🌸🌸🌸"Jangan mengada-ada kamu! Mana bisa begitu? Jual rumah itu tidak segampang jualan tempe!” Tante Devi memukulkan majalah yang ada di atas meja ke bahu Tante Rima.“Ka—lau itu saya tidak tahu, Mbak. Tapi, beneran aku dan Ganis diminta pergi dari sana.” Tante Rima terlihat sangat ketakutan sekali.“Apa yang menempati memberi tahu tanda bukti penjualannya, Rim?” tanya kakek menengahi.“Aku pun tidak menanyakan itu, Pak. Aku tidak paham.” Tante Rima sepertinya berkata jujur. Dia sesekali menghela nafas berat.“Kamu ikut aku ke sana! Awas kalau kamu bohong!”“Ba—ik, Mbak.”“Rim, sarapan dulu sana pasti kamu lelah dan lapar. Biar Bik Siti yang antar kamu,” ucap nenek.“Enggak ada waktu kita berangkat sekarang!”“Enggak bisa gitu, Dev! Dia punya anak perjalanan jauh pasti capek dan lapar!” bentak nenek.Tante Devi mendengus kesal lalu masuk kamar.“Nin, mau sekolah enggak?” tanyaku pada Nindi yang sedari tadi sama sekali tidak peduli pada keributan yang terjadi dia sibuk dengan ponseln
“Bahagia atau tidak itu juga tidak penting bagiku, yang penting orang tuaku senang itulah yang bisa buat aku senang. Opa memang sudah mati, tapi aku masih ada orang tua yang harus aku bahagiakan.”“Kerjaanmu terlalu beresiko, Nind. Kalau kamu ketahuan dan diviralkan seluruh dunia akan tahu siapa dirimu.”“Aku sudah memikirkan itu matang-matang, Al. Kamu jangan khawatir aku sudah katakan padamu aku tidak peduli penilaian orang yang penting aku kerja dapat duit beres! Mulut mereka juga enggak bisa ‘tuh ngasih kehidupan layak untuk aku. Jadi, aku tidak perlu repot-repot malu ataupun peduli dengan omongan orang.”“Ya, sudah, Nin. Kamu susah dibilangin. Terserah kamu aja, kalau kamu kenapa-kenapa jangan ....”“Cari kamu? Tenang Al, aku akan punya uang banyak aku tidak akan merepotkan siapa pun dengan uang banyak aku bisa melakukan apa pun. Jadi, aku tidak cari kamu,” cerocos Nindi memotong ucapanku.“Ampun, deh! Ini kuping dengerin dulu kalau orang lagi ngomong!” kataku seraya kujewer kupi
“Wooi buka!” teriak Tante Devi lagi.Klek!Pintu terbuka.“Maaf siapa? Tadi saya lagi di belakang,” ucap ramah bapak paruh baya di depan kami sepertinya beliau juga bingung karena melihat penampilan kami dari atas sampai bawah.“Loh, Mbak kan, yang kemarin nempatin rumah ini kan?” Tante Rima mengangguk cepat.“Mari-mari silakan masuk, silakan duduk dulu sebentar saya panggil istri saya dulu.” Bapak itu kembali ke belakang.Kulihat sekeliling baru saja opa meninggal seminggu yang lalu rumah ini sudah banyak berubah.Gorden sudah diganti, cat tembok juga sudah diganti warnanya. Lukisan-lukisan kuno yang menempel di dinding sudah bersih tak bersisa.Apa yang menempati rumah ini sudah membuang semuanya? Tega sekali!“Tante foto di atas pintu itu di mana?” tanyaku pada Tante Rima.“Tidak tahu, Mbak Alya. Kemarin waktu saya pergi masih ada. Belum ganti semua begini,” jawabnya Tante Rima pun memindai ruangan ini.“Ada keperluan apa ya, Mbak?” tanya beliau seraya membawa nampan berisi teh han
🌸🌸🌸Sayangnya di surat jual beli hanya ada nama opa dan bapak yang beli saja ada. Ada saksi tapi, itu juga ketua RT dan rumah yang berbatasan langsung dengan milik opa.Ah, aku seperti sedang main teka-teki saja harus menebak yang benar.Tante Devi terlihat putus asa matanya berkaca-kaca memindai ruangan ini.“Semua hanya tinggal kenangan. Tante tidak menyangka kalau kehidupan Tante akan begini,” ucap Tante Devi lirih.Aku no coment takut salah lagi. Aku baca sekali lagi surat jual beli ini. Tidak ada yang janggal semua sesuai aturan yang berlaku.Aku malah memikirkan nasib Tante Rima setelah ini.“Betul, kan, Mbak, kami tidak bohong?”“Iya, Pak ini semua benar, tapi ada yang membuat hati kami tidak tenang siapa anak opa yang ikut ke sini. Karena anak opa ya, hanya tanteku ini,” paparku.“Kami tidak paham juga, tapi nanti saya tunjukkan fotonya ya, Mbak?” Aku mengangguk saja.“Bapak dapat informasi rumah ini dijual dari mana?” tanyaku lagi.“Dari mulut ke mulut, Mbak. Kebetulan sa
“Mbak Alya. Terima kasih untuk semuanya, salam untuk kakek dan nenek, ya? Sampaikan juga maaf Tante pada mereka,” ucap Tante Rima padaku, matanya berkaca-kaca.“Insya Allah, Tan. Kami pamit ya, Tante. Kalau ada salah-salah kata kami mohon maaf,” jawabku tulus. Kenapa aku sedih begini ya, apa mungkin karena Tante Rima tulus.“Alya, ayo, buruan! Sudah sore ini nanti kemalaman. Sudah jangan pedulikan perempuan jalang itu!” teriak Tante Devi. Dia sudah duduk di sebelah kemudi.“Kami pamit ya, Pak, Buk, Tante Rima.” Kusalami mereka satu persatu.“Hati-hati di jalan, Nak. Kalau kamu rindu opamu dan berziarah ke makamnya jangan lupa mampir ke sini,” ucap bapak yang beli rumah opa, aku mengangguk mengiyakan.“Kasih tahu sama wanita sombong itu, kalau kebun sawit opamu seluas lima hektar sudah menjadi milik Tante dari situ Tante akan membesarkan Ganis.” Pengakuan Tante Rima saat aku pamit cipika- cipiki membuatku kaget. Ternyata Tante Rima maju lebih dulu dari pada Tante Devi.“Tenang saja, di
“Sakit, Tan? Semoga saja kandungan Tante baik-baik saja, tapi Tante hamil anak manusia atau anak ular sih, kok perut Tante enggak besar-besar?” kataku seraya tertawa mengejek.Baru saja mau masuk kamar terdengar ketukan pintu. Itu suara Nindi. Ya Allah, jam segini baru pulang.“Alya! Syukurlah kamu sudah pulang kiraku kamu sama mamah minep. Aku mau hubungi kamu enggak sempat. Ya ampun, Tante Anin kenapa tidur di lantai?” ucap Nindi seraya menghampiriku.“Enggak, Nind. Masalah sudah selesai. Kamu dari mana jam segini baru pulang?” Padahal aku sudah tahu dia dari mana.“Biasa kerja Al, aku dapat uang banyak hari ini. Al, siapa yang jual rumah opa?” tanya Nindi penasaran.“Tanya sama mamahmu saja, Nind. Tadi mamahmu bilang aku tidak boleh kasih tahu siapa pun.”Mendengar jawabanku Tante Anin memicingkan matanya. Pasti Tante. Anin pun penasaran.“Em ... baiklah. Aku masuk kamar duluan, ya?” Begitu Nindi masuk kamar aku pun masuk kamar. Di kamar sudah ada kakek dan opa. Mereka pasti menung
Aku terpaku sejenak demi melihat pemandangan di depan mataku. Mungkin Angga pun begitu. Sungguh seperti terhipnotis untuk melihatnya. Hatiku berontak ingin menolongnya, tapi entah kenapa aku justru diam saja.Setelah telur busuk itu habis perempuan cantik itu menjambak rambut Nindi ke belakang.“Tinggalkan Kakakku atau kamu akan mendapatkan hal yang lebih menyakitkan dari ini!” Ancamnya.Nindi tersenyum sinis. “Silakan saja aku tidak takut!” jawab Nindi.Tentu saja memicu kemarahan perempuan itu lagi.“Kamu tahu siapa ini? Kalau kamu tidak mundur dia akan aku habisi!”Mata Nindi membelalak kaget, bulir bening kembali ke luar dari matanya. Aku tidak tahu itu foto siapa yang ditunjukkan, tapi yang jelas itu adalah orang yang Nindi kenal. Aku jadi menghawatirkan Tante Devi.“Anak napi banyak tingkah! Berjanjilah padaku kamu akan meninggalkan kakakku!” teriak wanita itu lagi.Kini aku paham permasalahannya pasti dia adalah adik dari sugar Daddy-nya Nindi yang tidak terima kakaknya selingk
Perempuan itu memungut Kon**m dan juga lingerie pink milik Nindi. Lalu tertawa kuat sekali. Merobek-robek lingerie itu dan juga menggunting Kon**m memakai gunting yang dibawanya.“Masa mudamu kau sia-siakan demi rupiah yang haram. Pelajar sekarang keren-keren sekali. Ke sekolah bawanya beginian,” ujarnya seraya tertawa lagi.Tak cukup sampai di situ dia membanting ponsel baru Nindi. Menginjaknya dengan high heelsnya lalu kembali membanting hingga remuk tak bersisa.Nindi teriak histeris. Aku tahu perasaannya. Itu ponsel baru dibelinya dua hari yang lalu dan harus dirusak begitu.Teriakan Nindi seolah sorak semangat bagi perempuan itu. Dia memukul ponsel itu berkali-kali dengan batu hingga benar-benar ringsek dan hancur. Kemudian dipungutnya SIM card Nindi dan kembali menggunting kecil-kecil sekali.Se per sekian detik gunting itu beralih ke tubuh Nindi. Baju seragam Nindi digunting sana sini hingga terlihat branya. Rok Nindi pun digunting sana sini hingga terlihat celana pendeknya.Wa
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak