🌸🌸🌸“Nind, apa kamu batal janji dengan si itu?” tanyaku ragu. Setahuku kalau sudah menjadi sugar baby harus siap selalu diajak ke mana pun pergi.“Astaga! Aku lupa. Em ... kita ke sananya nanti aja ya, Al tunggu aku pulang. Enggak lama kok, sore juga pulang,” katanya seraya berlalu. Di depan pintu gerbang sekolah ternyata sudah ada mobil yang menunggunya.“Apa Nindi masih jadi itu, Al?” Lusi sepertinya penasaran karena katanya beberapa kali memergoki Nindi sedang jalan dengan Putri dan seorang om-om.“Ya, aku sudah peringatkan, tapi tidak mempan jadi, ya terserah dia aja.”“Kita ke mana dulu, nih?”“Rumah sakit, Lus aku mau lihat keadaan omaku.“Pulang dulu, Al. Aku mau mandi plus salin baju, lihat aku tembus,” rengeknya.Seperti biasa Angga selalu on time menungguku. Dia cengengesan bak orang gila baru begitu melihatku dan Lusi menghampirinya.“Anak sultan mau juga jalan kaki,” sindirnya pada Lusi.“Nama ayahku Hadikusumo, Ngga, bukan sultan!” tegas Lusi.“Oo, Pak Hadi. Itu kan, o
Pesan ini dikirim sampai lima kali. Siapa yang kirim? Tante Anin? Tidak mungkin. Apa opa? Tidak mungkin juga, ini bahasa perempuan. Opa kalau kirim pesan akan singkat, padat, jelas, dan bahasanya juga baku.“Tuh, kan, apa aku bilang? Jangan dibuka kalau dibuka gitu mengganggu kamu makan!” Angga menyambar HP-ku dan. Menaruhnya lagi ke meja.“Ciee ... perhatian banget!” sahut Lusi.Ting!Ponselku bunyi lagi. Segera kusambar ponselku.[Siapa yang kirim ya, Al?] Ternyata dari Nindi. Dia meneruskan pesan yang sama persis dikirimkan padaku.[Aku juga dapat itu.] jawabku segera.[Opa?] Tebak Nindi.[Impossible. Opa tidak akan berani mengirim pesan saat odp begini.] Jawabku yakin.Nindi tak membalasnya lagi. Aku melanjutkan makan pecelku. Angga dan Lusi sudah memelototiku sedari tadi.“Alhamdulillah ... kenyang. Mantap ya, pecelnya,” seloroh Lusi.“Ini beneran level 10, Lus?” tanyaku seraya menyomot lontong di piring Lusi.“Wuaaah ... astaghfirullah, Lusi!” pekikku tak tahan. Pedasnya membuat
“Oma bangun, ya, nanti kita jalan-jalan. Oma mau beli apa aja aku belikan.” Kubelai wajah cantik oma. Kata orang aku sedikit mirip oma.“Oma, tahu enggak yang ambil uang Oma dua puluh juta rupiah itu aku, he-he maafkan aku ya, Oma. Aku sengaja lakuin itu habisnya aku kesal sekali pada Oma,” kataku lagi. Padahal mulutku tertawa, tapi entah kenapa air mataku keluar.“Itu uang Oma dapat dari ayah kan? Dapat dari penjualan cincin berlianku, kan?”“Oma, please dengar ya? Bangun ya? Aku sayang banget sama Oma.” Kudekatkan kupingku ke mulut oma berharap oma menyahut ucapanku. Konyol memang, dan hanya terdengar suara nat nit nut dari monitor perekam jantung. Air mataku makin deras.“Tenang aja, nanti uangnya aku ganti tiga kali lipat. Oma mau apa lagi? Mau beli cincin berlian? Beli tas branded? Beli sepatu atau baju branded? Aku belikan untuk Oma. Atau Oma pingin jalan-jalan ke Bali?” kataku sedih.Oma sama sekali tidak merespon. Aku tahu itu sangat mustahil bagi orang yang masuk ICU bisa sem
🌸🌸🌸🌸“Astaghfirullah ... Opa, innalilahi waInnailaihiroji’uun,” gumamku.Aku sungguh tak percaya dengan semua yang kulihat. Opa nekat sekali mengakhiri hidupnya begini. Hanya kasih sayang dan ampunan Allah yang akan menolongnya di akhirat kelak.Tiga anggota kepolisian dibantu beberapa warga menurunkan jenazah opa.Opa nekat gantung diri pas di pintu masuk rumahnya menggunakan tali tambang yang sepertinya masih baru karena warna dan baunya masih tajam.Kakek berkali-kali mengelus pundakku. Aku paham pasti kakek tidak mau aku sedih. Kusak-kusuk mulut tetangga sudah mulai memenuhi indra pendengaranku.Setelah memeriksa mayat opa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dibantu dokter puskesmas daerah sini memutuskan opa benar-benar murni melakukannya sendiri.“Jadi tidak perlu dibawa ke rumah sakit, Om?” tanyaku.“Tidak usah, Al. Berdasarkan keterangan beberapa warga yang melihat opamu beli tali jemuran ini di warung depan rumah sudah jelas kalau opamu memang dengan sengaja mengakhiri
“Jadi, kamu takut kalau nanti kakek jadi hantu?” tanyaku memastikan.“Iya, Kak. Aku takut kakek jadi setan gentayangan nanti jadi hantuin aku,” jawabnya polos.“Masih hidup aja permainan rahasianya bikin mulut dan tenggorokanku sakit apa lagi sudah jadi setan. Aku takut dibunuh setan kakek, Kak,” imbuhnya. Kini raut wajah Cici memang terlihat sekali ketakutan.“Astaghfirullahal’adhiim ... Ci, orang yang sudah meninggal itu tidak akan pernah jadi setan. Makanya kamu mulai sekarang harus rajin berdoa salatnya jangan bolong-bolong, ya?” Kubingkai wajah chubby Cici, dia meringis memperlihatkan gigi kelincinya. Gemes sekali.“Iya, Kak. Aku akan rajin salat dan mengaji. Kak, apa kakek nekat bunuh diri begitu karena tidak main permainan rahasia lagi denganku? Kakak lihat kan, itu lidah kakek menjulur begitu. Aku takut sekali.”“Bukan Ci, kakek begitu karena enggak ada iman. Sudah jangan dipikirkan lagi. Lebih baik kamu do’akan untuk kakek.”“Baik, Kak. Ya Allah, semoga kakek tidak jadi seta
“Eh, Neng. Mangga,” ucap ibu yang sedang menyiangi sayuran. Aku menanggapinya dengan anggukan kepala.“Kamu itu gimana Mama Ganis? Mbak ini kan, cucunya almarhum. Memangnya kamu enggak tahu?”“Gimana mau tahu, dia kan, pelakor!” timpal ibu yang menata piring disambut gelak tawa yang lain.Tante Rima tambah pucat. Dia diam seribu bahasa.“Aku kenal sama Tante Rima kok, Bu. Dia kemarin baru dari rumahku, tapi dia bilangnya istri almarhum ayahku bukan istri opa.” Mendengar pengakuanku tentu saja mereka kaget.“Astaghfirullah, Rima. Kamu kapan sadarnya! Awas loh, kena karma!” ucap ibu yang duduk tepat di depan Tante Rima seraya menepuk bahu Tante Rima.“Orang kalau udah berkelakuan buruk memang begini susah insyafnya,” sahut yang lain.Aku tersenyum sinis memandang Tante Rima sedang dia sama sekali tidak berani melihatku.“Lama sekali, Al. Devi sudah berhenti nangisnya?” Nenek menyusulku ke dapur.“Bukan Tante Devi ataupun Nindi yang nangis, Nek. Tuh!” Aku menunjuk Tante Rima.“Loh, kamu
🌸🌸🌸🌸“Syukurlah ... kamu sudah sadar, Al.” Om Ardi membantuku untuk duduk bersandar.“Sudah jangan sedih gitu setiap yang bernyawa pasti akan mati. Doakan yang terbaik untuk opa dan omamu.” Kali ini Om Ardi memberiku teh hangat dan juga ponselku.“Tadi Nindi telepon ke HP-ku akhirnya aku katakan padanya kalau kamu pingsan.” Angga ikut menimpali.“Kakak, jangan ikut mati nanti aku tidak punya Kakak lagi.” Cici menghambur ke pelukanku.“Kakak, enggak mati Ci. Tadi hanya pingsan saja. Jangan sedih, ya?” Cici mengangguk seraya mengusap air matanya.Gara-gara aku pingsan seisi rumah ini jadi panik dan malah sibuk mengurusku. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Para pelayat juga sudah sepi hanya ada beberapa bapak-bapak yang duduk di teras dan tenda.“Kamu tidurlah Ngga, sudah malam besok kamu pulang kan, bawa motor takut kenapa-napa,” titahku.“Aman itu Al, kalau aku ngantuk tinggal telepon aja anak buah papa suruh jemput,” jawab Angga matanya fokus ke benda pipih di tanganny
“Ssttt ... subuhan dulu nanti Nenek kasih tahu,” jawab nenek aku mengiyakan saja.Aku salat tidak bisa konsentrasi penuh anak Tante Rima terus saja merengek entah apa yang salah dengannya.Selesai salat Bik Siti langsung menggendong anak itu, tapi tetap saja tidak mau diam.“Ini Mbak, aku buatkan teh untuk si Ganis. Mungkin dia haus.” Tetangga yang membantu kami membawakan dot berisi air teh hangat untuk Ganis.“Terima kasih, Bu. Tapi, apa dia minum teh?” Bik Siti seperti ragu untuk memberikannya pada Ganis.“Tiap hari minumnya teh manis kalau ditinggal ibunya kerja, Mbak. Jangan khawatir dia akan baik-baik saja,” jawab ibu itu.Ajaib dia langsung diam dan lahap minumnya. Kasihan sekali hanya dikasih teh manis biasanya anak segini minum susu.“Em ... bau asem! Mandi sana, Nak. Malah bengong,” ujar nenek mencium pipiku.“Nanti, Nek, masih dingin. Tante Rima kenapa, Nek?”“Kepleset di depan pintu dapur itu kan licin, ternyata dia sedang hamil muda, tapi enggak tahu. Pendarahan dan kegug
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak