.“Loh, Mbak kan, yang kemarin nempatin rumah ini kan?” Tante Rima mengangguk cepat.“Mari-mari silakan masuk, silakan duduk dulu sebentar saya panggil istri saya dulu.” Bapak itu kembali ke belakang.Kulihat sekeliling baru saja opa meninggal seminggu yang lalu rumah ini sudah banyak berubah.Gorden sudah diganti, cat tembok juga sudah diganti warnanya. Lukisan-lukisan kuno yang menempel di dinding sudah bersih tak bersisa.Apa yang menempati rumah ini sudah membuang semuanya? Tega sekali!“Tante foto di atas pintu itu di mana?” tanyaku pada Tante Rima.“Tidak tahu, Mbak Alya. Kemarin waktu saya pergi masih ada. Belum ganti semua begini,” jawabnya Tante Rima pun memindai ruangan ini.“Ada keperluan apa ya, Mbak?” tanya beliau seraya membawa nampan berisi teh han
Read more

BAB 107. Tante Devi sedih.

🌸🌸🌸Sayangnya di surat jual beli hanya ada nama opa dan bapak yang beli saja ada. Ada saksi tapi, itu juga ketua RT dan rumah yang berbatasan langsung dengan milik opa.Ah, aku seperti sedang main teka-teki saja harus menebak yang benar.Tante Devi terlihat putus asa matanya berkaca-kaca memindai ruangan ini.“Semua hanya tinggal kenangan. Tante tidak menyangka kalau kehidupan Tante akan begini,” ucap Tante Devi lirih.Aku no coment takut salah lagi. Aku baca sekali lagi surat jual beli ini. Tidak ada yang janggal semua sesuai aturan yang berlaku.Aku malah memikirkan nasib Tante Rima setelah ini.“Betul, kan, Mbak, kami tidak bohong?”“Iya, Pak ini semua benar, tapi ada yang membuat hati kami tidak tenang siapa anak opa yang ikut ke sini. Karena anak opa ya, hanya tanteku ini,” paparku.“Kami tidak paham juga, tapi nanti saya tunjukkan fotonya ya, Mbak?” Aku mengangguk saja.“Bapak dapat informasi rumah ini dijual dari mana?” tanyaku lagi.“Dari mulut ke mulut, Mbak. Kebetulan sa
Read more

BAB 108. Tante Devi kesal.

“Mbak Alya. Terima kasih untuk semuanya, salam untuk kakek dan nenek, ya? Sampaikan juga maaf Tante pada mereka,” ucap Tante Rima padaku, matanya berkaca-kaca.“Insya Allah, Tan. Kami pamit ya, Tante. Kalau ada salah-salah kata kami mohon maaf,” jawabku tulus. Kenapa aku sedih begini ya, apa mungkin karena Tante Rima tulus.“Alya, ayo, buruan! Sudah sore ini nanti kemalaman. Sudah jangan pedulikan perempuan jalang itu!” teriak Tante Devi. Dia sudah duduk di sebelah kemudi.“Kami pamit ya, Pak, Buk, Tante Rima.” Kusalami mereka satu persatu.“Hati-hati di jalan, Nak. Kalau kamu rindu opamu dan berziarah ke makamnya jangan lupa mampir ke sini,” ucap bapak yang beli rumah opa, aku mengangguk mengiyakan.“Kasih tahu sama wanita sombong itu, kalau kebun sawit opamu seluas lima hektar sudah menjadi milik Tante dari situ Tante akan membesarkan Ganis.” Pengakuan Tante Rima saat aku pamit cipika- cipiki membuatku kaget. Ternyata Tante Rima maju lebih dulu dari pada Tante Devi.“Tenang saja, di
Read more
PREV
1
...
89101112
...
19
DMCA.com Protection Status