“Sabar, ya, Al.”“Iya, Lus. Aku tidak habis pikir kenapa Nindi sekarang bisa sabar menghadapi mamahnya. Kamu lihat dan dengar sendiri kan, dia tidak membalas teriakan dan umpatan mamahnya.”“Itu tandanya Nindi sudah semakin dewasa. Semoga saja selamanya dia bisa begitu.”“Aamiin ... antar aku sampai rumah ya, Lus.”“Enggak jadi minep?”“Enggak, terima kasih lain, kali aja. Aku harus bilang ke kakek dan nenek tentang kondisi Tante Devi. Meski jauh di dasar hatiku puas melihat mereka begitu, tapi entah kenapa di sudut hatiku yang lain aku tidak tega. Setidaknya kami harus tahu Tante Devi sakit apa.”“Masya Allah Al, itu artinya hatimu tidak tertutup. Semoga kamu bisa memaafkan mereka.”“Iya, Lus. Inysa Allah aku memaafkan mereka.”Sampai rumah sudah hampir jam 11 malam untung saja nenek tidak marah.Aku lebih memilih langsung membicarakannya dengan nenek.“Kalau kita mau bawa Tantemu ke dokter, Nindi harus dikasih tahu. Kalau tidak nanti bakalan susah.”“Iya, Nek. Pelan-pelan nanti aku
***POV Anin.Aku kesal sekali dengan dokter yang tidak bisa menyembuhkan sakitku dengan segera. Uangku sudah hampir habis hanya untuk biaya pengobatanku. Terakhir kali memang Ardi si adiknya Tari yang sudah koit membawaku ke dokter. Bahkan dua dokter sekaligus tetap saja hasilnya sama. Ardi terkesan kasihan dan juga jijik padaku. Dia memberiku sejumlah uang dan menyuruhku pergi jauh dari sini. Aku tentu saja tidak mau! Memang dia siapa seenak sendiri ngatur-ngatur hidupku.Perhiasan berlian yang ditinggalkan Mas Hendra dulu sudah kujual semua. Uangku di ATM tidak sampai 5 juta saldonya. Aku bingung harus bagaimana.Nasibku kenapa sesial ini! Apa salahku? Bukankah hal wajar jika seorang perempuan cantik bisa dapat suami ganteng, kaya, dan juga suami orang? Bukan salahku, Mas Hendra yang salah sudah tahu punya istri masih tergoda padaku.Aaaahhh ... aku benar-benar pusing sekali. Aku ingin pulang kampung saja. Di sana aku masih punya rumah bagus, sawah, ternak, dan juga orang tua. Tapi
POV ANGGA🌸🌸🌸Aku mengenalnya sejak kecil, tepatnya aku lupa yang jelas aku mulai akrab dengannya ketika kelas 5 SD. Cantik, baik, periang, dan juga rendah hati. Sifat baiknya itulah yang membuatku makin kagum padanya. Padahal dia dilahirkan dari keluarga kaya raya, harta orang tuanya 7 turunan 8 tanjakan tidak akan habis.Biasanya orang kalau bergelimang harta akan sombong dan semena-mena, tapi tidak baginya. Ah, dia memang begitu istimewa di mataku.Selain itu dia memiliki sifat tegas dan tidak mau kalah jika berargumen. Aku pernah dicuekin lebih dari seminggu gara-gara adu argumen dan dia kalah. Menggemaskan sekali bukan?Kebersamaan yang terus berlanjut itulah yang menjadikan aku nyaman dengannya dan di sini, di dalam relung hatiku namanya selalu terukir dan aku langitkan dalam doaku.Pernah suatu malam aku berdoa yang menurutku sangat konyol. “Allah jadikan dia jodohku, jika tidak maka jadikan dia perawan tua.” Ya, itu doaku kala itu, saat pertama kali aku merasakan indahnya j
Aku sering menanyakan kabar padanya lewat telepon Alya menjawab sekedarnya saja. Setiap hari tanpa terlewat aku selalu kepo akun sosial medianya. Lagi-lagi nihil Alya jarang sekali membagikan kegiatan sehari-harinya di sosmedAku semakin penasaran padanya. Di saat semua penduduk dunia ini mengakses internet untuk berlomba menjadi terkenal dan membagikan kegiatan mereka Alya lebih memilih tidak. Jika pun online dia hanya membagikan kuote-kuote relegius dan juga kegiatan bersama teman-temannya tanpa memperlihatkan wajahnya alias foto bersama dan itu dengan jarak yang cukup jauh dan kecil-kecil sudah kuzoom berkali-kali, tapi aku tidak paham yang mana dia. Oh, Alya seperti apa kamu sekarang? Bahkan foto IG dan FB-nya masih fotonya waktu zaman SMA hanya foto sampul yang diubahnya. Sebuah foto universitas kebanggaannya. Di grup alumni pun Alya tidak banyak berinteraksi hanya sesekali saja dia muncul. Yaitu saat ada musibah ataupun teman-teman membutuhkan bantuan. Secepat kilat dia akan m
~k~u🌸🌸🌸[Sayang? Weekup sudah siang ini!]Seketika wajahku lesu, pesan yang kuharapkan dari Alya, ternyata dari Dita. Gadis cantik itu selalu saja menggangguku padahal aku sudah terang-terangan menolaknya.Dita, sepupu jauhku. Wanita bar-bar ini menyatakan cintanya sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di sini. Dia bilang sudah suka padaku sejak SMA. Beh! Sebenarnya aku ge-er ternyata ada juga wanita yang suka padaku, tapi tetap saja aku tidak mau berpindah hati. Aku tetap memilih Alya.[Don’t disturb me!] Balasku.[Oke, setidaknya kamu sudah bangun. Pasti kamu tidak makan sahur ya? Nanti ke kampus mau ambil ijazah atau tidak?]Hah, iya, hari ini aku harus ambil ijazah. Kertas itulah satu-satunya bukti bahwa aku mahasiswa berprestasi di sini. Kertas itu yang sangat dinantikan banyak orang termasuk diriku. Kenapa aku bisa lupa begini. Semalam pun aku tidak makan sahur, untung sebelum tidur aku sudah makan. Masih jam 5 syukurlah aku masih bisa salat subuh. Gegas aku tunaikan sala
🌸🌸🌸POV ANGGAAku memutuskan untuk pulang lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. Ini semua kulakukan bukan hanya semata karena rindu pada Alya, tapi pada orang tuaku juga. Toh, Alya juga pulangnya masih 3 harian lagi.Bundaku sakit struk sehari setelah kelulusanku di jenjang S1 meski tidak terlalu parah nyatanya membuat ayah berpaling darinya.Sedih sudah pasti. Apa lagi aku tidak bisa setiap hari menemainya. Hanya tanteku yang baik hati yang merawat bunda dibantu seorang suster. Ayah, tentu saja sibuk dengan dunia barunya yang tak lain adalah istri mudanya yang dinikahi baru dua tahun belakangan.Hal yang paling mengejutkan adalah bunda yang mempersiapkan pernikahan mereka dan ikut menghadiri pernikahan ayah. Aku sudah katakan pada bunda untuk pergi saja jika tidak terima dengan perbuatan ayah, tapi bunda bersikukuh tidak akan pergi. Kata bunda, ayah sedang salah jalan kalau ditinggalkan nanti semakin tidak bisa kembali.Ah, bunda, hatimu begitu baik dan lembut. Aku saja yang t
Karena penasaran aku segera berkaca. Pantulan di cermin depanku menunjukkan pemuda gagah sangat berbeda dengan Angga yang dulu. Masa sih, Alya paham.[Alya cakap itu you, tapi I tidak percaya, makanya tanya.][Iya, tu, Alya salah orang. Mungkin dia terlalu rindu padaku jadi, di matanya hanya ada aku yang terlihat.]Aku tertawa puas membalas WA Lusi, aku yakin dia akan meneruskan pesanku pada Alya.[Pede!]Tak kubalas lagi pesan Lusi. Aku beranjak ke dapur. Sebentar lagi berbuka puasa.Ada bunda dibantu ayah dan ART menyiapkan menu buka puasa. Ke mana istri muda ayah? Ya, Tuhan ternyata dia sedang main Tik Tok di ruang TV.“Wangi banget sih, masakan Bunda. Hem ....”Pujiku. Kupeluk bunda dari belakang.“Iya, dong! Kan, masakan sepesial untuk anak Bunda ini. Sudah ah, tunggu saja sana di meja makan. Malu dilihat Mbok,” jawab bunda. ART kami hanya senyum saja.“Ayah, enggak mau peluk Bunda?” tanyaku.“Angga, enggak boleh gitu, ah! Nah, kan, sudah azan. Ayo, cepat kita buka puasa.”Bunda d
Tak disangka Alya dan tantenya tertawa terbahak-bahak sampai menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di sekitar jalanan ini.“Mana ada Kuti secantik Alya, Ngga!” sahut Tante Eni. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal. Mati kutu kalau sudah berhadapan dengan pujaan hati.“Jangan lupa nanti malam ke rumah Lusi, ya? Kamu dapat undangan juga, kan?” tanya Alya.“Ck, menyebalkan baru bertemu sudah membicarakan orang lain. Eh, tapi, kok, nanti malam? Bukankah Minggu depan?”“Dipercepat, Ngga. Keluarga calonnya Lusi yang meminta. Maka itu kami pulang lebih awal dari jadwal yang seharusnya.”Duh, kenapa bisa bersamaan begini, ya? Apakah ini pertanda bahwa kami berjodoh.“Angga! Kalau ada orang ngomong itu dijawab jangan malah senyum-senyum,” hardik Alya.“Pulang dari luar negeri agaknya kehabisan obat, Al,” celetuk Tante Eni.“Em ... iya, nanti insya Allah aku usahakan datang.“Bye, Om Angga. Alika pulang dulu, ya?”“Iya, Alika. See you ....”Andai tidak puasa andai Alya masih gad