âBahagia atau tidak itu juga tidak penting bagiku, yang penting orang tuaku senang itulah yang bisa buat aku senang. Opa memang sudah mati, tapi aku masih ada orang tua yang harus aku bahagiakan.ââKerjaanmu terlalu beresiko, Nind. Kalau kamu ketahuan dan diviralkan seluruh dunia akan tahu siapa dirimu.ââAku sudah memikirkan itu matang-matang, Al. Kamu jangan khawatir aku sudah katakan padamu aku tidak peduli penilaian orang yang penting aku kerja dapat duit beres! Mulut mereka juga enggak bisa âtuh ngasih kehidupan layak untuk aku. Jadi, aku tidak perlu repot-repot malu ataupun peduli dengan omongan orang.ââYa, sudah, Nin. Kamu susah dibilangin. Terserah kamu aja, kalau kamu kenapa-kenapa jangan ....ââCari kamu? Tenang Al, aku akan punya uang banyak aku tidak akan merepotkan siapa pun dengan uang banyak aku bisa melakukan apa pun. Jadi, aku tidak cari kamu,â cerocos Nindi memotong ucapanku.âAmpun, deh! Ini kuping dengerin dulu kalau orang lagi ngomong!â kataku seraya kujewer kupi
âWooi buka!â teriak Tante Devi lagi.Klek!Pintu terbuka.âMaaf siapa? Tadi saya lagi di belakang,â ucap ramah bapak paruh baya di depan kami sepertinya beliau juga bingung karena melihat penampilan kami dari atas sampai bawah.âLoh, Mbak kan, yang kemarin nempatin rumah ini kan?â Tante Rima mengangguk cepat.âMari-mari silakan masuk, silakan duduk dulu sebentar saya panggil istri saya dulu.â Bapak itu kembali ke belakang.Kulihat sekeliling baru saja opa meninggal seminggu yang lalu rumah ini sudah banyak berubah.Gorden sudah diganti, cat tembok juga sudah diganti warnanya. Lukisan-lukisan kuno yang menempel di dinding sudah bersih tak bersisa.Apa yang menempati rumah ini sudah membuang semuanya? Tega sekali!âTante foto di atas pintu itu di mana?â tanyaku pada Tante Rima.âTidak tahu, Mbak Alya. Kemarin waktu saya pergi masih ada. Belum ganti semua begini,â jawabnya Tante Rima pun memindai ruangan ini.âAda keperluan apa ya, Mbak?â tanya beliau seraya membawa nampan berisi teh han
đ¸đ¸đ¸Sayangnya di surat jual beli hanya ada nama opa dan bapak yang beli saja ada. Ada saksi tapi, itu juga ketua RT dan rumah yang berbatasan langsung dengan milik opa.Ah, aku seperti sedang main teka-teki saja harus menebak yang benar.Tante Devi terlihat putus asa matanya berkaca-kaca memindai ruangan ini.âSemua hanya tinggal kenangan. Tante tidak menyangka kalau kehidupan Tante akan begini,â ucap Tante Devi lirih.Aku no coment takut salah lagi. Aku baca sekali lagi surat jual beli ini. Tidak ada yang janggal semua sesuai aturan yang berlaku.Aku malah memikirkan nasib Tante Rima setelah ini.âBetul, kan, Mbak, kami tidak bohong?ââIya, Pak ini semua benar, tapi ada yang membuat hati kami tidak tenang siapa anak opa yang ikut ke sini. Karena anak opa ya, hanya tanteku ini,â paparku.âKami tidak paham juga, tapi nanti saya tunjukkan fotonya ya, Mbak?â Aku mengangguk saja.âBapak dapat informasi rumah ini dijual dari mana?â tanyaku lagi.âDari mulut ke mulut, Mbak. Kebetulan sa
âMbak Alya. Terima kasih untuk semuanya, salam untuk kakek dan nenek, ya? Sampaikan juga maaf Tante pada mereka,â ucap Tante Rima padaku, matanya berkaca-kaca.âInsya Allah, Tan. Kami pamit ya, Tante. Kalau ada salah-salah kata kami mohon maaf,â jawabku tulus. Kenapa aku sedih begini ya, apa mungkin karena Tante Rima tulus.âAlya, ayo, buruan! Sudah sore ini nanti kemalaman. Sudah jangan pedulikan perempuan jalang itu!â teriak Tante Devi. Dia sudah duduk di sebelah kemudi.âKami pamit ya, Pak, Buk, Tante Rima.â Kusalami mereka satu persatu.âHati-hati di jalan, Nak. Kalau kamu rindu opamu dan berziarah ke makamnya jangan lupa mampir ke sini,â ucap bapak yang beli rumah opa, aku mengangguk mengiyakan.âKasih tahu sama wanita sombong itu, kalau kebun sawit opamu seluas lima hektar sudah menjadi milik Tante dari situ Tante akan membesarkan Ganis.â Pengakuan Tante Rima saat aku pamit cipika- cipiki membuatku kaget. Ternyata Tante Rima maju lebih dulu dari pada Tante Devi.âTenang saja, di
âSakit, Tan? Semoga saja kandungan Tante baik-baik saja, tapi Tante hamil anak manusia atau anak ular sih, kok perut Tante enggak besar-besar?â kataku seraya tertawa mengejek.Baru saja mau masuk kamar terdengar ketukan pintu. Itu suara Nindi. Ya Allah, jam segini baru pulang.âAlya! Syukurlah kamu sudah pulang kiraku kamu sama mamah minep. Aku mau hubungi kamu enggak sempat. Ya ampun, Tante Anin kenapa tidur di lantai?â ucap Nindi seraya menghampiriku.âEnggak, Nind. Masalah sudah selesai. Kamu dari mana jam segini baru pulang?â Padahal aku sudah tahu dia dari mana.âBiasa kerja Al, aku dapat uang banyak hari ini. Al, siapa yang jual rumah opa?â tanya Nindi penasaran.âTanya sama mamahmu saja, Nind. Tadi mamahmu bilang aku tidak boleh kasih tahu siapa pun.âMendengar jawabanku Tante Anin memicingkan matanya. Pasti Tante. Anin pun penasaran.âEm ... baiklah. Aku masuk kamar duluan, ya?â Begitu Nindi masuk kamar aku pun masuk kamar. Di kamar sudah ada kakek dan opa. Mereka pasti menung
Aku terpaku sejenak demi melihat pemandangan di depan mataku. Mungkin Angga pun begitu. Sungguh seperti terhipnotis untuk melihatnya. Hatiku berontak ingin menolongnya, tapi entah kenapa aku justru diam saja.Setelah telur busuk itu habis perempuan cantik itu menjambak rambut Nindi ke belakang.âTinggalkan Kakakku atau kamu akan mendapatkan hal yang lebih menyakitkan dari ini!â Ancamnya.Nindi tersenyum sinis. âSilakan saja aku tidak takut!â jawab Nindi.Tentu saja memicu kemarahan perempuan itu lagi.âKamu tahu siapa ini? Kalau kamu tidak mundur dia akan aku habisi!âMata Nindi membelalak kaget, bulir bening kembali ke luar dari matanya. Aku tidak tahu itu foto siapa yang ditunjukkan, tapi yang jelas itu adalah orang yang Nindi kenal. Aku jadi menghawatirkan Tante Devi.âAnak napi banyak tingkah! Berjanjilah padaku kamu akan meninggalkan kakakku!â teriak wanita itu lagi.Kini aku paham permasalahannya pasti dia adalah adik dari sugar Daddy-nya Nindi yang tidak terima kakaknya selingk
Perempuan itu memungut Kon**m dan juga lingerie pink milik Nindi. Lalu tertawa kuat sekali. Merobek-robek lingerie itu dan juga menggunting Kon**m memakai gunting yang dibawanya.âMasa mudamu kau sia-siakan demi rupiah yang haram. Pelajar sekarang keren-keren sekali. Ke sekolah bawanya beginian,â ujarnya seraya tertawa lagi.Tak cukup sampai di situ dia membanting ponsel baru Nindi. Menginjaknya dengan high heelsnya lalu kembali membanting hingga remuk tak bersisa.Nindi teriak histeris. Aku tahu perasaannya. Itu ponsel baru dibelinya dua hari yang lalu dan harus dirusak begitu.Teriakan Nindi seolah sorak semangat bagi perempuan itu. Dia memukul ponsel itu berkali-kali dengan batu hingga benar-benar ringsek dan hancur. Kemudian dipungutnya SIM card Nindi dan kembali menggunting kecil-kecil sekali.Se per sekian detik gunting itu beralih ke tubuh Nindi. Baju seragam Nindi digunting sana sini hingga terlihat branya. Rok Nindi pun digunting sana sini hingga terlihat celana pendeknya.Wa
~k~uđ¸đ¸đ¸Aku memutuskan untuk merawat inap Nindi. Keadaannya tidak memungkinkan untuk dia pulang. Pasti nanti Tante Devi akan banyak pertanyaan dan itu tentu saja tidak bagus untuk psikologisnya.Biarlah kali ini aku rela mengeluarkan uang untuk biaya Nindi. Dia pun aku tempatkan ke ruang VIP. Kalau dipikir nasibnya Nindi miris sekali. Kalau itu bukan Nindi belum tentu bisa melewati semuanya. Kekerasan demi kekerasan menimpanya.Kini aku dan Angga duduk berdua di taman rumah sakit. Belum ada percakapan di antara kami sejak kami duduk di sini 1 jam yang lalu.Aku sudah menghabiskan dua botol kecil air minum dan juga 2 bungkus roti sandwich.Angga sendiri lebih memilih makan kuwaci. Dia memang sejak kecil dulu suka sekali kuwaci. Kalau sudah makan itu seberapa pun banyaknya pasti habis. Kalau aku sendiri lihat aja sudah berasa capek mulut apa lagi makan.âAngga kenapa kamu tadi tidak menolong Nindi?â tanyaku penasaran.âAwalnya aku ingin menolong, tapi aku penasaran kenapa Nindi diper