🌸🌸🌸🌸[Alya, Nenek dan Kakek sudah ada di rumah Om, Ardi. Anin masuk rumah sakit sedang Devi jenguk suaminya.]Aku tertegun membaca pesan nenek. Entah kenapa di sudut hatiku masih belum bisa menerima untuk pindah dari sana. Terlalu banyak kenangan yang susah untuk aku kubur begitu saja.Aku sudah tinggal di sana sejak baru pertama kali menyapa dunia. Bahagia bersama ke dua orang tuaku sebelum badai itu memporak-porandakan semuanya.[Iya, Nek, insya Allah nanti aku langsung ke sana. Tante Anin sakit apa, Nek?][Nenek tidak tahu, Al. Hati-hati di jalan ya, Nak. Tadi Bik Siti sudah bawa semua seragam sekolahmu dan juga semua buku sekolahmu. Di rumah hanya ada satpam.][Iya, Nek.]“Mau pulang atau?” Angga menggantungkan pertanyaannya.“Belum tahu, Ngga. Hari ini Nenek mengajakku pindah.”“Pindah? Jangan bercanda, Al.”“Sementara. Ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu.”Terdengar Angga menarik nafasnya dalam-dalam.Kami kembali ke kamar Nindi. Aku tidak ada niat untuk memb
Kembali aku meluruskan pinggang duduk sendirian di food court menyantap makanan tanpa selera.[Alya! Kamu di mana? Cepat pulang!]Ya Allah, Tante Anin ternyata masih setia menunggu dibukakan pintu. Aneh, katanya sakit kok masih bisa kelayapan.[Kami tidak pulang ke rumah itu lagi, Tan. Kami sudah pindah. Bye-bye Tante Anin.] Sent. Read.Terlihat Tante Anin sedang mengetik, tapi aku tidak kalah cepat segera kuklik tombol blokir.Aku bisa bayangkan bagaimana kesalnya Tante Anin. Dia pasti akan terus berteriak tidak jelas di depan rumahku.“Ini Nind, pesanan kamu semuanya habis 4 juta rupiah,” kataku seraya memberikan 5 buah paper bag berisi keperluan Nindi.“Makasih, Al. Nanti aku tranfser setelah aku keluar dari rumah sakit sekalian dengan biaya perawatanku di sini.”“Bergaya! Memang kamu punya duit?” sindirku.“Punyalah, Al. Kan, tadi kamu udah tahu sendiri saldo tabunganku.”“Untuk kamu saja, Nin. Maaf aku tidak mau.”“Oke, aku tahu kamu tidak mau makan uang dari hasil pekerjaanku.
“Tidak sudi aku, Mak. Lebih baik aku jadi perawan tua dari pada nikah sama aki-aki. Apa kata dunia, Mak?”“Enggak usah kamu pikirkan apa kata dunia! Pikirkan masa depanmu. Kamu nikah sama itu aki-aki kalau dia mati warisannya jatuh ke tangan kamu semua. Jadilah kamu janda kaya. Ini otak dipakai untuk mikir napa!” jelas Mak panjang lebar kali tinggi seraya menoyor kepalaku.Ada benarnya juga sih apa kata emak, tapi tetap saja aku tidak mau menghabiskan malam pertamaku yang indah apa lagi aku perawan dengan aki-aki bau tanah yang ada aku bakalan menyesal seumur hidup.“Mak, tunggu jawabanmu sampai besok pagi, sudah sana kamu tidur!” titah Mak.Semalam setelah konsultasi dengan abang sepupuku yang tinggal di kabupaten sebelah aku ikuti saran darinya. Baiklah lah, Mak permainan kita mulai.“Aku putuskan untuk mengenali juragan sapi terlebih dulu, Mak. Tidak mau aku buru-buru nikah. Kalau istilah anak mudanya pacaran dulu. Kalau Emak enggak setuju dengan keputusanku lebih baik pergi dari r
[Non, semalam Bu Anin nekat tidur di luar pagar, Bapak kasihan padanya.]Pagi-pagi satpam sudah mengabariku berita pahit. Ah, Tante Anin nekat sekali apa dia tidak merasa malu. Atau memang sengaja biar dikasihani orang lain.Harusnya Tante Anin sadar diri kenapa bisa diusir begitu. Dasar dimana-mana yang namanya pelakor selalu playing victim tidak jelas.Tak kubalas WA satpamku. Lebih baik aku menikmati sarapanku dan menyapa dunia baruku. Aku akan memulai semuanya setelah aku memenangkan pertarungan ini.Ibu lihatlah, aku bisa membalas sakit hati ibu tanpa harus mengotori tanganku. Mereka terseleksi oleh alam. Mereka yang jahat pada ibu sudah menuai hasilnya. Semoga Allah SWT ampuni segala dosa ibu dan diterima semua amal baik ibu. Aku sangat merindukanmu Bu. Semoga doa-doa yang aku panjatkan untukmu bisa menjadi syafaat untukmu.Setelah berpamitan pada kakek dan nenek aku berangkat sekolah.[Non, Bu Anin kayak cacing kepanasan. Menggelepar kesakitan.]Ck, Tante Anin bukankah kemarin
Segera kukedip-kedipkan mataku padanya. Untungnya Mas Ramli paham.“Baik, kita putus!” ucapnya seraya pergi dari rumahku.Segera kuambil obat merah untuk mengobati luka juragan sapi. Pinggir lukanya kucium lagi. Kali ini juragan sapi langsung pingsan. Mungkin dia tidak bisa menahan dua rasa sekaligus. Rasa sakit akibat bogeman dari Mas Ramli dan juga rasa terkejut karena ciumanku. Terserah saja yang penting besok aku dapat satu set perhiasan emas yang aku mau.Malamnya aku kirim pesan ke Mas Ramli. Sejujurnya aku marah padanya karena pergi begitu saja tanpa alasan meninggalkan aku tanpa kepastian.Aku dan Mas Ramli sudah pacaran lama hanya saja putus nyambung. Malam ini aku tegaskan padanya jika ingin bersamaku selamanya maka dia harus mendukung rencanaku dan juga memberiku uang.“Banyak sekali, Nin. Mana ada aku uang segitu?” keluhnya. Ck, Cemen sekali!“Harus ada lah, Mas. Kamu kan, kerja di kota. Masa hanya memberiku per minggu 800 ribu rupiah saja tidak bisa,” sahutku kesal.“Aku
Dia tidak sendiri. Dia bersama kakak iparnya. Ada urusan pembelian sawah yang jumlahnya mencapai belasan hektar. Hendra namanya. Aku tertarik padanya padahal dia sudah beristri dan juga sudah punya anak.Hari-hariku melepas masa Iddah selalu saja terbayang wajah mas Hendra. Mas Ramli datang pun aku tidak lagi mau melayaninya meski dia bawa uang. Bagiku Mas Hendra lebih menggoda. Wajah rupawan banyak harta dan seorang pengusaha.Aku gencar melakukan pendekatan dengan Mas Hendra. Abangku pun mendukung. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mas Hendra pun merespon baik hingga kami membuat janji temu di sebuah hotel pinggir kota. Ya, aku langsung mengiyakan saat Mas Hendra mengajakku cek in di hotel.Aku melayang ... semua tentang masa laluku bisa aku lupakan dengan sekejap. Mas Hendra yang baik dan royal mampu meluluh lantakkan hatiku.“Aku rela jadi yang ke dua asal kita bisa bersama selamanya, Mas,” kataku tulus.Mas Hendra hanya tersenyum simpul.“Apa istrimu cantik, Mas? Aku penasaran sekali
🌸🌸🌸🌸“Itu Nindi, kan, Al?” Mataku tertuju pada sesosok gadis cantik bekerja sebagai SPG mobil di mol terbesar di kotaku.“Iya, benar,” jawabku seraya terus mengamati gerak gerik Nindi.Nindi sedang menjelaskan mobil keluaran terbaru dari Toyota. Aku sendiri sedang menemani Lusi yang sengaja melihat pameran mobil di mol ini. Lusi berniat untuk membeli juga. Ah, sultan model Lusi beli apa pun juga tinggal tunjuk.Aku jadi tidak fokus mendengarkan penjelasan dari Mbak SPG yang menemani kami untuk melihat-lihat mobil di sini.“Aku harus samperin Nindi. Dia sudah sebulan tidak sekolah, aku pun kehilangan kontak dengannya. Terakhir datang ke rumah sakit dia sudah terlebih dahulu pergi,” kataku pada Lusi.“Aku temani atau?”“Enggak usah, Lus. Kamu di sini saja. Fokus saja sama tujuan kamu.”“Kayak apaan sih, Al, fokus segala? Santai aja lagi,” sahut Lusi seraya tertawa renyah.Kau gegas menghampiri Nindi. Dari sekian banyak SPG yang ada di sini hanya Nindi yang terlihat sangat menarik. T
“Sabar, ya, Al.”“Iya, Lus. Aku tidak habis pikir kenapa Nindi sekarang bisa sabar menghadapi mamahnya. Kamu lihat dan dengar sendiri kan, dia tidak membalas teriakan dan umpatan mamahnya.”“Itu tandanya Nindi sudah semakin dewasa. Semoga saja selamanya dia bisa begitu.”“Aamiin ... antar aku sampai rumah ya, Lus.”“Enggak jadi minep?”“Enggak, terima kasih lain, kali aja. Aku harus bilang ke kakek dan nenek tentang kondisi Tante Devi. Meski jauh di dasar hatiku puas melihat mereka begitu, tapi entah kenapa di sudut hatiku yang lain aku tidak tega. Setidaknya kami harus tahu Tante Devi sakit apa.”“Masya Allah Al, itu artinya hatimu tidak tertutup. Semoga kamu bisa memaafkan mereka.”“Iya, Lus. Inysa Allah aku memaafkan mereka.”Sampai rumah sudah hampir jam 11 malam untung saja nenek tidak marah.Aku lebih memilih langsung membicarakannya dengan nenek.“Kalau kita mau bawa Tantemu ke dokter, Nindi harus dikasih tahu. Kalau tidak nanti bakalan susah.”“Iya, Nek. Pelan-pelan nanti aku
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak