~k~u🌸🌸🌸Aku memutuskan untuk merawat inap Nindi. Keadaannya tidak memungkinkan untuk dia pulang. Pasti nanti Tante Devi akan banyak pertanyaan dan itu tentu saja tidak bagus untuk psikologisnya.Biarlah kali ini aku rela mengeluarkan uang untuk biaya Nindi. Dia pun aku tempatkan ke ruang VIP. Kalau dipikir nasibnya Nindi miris sekali. Kalau itu bukan Nindi belum tentu bisa melewati semuanya. Kekerasan demi kekerasan menimpanya.Kini aku dan Angga duduk berdua di taman rumah sakit. Belum ada percakapan di antara kami sejak kami duduk di sini 1 jam yang lalu.Aku sudah menghabiskan dua botol kecil air minum dan juga 2 bungkus roti sandwich.Angga sendiri lebih memilih makan kuwaci. Dia memang sejak kecil dulu suka sekali kuwaci. Kalau sudah makan itu seberapa pun banyaknya pasti habis. Kalau aku sendiri lihat aja sudah berasa capek mulut apa lagi makan.“Angga kenapa kamu tadi tidak menolong Nindi?” tanyaku penasaran.“Awalnya aku ingin menolong, tapi aku penasaran kenapa Nindi diper
🌸🌸🌸🌸[Alya, Nenek dan Kakek sudah ada di rumah Om, Ardi. Anin masuk rumah sakit sedang Devi jenguk suaminya.]Aku tertegun membaca pesan nenek. Entah kenapa di sudut hatiku masih belum bisa menerima untuk pindah dari sana. Terlalu banyak kenangan yang susah untuk aku kubur begitu saja.Aku sudah tinggal di sana sejak baru pertama kali menyapa dunia. Bahagia bersama ke dua orang tuaku sebelum badai itu memporak-porandakan semuanya.[Iya, Nek, insya Allah nanti aku langsung ke sana. Tante Anin sakit apa, Nek?][Nenek tidak tahu, Al. Hati-hati di jalan ya, Nak. Tadi Bik Siti sudah bawa semua seragam sekolahmu dan juga semua buku sekolahmu. Di rumah hanya ada satpam.][Iya, Nek.]“Mau pulang atau?” Angga menggantungkan pertanyaannya.“Belum tahu, Ngga. Hari ini Nenek mengajakku pindah.”“Pindah? Jangan bercanda, Al.”“Sementara. Ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu.”Terdengar Angga menarik nafasnya dalam-dalam.Kami kembali ke kamar Nindi. Aku tidak ada niat untuk memb
Kembali aku meluruskan pinggang duduk sendirian di food court menyantap makanan tanpa selera.[Alya! Kamu di mana? Cepat pulang!]Ya Allah, Tante Anin ternyata masih setia menunggu dibukakan pintu. Aneh, katanya sakit kok masih bisa kelayapan.[Kami tidak pulang ke rumah itu lagi, Tan. Kami sudah pindah. Bye-bye Tante Anin.] Sent. Read.Terlihat Tante Anin sedang mengetik, tapi aku tidak kalah cepat segera kuklik tombol blokir.Aku bisa bayangkan bagaimana kesalnya Tante Anin. Dia pasti akan terus berteriak tidak jelas di depan rumahku.“Ini Nind, pesanan kamu semuanya habis 4 juta rupiah,” kataku seraya memberikan 5 buah paper bag berisi keperluan Nindi.“Makasih, Al. Nanti aku tranfser setelah aku keluar dari rumah sakit sekalian dengan biaya perawatanku di sini.”“Bergaya! Memang kamu punya duit?” sindirku.“Punyalah, Al. Kan, tadi kamu udah tahu sendiri saldo tabunganku.”“Untuk kamu saja, Nin. Maaf aku tidak mau.”“Oke, aku tahu kamu tidak mau makan uang dari hasil pekerjaanku.
“Tidak sudi aku, Mak. Lebih baik aku jadi perawan tua dari pada nikah sama aki-aki. Apa kata dunia, Mak?”“Enggak usah kamu pikirkan apa kata dunia! Pikirkan masa depanmu. Kamu nikah sama itu aki-aki kalau dia mati warisannya jatuh ke tangan kamu semua. Jadilah kamu janda kaya. Ini otak dipakai untuk mikir napa!” jelas Mak panjang lebar kali tinggi seraya menoyor kepalaku.Ada benarnya juga sih apa kata emak, tapi tetap saja aku tidak mau menghabiskan malam pertamaku yang indah apa lagi aku perawan dengan aki-aki bau tanah yang ada aku bakalan menyesal seumur hidup.“Mak, tunggu jawabanmu sampai besok pagi, sudah sana kamu tidur!” titah Mak.Semalam setelah konsultasi dengan abang sepupuku yang tinggal di kabupaten sebelah aku ikuti saran darinya. Baiklah lah, Mak permainan kita mulai.“Aku putuskan untuk mengenali juragan sapi terlebih dulu, Mak. Tidak mau aku buru-buru nikah. Kalau istilah anak mudanya pacaran dulu. Kalau Emak enggak setuju dengan keputusanku lebih baik pergi dari r
[Non, semalam Bu Anin nekat tidur di luar pagar, Bapak kasihan padanya.]Pagi-pagi satpam sudah mengabariku berita pahit. Ah, Tante Anin nekat sekali apa dia tidak merasa malu. Atau memang sengaja biar dikasihani orang lain.Harusnya Tante Anin sadar diri kenapa bisa diusir begitu. Dasar dimana-mana yang namanya pelakor selalu playing victim tidak jelas.Tak kubalas WA satpamku. Lebih baik aku menikmati sarapanku dan menyapa dunia baruku. Aku akan memulai semuanya setelah aku memenangkan pertarungan ini.Ibu lihatlah, aku bisa membalas sakit hati ibu tanpa harus mengotori tanganku. Mereka terseleksi oleh alam. Mereka yang jahat pada ibu sudah menuai hasilnya. Semoga Allah SWT ampuni segala dosa ibu dan diterima semua amal baik ibu. Aku sangat merindukanmu Bu. Semoga doa-doa yang aku panjatkan untukmu bisa menjadi syafaat untukmu.Setelah berpamitan pada kakek dan nenek aku berangkat sekolah.[Non, Bu Anin kayak cacing kepanasan. Menggelepar kesakitan.]Ck, Tante Anin bukankah kemarin
Segera kukedip-kedipkan mataku padanya. Untungnya Mas Ramli paham.“Baik, kita putus!” ucapnya seraya pergi dari rumahku.Segera kuambil obat merah untuk mengobati luka juragan sapi. Pinggir lukanya kucium lagi. Kali ini juragan sapi langsung pingsan. Mungkin dia tidak bisa menahan dua rasa sekaligus. Rasa sakit akibat bogeman dari Mas Ramli dan juga rasa terkejut karena ciumanku. Terserah saja yang penting besok aku dapat satu set perhiasan emas yang aku mau.Malamnya aku kirim pesan ke Mas Ramli. Sejujurnya aku marah padanya karena pergi begitu saja tanpa alasan meninggalkan aku tanpa kepastian.Aku dan Mas Ramli sudah pacaran lama hanya saja putus nyambung. Malam ini aku tegaskan padanya jika ingin bersamaku selamanya maka dia harus mendukung rencanaku dan juga memberiku uang.“Banyak sekali, Nin. Mana ada aku uang segitu?” keluhnya. Ck, Cemen sekali!“Harus ada lah, Mas. Kamu kan, kerja di kota. Masa hanya memberiku per minggu 800 ribu rupiah saja tidak bisa,” sahutku kesal.“Aku
Dia tidak sendiri. Dia bersama kakak iparnya. Ada urusan pembelian sawah yang jumlahnya mencapai belasan hektar. Hendra namanya. Aku tertarik padanya padahal dia sudah beristri dan juga sudah punya anak.Hari-hariku melepas masa Iddah selalu saja terbayang wajah mas Hendra. Mas Ramli datang pun aku tidak lagi mau melayaninya meski dia bawa uang. Bagiku Mas Hendra lebih menggoda. Wajah rupawan banyak harta dan seorang pengusaha.Aku gencar melakukan pendekatan dengan Mas Hendra. Abangku pun mendukung. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mas Hendra pun merespon baik hingga kami membuat janji temu di sebuah hotel pinggir kota. Ya, aku langsung mengiyakan saat Mas Hendra mengajakku cek in di hotel.Aku melayang ... semua tentang masa laluku bisa aku lupakan dengan sekejap. Mas Hendra yang baik dan royal mampu meluluh lantakkan hatiku.“Aku rela jadi yang ke dua asal kita bisa bersama selamanya, Mas,” kataku tulus.Mas Hendra hanya tersenyum simpul.“Apa istrimu cantik, Mas? Aku penasaran sekali
🌸🌸🌸🌸“Itu Nindi, kan, Al?” Mataku tertuju pada sesosok gadis cantik bekerja sebagai SPG mobil di mol terbesar di kotaku.“Iya, benar,” jawabku seraya terus mengamati gerak gerik Nindi.Nindi sedang menjelaskan mobil keluaran terbaru dari Toyota. Aku sendiri sedang menemani Lusi yang sengaja melihat pameran mobil di mol ini. Lusi berniat untuk membeli juga. Ah, sultan model Lusi beli apa pun juga tinggal tunjuk.Aku jadi tidak fokus mendengarkan penjelasan dari Mbak SPG yang menemani kami untuk melihat-lihat mobil di sini.“Aku harus samperin Nindi. Dia sudah sebulan tidak sekolah, aku pun kehilangan kontak dengannya. Terakhir datang ke rumah sakit dia sudah terlebih dahulu pergi,” kataku pada Lusi.“Aku temani atau?”“Enggak usah, Lus. Kamu di sini saja. Fokus saja sama tujuan kamu.”“Kayak apaan sih, Al, fokus segala? Santai aja lagi,” sahut Lusi seraya tertawa renyah.Kau gegas menghampiri Nindi. Dari sekian banyak SPG yang ada di sini hanya Nindi yang terlihat sangat menarik. T