“Sakit, Tan? Semoga saja kandungan Tante baik-baik saja, tapi Tante hamil anak manusia atau anak ular sih, kok perut Tante enggak besar-besar?” kataku seraya tertawa mengejek.Baru saja mau masuk kamar terdengar ketukan pintu. Itu suara Nindi. Ya Allah, jam segini baru pulang.“Alya! Syukurlah kamu sudah pulang kiraku kamu sama mamah minep. Aku mau hubungi kamu enggak sempat. Ya ampun, Tante Anin kenapa tidur di lantai?” ucap Nindi seraya menghampiriku.“Enggak, Nind. Masalah sudah selesai. Kamu dari mana jam segini baru pulang?” Padahal aku sudah tahu dia dari mana.“Biasa kerja Al, aku dapat uang banyak hari ini. Al, siapa yang jual rumah opa?” tanya Nindi penasaran.“Tanya sama mamahmu saja, Nind. Tadi mamahmu bilang aku tidak boleh kasih tahu siapa pun.”Mendengar jawabanku Tante Anin memicingkan matanya. Pasti Tante. Anin pun penasaran.“Em ... baiklah. Aku masuk kamar duluan, ya?” Begitu Nindi masuk kamar aku pun masuk kamar. Di kamar sudah ada kakek dan opa. Mereka pasti menung
Aku terpaku sejenak demi melihat pemandangan di depan mataku. Mungkin Angga pun begitu. Sungguh seperti terhipnotis untuk melihatnya. Hatiku berontak ingin menolongnya, tapi entah kenapa aku justru diam saja.Setelah telur busuk itu habis perempuan cantik itu menjambak rambut Nindi ke belakang.“Tinggalkan Kakakku atau kamu akan mendapatkan hal yang lebih menyakitkan dari ini!” Ancamnya.Nindi tersenyum sinis. “Silakan saja aku tidak takut!” jawab Nindi.Tentu saja memicu kemarahan perempuan itu lagi.“Kamu tahu siapa ini? Kalau kamu tidak mundur dia akan aku habisi!”Mata Nindi membelalak kaget, bulir bening kembali ke luar dari matanya. Aku tidak tahu itu foto siapa yang ditunjukkan, tapi yang jelas itu adalah orang yang Nindi kenal. Aku jadi menghawatirkan Tante Devi.“Anak napi banyak tingkah! Berjanjilah padaku kamu akan meninggalkan kakakku!” teriak wanita itu lagi.Kini aku paham permasalahannya pasti dia adalah adik dari sugar Daddy-nya Nindi yang tidak terima kakaknya selingk
Perempuan itu memungut Kon**m dan juga lingerie pink milik Nindi. Lalu tertawa kuat sekali. Merobek-robek lingerie itu dan juga menggunting Kon**m memakai gunting yang dibawanya.“Masa mudamu kau sia-siakan demi rupiah yang haram. Pelajar sekarang keren-keren sekali. Ke sekolah bawanya beginian,” ujarnya seraya tertawa lagi.Tak cukup sampai di situ dia membanting ponsel baru Nindi. Menginjaknya dengan high heelsnya lalu kembali membanting hingga remuk tak bersisa.Nindi teriak histeris. Aku tahu perasaannya. Itu ponsel baru dibelinya dua hari yang lalu dan harus dirusak begitu.Teriakan Nindi seolah sorak semangat bagi perempuan itu. Dia memukul ponsel itu berkali-kali dengan batu hingga benar-benar ringsek dan hancur. Kemudian dipungutnya SIM card Nindi dan kembali menggunting kecil-kecil sekali.Se per sekian detik gunting itu beralih ke tubuh Nindi. Baju seragam Nindi digunting sana sini hingga terlihat branya. Rok Nindi pun digunting sana sini hingga terlihat celana pendeknya.Wa
~k~u🌸🌸🌸Aku memutuskan untuk merawat inap Nindi. Keadaannya tidak memungkinkan untuk dia pulang. Pasti nanti Tante Devi akan banyak pertanyaan dan itu tentu saja tidak bagus untuk psikologisnya.Biarlah kali ini aku rela mengeluarkan uang untuk biaya Nindi. Dia pun aku tempatkan ke ruang VIP. Kalau dipikir nasibnya Nindi miris sekali. Kalau itu bukan Nindi belum tentu bisa melewati semuanya. Kekerasan demi kekerasan menimpanya.Kini aku dan Angga duduk berdua di taman rumah sakit. Belum ada percakapan di antara kami sejak kami duduk di sini 1 jam yang lalu.Aku sudah menghabiskan dua botol kecil air minum dan juga 2 bungkus roti sandwich.Angga sendiri lebih memilih makan kuwaci. Dia memang sejak kecil dulu suka sekali kuwaci. Kalau sudah makan itu seberapa pun banyaknya pasti habis. Kalau aku sendiri lihat aja sudah berasa capek mulut apa lagi makan.“Angga kenapa kamu tadi tidak menolong Nindi?” tanyaku penasaran.“Awalnya aku ingin menolong, tapi aku penasaran kenapa Nindi diper
🌸🌸🌸🌸[Alya, Nenek dan Kakek sudah ada di rumah Om, Ardi. Anin masuk rumah sakit sedang Devi jenguk suaminya.]Aku tertegun membaca pesan nenek. Entah kenapa di sudut hatiku masih belum bisa menerima untuk pindah dari sana. Terlalu banyak kenangan yang susah untuk aku kubur begitu saja.Aku sudah tinggal di sana sejak baru pertama kali menyapa dunia. Bahagia bersama ke dua orang tuaku sebelum badai itu memporak-porandakan semuanya.[Iya, Nek, insya Allah nanti aku langsung ke sana. Tante Anin sakit apa, Nek?][Nenek tidak tahu, Al. Hati-hati di jalan ya, Nak. Tadi Bik Siti sudah bawa semua seragam sekolahmu dan juga semua buku sekolahmu. Di rumah hanya ada satpam.][Iya, Nek.]“Mau pulang atau?” Angga menggantungkan pertanyaannya.“Belum tahu, Ngga. Hari ini Nenek mengajakku pindah.”“Pindah? Jangan bercanda, Al.”“Sementara. Ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu.”Terdengar Angga menarik nafasnya dalam-dalam.Kami kembali ke kamar Nindi. Aku tidak ada niat untuk memb
Kembali aku meluruskan pinggang duduk sendirian di food court menyantap makanan tanpa selera.[Alya! Kamu di mana? Cepat pulang!]Ya Allah, Tante Anin ternyata masih setia menunggu dibukakan pintu. Aneh, katanya sakit kok masih bisa kelayapan.[Kami tidak pulang ke rumah itu lagi, Tan. Kami sudah pindah. Bye-bye Tante Anin.] Sent. Read.Terlihat Tante Anin sedang mengetik, tapi aku tidak kalah cepat segera kuklik tombol blokir.Aku bisa bayangkan bagaimana kesalnya Tante Anin. Dia pasti akan terus berteriak tidak jelas di depan rumahku.“Ini Nind, pesanan kamu semuanya habis 4 juta rupiah,” kataku seraya memberikan 5 buah paper bag berisi keperluan Nindi.“Makasih, Al. Nanti aku tranfser setelah aku keluar dari rumah sakit sekalian dengan biaya perawatanku di sini.”“Bergaya! Memang kamu punya duit?” sindirku.“Punyalah, Al. Kan, tadi kamu udah tahu sendiri saldo tabunganku.”“Untuk kamu saja, Nin. Maaf aku tidak mau.”“Oke, aku tahu kamu tidak mau makan uang dari hasil pekerjaanku.
“Tidak sudi aku, Mak. Lebih baik aku jadi perawan tua dari pada nikah sama aki-aki. Apa kata dunia, Mak?”“Enggak usah kamu pikirkan apa kata dunia! Pikirkan masa depanmu. Kamu nikah sama itu aki-aki kalau dia mati warisannya jatuh ke tangan kamu semua. Jadilah kamu janda kaya. Ini otak dipakai untuk mikir napa!” jelas Mak panjang lebar kali tinggi seraya menoyor kepalaku.Ada benarnya juga sih apa kata emak, tapi tetap saja aku tidak mau menghabiskan malam pertamaku yang indah apa lagi aku perawan dengan aki-aki bau tanah yang ada aku bakalan menyesal seumur hidup.“Mak, tunggu jawabanmu sampai besok pagi, sudah sana kamu tidur!” titah Mak.Semalam setelah konsultasi dengan abang sepupuku yang tinggal di kabupaten sebelah aku ikuti saran darinya. Baiklah lah, Mak permainan kita mulai.“Aku putuskan untuk mengenali juragan sapi terlebih dulu, Mak. Tidak mau aku buru-buru nikah. Kalau istilah anak mudanya pacaran dulu. Kalau Emak enggak setuju dengan keputusanku lebih baik pergi dari r
[Non, semalam Bu Anin nekat tidur di luar pagar, Bapak kasihan padanya.]Pagi-pagi satpam sudah mengabariku berita pahit. Ah, Tante Anin nekat sekali apa dia tidak merasa malu. Atau memang sengaja biar dikasihani orang lain.Harusnya Tante Anin sadar diri kenapa bisa diusir begitu. Dasar dimana-mana yang namanya pelakor selalu playing victim tidak jelas.Tak kubalas WA satpamku. Lebih baik aku menikmati sarapanku dan menyapa dunia baruku. Aku akan memulai semuanya setelah aku memenangkan pertarungan ini.Ibu lihatlah, aku bisa membalas sakit hati ibu tanpa harus mengotori tanganku. Mereka terseleksi oleh alam. Mereka yang jahat pada ibu sudah menuai hasilnya. Semoga Allah SWT ampuni segala dosa ibu dan diterima semua amal baik ibu. Aku sangat merindukanmu Bu. Semoga doa-doa yang aku panjatkan untukmu bisa menjadi syafaat untukmu.Setelah berpamitan pada kakek dan nenek aku berangkat sekolah.[Non, Bu Anin kayak cacing kepanasan. Menggelepar kesakitan.]Ck, Tante Anin bukankah kemarin
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak