“Mbak Alya. Terima kasih untuk semuanya, salam untuk kakek dan nenek, ya? Sampaikan juga maaf Tante pada mereka,” ucap Tante Rima padaku, matanya berkaca-kaca.“Insya Allah, Tan. Kami pamit ya, Tante. Kalau ada salah-salah kata kami mohon maaf,” jawabku tulus. Kenapa aku sedih begini ya, apa mungkin karena Tante Rima tulus.“Alya, ayo, buruan! Sudah sore ini nanti kemalaman. Sudah jangan pedulikan perempuan jalang itu!” teriak Tante Devi. Dia sudah duduk di sebelah kemudi.“Kami pamit ya, Pak, Buk, Tante Rima.” Kusalami mereka satu persatu.“Hati-hati di jalan, Nak. Kalau kamu rindu opamu dan berziarah ke makamnya jangan lupa mampir ke sini,” ucap bapak yang beli rumah opa, aku mengangguk mengiyakan.“Kasih tahu sama wanita sombong itu, kalau kebun sawit opamu seluas lima hektar sudah menjadi milik Tante dari situ Tante akan membesarkan Ganis.” Pengakuan Tante Rima saat aku pamit cipika- cipiki membuatku kaget. Ternyata Tante Rima maju lebih dulu dari pada Tante Devi.“Tenang saja, di
“Sakit, Tan? Semoga saja kandungan Tante baik-baik saja, tapi Tante hamil anak manusia atau anak ular sih, kok perut Tante enggak besar-besar?” kataku seraya tertawa mengejek.Baru saja mau masuk kamar terdengar ketukan pintu. Itu suara Nindi. Ya Allah, jam segini baru pulang.“Alya! Syukurlah kamu sudah pulang kiraku kamu sama mamah minep. Aku mau hubungi kamu enggak sempat. Ya ampun, Tante Anin kenapa tidur di lantai?” ucap Nindi seraya menghampiriku.“Enggak, Nind. Masalah sudah selesai. Kamu dari mana jam segini baru pulang?” Padahal aku sudah tahu dia dari mana.“Biasa kerja Al, aku dapat uang banyak hari ini. Al, siapa yang jual rumah opa?” tanya Nindi penasaran.“Tanya sama mamahmu saja, Nind. Tadi mamahmu bilang aku tidak boleh kasih tahu siapa pun.”Mendengar jawabanku Tante Anin memicingkan matanya. Pasti Tante. Anin pun penasaran.“Em ... baiklah. Aku masuk kamar duluan, ya?” Begitu Nindi masuk kamar aku pun masuk kamar. Di kamar sudah ada kakek dan opa. Mereka pasti menung
Aku terpaku sejenak demi melihat pemandangan di depan mataku. Mungkin Angga pun begitu. Sungguh seperti terhipnotis untuk melihatnya. Hatiku berontak ingin menolongnya, tapi entah kenapa aku justru diam saja.Setelah telur busuk itu habis perempuan cantik itu menjambak rambut Nindi ke belakang.“Tinggalkan Kakakku atau kamu akan mendapatkan hal yang lebih menyakitkan dari ini!” Ancamnya.Nindi tersenyum sinis. “Silakan saja aku tidak takut!” jawab Nindi.Tentu saja memicu kemarahan perempuan itu lagi.“Kamu tahu siapa ini? Kalau kamu tidak mundur dia akan aku habisi!”Mata Nindi membelalak kaget, bulir bening kembali ke luar dari matanya. Aku tidak tahu itu foto siapa yang ditunjukkan, tapi yang jelas itu adalah orang yang Nindi kenal. Aku jadi menghawatirkan Tante Devi.“Anak napi banyak tingkah! Berjanjilah padaku kamu akan meninggalkan kakakku!” teriak wanita itu lagi.Kini aku paham permasalahannya pasti dia adalah adik dari sugar Daddy-nya Nindi yang tidak terima kakaknya selingk
Perempuan itu memungut Kon**m dan juga lingerie pink milik Nindi. Lalu tertawa kuat sekali. Merobek-robek lingerie itu dan juga menggunting Kon**m memakai gunting yang dibawanya.“Masa mudamu kau sia-siakan demi rupiah yang haram. Pelajar sekarang keren-keren sekali. Ke sekolah bawanya beginian,” ujarnya seraya tertawa lagi.Tak cukup sampai di situ dia membanting ponsel baru Nindi. Menginjaknya dengan high heelsnya lalu kembali membanting hingga remuk tak bersisa.Nindi teriak histeris. Aku tahu perasaannya. Itu ponsel baru dibelinya dua hari yang lalu dan harus dirusak begitu.Teriakan Nindi seolah sorak semangat bagi perempuan itu. Dia memukul ponsel itu berkali-kali dengan batu hingga benar-benar ringsek dan hancur. Kemudian dipungutnya SIM card Nindi dan kembali menggunting kecil-kecil sekali.Se per sekian detik gunting itu beralih ke tubuh Nindi. Baju seragam Nindi digunting sana sini hingga terlihat branya. Rok Nindi pun digunting sana sini hingga terlihat celana pendeknya.Wa
~k~u🌸🌸🌸Aku memutuskan untuk merawat inap Nindi. Keadaannya tidak memungkinkan untuk dia pulang. Pasti nanti Tante Devi akan banyak pertanyaan dan itu tentu saja tidak bagus untuk psikologisnya.Biarlah kali ini aku rela mengeluarkan uang untuk biaya Nindi. Dia pun aku tempatkan ke ruang VIP. Kalau dipikir nasibnya Nindi miris sekali. Kalau itu bukan Nindi belum tentu bisa melewati semuanya. Kekerasan demi kekerasan menimpanya.Kini aku dan Angga duduk berdua di taman rumah sakit. Belum ada percakapan di antara kami sejak kami duduk di sini 1 jam yang lalu.Aku sudah menghabiskan dua botol kecil air minum dan juga 2 bungkus roti sandwich.Angga sendiri lebih memilih makan kuwaci. Dia memang sejak kecil dulu suka sekali kuwaci. Kalau sudah makan itu seberapa pun banyaknya pasti habis. Kalau aku sendiri lihat aja sudah berasa capek mulut apa lagi makan.“Angga kenapa kamu tadi tidak menolong Nindi?” tanyaku penasaran.“Awalnya aku ingin menolong, tapi aku penasaran kenapa Nindi diper
🌸🌸🌸🌸[Alya, Nenek dan Kakek sudah ada di rumah Om, Ardi. Anin masuk rumah sakit sedang Devi jenguk suaminya.]Aku tertegun membaca pesan nenek. Entah kenapa di sudut hatiku masih belum bisa menerima untuk pindah dari sana. Terlalu banyak kenangan yang susah untuk aku kubur begitu saja.Aku sudah tinggal di sana sejak baru pertama kali menyapa dunia. Bahagia bersama ke dua orang tuaku sebelum badai itu memporak-porandakan semuanya.[Iya, Nek, insya Allah nanti aku langsung ke sana. Tante Anin sakit apa, Nek?][Nenek tidak tahu, Al. Hati-hati di jalan ya, Nak. Tadi Bik Siti sudah bawa semua seragam sekolahmu dan juga semua buku sekolahmu. Di rumah hanya ada satpam.][Iya, Nek.]“Mau pulang atau?” Angga menggantungkan pertanyaannya.“Belum tahu, Ngga. Hari ini Nenek mengajakku pindah.”“Pindah? Jangan bercanda, Al.”“Sementara. Ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu.”Terdengar Angga menarik nafasnya dalam-dalam.Kami kembali ke kamar Nindi. Aku tidak ada niat untuk memb
Kembali aku meluruskan pinggang duduk sendirian di food court menyantap makanan tanpa selera.[Alya! Kamu di mana? Cepat pulang!]Ya Allah, Tante Anin ternyata masih setia menunggu dibukakan pintu. Aneh, katanya sakit kok masih bisa kelayapan.[Kami tidak pulang ke rumah itu lagi, Tan. Kami sudah pindah. Bye-bye Tante Anin.] Sent. Read.Terlihat Tante Anin sedang mengetik, tapi aku tidak kalah cepat segera kuklik tombol blokir.Aku bisa bayangkan bagaimana kesalnya Tante Anin. Dia pasti akan terus berteriak tidak jelas di depan rumahku.“Ini Nind, pesanan kamu semuanya habis 4 juta rupiah,” kataku seraya memberikan 5 buah paper bag berisi keperluan Nindi.“Makasih, Al. Nanti aku tranfser setelah aku keluar dari rumah sakit sekalian dengan biaya perawatanku di sini.”“Bergaya! Memang kamu punya duit?” sindirku.“Punyalah, Al. Kan, tadi kamu udah tahu sendiri saldo tabunganku.”“Untuk kamu saja, Nin. Maaf aku tidak mau.”“Oke, aku tahu kamu tidak mau makan uang dari hasil pekerjaanku.
“Tidak sudi aku, Mak. Lebih baik aku jadi perawan tua dari pada nikah sama aki-aki. Apa kata dunia, Mak?”“Enggak usah kamu pikirkan apa kata dunia! Pikirkan masa depanmu. Kamu nikah sama itu aki-aki kalau dia mati warisannya jatuh ke tangan kamu semua. Jadilah kamu janda kaya. Ini otak dipakai untuk mikir napa!” jelas Mak panjang lebar kali tinggi seraya menoyor kepalaku.Ada benarnya juga sih apa kata emak, tapi tetap saja aku tidak mau menghabiskan malam pertamaku yang indah apa lagi aku perawan dengan aki-aki bau tanah yang ada aku bakalan menyesal seumur hidup.“Mak, tunggu jawabanmu sampai besok pagi, sudah sana kamu tidur!” titah Mak.Semalam setelah konsultasi dengan abang sepupuku yang tinggal di kabupaten sebelah aku ikuti saran darinya. Baiklah lah, Mak permainan kita mulai.“Aku putuskan untuk mengenali juragan sapi terlebih dulu, Mak. Tidak mau aku buru-buru nikah. Kalau istilah anak mudanya pacaran dulu. Kalau Emak enggak setuju dengan keputusanku lebih baik pergi dari r